Kamis, Januari 26, 2017

Hambatan Komunikasi Dalam Organisasi

Organisasi terdiri dari kumpulan orang, yang dibedakan berdasarkan fungsi, namun memiliki tujuan yang sama. Agar orang-orang tersebut dapat bergerak ke arah yang sama, diperlukan komunikasi yang baik antarorang, antara pimpinan dan anak buah, antarpimpinan, dan sebagainya. Ketika organisasi masih ramping dan jumlah orangnya masih dalam hitungan jari, komunikasi tidaklah terlalu sulit. Namun masalah komunikasi mulai muncul ketika organisasi semakin melebar dan melintasi batas daerah atau negara.

Ada banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan komunikasi dalam suatu organisasi. Dalam hal ini keberhasilan komunikasi organisasi dapat dinilai dari munculnya persamaan persepsi antara pemberi dan penerima informasi sehingga muncul rasa saling percaya di antara mereka, yang kemudian diikuti dengan persamaan tindakan untuk mewujudkan cita-cita perusahaan.

Pada dasarnya, ada tiga faktor utama yang menjadi hambatan dalam mencapai keberhasilan komunikasi perusahaan. 

1. Hambatan teknis.
Hambatan teknis ini lebih bersifat kasat mata, misalnya keterbatasan sarana dan prasarana komunikasi. Namun kemajuan teknologi diharapkan mampu mengurangi hambatan teknis ini. Jika dulu untuk memberi informasi kepada pegawai harus dikumpulkan di suatu ruangan, maka sekarang bisa melalui email atau WA group. Penggunaan media cetak, seperti surat, brosur, tabloid, atau majalah masih cukup efektif sebagai penyambung lidah pimpinan perusahaan.
Namun demikian, keberagaman media yang ada harus dapat dimanfaatkan dengan tepat, sesuai dengan target audience dan jenis pesan yang ingin disampaikan. Pasalnya, setiap media memiliki kelebihan dan kekurangan terhadap efektivitas penyampaian pesan dibawanya.

2. Hambatan kalimat.
Pemilihan kata dalam menyusun kalimat untuk menyampaikan suatu ide menjadi faktor penting, mengingat kemampuan atau daya serap tiap pegawai berbeda-beda. Suatu kalimat diharapkan mampu menyampaikan suatu pokok pikiran atau ide secara utuh dan ditafsirkan sama oleh para penerima informasi.
Untuk itu “tingkat kesulitan” suatu informasi dibedakan berdasarkan target audience-nya. Untuk manajemen tingkat atas, suatu informasi bisa disampaikan dengan menggunakan istilah-istilah asing dan bahasa yang lebih formal. Kalimat yang digunakan sebaiknya lugas, tidak terlalu banyak kalimat bersayap.

3. Hambatan manusia.
Terkait dengan faktor manusia, ada beberapa hal yang memengaruhi kemampuan berkomunikasi seseorang.

Faktor individu. Adanya perbedaan usia, pendidikan, keluarga, pengalaman, emosi, sifat, status, dan sebagainya, sangat memengaruhi kemampuan seseorang menangkap pesan dalam suatu komunikasi. Misalnya, saat ini bahasa yang digunakan generasi Y, yang mulai mendominasi angkatan kerja baru, terdengar asing di telinga pegawai yang lebih senior. Pegawai yang berpengalaman mungkin lebih cepat menangkap esensi informasi dibandingkan pegawai yang berlum terlalu berpengalaman, dan seterusnya.

Hambatan psikologis. Lingkungan kerja yang kurang nyaman dalam suatu unit juga memengaruhi efektivitas komunikasi organisasi di antara para pegawai yang berada dalam unit tersebut. Terlebih jika terjadi ketidakcocokan antara para pegawai ataupun antar-pimpinan dan pegawai.

