Jumat, Agustus 29, 2008

Kinerja industri kehutanan cenderung menurun

Wakil Ketua Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Abbas Adhar meminta Dephut membantu meyakinkan perbankan agar memberikan pinjaman modal bagi industri kayu yang sehat, sehingga bisa melakukan restrukturisasi. Sekarang ini industri perkayuan memang sulit mendapatkan pinjaman bank. Kebutuhan pendanaan setiap unit usaha berbeda, namun secara umum setidaknya diperlukan sekitar USD5 juta untuk merestrukturisasi mesin-mesin di satu unit usaha.

Produk kayu Indonesia saat ini tidak mampu bersaing di pasar dunia. Salah satu penyebabnya, karena kondisi mesin-mesin yang dimiliki hampir semua unit usaha sudah tua dan telah digunakan aekitar 20 tahun sehingga tidak lagi efisien untuk menghasilkan produk yang unggul. Berdasarkan data Apkindo, saat ini jumlah perusahaan kayu lapis yang masih aktif beroperasi sebanyak 40 pabrik, dari total 120 pabrik yang terdaftar. Sebagian besar pabrik kayu lapis berhenti beroperasi - meski pabrik belum dinyatakan ditutup - disebabkan kesulitan finansial sehingga tak mampu menyediakan bahan baku kayu, yang saat ini memang mahal dan sulit diperoleh.

Tahun 2007, ekspor kayu lapis Indonesia mencapai 1,8 juta m3 atau senilai USD1,5 miliar. Tahun 2006 ekspor kayu lapis tercatat sebanyak 2 juta m3 atau senilai USD2 miliar. Tahun 2008 ekspor ditargetkan sebanyak 2 juta m3. Seiring makin hancurnya hutan Indonesia akibat pembalakan liar, industri kayu di Tanah Air juga jatuh terpuruk. Dari tahun ke tahun sejak memasuki tahun 2000, target ekspor kayu lapis terus diturunkan, karena menyadari produksi tidak mampu optimal.

Secara umum, Apkindo memperkirakan setiap tahun setidaknya terdapat sekitar 80.000 pekerja di sektor kehutanan yang kehilangan pekerjaan akibat penghentian operasi atau penutupan pabrik. Dari sisi ekonomi, kondisi ini mengakibatkan kerugian hingga sekitar USD30 miliar/tahun. Kinerja industri kehutanan nasional hingga kini masih cenderung menurun. Padahal, Dephut telah melakukan berbagai upaya merevitalisasi maupun restrukturisasi. Minimnya dukungan, termasuk dari kalangan industri sendiri dan dari instansi lain maupun pemerintah daerah menjadi salah satu hambatan upaya revitalisasi.

Pengamat kehutanan Agung Nugraha mengatakan, upaya-upaya yang dilakukan Dephut selama ini tidak membuahkan hasil, antara lain karena di satu sisi industri tidak memiliki kemampuan finansial yang baik untuk melakukan pembenahan. Sementara itu, dukungan perbankan terhadap industri yang bergerak di sektor kehutanan juga lemah dan bahkan nyaris tidak ada lembaga bank yang bersedia mengucurkan kredit. Kondisi kinerja yang terus menurun, ditambah dengan banyaknya tudingan negatif terhadap industri kehutanan memudarkan kepercayaan perbankan.

Kinerja industri kayu lapis cenderung terus menurun karena dari sisi pasokan bahan baku kian terbatas. Ini terkait dengan upaya penegakan hukum oleh aparat yang cenderung kontraproduktif terhadap lalu lintas (peredaran) bahan baku. Berdasarkan data BPS, dibandingkan dengan industri lainnya, pada tahun 2007 kinerja industri kayu nasional tumbuh paling minim, yakni tumbuh negatif 1,74% karena langkanya bahan baku. Sementara itu, berdasarkan data Depperin pertumbuhan industri barang kayu dan hasil hutan dalam beberapa tahun terakhir tidak mengalami kemajuan bahkan selalu minus.

Menurut Gubernur Kalsel Rudy Ariffin, krisis kayu di Kalsel saat ini salah satunya karena banyaknya perusahaan hutan tanaman industri (HTI) yang tidak konsisten melakukan penanaman. Bahkan, keberadaan beberapa perusahaan HTI di Kalsel disinyalir hanya bertujuan ngemplang dana reboisasi (DR) tanpa melakukan penanaman pohon apapun. Akibatnya, kini Kalsel dan beberapa provinsi lainnya mengalami krisis kayu yang berkepanjangan.

Untuk mengantisipasi krisis kayu tersebut, Gubernur Kalsel telah menyurati Menhut untuk mencabut seluruh izin HTI di Kalsel yang dalam jangka waktu cukup lama tidak melakukan penanaman. Diharapkan krisis bahan baku yang kembali melanda beberapa perusahaan kayu lapis di Kalsel saat ini tidak sampai membuat perusahaan mengeluarkan kebijakan pemutusan hubungan kerja (PHK). Menurut Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kurdiansyah, saat ini ada sekitar 3.000 ribu karyawan perusahaan kayu lapis PT Surya Satria yang terpaksa dirumahkan, sejak awal Mei 2008.

Perkembangan daerah yang dinamis sejalan pemekaran wilayah dan pertumbuhan ekonomi lokal semakin menekan kawasan hutan. Dephut dan Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional meluncurkan peta dasar spasial pertama sebagai acuan pemantapan kawasan hutan. Penerbitan peta ini diharapkan bisa menghentikan praktik perambahan kawasan hutan di daerah dengan berbagai modus. Di antaranya, pemda menerbitkan izin lokasi untuk kegiatan usaha nonkehutanan yang berada di dalam kawasan hutan sehingga pengusaha dapat langsung bekerja tanpa menunggu izin pelepasan kawasan hutan dari Menhut.

Pemda kemudian melegalkan perambahan tersebut lewat permohonan revisi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Provinsi atau Kabupaten. Padahal UU No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang melarang pemutihan untuk perambahan kawasan hutan dalam revisi RTRWP dan RTRWK. Provinsi-provinsi di Kalimantan dan beberapa provinsi lain di Sumatera harus memerhatikan ini. Sampai Juni 2008, Dephut menerima usulan alih fungsi 15 juta ha kawasan hutan dari 12 pemprov dan enam pemkab. Lahan itu sebagian besar telah menjadi perkebunan kelapa sawit atau pertambangan. Di Kalimantan, usulan perubahan status kawasan hutan mencapai 5.867.654 ha dan perubahan fungsi hutan mencapai 9.417.537 ha.

Dephut berkomitmen meningkatkan peran pembangunan kehutanan di bidang ekonomi melalui peningkatan penerimaan negara dari sektor kehutanan. Salah satunya, Dephut bertekad menjadikan HTI sebagai hutan masa depan industri kehutanan agar tidak bergantung lagi pada hutan alam. Dephut menetapkan sasaran pembangunan HTI dalam lima tahun (2004-2009) seluas 5 juta ha. Namun, hingga kini realisasi HTI yang tercapai diperkirakan baru sekitar 3 juta ha. Lambannya pembangunan HTI, antara lain karena kalangan investor tidak segera merealisasikan penanaman, sementara izin HTI sudah dipegang.

Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia Elfian Effendi mengatakan, data Dephut tahun 2007 menunjukkan, sekitar 10 juta ha kawasan hutan lindung dan konservasi telah dikonversi secara ilegal jadi perkebunan, pertambangan, lahan terbuka, dan budidaya pertanian lainnya. Hutan eks HPH dan HTI pun tak luput dari perambahan. Sedikitnya 18,4 juta ha hutan produksi tersebut juga dirambah. (AI)


Rabu, Agustus 27, 2008

Perhotelan untuk mendukung pariwisata

Target mendatangkan 7 juta wisatawan mancanegara (wisman) seperti diamanatkan program nasional Visit Indonesia Year (VIY) 2008 tampaknya bakal tercapai. Data sementara kunjungan wisman periode Januari-Juni 2008 sudah mencapai angka 3,1 juta orang, sementara masih banyak perhelatan wisata lokal (daerah), nasional, dan internasional ke depan yang belum terselenggara, yang tentunya akan berdampak positif terhadap pasar wisata Tanah Air. Hal ini jelas akan memberikan dampak positif pada tingkat hunian hotel di beberapa daerah. Menurut Kepala Dinas Pariwisata DKI Jakarta Arie Budhiman, jumlah kunjungan wisatawan ke Jakarta periode Januari-Juni 2008 sebanyak 718.722 orang. Angka tersebut meningkat 21,5% dibanding periode yang sama tahun 2007.

Dinas Pariwisata DKI saat ini sedang memilih sejumlah festival berskala lokal untuk dimasukkan ke dalam kalender kegiatan pariwisata di Ibu Kota selama satu tahun. Event lokal yang dimaksud, antara lain Festival Kemang yang diselenggarakan di Jalan Raya Kemang dan Festival Cipete di Jalan Cipete Raya Jakarta Selatan, serta Festival Jalan Jaksa di Jakarta Pusat, dan Festival Klender di Jakarta Timur.

Untuk “menangkap” para tamu ini, beberapa hotel mencoba strategi khusus. Di Jakarta misalnya, ada Hotel Formule 1 yang mengembangkan konsep budget hotel dengan tarif ekonomis, namun memberikan kualitas pelayanan yang bertaraf internasional. Hotel Formule 1 merupakan bagian dari jaringan 380 Hotel Formule 1 yang dikenal luas di Eropa, Australia, Brasil, Afrika Selatan, dan Jepang.

Di Surabaya, kehadiran beberapa hotel baru yang berkonsep butik hotel bakal mewarnai bisnis perhotelan. Selama ini kebutuhan pasar masih didominasi oleh regular hotel. Sedangkan butik hotel diharapkan bisa membentuk pasar tersendiri dan ini termasuk kejelian pengelola butik hotel. Dalam 2 - 3 tahun ke depan, butik hotel itu bisa dilihat apakah mampu membentuk pasar hotel tersendiri.