Jumat, Oktober 22, 2010

Kinerja kinclong sektor pertambangan

Pemerintah optimistis bakal mampu memenuhi target pendapatan negara dari sektor pertambangan sesuai dengan yang dianggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010. Pasalnya, pemerintah telah mencatat realisasi penerimaan negara bukan pajak dari sektor tambang sebesar Rp13 triliun hingga September 2010. Dalam APBN-P 2010, pemerintah menetapkan pendapatan negara bukan pajak dari sektor pertambangan Rp15,2 triliun. Angka ini naik dari usulan pemerintah sebelumnya sebesar Rp14,9 triliun.

Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengakui hujan terus-menerus dan cuaca ekstrem mulai mengganggu produksi tambang. Untuk itu diperlukan kelonggaran terkait kontrak maupun target produksi yang ditetapkan. Potensi gangguan cuaca terhadap produksi terjadi pada produk tambang jenis batu bara dan timah. Sementara untuk produk mineral belum mengalami gangguan yang signifikan, dan belum ada laporan gangguan dari perusahaan pertambangan.

Kementerian ESDM belum tahu seberapa signifikan gangguan cuaca ekstrem terhadap penurunan produksi batu bara dan timah. Sampai semester I/2010, untuk komoditas batu bara produksinya sedikit di bawah target yang ditetapkan, yakni di level 47% dari total target produksi tahun 2010 sebanyak 250 juta ton. Untuk produk timah, PT Timah diharapkan dapat menahan penurunan agar tidak melebihi level 10%. Meskipun gangguan produksi akibat cuaca ekstrem memang tidak bisa dihindari, akan tetapi dapat diantisipasi. Untuk itu, pemerintah harus menetapkan kontigensi atau keadaan darurat. Pasalnya, komoditas batu bara merupakan kebutuhan primer untuk pembangkit listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN).

Ke depannya, pemerintah bakal menerapkan larangan ekspor bahan baku tambang jenis apa pun pada tahun 2014 mendatang. Konsekuensinya, pemerintah segera mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM tentang upaya pencapaian nilai tambah (added value) komoditi tambang melalui peningkatan industri hilir. Dengan adanya aturan tentang nilai tambah ini, maka semua perusahaan tambang tidak lagi boleh mengekspor komoditi dalam bentuk bahan baku atau bijih, tapi harus dalam bentuk barang jadi. Namun, pihak Kementerian ESDM masih membahas mengenai persyaratan batasan yang dimaksud dengan barang jadi tersebut, baik dari kadar logamnya maupun konsentratnya.

Tujuan adanya aturan tentang added value ini tak lain untuk mendorong keberlanjutan manfaat dari pertambangan. Seperti kita ketahui, komoditi tambang merupakan energi tidak terbarukan yang bisa saja sewaktu-waktu habis. Untuk itu, aturan ini merupakan antisipasi dan upaya pengembangan komoditi tambang untuk masa depan. Dengan aturan baru tersebut, Kementerian ESDM optimistis pendapatan negara dari sektor tambang akan meningkat menjadi 10-14 kali lipat, dibandingkan saat ini hanya 1,2 sampai 1,3 kali dari penjualan ekspor bahan baku. Australia Barat misalnya, memiliki nilai tambah dari komoditi tambang ini mencapai 14 kali. Jadi apabila nilai komoditi itu USD 1 juta, maka nilai tambahnya bisa mencapai 14 kali lipatnya.

Sebenarnya kebijakan ini tak lain untuk mendorong investasi hilir di dalam negeri, khususnya untuk pembangunan pabrik smelter (pengolah bijih menjadi logam). Hal ini tentu akan membuka peluang bagi investor lain yang akan berinvestasi dalam pengolahan smelter di Indonesia. Sebenarnya pembangunan pabrik smelter produk tambang tersebut guna memenuhi amanat UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. Pendirian smelter ditetapkan paling lambat pada tahun 2014. Saat ini Kementerian ESDM tengah menyusun peraturan menteri sebagai panduan pembangunan smelter tersebut dan ditargetkan selesai pada November 2010.

Sementara itu, sebanyak 30% atau sekitar 3.000 perusahaan tambang dari 10.000 perusahaan tambang pemegang kuasa pertambangan (KP) sudah mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) dalam satu tahun terakhir. Pemerintah menargetkan sekitar 7.000 KP tersisa akan selesai ditertibkan pada tahun depan. Penertiban dilakukan setelah empat peraturan pemerintah turunan UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara diberlakukan. Kementerian ESDM memastikan instansinya sedang merampungkan proses registrasi atas seluruh KP tersisa. Namun, registrasi tidak bisa dilakukan jika KP itu pernah melanggar aturan. Misalnya tidak melaksanakan kegiatan eksplorasi dan/atau tidak mengantongi sertifikat analisis dampak lingkungan (AMDAL).

Terkait dengan isu lingkungan, beberapa waktu terakhir salah satu upaya yang gencar dilakukan Pemprov Kaltim untuk menghijaukan kawasan di Kaltim adalah dengan Kaltim Green (Kaltim Hijau). Akan tetapi menurut Wakil Gubernur (Wagub) Kaltim Farid Wadjdy, pada pelaksanannya nanti hal itu akan bertolak belakang dengan apa yang terjadi di lapangan. Pasalnya, untuk izin pertambangan menjadi kewenangannya bupati dan walikota. Kondisi ini ibarat dua mata angin yang tak bisa ketemu. Pasalnya, Green Kaltim terus dilaksanakan salah satunya penanaman pohon, tapi saat itu pula kerusakan lingkungan terus berlangsung, salah satunya dari tambang batu bara yang merusak.

Untuk sementara ini, salah satu cara yang bisa mengimbangi kerusakan lingkungan itu adalah dengan terus melakukan penanaman pohon atau penghijauan dimana-mana. Pihak Pemprov juga menunggu RUU Pembalakan Liar disahkan. Salah satu poin penting dari RUU itu adalah pengaturan dan penertiban pemberian izin KP oleh bupati dan walikota. Sebenarnya, dalam PP No.19/2010, gubernur memiliki hak menegur bupati dan walikota dalam hal apapun, sedangkan RUU Pembalakan Liar lebih kongkrit dan teknis, untuk memperkuat PP No.19/2010 yang telah berjalan selama ini.

Meski demikian, program penanaman pohon masih terus berjalan. Kini tercatat sudah tertanam pohon sebanyak 1,6 juta batang dari selama kurang lebih 9 bulan program itu dilaksanakan, atau sejak Januari 2010 lalu dicanangkan oleh Gubernur Kaltim. Program ini akan terus dilaksanakan, karena inilah salah satu cara yang sangat bisa untuk mengembalikan lagi kelestarian lingkungam Kaltim. Apabila program ini berhasil, akan menjadi contoh bagi daerah-daerah lain yang memiliki banyak lokasi pertambangan. (AI)

Senin, Oktober 18, 2010

Garam

Asosiasi Petani Garam Seluruh Indonesia (Apgasi) mengeluhkan hujan yang berkepanjangan telah mengakibatkan petani garam gagal panen. Saat cuaca cerah, garam sudah terbentuk menjadi kristal sekitar tujuh hari. Pada saat itu inti garam sudah terbentuk namun masih muda. Garam muda itu kemudian akan membentuk menjadi garam yang normal bila konsentrasi air garamnya 20% ke atas. Namun akibat cuaca yang tidak menentu, kondisi air garamnya menurun lagi hingga 10%. Padahal, waktu panen garam di Indonesia umumnya berkisar empat hingga lima bulan, dan seharusnya sudah dimulai sejak bulan Juli lalu.

Hingga saat ini, Apgasi belum menerima laporan adanya panen secara besar-besaran di sentra garam di wilayah Indramayu, Cirebon, Madura, Brebes, Rembang, Pati, Tuban, dan Pasuruan. Sentra garam di Madura meliputi Sumemep, Pamekasan, dan Sampang. Di daerah tersebut terdapat lahan garam rakyat yang luasnya sekitar 6.600 ha. Jika berproduksi normal akan menghasilkan sekitar 528 ribu ton dalam satu tahun. Sentra garam tersebut merupakan basis produksi garam nasional. Madura menyumbangkan 60% dari produksi nasional, kemudian kawasan pantura sebesar 30%, dan sisanya tersebar di 27 kabupaten dan kota lain di Indonesia.