Di Surabaya, yang mengklaim sebagai butik hotel antara lain Surabaya Town Square dengan konsep modern minimalis dan Java Paragon. Di Malang, ada Hotel Tugu, sedangkan Hotel Majapahit yang sebenarnya memiliki konsep butik hotel, justru tidak menempatkan diri sebagai butik hotel, melainkan regular hotel. Pasar hotel sebenarnya terbagi pada resort, city hotel, butik hotel, regular maupun budget hotel. Resort dan city hotel biasanya untuk orang-orang yang ingin menghabiskan liburan. Sementara budget hotel berdasarkan pada kebutuhan dasar orang menginap. Kalau dalam bisnis penerbangan, budget hotel ini dianalogikan dengan penerbangan low cost carrier.

Sementara di kawasan Asean, hotel sangat bervariasi tergantung pasar yang dibidik. Umumnya, untuk tamu Asia cenderung ke reguler hotel. Sedangkan Eropa dan Jepang untuk kalangan high class lebih memilih butik hotel. Kehadiran hotel baru dengan mengklaim sebagai butik hotel di Surabaya akan menjadi test case tersendiri. Kalau pasar butik hotel tumbuh berarti memang ada ceruk pasar yang bisa dikembangkan, dan kalau ini berhasil, pasar hotel di Surabaya makin bervariasi.

Berbeda dengan Jakarta dan Surabaya, Pemkot Solo justru memilih untuk menutup peluang investasi di bidang perhotelan. Pembangunan hotel dan apartemen terakhir yang diberi izin antara lain Solo Center Point (SCP), Solo Paragon, dan Kusuma Mulya. Berdasarkan data PHRI, di Kota Solo terdapat sekitar 90 hotel dengan jumlah kamar mencapai 2.400 kamar. Menurut Walikota Solo Joko Widodo, saat ini Pemkot berkonsentrasi pada investasi di bidang kesenian dan pariwisata. Sejalan dengan visi itu, Pemkot akan membangun atau merevitalisasi tempat-tempat yang mendukung investasi tersebut. Seperti revitalisasi Taman Balekambang dan pengelolaan profesional Taman Satwa Taru Jurug (TSTJ).

Optimisme pelaku bisnis perhotelan sempat terganggu dengan krisis listrik yang terjadi akhir-akhir ini mengancam kelangsungan bisnis perhotelan di Tanah Air. Pasalnya, berdasarkan surat keputusan bersama (SKB) lima menteri, pelaku bisnis jasa dan perdagangan diminta untuk menghemat penggunaan listrik. Mereka diminta untuk menggunakan genset pada waktu-waktu tertentu, khususnya pada saat beban puncak terjadi. Namun pada akhirnya SKB tersebut dibatalkan.

Ketua Umum Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Yanti Sukamdani mengatakan, penghematan konsumsi listrik sektor perhotelan sejauh ini dinilai sudah optimal. Kalangan pelaku bisnis perhotelan Indonesia sudah mengintensifkan program penghematan listrik selama 10 tahun terakhir ini. Cara menghemat misalnya mematikan lift dan pendingin udara ketika sudah larut malam, juga kombinasi penggunaan genset. Penghematan di waktu beban puncak yakni pukul 17.00 sampai 20.00, sulit dilakukan pada sektor perhotelan. Sebab justru pada jam-jam itu aktivitas tamu hotel sedang tinggi.

Selain dalam rangka program penghematan energi nasional, pelaku perhotelan harus melakukan penghematan listrik sebab listrik merupakan bahan baku industri perhotelan. Kontribusi biaya energi listrik terhadap total biaya usaha perhotelan mencapai 75%. Jadi tanpa disuruh pun mereka pasti menghemat.

Persoalan lingkungan ternyata turut memengaruhi bisnis perhotelan. Karena itu, pengelola hotel harus memperhatikan lingkungan hotelnya. Sebab, jika lingkungan rusak, manusia akan menderita dan hotel pun tidak akan bisa beroperasi. Menurut pengamat perhotelan Sumut Dedi Nelson Fachrurrozy, yang juga General Manager (GM) Hotel Madani International, Medan, perhatian pengelola hotel di Medan masih minim. Mereka masih menganggap persoalan lingkungan sebagai masalah yang biasa dan tidak berpengaruh terhadap bisnis perhotelan. Kalau dunia perhotelan tidak memperhatikan lingkungan akan berbahaya. Citra hotel di mata masyarakat akan jelek dan mereka tidak respek terhadap hotel itu.

Sementara itu Kementerian Negara BUMN segera menunjuk konsultan untuk mengkaji kemungkinan pembentukan perusahaan induk (holding) bagi beberapa BUMN yang bergerak di bidang perhotelan dan pariwisata. Menurut Deputi Meneg BUMN Bidang Logistik dan Pariwisata Harry Susetyo, Kementerian Negara BUMN akan menyinergikan BUMN-BUMN perhotelan dan pariwisata, bentuknya bisa holding atau yang lainnya. Sejumlah BUMN yang akan dikonsolidasikan di antaranya Hotel Indonesia, Patra Jasa, Aerowisata dan PT Sarinah.

Tujuan dari sinergi ini adalah agar BUMN-BUMN tersebut mampu beroperasi dengan lebih baik dan lebih sehat. Pasalnya, sampai sejauh ini BUMN yang bergerak di bidang perhotelan dinilai belum mampu menyumbangkan kontribusi yang berarti bagi negara. Bahkan beberapa di antaranya menjadi beban keuangan negara karena terus merugi. (AI)

Senin, Agustus 25, 2008

Gula

Ada sekitar 200.000 ton gula pasir lokal menumpuk di gudang penyimpanan di seluruh pabrik gula (PG) di Jabar, terutama di Subang, Majalengka, dan Cirebon. Gula lokal itu menumpuk karena tidak laku dijual, sebagai akibat tidak terkendalikannya rembesan gula rafinasi dan gula impor ke pasar-pasar dalam negeri. Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar Anwar Asmali, kondisi terparah dialami sejumlah pabrik gula di Subang. Besarnya volume gula lokal yang tidak terjual, membuat gula terpaksa disimpan di luar gudang.

Dominasi gula rafinasi atau gula impor membuat gula lokal kian terdesak. Pedagang memilih untuk tidak mengambil gula lokal, tidak hanya di Pulau Jawa melainkan juga di luar Jawa. Akibatnya, gula dari Jawa tidak mengalir ke luar Jawa. Oleh sebab itu APTRI kembali meminta pemerintah segera memberlakukan ketentuan kenaikan bea masuk (BM) impor raw sugar (gula mentah) dan white sugar (gula putih) guna melindungi pasar gula lokal.

Ketua Umum APTRI Arum Sabil mengatakan, pihaknya menyayangkan penundaan pemberlakukan kenaikan BM raw sugar dan white sugar impor. Alasan penundaan karena khawatir terjadi lonjakan harga gula lokal menjelang Idul Fitri tidak beralasan. Pasalnya, hingga saat ini harga gula lokal tidak terpengaruh kenaikan harga gula internasional. APTRI menyadari, saat ini daya beli masyarakat melemah setelah kenaikan harga BBM. Namun, industri gula nasional pun perlu diselamatkan agar tidak terdesak gula impor yang terus dominan.

Saat ini petani tebu dirugikan dengan adanya penundaan pemberlakuan tersebut, sehingga harga lelang gula lokal di bawah HDG (harga dasar gula). APTRI sejak awal telah mengusulkan BM raw sugar dinaikkan dari Rp550 menjadi Rp1.200/kg dan BM white sugar dari Rp790 menjadi Rp1.500/kg. HDG petani tahun 2008 ditetapkan sebesar Rp4.900/kg berdasarkan SK Mendag No.475/M-DAG/4/2008 yang berarti sama dengan tahun 2007. Petani menganggap keputusan tersebut tidak rasional dan bukan cerminan kebijakan yang memberdayakan pelaku usaha. Dengan alasan terimbas kenaikan harga BBM dan efek domino yang ditimbulkan, harga pokok produksi (HPP) juga tereskalasi. Sehingga, mereka berharap harga dasar tidak kurang dari Rp5.300/kg.

Beban petani semakin berat karena harga komoditas agribisnis lain, khususnya beras yang selama ini menjadi pembanding, juga mengalami kenaikan. Sebelum keputusan dikeluarkan, Dewan Gula Indonesia (DGI) melakukan survei biaya produksi pada level petani dengan tujuan agar penetapan harga dasar mencerminkan komitmen pemerintah untuk memberdayakan petani tebu dan pabrikan gula. Survai tersebut, katanya, melibatkan tiga perguruan tinggi negeri yakni Institut Pertanian Bogor (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Universitas Brawijaya (Unibraw).

Di sisi lain, kewajiban BM impor yang lebih tinggi akan meningkatkan pendapatan negara hingga Rp 3 triliun dan dapat memfasilitasi revitalisasi pabrik gula dan meningkatkan kesejahteraan petani. Saat ini, BM impor mencapai Rp550/kg gula mentah dan Rp790/kg gula putih. Konsumsi gula Indonesia secara keseluruhan mencapai 3,1 juta ton pada tahun 2007 sedangakan produksinya hanya 2,4 juta ton. Produksi tersebut diperkirakan mencapai 2,7-2,8 juta ton tahun 2008.

Corporate Secretary PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI Adig Suwandi mengatakan, hanya dengan kenaikan BM impor gula akan dapat mendongkrak harga gula lokal sekarang ini. Apalagi dengan jatuhnya harga gula milik petani dalam lelang membuat investor berkewajiban membeli seluruh gula petani. Dipastikan, investor dana talangan akan mengalami kesulitan jika harga gula dalam lelang terus turun. Oleh karena itu, produsen juga berharap agar BM impor gula segera diberlakukan agar harga gula lokal bisa naik. Apalagi harga gula dunia dewasa ini masih tergolong murah, yakni sekitar USD407/ton FOB.

Sementara itu, berdasarkan data Depperin, harga gula di pasar internasional mulai bergerak naik sejak Mei 2008. Awal tahun 2008, harga gula di pasar masih USD300/ton. Menurut Direktur Industri Makanan Ditjen Industri Agro dan Kimia Depperin Yelita Basri, harga gula selama beberapa bulan terakhir melonjak 25% lebih mahal daripada sebelumnya. Padahal sebelumnya, harga gula terbilang cukup stabil jika dibandingkan dengan komoditas lain yang sudah naik lebih dulu seperti beras, jagung, dan minyak sawit mentah. Harga gula sebesar USD400/ton itu bisa lebih tinggi lagi kalau ditambah dengan BM gula yang mencapai Rp790/kg. BM gula menjadikan harga gula impor lebih mahal sebesar Rp200/kg.