Sementara itu, Asosiasi Pemasaran Produk Pertanian Indonesia (AP3I) menyatakan, seluruh petani garam Indonesia di berbagai sentra industri pada tahun ini benar-benar terpukul oleh anomali cuaca. Intensitas curah hujan yang tidak normal sejak awal tahun, dan cenderung tinggi membuat UKM garam frustrasi sebab hingga Agustus banyak yang gagal panen hingga tiga kali. Masa panen normal adalah 25 hari tetapi akibat curah hujan sangat tinggi, masa panen membutuhkan sekitar 3 bulan dan hasilnya kurang optimal.

AP3I meminta pemerintah tidak menyalahkan usaha kecil produsen garam yang tahun ini mengalami gagal panen. Pemerintah hendaknya tidak menambah beban petani garam dengan permainan lisensi impor garam seperti pada tahun 2006. Penurunan impor garam 3 tahun terakhir perlu dipertahankan dalam semangat membangun ekonomi kerakyatan. Semangat ini jangan dirusak oleh kebijakan impor garam meski kondisi di tingkat petani saat ini sangat memprihatinkan.

Produksi garam saat ini hanya di bawah 35.000 ton atau di bawah 1% dari total kebutuhan garam konsumsi sebesar 1,4 juta ton, sehingga sisanya terpaksa diimpor. Kementerian Perdagangan telah mengeluarkan tambahan alokasi impor garam beryodium 300.000 ton untuk memenuhi kebutuhan garam konsumsi sampai akhir tahun 2010. Impor garam itu akan dilakukan dalam dua tahap dengan alokasi masing-masing tahapan sebesar 150.000 ton. Dengan tambahan alokasi impor tersebut maka total alokasi impor garam iodisasi pada tahun 2010 mencapai 437.000 ton. Sebanyak 137.000 ton telah dialokasikan sebelumnya, bahkan hampir terealisasi seluruhnya.

Dalam melaksanakan importasi garam ini pemerintah diharapkan lebih berhati-hati. Pasalnya, diduga banyak garam industri yang masuk ke pasar konsumsi. Ini terjadi, karena ada perusahaan yang mendapat izin impor garam industri sekaligus importir garam konsumsi. Sebagai informasi, ada dua jenis izin impor garam yakni izin untuk importir terdaftar (IT) yang khusus untuk garam industri dan importir produsen (IP) untuk garam konsumsi. Izin IT hanya dimiliki dua perusahaan, yaitu PT Sumateraco dan PT Garindo. Namun ternyata PT Garindo juga memiliki izin IP.

Mestinya izin kedua jenis importir ini dipisahkan secara tegas. Tanpa pemisahan izin, garam industri bisa merembes ke pasar konsumsi. Apalagi pemerintah tidak memiliki lembaga khusus yang mengawasi importasi garam. Pemerintah seharusnya menunjuk satu perusahaan saja yang mengimpor garam industri. Selain itu, pemerintah juga harus membentuk lembaga pengawas importasi garam. Jangan sampai izin impor tersebut disalahgunakan sehingga mengakibatkan garam petani tidak laku.

Salah satu negara sumber utama impor garam Indonesia adalah Australia. Teknologi pembuatan garam Australia lebih maju, yakni menggunakan pipa ke laut hingga kedalaman 5 km sehingga air lautnya bersih. Australia saat ini terkenal sebagai pengekspor garam terbesar di dunia dengan pabriknya yang berteknologi tinggi. Pemerintah saat ini tengah mencari investor baru di sektor garam yang bisa membangun pabrik berteknologi tinggi. Ini dilakukan untuk meningkatkan produksi garam dalam negeri.