Persoalan lain yang dihadapi komunitas pergulaan adalah kekacauan dalam pengaturan separasi atau segmentasi pasar gula. Akibatnya, gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri makanan dan minuman masuk ke pasar ritel yang selama ini menjadi domain gula lokal berbahan baku tebu. Dari sisi volume, ijin impor gula rafinasi yang digunakan oleh industri besar maupun kecil telah mencapai 365 ribu ton, atau masih separuh dari kuota yang ditetapkan.

Sampai Juni 2008, impor gula rafinasi sudah 365 ribu ton. Maksimal impor tahun ini diberikan 680 ribu ton. Gula rafinasi banyak digunakan untuk industri makanan dan minuman baik skala besar maupun kecil. Kedua jenis industri itu membutuhkan sekitar 2,1 juta ton gula rafinasi per tahun. Kebutuhan tersebut dipenuhi oleh dalam negeri sebanyak 1,5 juta ton. Pemerintah berharap, kuota impor gula rafinasi tidak seluruhnya digunakan. Hal ini bertujuan untuk mulai mengoptimalkan produksi gula rafinasi nasional yang berlebih.

Saat ini semua PG di Indonesia melaksanakan giling, sehingga harga gula yang stabil rendah kurang memberikan gereget bagi upaya peningkatan produktivitas dan gerakan nasional menuju swasembada. Tidak bergeraknya harga gula lokal sangat mungkin dipengaruhi stok. Melimpahnya stok dalam negeri lebih banyak bersumber tidak efektifnya larangan memperdagangkan gula rafinasi, yang seharusnya hanya untuk bahan baku industri, tetapi dalam praktik ditransaksikan sebagai kompetitor gula lokal berbahan baku tebu. Gula rafinasi berasal dari dua sumber, yakni produksi lokal berbahan baku raw sugar impor dan impor langsung saat harga gula dunia murah.

Menurut Direktur Bina Pasar dan Distribusi Ditjen Perdagangan Dalam Negeri Departemen Perdagangan Gunaryo, harga rata-rata nasional untuk gula mencapai Rp6.000 dan sejauh ini stok juga masih aman. Hal tersebut dikarenakan saat ini musim giling di beberapa daerah sudah terjadi. Turunnya harga gula itu diakibatkan kelebihan pasokan selama musim giling dan harga di tingkat petani bisa mencapai Rp5.000/kg. (AI)


Jumat, Agustus 22, 2008

Sektor transportasi pada tahun 2008 tumbuh 14 persen

Pemerintah optimistis, pertumbuhan sektor transportasi di Tanah Air pada tahun 2008 akan mencapai 14%. Perkiraan ini didasarkan pada banyaknya proyek sektor transportasi yang akan diselesaikan pada tahun 2008. Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Bambang Susantono, sektor transportasi tumbuh sangat pesat, dan semua peraturan pendukungnya juga sudah siap. Untuk itu, segala permasalahan tersisa yang menghambat realisasi target itu akan diselesaikan secepatnya. Misalnya, saat ini pemerintah sedang mencari payung hukum untuk proses pengalihan hibah pembangunan sarana transportasi massal cepat (MRT) yang rencananya akan diberikan ke Pemda DKI Jakarta.

Sementara itu, untuk tahun 2009, sektor transportasi memerlukan investasi mencapai Rp283,49 triliun untuk mendukung pertumbuhan ekonomi sebesar 6,2-6,5% pada tahun 2009. Kebutuhan dana ini didapatkan dari swasta dan pemerintah. Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal mengatakan, kebutuhan investasi sebesar itu terdiri dari Rp27,61 triliun APBN, investasi BUMN Rp11,99 triliun dan investasi swasta sebesar Rp243,89 triliun.

Namun, berdasarkan pendekatan berupa hasil penelaahan terhadap jajaran Departemen Perhubungan dengan dinas perhubungan provinsi dan seluruh unit pelaksana teknis terkait, didapatkan pagu kebutuhan sebesar Rp30,52 triliun. Pagu tersebut untuk pembangunan dan rehabilitasi sarana dan prasarana perhubungan untuk mempertahankan dan meningkatkan kapasitas serta kualitas pelayanan jasa perhubungan. Tapi berdasarkan pagu indikatif yang didapatkan dari Depkeu, alokasi hanya tersedia Rp16,07 triliun atau 52,67% dari kebutuhan yang harus dipenuhi. Padahal masih dibutuhkan dana lain, yaitu untuk subsidi dalam bentuk Public Service Obligation (PSO) dengan perkiraan kebutuhan untuk PT Kereta Api sebesar Rp635 miliar dan PT Pelni Rp850 miliar.

Berdasarkan survei World Economic Forum (WEF), infrastruktur sektor transportasi di Indonesia menempati peringkat 91 dari 131 negara. Dari segi daya saing, Indonesia menempati peringkat 54. Salah satu indikatornya adalah pelayanan transportasi dan Indonesia menempati urutan ke-91. Pemerintah memberi perhatian serius terhadap masalah infrastruktur transportasi yang antara lain ditunjukkan dengan peningkatan alokasi dana untuk infrastruktur transportasi. Pada tahun 2005, alokasi dana APBN untuk infrastruktur mencapai Rp20,9 triliun dan pada tahun 2008 mencapai Rp61,9 triliun. Khusus sektor transportasi pada tahun 2005 mencapai Rp8,9 triliun dan tahun 2008 mencapai Rp33,8 triliun. Namun, peningkatan alokasi anggaran saja tidak cukup untuk mengatasi masalah transportasi, perlu upaya lain misalnya reformasi regulasi transportasi, peningkatan kualitas SDM, penguatan institusi, dan meningkatkan peran serta pihak swasta.

Deputi Menteri Ristek Carunia Mulya Firdausy mengatakan, untuk melakukan pembenahan sektor transportasi penting dilakukan pendekatan kesisteman. Dalam Permenhub No.KM 49 Tahun 2005 tentang sistem transportasi nasional (Sistranas), pendekatan kesisteman dirumuskan sebagai perwujudan jaringan transportasi yang efektif dan efisien dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional. Efektif diartikan sebagai selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, serta polusi rendah. Sementara itu, efisien diartikan beban publik rendah dan utilitas tinggi dalam satu kesatuan jaringan transportasi nasional.

Yang menjadi persoalan saat ini adalah bagaimana merealisasikannya. Paling tidak, ada lima aspek yang harus dibenahi dalam mempertemukan sisi demand dan sisi supply. Yaitu aspek manajemen, aspek regulasi, aspek kualitas SDM pengelola transportasi, aspek teknologi, dan aspek fasilitas, kapasitas prasarana dan sarana transportasi. Kelima aspek tersebut harus dipandang sebagai satu paket yang utuh.

Terkait dengan kebijakan energi, pemerintah akan mewajibkan sektor industri dan transportasi menggunakan 2,5% bahan bakar nabati (BBN) mulai November 2008. Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro mengatakan, kewajiban pemakaian BBN ini akan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM. Selain mengatur soal kewajiban penggunaan BBN, permen tersebut juga akan mengatur mekanisme harga jualnya. Ketua Tim Nasional Pengembangan BBN Alhilal Hamdi menambahkan, setelah aturan mengenai kewajiban penggunaan BBN ini keluar September 2008, namun tidak serta merta aturan tersebut mulai diterapkan karena perlu persiapan dulu.

Penggunaan BBN ini akan diterapkan secara bertahap mulai dari 2,5%. Penggunaan BBN sebesar 2,5% ini akan diberlakukan hingga tahun 2009 mendatang. Mulai tahun 2010 penggunaannya akan ditingkatkan menjadi 5%. Sementara untuk pengaturan harga, akan mengacu kepada harga rata-rata minyak mentah di pasar Singapura atau Mid Oil Platts of Singapore (MOPS). Kendati mengacu pada besaran MOPS, namun dipastikan pemerintah tidak akan memberikan subsidi untuk BBN ini, karena harganya di bawah premium. Pengembangan BBN ini sudah mulai diterapkan dengan pola desa mandiri energi. Saat ini, sedikitnya 117 desa mandiri energi sudah mulai menggunakan BBN dari jarak pagar. Kapasitas terpasang untuk biodiesel dan bioethanol sudah cukup besar yang mencapai dua juta kiloliter selama satu tahun atau ekuivalen 40 ribu barel minyak per hari.

Dalam lingkup regional, Indonesia, Malaysia, dan Thailand sepakat untuk meningkatkan kerjasama bisnis khususnya di sektor transportasi. Menurut Ketua Kemitraan/Hubungan Internasional Kadin Medan Khairul Mahalli, hal itu ditandai dengan telah ditandatanganinya joint business council ke-25 Indonesia, Malaysia, Thailand Growth Triangle (IMT-GT) di Banda Aceh.

Di samping akan mengoordinir penerbangan untuk kota-kota yang termasuk dalam lingkup kerjasama IMT-GT, kerjasama tersebut juga menyepakati peningkatan aktivitas ekspor-impor melalui pelabuhan Belawan serta melakukan evaluasian dan penyusunan program kerja pengoperasian Kapal Ro Ro yang melayan rute Belawan-Penang-Belawan. Tidak kalah penting dibicarakan dan disepakati pula rekomendasi mendapatkan common tariff untuk pelabuhan laut/udara di kawasan IMT-GT. (AI)

Program 10.00 MW jilid kedua

Untuk mengatasi kekurangan listrik dan memenuhi kebutuhan tenaga listrik secara nasional yang masih terjadi di Perusahaan Listrik Negara (PLN), pemerintah menyiapkan program kelistrikan 10.000 MW tahap kedua. Program Listrik 10.000 MW tahap kedua tidak didominasi oleh energi batubara seperti halnya proyek 10.000 MW tahap pertama. Batubara hanya sebesar 30%. Selebihnya 70% berbahan panas bumi yang potensinya sebesar 27.000 MW, dan hidro atau air dengan potensi 60.000 MW, serta ditambah oleh energi baru dan energi terbarukan.

Kebutuhan lisrik sekarang ini tumbuh hampir 10%, khususnya di beberapa di luar Jawa. Direncanakan pembangkit berbahan bakar batubara akan dibangun di luar Jawa. Alasannya, beban pembangkit listrik dan dampak polusi batubara di Jawa sudah cukup tinggi. Nantinya, kebutuhan listrik di Jawa akan disalurkan melalui transmisi dari luar Jawa.

Menurut Ketua Tim Harian Proyek Percepatan 10.000 MW Yogo Pratomo, proyek listrik 10.000 MW tahap kedua ini, diproyeksikan membutuhkan total dana sebesar USD8 hingga 9 miliar. Direktur Utama PLN Fahmi Mochtar mengatakan, proyek akan dibiayai melalui penerbitan global bond dan perbankan dari dalam dan luar negeri. PT PLN telah menandatangani kesepakatan pinjaman dengan Bank of China dan China Exim Bank untuk proyek tersebut. Bunga pinjaman relatif rendah dan akan meningkat seiring perubahan kondisi global.

Sementara itu, kebutuhan dana untuk proyek listrik 10.000 MW tahap pertama, masih mengalami kekurangan sekitar Rp47,9 triliun dari total dana yang dibutuhkan seluruhnya sekitar Rp98,1 triliun. Dari kebutuhan dana Rp98,1 triliun, sebanyak 15% telah dipenuhi PLN atau sekitar Rp14,7 triliun. Sedangkan 55% atau sekitar Rp83,4 triliun berasal dari pinjaman, antara lain bank di China. PT PLN baru bisa menyelesaikan 20% dari total proyek atau sebesar 1.890 MW hingga akhir tahun 2009. Padahal, pemerintah menargetkan mega proyek ini bisa kelar sebelum Pemilu 2009 mendatang.

Berdasarkan data Departemen ESDM, proyek dengan landasan Perpres No.71/2006 tentang penugasan kepada PLN untuk melakukan percepatan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan menggunakan bahan bakar batubara ini, baru 9 PLTU dengan kapasitas 6.830 MW dalam tahap konstruksi. Sementara itu satu lokasi dalam tahap lelang dengan kapasitas 600 MW. Kesepuluh PLTU ini berada di Pulau Jawa. Di luar Pulau Jawa, terdapat 22 lokasi dengan total kapasitas 2.121 MW. Sebelas lokasi (1.441 MW) sedang dalam tahap konstruksi dan sisanya 14 lokasi (780 MW) dalam proses kontrak. Akhir tahun 2010, diharapkan proyek itu akan kelar 80% atau 8.600 MW, sedangkan pada tahun 2011-2012 selesai 100%.

Namun demikian, pemerintah akan menghitung ulang kenaikan biaya pembangunan PLTU 10.000 MW, mengingat lonjakan harga baja di pasar internasional yang sudah menembus USD850/ton. Kenaikan harga baja semakin menjadi kendala dalam merealisasikan proyek pembangunan PLTU berkapasitas di bawah 100 MW mengingat sekitar 17% hingga 36% biaya bahan baku berasal dari baja seperti boiler, generator, dan turbin.

Pembengkakan biaya produksi akan kian besar jika kapasitas PLTU tersebut semakin kecil. Untuk PLTU berkapasitas 7 MW misalnya, kenaikan harga baja itu diperkirakan akan mendongkrak biaya produksi menjadi 36%. Sementara PLTU berkapasitas 60 MW-100 MW, kenaikannya hanya sekitar 17%.

Menperin Fahmi Idris mengatakan, kebutuhan listrik untuk masyarakat maupun industri diperkirakan belum akan tercukupi sampai pemerintah menjalankan program pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW tahap II yang akan dilakukan pada tahun 2009/2010 dan selesai tiga tahun kemudian. Saat ini krisis pasokan listrik tidak bisa dihindarkan karena program pembangunan pembangkit listrik batu bara 10.000 MW belum selesai. Meski demikian, kalaupun pembangunan pembangkit listrik 10.000 MW selesai pada 2009, maka kebutuhan listrik di Indonesia tetap belum tercukupi.

Menperin yakin dengan tambahan pembangkit listrik total sebesar 20.000 MW, maka Indonesia akan lebih leluasa untuk pemakaian listrik dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan. Tapi setelah itu harus lagi disiapkan program pengadaan listrik berikutnya. Pasalnya, sebagai negara yang semakin berkembang, kebutuhan listrik sangat besar. Kebutuhan listrik merupakan ukuran bagi daya beli dan kemajuan ekonomi suatu negara. Bila permintaan listrik tumbuh, berarti ada masyarakat pengguna dan industri yang berkembang.

Sayangnya, keinginan PT PLN menambah kapasitas listrik 10.000 MW pada tahun 2009 akan terkendala oleh kondisi daerah yang belum segera memberi izin lokasi atau membebaskan lahan demi kelancaran proyek PLN. Hal itu tercermin dari tersendatnya proyek PLTA Asahan III di Sumatera Utara dan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) 1 di Rembang, Jawa Tengah.PLTA Asahan hingga kini belum mendapat izin lokasi dari Gubernur Sumut Syamsul Arifin, padahal DPRD Sumut sudah merekomendasi gubernur seharusnya segera memberi izin lokasi pembangunan PLTA Asahan III. Hal serupa terjadi pada proyek PLTU 1 Rembang karena Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jateng belum bisa membebaskan sebagian lahan untuk proyek itu.

Padahal menurut Ketua DPRD Sumut Abdul Wahab Dalimunte, berdasar rekomendasi panitia khusus ketenagalistrikan DPRD Sumut, gubernur sudah diminta segera memberi izin lokasi untuk proyek PLTA berkapasitas 174 MW itu. PLN sudah memiliki dana pinjaman dari Japan Bank for International Cooperation (JBIC) untuk memulai proyek itu. Namun, PLN belum memulainya karena belum mengantongi izin lokasi dari Gubernur Sumut. Saat ini pembangunan PLTU 1 Jateng masih sesuai jadwal. Sikap akomodatif ditunjukkan oleh Pemprov Jabar dan Pemprov Jatim yang mendukung dengan menyiapkan pengadaan lahan, sosialisasi proyek tersebut kepada masyarakat, dan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).

Penggunaan air sebagai sumber energi listrik 10.000 MW tahap kedua membutuhkan sepuluh bendungan baru. Dari air diperkirakan mampu menghasilkan energi 70.000 MW. Namun saat ini baru sekitar 6%, atau 3.529 MW yang dimanfaatkan. Daerah yang berpotensi untuk dibuat bendungan, seperti di daerah Nanggroe Aceh Darussalam, Sumbar, dan beberapa provinsi di Jawa. Strategi tersebut didukung oleh murahnya biaya operasional untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA), yaitu Rp140 untuk menghasilkan satu kWh. Pembangkit yang menggunakan batu bara memakan biaya Rp500/kWh, sedangkan pembangkit bertenaga diesel berbiaya Rp3.000/kWh. (AI)

Jumat, Agustus 15, 2008

Target pembangunan RSH tahun 2008 naik

Pada tahun 2008 pemerintah menargetkan pembangunan rumah sehat sederhana (RSH) bersubsidi sebanyak 159.900 unit atau lebih besar dibandingkan pembangunan RSH tahun 2007 sebanyak 136.300 unit. Menurut Deputi Bidang Perumahan Formal Kementerian Negara Perumahan Rakyat Zulfi Syarif Koto, sejak tahun 2004 hingga 2007, realisasi penyaluran dana subsidi untuk pembangunan RSH mengalami peningkatan. Pada tahun 2004 penyaluran dana subsidi untuk pembangunan RSH sebanyak 31.125 unit, tahun 2005 sebanyak 63.696 unit, tahun 2006 sebanyak 77.663 unit, dan tahun 2007 sebanyak 122.811 unit.

Asosiasi Pengembang dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) akan merevisi target pembangunan RSH menyusul kenaikan harga bahan bangunan akibat imbas fluktuasi harga minyak dunia. Menurut Ketua Umum Apersi Fuad Zakaria, di samping kenaikan harga minyak, revisi target juga disebabkan belum terbitnya peraturan menteri keuangan yang membebaskan pajak pertambahan nilai untuk RSH. Kalangan pengembang perumahan sederhana saat ini menahan penjualan rumah.

Selama peraturan yang menyatakan bebas pajak belum keluar, pengembang akan tetap menahan penjualan. Hal ini untuk memastikan bahwa harga rumah yang dijual tetap sesuai batasan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk terjaminnya subsidi. Kalau pengembang menjual harga batasan yang ditetapkan oleh pemerintah, maka tentu tidak akan mendapatkan subsidi dari pemerintah.

Tahun 2007 lalu Apersi menargetkan pembangunan 75 ribu unit RSH dan terealisasi sekitar 50 ribu unit. Tahun 2008 ini Apersi menargetkan pembangunan 100 ribu unit RSH. Namun Apersi pesimistis target itu akan tercapai tahun 2008 ini. Pasalnya, hingga bulan kelima pengembang belum bisa menjual dengan harga baru dan terpengaruh kenaikan harga BBM.

Sementara itu, Kemenpera menyiapkan dana Rp100 miliar untuk pembangunan rumah warga miskin. Program itu untuk menekan lonjakan angka kemiskinan akibat dampak kenaikan harga bahan bakar minyak. Dengan dana itu setidaknya Kemenpera bisa membangun sedikitnya 10 ribu unit rumah. Dana yang akan mulai dikucurkan tahun depan itu meningkat 100% dibandingkan dana yang turun tahun 2008 sebesar Rp58,5 miliar. Penambahan anggaran itu dengan pertimbangan makin banyaknya jumlah warga miskin akibat kenaikan harga BBM.

Bantuan pembangunan perumahan senilai Rp27 miliar pada tahun 2008 ini telah dialokasikan ke 63 kabupaten/kota yang tersebar di 20 provinsi. Pemerintah setempat melalui lembaga keuangan mikro mengucurkan bantuan untuk warga miskin yang tidak memiliki tempat tinggal laik. Penerima bantuan dalah masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, bantuan peningkatan kualitas perumahan sebesar Rp31,5 miliar diwujudkan dalam 5.000 bentuk kegiatan.