Di samping pembangunan pabrik garam, untuk meningkatkan produksi garam, pemerintah akan memperluas lahan garam. Lahan petani garam akan semakin luas mulai tahun 2013 mendatang. Perluasan lahan ini merupakan salah satu upaya pemerintah mencapai swasembada garam pada tahun 2015 mendatang. Saat ini, luas tambak garam baru sekitar 22.800 ha. Dengan luas sebesar itu, produksi garam hanya sebesar 1,26 juta ton. Untuk mencapai target produksi sebesar 3,3 juta ton, pemerintah akan memperluas tambak garam sebesar 9.000 ha pada tahun 2013 dan 14.000 ha pada tahun 2014 mendatang.

Pemerintah juga akan menjalankan program intensifikasi untuk menggenjot produktivitas lahan agar makin besar. Program intensifikasi garam ini akan mulai dilaksanakan pada tahun 2011. Saat ini, produktivitas lahan baru berkisar 55.490 ton/ha/tahun. Dengan intensifikasi, produktivitas itu diharapkan dapat ditingkatkan menjadi 80.000 ton/ha/tahun.

Apgasi mendukung rencana pemerintah untuk mencapai swasembada garam pada tahun 2015. Agar program itu berhasil, Apgasi mengusulkan pemerintah menaikkan harga pembelian garam di tingkat petani dari Rp 325/kg menjadi Rp1.000/kg. Harga yang rendah akan menyurutkan niat petani untuk berproduksi. Harga yang rendah ini membuat petani tak kunjung menangguk untung, bahkan cenderung rugi. Pemerintah juga diharapkan mengatur ulang tata niaga garam terutama terkait harga dan sanksi bila perusahaan tidak membeli garam petani. Pasalnya, Apgasi menyatakan banyak perusahaan yang sewenang-wenang menekan harga garam dan menolak membeli garam petani selama ini. (AI)

Rabu, Oktober 13, 2010

UKM mencari modal

Keterlibatan investor terhadap usaha kecil dan menengah (UKM) harus ditingkatkan dengan mengembangkan pola investasi penempatan langsung (private placement), sehingga arus permodalan ke UKM semakin besar. Namun, pola penempatan langsung itu harus diatur agar bisa lebih dikembangkan oleh UKM, termasuk untuk memberikan stimulus bagi pemilik modal agar lebih tertarik menempatkan modal pada perusahaan skala kecil dan menengah.

Salah satu cara memperbesar arus modal ke UKM dapat dilakukan antara lain melalui pembentukan pasar modal (bursa efek) UKM yang dilakukan oleh otoritas bursa dan asosiasi pelaku usaha. UKM masih membutuhkan arus permodalan yang lebih besar, bukan hanya dari perbankan, tetapi dari semua sumber dana yang bisa diakses sebagaimana perusahaan besar. Jadi, sudah waktunya digagas pembentukan pasar modal UKM agar pelaku UKM yang telah memiliki kapasitas bisnis cukup besar, khususnya di kelas usaha menengah bisa memperoleh modal di pasar tersebut.

Pembentukan pasar modal UKM itu tidak bisa dicampurkan dengan perusahaan korporasi, tetapi harus dibuat tersendiri. Pasalnya, UKM memiliki karakteristik usaha yang jauh berbeda dengan standar persyaratan yang juga harus lebih ringan. Untuk pembentukan pasar modal tersebut, asosiasi pengusaha bersama Kadin dan Bursa Efek Indonesia bisa mulai menggagasnya dan membuat kajian secara bersama-sama agar dalam beberapa tahun ke depan pasar modal UKM itu bisa terbentuk. Saat ini, jumlah pelaku usaha yang potensial menjadi anggota pasar modal UKM cukup besar, yakni dari pelaku usaha kecil sebanyak 520.220 dan pelaku usaha menengah sebanyak 39.660.

Untuk membentuk pasar modal UKM diperlukan kesiapan dari berbagai pihak terkait, baik dari sisi regulasi dan infrastrukturnya serta kesiapan dari pelaku usahanya. Dari sisi regulasi, Bapepam-LK harus bisa menyiapkan lebih baik pengaturan tentang modal ventura dan pembentukan self regulatory organization (SRO). Di sisi lain, perlu juga kesiapan dari pelaku UKM, yang mayoritas masih ketakutan kehilangan asetnya karena masuknya modal publik (dilusi), termasuk dana untuk persiapan masuk ke publik yang dianggap terlalu besar mencapai Rp12 miliar sehingga mereka lebih memilih digunakan sebagai modal sendiri.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia diminta meningkatkan peran pengusaha besar dalam melakukan pendampingan terhadap UKM agar memiliki kemampuan manajerial dan kualitas SDM lebih baik dalam menjalankan bisnisnya. Populasi UKM sangat besar dan membutuhkan peran dari pengusaha besar dan kalangan korporasi untuk meningkatkan kegiatan pendampingan bisnis secara langsung. Pengembangan UKM tidak bisa dilepas begitu saja kalau ingin menjadi salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi yang semakin berkualitas.

Pertumbuhan UKM saat ini masih tergolong kecil padahal populasinya mencapai 51 juta pelaku usaha. Untuk itu, diperlukan dukungan dari semua stakeholder untuk meningkatkan kapasitas UKM. Selama ini pengembangan UKM lebih banyak terpaku pada penyediaan fasilitas pendanaan baik oleh pemerintah maupun perbankan. Padahal, upaya pendampingann jauh lebih penting untuk lebih ditingkatkan agar pelaku UKM memiliki kemampuan mengelola bisnis yang benar sehingga usahanya bisa berkelanjutan.

Sayangnya, setelah hampir 11 tahun otonomi daerah digulirkan, ternyata tidak banyak memperbaiki kondisi sektor riil di daerah terutama UKM yang masih sulit berkembang akibat buruknya infrastruktur yang menghambat pertumbuhan investasi. Di sisi lain, kebijakan dan regulasi pemda juga belum bisa mendukung sektor riil yang mayoritas APBD-nya digunakan untuk belanja rutin dan hampir tidak ada anggaran yang dialokasikan untuk insentif bagi pengembangan sektor usaha.

Jaringan Pendukung UKM menyatakan, secara umum tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah memburuk karena sektor usaha terutama UKM tidak bisa berkembang akibat persoalan infrastruktur yang semakin buruk dan kebijakan pemerintah yang kurang pro sektor riil. Memburuknya kondisi sektor usaha di daerah menunjukkan otonomi daerah yang diterapkan memang tidak dipersiapkan dengan baik oleh pemerintah pusat, khususnya penyediaan infrastruktur yang belum bisa mendukung pengembangan sektor usaha.

Persoalan sektor usaha di daerah juga terkait dengan keberpihakan pemda terhadap UKM yang masih sangat rendah, bahkan lebih banyak dihambat dengan perda dan regulasi lainnya yang tidak produktif dan hanya berorientasi pada peningkatan pendapatan asli daerah (PAD). Jadi untuk mengembangkan UKM harus diperbaiki dulu dua persoalan besar yang sangat mendasar yaitu pertama, pembenahan infrastruktur agar transportasi dan logistik serta perdagangan tidak terhambat, dan kedua, keberpihakan pemda agar memberikan insentif bagi sektor usaha khususnya UKM.

Sementara itu, pemerintah pada akhir September 2010 lalu menandatangani nota kesepahaman 3 menteri (Menteri Perdagangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Negara Koperasi dan UKM) terkait Sinergi Program Pengembangan Ekonomi dan Penataan Lingkungan Perkotaan melalui Penguatan Sektor Usaha Mikro. Nota tersebut merupakan tindak lanjut dari Inpres No.6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro Kecil dan Menengah.

Tujuan utama dari nota kesepahaman ini adalah mengefektifkan program pemberdayaan PKL. Caranya dengan menyinergikan program-program pemberdayaan usaha mikro yang dimiliki oleh kementerian masing-masing yang ikut serta menandatangani nota kesepahaman supaya terjadi keselerasan, bukan tumpang tindih dalam pemberdayaan usaha mikro seperti yang sering terjadi di lapangan. Istilah PKL sebagai pedagang kaki lima sudah tidak digunakan lagi tapi diganti menjadi pedagang kreatif lapangan.