Untuk mempercepat pembangunan RSH dan rumah susun sederhana milik (rusunami) di kota-kota besar, pemerintah berkomitmen untuk menambah subsidi bunga kredit program kepemilikan rumah sehat (KPRSH) dan rusunami tahun 2009 hingga 100% lebih bagi masyarakat yang kurang mampun untuk memiliki rumah. Pemerintah juga akan menambah areal lahan yang dapat dipakai untuk lokasi pembangunan rusunami tersebut. Khusus untuk kawasan Bandar Kemayoran, pemerintah bahkan merelakan 25% lahannya untuk digunakan sebagai kawasan RSH dan rusunami.

Menurut pelaksana tugas (plt) Menko Perekonomian Sri Mulyani, kenaikan subsidi KPRSH dan rusunami tahun 2009 mencapai Rp1,81 triliun atau naik Rp1,01 triliun atau 126,7% dibanding sebelumnya Rp800 miliar pada tahun 2008. Realisasi anggaran subsidi bunga tahun 2008 ini hingga semester I/2008 mencapai Rp531,8 miliar atau 66,5% dari pagu APBN-P 2008 sebesar Rp800 miliar.

Pengembang perumahan RSH mengharapkan perbankan swasta dapat memberikan KPR yang lebih besar. Selama ini yang banyak menjadi pemain adalah bank-bank BUMN khususnya BTN. Perbankan hendaknya harus dapat menangkap peluang dari pertumbuhan perumahan yang sangat baik. Namun, mungkin sebagian bank masih khawatir terhadap pengembang, sehingga tidak berniat terjun dalam bisnis perumahan sederhana. Dalam memberikan KPR, pihak perbankan masih sangat hati-hati. Persyaratan yang diberikan oleh perbankan kebanyakan masih sangat ketat, sehingga membuat pengembang sendiri menjadi sulit untuk memenuhinya.

Di samping itu, pemerintah mengharapkan masa pemberian KPRSH lebih panjang. Hal ini untuk dapat meringankan beban cicin yang harus ditanggung konsumen dan meningkatkan daya beli. Saat ini masih banyak KPR yang memiliki tenor 10-15 tahun. Diharapkan tenor dapat diperpanjang menjadi 20 tahun atau lebih, sehingga semakin banyak masyarakat dapat membeli rumah.

Perbankan mempunyai peranan penting dalam upaya mendorong pemenuhan perumahan bagi masyarakat. Apabila perbankan dapat memberikan peran yang lebih besar, dengan memberikan keringanan dalam bentuk tenor cicilan yang panjang tentu akan membuat pencapaian pembangunan rumah bagi masyarakat menjadi lebih baik. Dengan kondisi anggaran pemerintah yang sangat minim, akan sulit dalam memberikan peran yang lebih besar dalam memacu pertumbuhan sektor perumahan sederhana.

Di sisi lain, Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) diharapkan dapat menyelenggarakan individual account bagi setiap (PNS yang dapat diakses setiap waktu, karena proses administrasi yang tertib dan jika indiviual account bagi para PNS dapat diterapkan maka setiap PNS akan dapat melihat berapa jumlah tabungan dan berapa bantuan yang bisa didapatkan.

Hingga saat ini Bapertarum-PNS mempunyai layanan diantaranya Bantuan Uang Muka (BUM), Pinjaman Uang Muka (PUM), Pinjaman Uang Muka Rumah Susun Milik (PUM-Rusunami), Pinjaman Biaya Membangun, Pinjaman Lunak Konstruksi (PLK), pengembalian tabungan, serta pinjaman lunak bencana alam pembangunan dan perbaikan rumah.

Di Semarang, memasuki ulang tahun ke-34, Perum Perumnas Regional V Semarang tetap komitmen mengembangkan rumah sederhana bagi masyarakat. Perum Perumnas juga menggandeng perusahaan untuk menyediakan rumah sederhana bagi pekerja. Seperti di Kota Semarang, Perumnas bekerja sama dengan pabrik tekstil guna menyediakan 13.000 unit rumah sederhana pada tahun 2008/2009. Kerja sama ini melibatkan PT Jamsostek dan BTN. Perum Perumnas akan menyediakan RSH bagi pekerja PT Apparel Industri di Pucang Gading. Harga rumah Perum Perumnas sangat terjangkau bagi pekerja. Setiap pekerja yang mengambil rumah, memperoleh bantuan uang muka dari BTN melalui sistem KPR dengan bunga rendah dan angsuran ringan. (AI)

Produksi padi 2008 diperkirakan naik

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan produksi padi selama tahun 2008 akan meningkat 2,72 ton atau naik 4,76% dibanding produksi tahun 2007 yang mencapai 57,16 juta ton. Menurut Deputi Bidang Statistik Produksi Pietojo, Angka Ramalan II (ARAM II) produksi padi tahun 2008 diperkirakan sebesar 59,88 juta ton gabah kering giling (GKG). Kenaikan produksi padi itu diperkirakan terjadi karena peningkatan luas panen seluas 237,61 ribu ha (1,96%) dan peningkatan produktivitas sebesar 1,30 kuintal/ha (2,76%). Kenaikan produksi padi tahun 2008 diperkirakan terjadi di beberapa provinsi, terutama di Provinsi Jatim, Jateng, Sulsel, NTB, Jabar, Sumsel, Kalbar, dan Sulteng.

BPS Jabar memperkirakan produksi padi pada tahun 2008 ini akan mencapai 10.077.625 ton GKG atau naik 1,65% dibanding tahun 2007. Berdasarkan perkiraan itu, produksi beras tahun 2008 mencapai 6.369.059 ton. Peningkatan produksi padi tahun 2008 ini karena adanya peningkatan luas panen sebesar 1,45%, yaitu dari 1.829.085 ha pada tahun 2007 menjadi 1.855.584 ha pada tahun 2008. Realisasi luas panen pada periode Januari-April 2008 mencapai 843.747 ha, dan jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007, meningkat 31,79%. Namun pada dua periode selanjutnya, yaitu Mei-Agustus 2008 dan September-Desember 2008 diperkirakan akan menurun dibandingkan dengan periode sama tahun 2007.

Di samping karena peningkatan luas panen, peningkatan produksi juga disebabkan adanya peningkatan produktivitas dari 54,20 kuintal/ha menjadi 54,31 kuintal/ha, atau meningkat 0,20%. Peningkatan produktivitas padi tersebut menandakan adanya penerapan teknologi dan sarana pendukung yang memadai, serta harga gabah yang saat ini berada di atas harga pembelian pemerintah (HPP) sehingga meningkatkan semangat petani untuk memproduksi. Mengenai nilai tukar petani (NTP), berdasarkan pemantauan pada 16 kabupaten di Jabar, pada Mei 2008 terjadi kenaikan NTP sebesar 1,43%, yaitu dari 92,85 menjadi 94,18. NTP ini diperoleh dari perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani dalam persentase.

Sementara itu BPS Jateng memperkirakan produksi padi di Jateng pada tahun 2008 mencapai 9,07 juta ton GKG. Perhitungan berdasarkan ARAM II itu naik sekitar 5,21% atau sebesar 449,33 ribu ton dibanding produksi tahun 2007 sebesar 8,62 juta ton GKG. Peningkatan produksi ini diperkirakan terjadi akibat kenaikan luas panen sekitar 45,87 ribu ha atau 2,84% dan produktivitas juga diprediksi meningkat sebesar 1,24 kuintal/ha atau sekitar 2,32%. Perkiraan pencapaian produksi padi pada tahun 2008, didukung dengan pola panen karena adanya kenaikan frekuensi panen.

Di Riau, produksi padi tahun 2007 terjadi peningkatan dibanding tahun 2006. Akan tetapi adanya penurunan jumlah luas tanam pada periode September-Desember 2007, diprediksikan produksi padi pada tahun 2008 menurun. Catatan BPS Riau menyatakan, pada tahun 2007 produksi padi Riau mencapai 490.087 ton GKG. Jumlah tersebut naik sebesar 14,14% dibanding produksi tahun 2006. Mengenai produksi pada tahun 2008, dari hasil prediksi BPS, produksi padi tahun 2008 (aram II) diperkirakan sebesar 468.283 ton GKG atau turun 4,45 % dibanding tahun 2007. Tingkat produktivitas juga mengalami penurunan mencapai 33,31 kuintal/ha dan perkiraan luas panen turun 4,47% atau 140.592 ha.

Berdasarkan ATAP tahun 2007, produksi padi pada Provinsi Sulsel mencapai 3,64 juta ton GKG, yang terdiri dari padi sawah 3,62 juta ton dan padi ladang 0,02 juta ton. Sementara berdasarkan ARAM II 2008, produksi padi pada tahun 2008 diperkirakan 3,87 juta ton GKG, yang terdiri dari padi sawah 3,85 juta ton dan padi ladang 0,02 juta ton. Jika dibandingkan antara ATAP 2006 dan ATAP 2007 produksi padi di Provinsi Sulsel meningkat 269,63 ribu ton GKG (naik 8,01%). Sedangkan bila dibandingkan dengan ARAM II 2008, diperkirakan produksi padi meningkat lagi sebesar 239,12 ribu ton (6,58%).

Dari Kalteng, produksi padi tahun 2008 berdasarkan ARAM II diperkirakan 510.248 ton GKG atau turun 52.225 ton dibandingkan dengan produksi padi angka tetap (ATAP) 2007 sebesar 562.473 ton. Hal ini disebabkan berkurangnya luas panen 27.160 ha, yakni dari 229.665 ha pada tahun 2007 menjadi 202.505 ha pada tahun 2008. Berkurangnya luas panen antara lain akibat larangan pembukaan lahan, terutama untuk padi ladang dengan cara membakar. Penurunan luas panen padi ladang cukup signifikan, yakni dari 105.439 ha pada tahun 2007 menjadi 83.107 ha pada tahun 2008 (ARAM II). Sementara itu, luas panen padi sawah juga turun, tetapi tidak seluas penurunan areal padi ladang, yakni dari 124.226 ha menjadi 119.398 ha.