Nota kesepahaman tersebut sekaligus merupakan bentuk pembenahan kota, sehingga menjadi lebih rapi dan terlihat lebih luas, atau dengan kata lain ditertibkan tapi diberdayakan. Para PKL nantinya akan diberi tanda pengenal khusus yang sebelumnya melalui pendaftaran secara gratis. Namun, untuk sementara proyek ini baru akan direalisasikan pada beberapa lokasi, antara lain pilot project di Padang. (AI)

Jumat, Oktober 08, 2010

Minapolitan sebagai alternatif

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengembangkan konsep minapolitan, yaitu manajemen ekonomi kawasan berbasiskan perikanan di 41 kabupaten/kota di Tanah Air. Konsep ini merupakan bagian dari cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai negara penghasil produk perikanan terbesar di dunia pada tahun 2015. Kunci dari minapolitan ini adalah integrasi industri perikanan dari hulu ke hilir di suatu wilayah yang sesuai dengan karakteristik daerah itu sendiri. Perikanan diharapkan menjadi penggerak utama dari ekonomi wilayah setempat. Targetnya terjadi peningkatan produksi secara besar-besaran dan membawa kesejahteraan bagi masyarakat setempat.

KKP memiliki visi menjadikan Indonesia sebagai negara produsen produk perikanan terbesar di dunia. Produksi perikanan budi daya ditargetkan meningkat sebesar 353% selama tahun 2010-2014, yaitu dari 5,26 juta ton menjadi 16,89 juta ton. KKP menganggarkan Rp584 miliar untuk pengembangan minapolitan percontohan yang akan dimulai pada tahun 2011.

Total anggaran Rp584 miliar akan dialokasikan untuk tiga program. Pertama, pengembangan minapolitan percontohan berbasis perikanan tangkap di sembilan wilayah senilai Rp364 miliar. Kedua, minapolitan percontohan berbasis perikanan budi daya di 24 wilayah senilai Rp149 miliar, dan ketiga, sentra garam rakyat di delapan lokasi senilai Rp69 miliar. Pemilihan lokasi didasarkan pada persyaratan tertentu di suatu daerah yang mempunyai potensi khusus yang bisa dikembangkan, misalnya budi daya ikan patin, lele, rumput laut, dan sebagainya.

Lokasi pengembangan minapolitan berbasis perikanan tangkap terdapat di Pelabuhan Perikanan Samudra (PPS) Belawan, Sumut, Pelabuhan Perikanan Nusantara Sungai Liat, Babel, PPN Pelabuhan Ratu, Jabar, PPS Cilacap, Jateng, Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP) Tamperan, Jatim, PPP Muncar, Jatim, PPS Bitung, Sulut, PPN Ternate, Malut, dan PPN Ambon, Maluku.

Untuk minapolitan berbasis perikanan budi daya dilakukan di 24 lokasi, di antaranya budi daya ikan patin di Muaro Jambi dan Kampar Riau, budi daya lele di Kabupaten Bogor, Jabar, gurame di Banyumas, Jateng, rumput laut di Morowali, Sulteng, Sumbawa, NTB, Sumba Timur, NTT, dan sebagainya. Sementara untuk pengembangan sentra garam dilakukan di 8 lokasi, antara lain Cirebon, Indramayu, Rembang, Pati, Pamekasan, Sampang, Sumenep, dan Nagakeo.

KKP juga mempromosikan enam provinsi yang memiliki potensi peluang usaha dan investasi pengolahan dan pemasaran hasil perikanan yang siap ditawarkan kepada investor luar maupun lokal. Keenam provinsi tersebut adalah Sumbar, Jatim, Kaltim, Sulteng, Maluku, dan NTB. Beberapa investor telah siap berinvestasi di daerah itu antara lain dari Taiwan, RRC, dan Arab Saudi.