Tiga tahun ke depan Deptan memperkirakan produksi padi nasional dapat ditingkatkan hingga 9 juta ton GKG melalui optimalisasi berbagai program yang telah dilakukan saat ini. Peningkatan produksi padi itu juga didukung upaya pembukaan investasi di sektor tanaman pangan. Mentan Anton Apriyantono menyatakan, Deptan telah melaksanakan berbagai program seperti Sekolah Lapang Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT), pemberian bantuan benih, subsidi pupuk, serta perbaikan dan pembangunan irigasi.

Keyakinan Mentan tersebut didukung ARAM II BPS yang menyebutkan produksi beras 2008 diperkirakan mencapai 59,88 juta ton GKG, meningkat 2,72 ton atau naik 4,76% dari produksi 2007 yang tercatat 57,16 juta ton. Dari berbagai pengalaman tahun sebelumnya, biasanya angka tetap produksi pangan yang dikeluarkan BPS lebih tinggi dari Aram jika berbagai program untuk meningkatkan produksi padi telah dilaksanakan, meskipun hal itu masih tergantung pada iklim dan serangan hama.

Ketika sejumlah kalangan pada tahun 2006 menyangsikan target produksi pangan yang ditetapkan Deptan akan tercapai karena terjadinya kemarau panjang, nyatanya produksi terbukti justru naik 300 ribu ton dari tahun 2005. Begitu juga pada tahun 2007, iklim justru bersahabat dengan kemarau basah, sehingga petani masih bisa menanam padi saat musim kemarau yang akhirnya meningkatkan produksi 4,96% atau 2,7 juta ton dibanding produksi tahun 2006.

Deptan menargetkan pelaksanaan program SLPTT mencakup areal seluas 1,5 juta ha. Ternyata dari sejumlah daerah yang telah melaksanakannya, terlihat adanya kenaikan produksi 1-2 ton GKG/ha. Jika kenaikan produktivitas tanaman 1 ton/ha, maka akan terjadi penambahan produksi 1,5 juta ton GKG. Jika semua program tersebut sukses, maka peningkatan produksi yang ditargetkan pemerintah sebesar 5%/tahun, Indonesia bisa surplus beras bahkan menjadi negara eksportir produk pangan tersebut. (AI)


Senin, Agustus 11, 2008

Kopra

Harga komoditi kopra (kelapa yang dikeringkan) pada tingkat petani di Provinsi Sulawesi Tengah pada awal Juli 2008 meleonjak hingga menembus angka Rp810 ribu per kuintal. Melambungnya harga kopra itu dikarenakan tinggi permintaan pasar, sebagai dampak melambungnya harga minyak goreng di pasaran, sementara di sisi lain produksi kopra petani menurun. Lonjakan harga ini terjadi hampir di seluruh wilayah Sulteng.

Di Kota Banggai (bagian timur Sulteng) misalnya, para pedagang hasil bumi setempat mematok harga pembelian di tingkat petani antara Rp780 ribu sampai Rp800 ribu per kuintal. Padahal pada bulan April dan Mei 2008 lalu masih berada pada kisaran Rp600-700 ribu per kuintal. Menurut para petani kelapa, harga kopra yang berlaku sekarang ini merupakan harga tertinggi dalam sejarah dan belum pernah terjadi selama ini. Tingginya harga kopra sangat membantu meningkatkan pendapatan petani kelapa yang sebelumnya hanya menikmati pembelian di bawah Rp200 ribu per kuintal.

Sayangnya, kenaikan harga kopra ini terjadi bukan karena peningkatan produksi kelapa, tetapi disebabkan tanaman kelapa rakyat tidak menghasilkan buah secara optimal sebagai akibat pengaruh musim pancaroba, dan sebagian besar pohon kelapa telah berumur di atas 30-an tahun. Dampak negatif dari melambungnya harga komoditi kopra di pasaran adalah memicu maraknya pencurian di kebun-kebun warga yang tidak dijaga pemiliknya.

Sementara di Palu, harga pembelian kopra oleh pedagang hasil bumi berkisar antara Rp780 ribu-Rp810 ribu per kuintal. Harga yang berlaku saat ini jauh lebih tinggi dibanding keadaan dua bulan lalu yang hanya berada pada kisaran Rp600-Rp700 ribu. Di Pasar Induk Masomba Palu, kopra saat ini sudah dijual antara Rp3.500-Rp4.500 per butir, sesuai ukuran besar-kecilnya. Menurut pedagang setempat, kenaikan harga kopra ini dipicu oleh tingginya permintaan kalangan industri minyak goreng baik di Surabaya maupun di beberapa tempat dalam wilayah Sulteng, yakni pabrik minyak goreng Bimoli di Moutong.

Di Manado, harga kopra juga sedikit bergairah, setelah sempat tergelincir di posisi Rp6.500/kg, harga kopra naik lagi ke posisi Rp7.100/kg. Harga kopra naik karena permintaan pabrik mulai meningkat. Kenaikan harga kopra ini tak pelak mendatangkan rasa syukur bagi para petani kopra, yang setiap tahun kemampuan produksinya menurun akibat harga pembelian dinilai tidak sesuai dengan proses pembuatan kopra.

Sebelumnya pada Januari 2008, petani tergabung dalam Asosiasi Petani Produsen Kelapa (APPK) Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara mendesak pemerintah terbitkan Perda mengenai kelapa. Menurut Ketua APPK Minahasa Marthen Nelwan, kondisi kelapa di Sulut sudah sangat memprihatinkan. Kalau tidak ada replanting maka dikuatirkan Sulut tidak lagi dapat disebut daerah nyiur melambai. Sebagian besar tanaman kelapa yang saat ini menjadi sandaran hidup petani di Sulut sudah dalam berusia tua, rata-rata di atas 50 tahun dengan produksi terus mengalami penurunan. Kepala Dinas Perkebunan Sulut Rene Hosang mengakui, masalah keterbatasan anggaran menjadi salah satu faktor menghambat rencana pemerintah daerah lakukan peremajaan secara besar-besaran. Pada thun 2007 dianggarkan 700 ribu bibit untuk peremajaan kelapa, untuk tahun 2008 akan terus ditingkatkan.
G
eneral Manager PT Bimoli Stevanus Prasethio mengatakan, prospek Crude Coconut Oil (CCO) atau minyak kelapa mentah di pasar internasional masih tetap tinggi, makanya petani harus terus menjaga tanaman perkebunan ini. Namun poduksi kelapa yang berkurang menyebabkan pabrik pengelola CCO harus mendatangkan bahan baku dari daerah lain. Permintaan dunia akan CCO tetap tinggi, tak heran harga beli kopra mencapai harga tertinggi saat ini dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, akibat produksi yang cenderung merosot, harga komoditas kopra di sejumlah perdesaan di Provinsi Lampung terus melambung, kini mencapai sekitar Rp5.000/kg. Pada Januari-Mei 2008, harga kopra masih sekitar Rp4.000/kg hingga Rp4.500/kg. Tapi pada pertengahan Juni 2008, harganya naik menjadi sekitar Rp5.000/kg. Sekarang produksi kopra dari petani agak kurang, karena buah kelapa yang bagus banyak dijual secara butiran, dan yang dibuat kopra hanya sisanya yang berukuran kecil.

Proses pembuatan kopra tidak lama, sekitar dua setengah sampai tiga jam, sejak mulai mengupas kelapa dan dipanaskan atau penggarangan. Setiap 150 butir kelapa biji, biasanya bisa menghasilkan 100 kg atau satu kuintal kopra. Provinsi Lampung merupakan salah satu produsen buah kelapa yang cukup besar di Indonesia, dengan luas areal kebun kelapa sekitar 150.000 ha.

Di sejumlah desa dan kecamatan di Kabupaten Pesawaran, Provinsi Lampung, harga kelapa juga terus naik menembus Rp3.500/gandeng. Hal ini antara lain akibat hasil panen yang kurang baik padahal permintaan terus meningkat. Harga kelapa super hanya sekitar Rp3.000/gandeng, kelapa sedang Rp2.200/gandeng, dan kelapa kecil Rp1.500/gandeng, tapi sekarang harga kelapa super Rp3.500/gandeng.

Dalam waktu dekat Pemkab Banyuasin bakal menggaet investor dari Malaysia untuk mengembangkan potensi perkebunan kelapa, yakni pengolahan kelapa pasca panen. Penjajakan awal tersebut dilakukan lantaran belum adanya pabrik pengolahan kelapa di Banyuasin. Pabrik ini nantinya akan sangat dibutuhkan Banyuasin, pasalnya produksi kelapa Banyuasin sangat besar. Pemkab mengharapkan keberadaan pabrik ini dapat meningkatkan perekonomian rakyat Banyuasin, terutama yang berada di sekitar pabrik.

Menurut Bupati Banyuasin H Amiruddin Inoed, keberadaan perkebunan kelapa harus diimbangi dengan keberadaan pabrik kelapa atau pabrik kopra. Tingginya produksi kelapa tidak akan terlalu berpengaruh kepada tingkat perekonomian rakyat jika harus dibawa keluar Banyuasin. Selama ini, hasil produksi kopra Banyuasin selalu dijual ke Jambi dan Lampung. Padahal jika Banyuasin memiliki mesin pengolahan kopra, maka produksi kopra bisa lebih tepat sasaran dan keuntungan yang didapatkan oleh para petani kopra bisa berlipat ganda.

Produksi kopra Banyuasin pertahunnya terus mengalami peningkatan. Hingga saat ini Banyuasin memiliki lahan seluas 40 ribu ha kopra rakyat yang tersebar ke berbagai kecamatan perairan, antara lain Muara Telang, Makarti Jaya, Mariana, Sungsang dan beberapa daerah lainnya. Dari total luas lahan tersebut, yang telah berproduksi mencapai 80%. Sedangkan sisanya 20% masih dalam tahap praproduksi. Hanya menunggu beberapa tahun lagi, produksi kopra Banyuasin akan mengalami peningkatan. (AI)


Jumat, Agustus 08, 2008

Jual-beli karbon untuk kelestarian hutan

Menhut MS Kaban mengatakan, Indonesia memiliki potensi besar memanfaatkan karbon yang berasal dari resapan hutan-hutan di Indonesia, karena hutan di Indonesia memiliki potensi karbon sejumlah 68 miliar ton. Jika 1 ton karbon dihargai sebesar USD1, maka pemerintah bisa mengantungi USD68 miliar hanya dari karbon. Saat ini pemerintah masih membahas bagaimana mempersiapkan pasar untuk menjual karbon tersebut. Pasalnya, ada pasar mandatory dan pasar voluntary. Pasar mandatory disiapkan di dalam negeri, sedangkan pasar voluntary dicari dari luar negeri.

Pada pertengahan Juni 2008 lalu Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Australia Kevin Rudd menandatangani perjanjian kerja sama kemitraan karbon hutan (forest carbon partnership). Kerja sama tersebut memegang peran penting dan merupakan upaya signifikan untuk mengurangi emisi, yang terjadi akibat degradasi hutan, dalam jangka panjang. Kerja sama ini juga akan membantu RI dan Australia mengajak negara lainnya untuk melakukan upaya serupa.

Terdapat tiga area utama yang diatur dalam kolaborasi tersebut, yaitu pertama, pembangunan kebijakan dan peningkatan kapasitas guna mendukung partisipasi dalam negosiasi internasional, dan nasib perdagangan karbon di masa depan. Kedua, dukungan teknis bagi Indonesia untuk mengembangkan penghitungan karbon hutan, pengawasan sistem, pengembangan aktivitas pendampingan. Ketiga, mengurangi emisi akibat deforestasi serta berkurangnya hutan. Dalam perjanjian kerja sama tersebut disebutkan bahwa kedua negara akan terus melakukan upaya di bawah keputusan yang telah dihasilkan pada United Nations Framework Convention on Climate Change dan Protokol Kyoto.

Perdagangan karbon (carbon trade) merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi dampak global warming. Carbon trade adalah menjual kemampuan pohon, terutama pohon berkayu untuk menyerap karbon demi mengurangi emisi karbon di atmosfer. Carbon trade merupakan mekanisme baru yang berkembang saat ini, yakni negara-negara maju membayar kompensasi akibat emisi karbon yang dihasilkan oleh negaranya kepada negara berkembang, agar dapat mengelola dan menjaga kelestarian hutannya dengan tujuan utama sebagai penyerap karbon yang ada di atmosfer.

Pemerintah harus siap mengendalikan perdagangan karbon dengan regulasi yang komprehensif dan aplikatif. Bisnis baru yang muncul dari pelaksanaan program reduksi emisi (reducing emissions from deforestation and forest degradation/REDD) harus melibatkan potensi lokal di sekitar hutan sebagai pelaku, bukan sekadar obyek bisnis. REDD merupakan mekanisme internasional bersifat sukarela untuk memberi insentif finansial bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Negara-negara penghasil emisi kemudian membayar sejumlah uang atas upaya negara berkembang tersebut.

Potensi pasar REDD Indonesia mencapai USD13,25 miliar dengan asumsi cadangan karbon mencapai 300 ton/ha. Departemen Kehutanan harus menerbitkan aturan acuan pelaksanaan REDD yang mampu menyinkronkan seluruh kebijakan terkait aplikasi program REDD, yang bakal berkaitan dengan tata ruang, keuangan, dan otonomi daerah. Jangan sampai program REDD hanya menjadi perdagangan karbon yang cuma menguntungkan pedagang dan mitranya. Dana yang dihasilkan harus turut dinikmati masyarakat lokal dan badan pengelola.

Hutan di Mimika yang luas menjadi salah satu dari tiga wilayah selain kawasan hutan di Mamberamo dan Merauke yang diikutkan dalam program REDD Carbon Trade Papua. Luasan hutan Mimika yang akan dijadikan kawasan tersebut dicadangkan sekitar 112 ribu ha. Karena ternyata hanya kawasan hutan produk, mengingat hutan produksi konversi saja yang bisa diikutkan. Sementara untuk kawasan hutan lindung di Mimika seluas 303.444 ha dan hutan yang ada di kawasan Taman Nasional Lorenz dengan luas sekitar 823.253 ha di luar ketentuan.

Namun demikian, pemerintah Indonesia perlu berhati-hati dalam mekanisme carbon trade ini. Pasalnya, sampai saat ini belum ada data untuk perhitungan perdagangan karbon dan sampai beberapa tahun mendatang masih sulit diperkirakan. Pemerintah masih harus mengkaji berapa jatah emisi Indonesia dan berapa jatah yang bisa kita dijual ke negara lain guna memperoleh kredit untuk penanaman pohon melalui reboisasi.

Sebagaimana biasa dalam bisnis dan perdagangan, umumnya masyarakat cenderung berada dalam posisi yang lemah untuk negosiasi, sulit memperoleh informasi harga dan peluang bisnis, serta memiliki keterbatasan dalam akses kepada kelembagaan keuangan. Keterbatasan-keterbatasan ini cenderung dimanfaatkan pihak lain. Akibatnya, pihak yang kuat mendapat keuntungan, sedangkan masyarakat diperalat. Dalam hal ini Indonesia perlu meningkatkan kewaspadaaan dan bersikap aktif terhadap mekanisme carbon trade agar Indonesia tidak salah langkah dan terjerumus pada masalah baru bertajuk carbon trade.

Bahkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menilai kebijakan jual-beli karbon melalui kompensasi yang dikucurkan negara-negara yang berkontribusi menyebabkan polusi udara tidak akan menjadi solusi perbaikan lingkungan yang berarti. Menurut Manajer Kampanye Hutan Eksekutif Nasional Walhi Rully Syumanda, pemerintah Indonesia sebaiknya bersikap tegas terhadap kebijakan-kebijakan yang kompromis, seperti pengenaan denda kompensasi terhadap negara-negara yang terbukti melakukan pencemaran udara. Dalam mekanisme pemberian denda, nilai denda yang ditetapkan terlalu sedikit, sehingga tidak akan menimbulkan efek jera bagi perusahaan-perusahaan yang terbiasa membakar lahan gambut untuk membuka lahan baru. Saat ini dendanya hanya USD10/30 ha.

Meski tawaran pemberian kompensasi dari negara industri penyumbang karbon terhadap negara yang memiliki cakupan hutan luas begitu menggiurkan, nilai yang ditawarkan tetap tidak akan mampu membayar beban kerusakan alam akibat polusi karbon limbah industri.
M
elalui mekanisme REDD, Indonesia memang memiliki peluang mendapatkan dana kompensasi dalam jumlah besar. Dari sekitar 36,5 juta ha kawasan hutan lindung, ditaksir Indonesia akan meraih dana kompensasi USD105-113,7 miliar. Jumlah kompensasi tersebut belum termasuk 38,7 juta ha hutan kawasan produksi (data Dephut tahun 2005) yang dapat berfungsi sebagai penyerap karbon dengan nilai kompensasi mencapai USD111,46 miliar hingga USD120,74 miliar. Total nilai kompensasi penyerapan karbon dari kawasan lindung dan hutan produksi Indonesia mencapai USD216,4 miliar hingga USD234,4 miliar. (AI)


Rabu, Agustus 06, 2008

Industri farmasi butuh insentif

Ekspor obat dan produk farmasi ke Uni Eropa (UE) ditargetkan dapat tumbuh sekitar 30% atau mencapai nilai USD9 juta selama tahun 2008. Menurut Kepala Badan Pengembangan Ekspor Nasional (BPEN) Bachrul Chairi, target itu didasari pencapaian nilai ekspor Januari-Maret 2008 yang sebesar USD1,1 juta atau tumbuh 30% dibanding periode yang sama tahun 2007. Selama lima tahun terakhir, ekspor ke Eropa menunjukkan tren yang positif dengan pertumbuhan 23,6%. Angka itu merupakan indikasi besarnya pasar UE. UE merupakan pasar kedua terbesar di dunia (25%) setelah AS yang mencakup 47% dan Jepang 11%.

BPEN mencatat, ekspor produk farmasi Indonesia ke dunia pada tahun 2007 mencapai USD176,3 juta. Pada periode Januari-Maret 2008 mencapai USD39,4 juta atau meningkat 15,8% dibanding periode yang sama tahun 2007. Ekspor produk farmasi Indonesia ke Eropa pada tahun 2007 mencapai USD7,4 juta, diantaranya ke Jerman USD4,6 juta dan Inggris USD554 ribu. Ekspor produk farmasi yang terbesar antara lain vaksin manusia, obat KB berbahan dasar hormon, serta obat lain yang mengandung hormon dan steroid.

Ketatnya regulasi dan standar impor produk farmasi di Eropa membuat ekspor produk tersebut diarahkan ke negara-negara kawasan Asia dan Afrika seperti Thailand, India, Korea Selatan, Nigeria, dan Filipina. Selain UE, pasar lain yang juga potensial antara lain Eropa Tengah dan Timur Tengah. Wilayah ini merupakan potensi yang sangat besar karena mereka sedang melakukan reformasi ekonomi menjadi pasar bebas. Pertumbuhan ekonomi di wilayah itu juga tinggi karena ada peralihan industrialisasi dari Eropa Barat ke negara yang baru bergabung ke UE.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Johanes Setijono mengatakan pemerintah harus memberi insentif untuk mendukung pertumbuhan industri farmasi di Indonesia agar bisa menjadi tulang punggung negara seperti di India dan China. Dalam hal ini insentif yang dibutuhkan antara lain dalam hal riset pengembangan dan kemudahan ekspor, mengingat industri farmasi adalah industri yang sangat ketat aturan, padat modal dan butuh teknologi tinggi. Dengan kebijakan tepat industri farmasi Indonesia bisa mengikuti perkembangan industri farmasi India dan China.

Menurut Managing Director PT Ferron Par Pharmaceuticals Djoko Sujono, pemerintah perlu memberi dukungan berupa kebijakan yang jelas dan tidak memakan waktu. Ia mencontohkan, saat perusahaannya memerlukan contoh obat asli dari perusahaan importir untuk diuji sebelum melakukan ekspor, ternyata impor produk contoh itu tidak mudah mengingat diharuskan membuat izin edar obat.

Terkait kebijakan ekspor, proses registrasi di dalam negeri masih memerlukan waktu yang lebih lama dari yang dijanjikan. Menurut ketentuan prosesnya tiga bulan, tetapi ternyata bisa lebih. Lamanya proses registrasi sangat penting karena berpengaruh terhadap fluktuasi harga produk farmasi, sama seperti komoditi. Jadi begitu hilang momennya hilang kesempatan mendapat untung.