Taiwan dipastikan sudah siap berinvestasi terutama di Provinsi Sumbar. Saat ini investor yang ada di Sumbar adalah Bimantara Group yang memiliki industri pengolahan dua jenis ikan, yaitu ikan kerapu dan ikan tuna. Untuk jenis tuna kapasitas ekspornya sebesar 20 ton/minggu dengan negara tujuan Jepang, sedangkan untuk negara tujuan ekspor seperti Hongkong volumenya masih kecil yaitu sekitar 2 ton. Untuk tujuan ekspor ke AS sudah dalam bentuk olahan seperti abon ikan tuna dan rendang ikan tuna dengan volume sebesar 20 ton/bulan.

Data KKP menyatakan produksi perikanan budi daya di Sumbar pada tahun 2009 mencapai 84.864,74 ton, sedangkan potensi perikanan budi daya yang siap dikembangkan ialah ikan nila dengan jumlah keramba sebanyak 10.000 unit, produksi ikan lele sebesar 4.269,9 ton, ikan bilih 1.218,3 ton, dan rumput laut seluas 12.000 ha. Produksi perikanan tangkap sebesar 199.895,4 ton diantaranya ikan tuna, kerapu, tongkol, dan cakalang.

Produksi perikanan Jatim mencapai 914.800 kg/bulan. Dari jumlah tersebut sekitar 67,6% dari hasil perikanan tangkap, selebihnya dari perikanan budi daya. Ekspor perikanan Jatim tahun 2009 mencapai 226.284.848 kg. Sementara itu produksi perikanan NTB tahun 2009 mencapai 185.518,5 ton perikanan tangkap dan 3.574.580 ton perikanan budi daya.

Produksi perikanan Kaltim mempunyai potensi sebesar 140.000 ton/tahun, potensi tambak sebesar 122.000 ton/tahun, ditambah perikanan air tawar sebesar 79.000 ton/tahun. Produksi perikanan Maluku sebesar 1.627.500 ton/tahun dari perikanan tangkap. Perikanan Sulteng untuk budi daya tambak memiliki luas 42.095 ha, budi daya laut 146.468 ha, dan budi daya rumput laut seluas 106.468 ha, sedangkan perikanan tangkap sebesar 408.000 ton/tahun.

Di sisi lain, Kementerian BUMN meminta Menteri Kelautan dan Perikanan agar segera menyampaikan keputusan soal penggabungan BUMN perikanan, PT Perikanan Nusantara, dan Perum Prasarana Perikanan Samudera. Ada dua opsi yang disepakati untuk dipilih oleh KKP. Pertama, dua perusahaan itu dibentuk induk perusahaan atau holding, yang kemudian dibentuk BUMN perikanan di bawah holding yang bertanggung jawab pada perikanan budi daya. Kedua, dua BUMN tersebut di-merger dan kemudian menjalankan fungsi secara menyeluruh dari hulu hingga hilir, dimulai dari penangkapan, pelabuhan perikanan, pengolahan, hingga pemasaran. Rencana penggabungan BUMN perikanan bertujuan agar kinerjanya lebih efisien dan mendatangkan keuntungan yang maksimal.

Dari sisi KKP, menurut Menteri Kelautan dan Perikanan, dari hasil telaah awal tidak hanya dua BUMN yang digabung, tetapi tiga BUMN, yakni PT Perikanan Nusantara, Perum Prasarana Perikanan Samudera, dan PN Garam. Namun saat ini KKP masih mengevaluasi antara merger atau membuat holding. KKP memiliki kecenderungan membentuk perusahaan induk atau holding dari tiga BUMN tersebut. Sementara itu, Masyarakat Perikanan Nusantara (MPN) mendukung rencana pemerintah untuk melakukan merger BUMN perikanan karena akan semakin efektif dan jelas akan mendapatkan nilai tambah.

Sementara dari sisi pelaku, yakni PT Perikanan Nusantara menyatakan, upaya menggabung BUMN ini dengan Perum Prasarana Perikanan Samudera agar lebih efisien, dinilai tidak tepat karena akan berakibat semakin menurunkan kinerja perusahaan. Pasalnya, PT Perikanan Nusantara ini memiliki karakteristik yang berbeda dengan perum. Dalam hal ini BUMN diminta pemerintah untuk mendatangkan laba sementara perum memberikan jasa. (AI)