Di India dan China, pemerintahnya bahkan memberikan insentif pajak berupa pembebasan PPN impor dan keringanan Pajak Penghasilan (PPh) untuk produk yang diekspor. Sementara di Singapura, Malaysia, dan Australia, pemerintah juga memberikan insentif untuk penelitian. Bahkan di Malaysia untuk riset unggulan akan mendapat dana tambahan 100% sehingga produsen obat senang melakukan riset.

Akan tetapi, saat ini kebijakan pemerintah Indonesia sudah lebih baik dibanding sebelumnya karena telah membolehkan dana penelitian dianggap sebagai pembayaran pajak (tax deductible). Pemerintah tidak dapat memberikan insentif khusus ekspor karena akan dianggap melanggar aturan WTO. Jadi yang pemerintah bisa berikan hanya berupa fasilitas infrastruktur dalam negeri dan layanan yang lancar dan mudah.

Saat ini, hampir semua obat yang beredar di masyarakat diproduksi oleh industri di dalam negeri, hanya produsennya yang beda-beda. Ada Penanam Modal Asing (PMA), Penanaman Modal Dalam Negari (PMDN), BUMN, dan Industri Menengah dan Kecil. Dari sisi jumlah, industri farmasi di Indonesia sekitar 280 perusahaan. Sebagian besar, atau hampir 80% adalah perusahaan farmasi yang penanam modalnya milik dalam negeri, dan industri kecil dan menengah. Namun, sekitar 20 pabrik milik asing menguasai 80% kapital dan penguasaan atas pasar. Jadi memang asing yang menguasai industri farmasi.

Dari sisi tenaga kerja, apoteker yang berasal dari luar negeri kini mulai membanjiri Indonesia. Para apoteker dari beberapa negara, seperti Thailand, Malaysia, dan Filipina, kini banyak dijumpai bekerja di perusahaan farmasi multinasional yang ada di Tanah Air. Menurut Wakil Ketua Pengurus Daerah Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia Jawa Tengah Partana Boedirahardja, dalam era pasar bebas nanti, persaingan apoteker akan semakin luas, tidak hanya antarsesama apoteker di dalam negeri, tetapi juga dengan apoteker dari luar negeri yang memilih bekerja di Indonesia.

Saat ini memang belum terlihat persaingan langsung dengan apoteker dari luar negeri. Namun, mereka sudah menunjukkan sisi lebih, setidaknya dari sisi bahasa. Mereka menguasai bahasa Inggris, sedangkan apoteker lokal baru sebagian saja yang menguasainya dengan baik. Mereka juga menguasai bahasa Indonesia. Dokter asal luar negeri yang ada di Indonesia sekitar 3.000 orang, jumlah apoteker asing yang bekerja di sini kira-kira hampir sama. Oleh karena itu apoteker perlu menguasai kemahiran berbahasa Inggris agar mampu bersaing dengan rekan seprofesi.

Kebutuhan apoteker di Tanah Air masih cukup besar, terlebih saat ini ada kewajiban bukan hanya apotek yang harus mempunyai apoteker, tetapi juga puskesmas dan pedagang besar farmasi. Menurut dosen Kimia Fakultas Farmasi Universita Muhammadiyah Surakarta Broto Santoso, kualitas apoteker Indonesia sebenarnya tidak kalah dari apoteker dari luar negeri. Dari sisi keilmuan, apoteker Indonesia bisa dibandingkan, tapi memang dari segi bahasa Inggris kalah.

Kondisi dunia farmasi di Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan persaingan global yang didesain oleh kapitalis. Tahun 2008 ini industri farmasi Indonesia, mau tidak mau, suka tidak suka, obat dari negara ASEAN akan leluasa masuk ke Indonesia. Pasalnya, sudah menjadi keputusan bersama menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area). Begitu juga sebaliknya dari Indonesia bebas masuk ke negara ASEAN yang lain. Jargon yang dikedepankan adalah agar industri farmasi Indonesia dapat lebih efisien sehingga bisa berkembang. Masalahnya, apakah industri farmasi di Indonesia sudah siap? (AI)


Senin, Agustus 04, 2008

Semen

Biaya energi yang terus naik menghantui para pelaku usaha, tak terkecuali di industri semen. Menurut Dirut PT Semen Gresik Tbk Dwi Soetjipto, biaya energi berkontribusi sekitar 32% dari total ongkos produksi di pabriknya. Jika dirinci, 32% biaya energi itu masing-masing adalah untuk kebutuhan listrik 14% dan batu bara 18%. Untuk mengantisipasi kenaikan harga batubara, perseroan akan mengonversi batubara yang selama digunakan diganti dengan yang kualitasnya lebih rendah. Di samping itu, penggunaan energi alternatif juga terus berupaya dilakukan.

Bahan bakar alternatif yang dipakai antara lain, limbah dari pertanian dan limbah industri. Semen Gresik beberapa tahun terakhir ini juga sudah membentuk task force yang khusus mencari jalan alternatif agar biaya energi bisa dikoreksi, dari semula 44% menjadi 30%. Hingga Mei 2008, penjualan Semen Gresik naik 12,1% dibanding periode yang sama tahun 2007, dari 6,5 juta ton menjadi 7,3 juta ton. Dengan penjualan mencapai Rp1,53 triliun, laba usaha pemimpin pasar industri semen nasional itu mencapai Rp322 miliar, naik 51% dibandingkan Mei 2007.

Relationship Management Director PT Holcim Indonesia Tbk Rusli Setiawan menyatakan, mahalnya batu bara membuat beban biaya energi di pabrikan semen semakin berat. Kenaikan biaya energi akan menjadi pendorong kenaikan harga semen. Di pabriknya, biaya energi juga memberikan kontribusi cukup besar terhadap total biaya produksi, kontribusinya sekitar 40%. Oleh karena itu, pihaknya juga kian giat melancarkan berbagai upaya untuk mencari energi alternatif, misalnya sekam padi dan serbuk gergaji. Upaya mencari energi alternatif juga dilakukan pabrikan terbesar kedua di industri semen, PT Indocement Tunggal Prakarsa Tbk (INTP), kini tengah melirik bahan bakar berbahan dasar tanaman jarak.

Konsumsi semen domestik sepanjang Mei 2008 naik 22,6% dibanding periode yang sama tahun lalu. Konsumsi semen tumbuh dari 2,91 juta ton menjadi 3,56 juta ton. Data Asosiasi Semen Indonesia (ASI) menyebutkan, permintaan konsumsi semen tertinggi pada Mei 2008 terjadi di Nusa Tenggara, yaitu sebesar 51%, disusul Sulawesi 46%. Dari sisi volume, Jawa masih menjadi penyerap semen terbesar, yaitu 56,8% dari total konsumsi.

Di Yogyakarta, rencananya akan dibangun pabrik semen untuk memenuhi kebutuhan regional Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Lokasi yang ditawarkan di Sentolo. Bahan baku semen di daerah tersebut cukup lengkap. Batu Gamping merupakan salah satu bahan semen portland yang terdapat di Lendah, Sentolo, Pengasih, Girimulyo dan Samigaloh dengan kadar CaO dan MgO aktif minimum 55,77% - 56,87%. Sementara lempung sebagai bahan sekunder yang terdapat di Banjarharjo dan Banjararum (Kalibawang), Wijimulyo dan Donomulyo (Nanggulang) dan Sentolo dengan cadangan 27.812.500 m3.

Pasir Kwarsa yang merupakan bahan korektif terdapat di Hargowilis (Kokap) dengan cadangn 88.042 m3. Tras terdapat di Pagerharjo, Ngargosari dan Gerbosari (Samigaluh) dengan cadangan 4.704.688 m3. Saat ini kebutuhan semen DIY dan sekitarnya disuplai dari Cilacap dan Gresik. Ketergantungan tersebut menjadikan peluang pasar 350.000 sampai 500.000 ton/tahun dengan peningkatan pasar per tahun kurang lebih 10%.

Pada peringatan 50 tahun pengambilalihan PT Semen Padang dari perusahaan Belanda (5 Juli 1958-5 Juli 2008), ditandai dengan dicanangkannya empat proyek strategis Semen Padang pada tahun 2010 mendatang. Salah satu dari empat proyek strategis itu adalah mematok kapasitas produksi sebesar 6,5 juta ton/tahun. Pasalnya, sejak program optimalisasi produksi diterapkan tahun 2006 lalu, kapasitas produksi Semen Padang setiap tahun terus meningkat. Tahun 2008 ditargetkan produksi sebesar 5,24 juta ton dan akan terus meningkat hingga pada tahun 2009 menjadi 6,1 juta ton. Kemudian awal tahun 2010 menjadi 6,3 juta ton dan akhir tahun 2010 sudah leading dengan produksi 6,5 juta ton/tahun.

Dengan kapasitas yang terus meningkat, target pasar Semen Padang tetap menguasai kawasan pulau Sumatera, 13% pasar semen nasional di samping meningkatkan intensitas ekspor ke berbagai negara. Meski demikian ada kendala yang harus diatasi agar target tersebut tercapai, terutama ketersediaan lahan bahan baku semen yang semakin berkurang dan minimnya pasokan batu bara. Peringatan 50 tahun juga ditandai dengan launching kantong baru semen “Portland Pozzolan Cement”. Kantong baru itu diharapkan akan menumbuhkan image baru Semen Padang sebagai penguasa pasar semen nasional, selain itu juga memberikan semangat baru bagi karyawan.

Sementara itu, rencana privatisasi PT Semen Baturaja (SB) masih terganjal masalah manajemen, antara lain mengenai rendahnya produksi. Menteri Negara BUMN Sofyan Djalil mengatakan, salah satu masalah yakni peningkatan produksi SB masih sangat terbatas. Saat ini, produksi per tahun baru 1,2 juta ton. Selain kapasitas produksi, kendala lain, antara lain biaya pengangkutan sebab antara produksi dan biaya angkut tidak seimbang. Biaya angkut lebih besar dibanding produksi. Saat ini, Kementerian BUMN masih mencari solusi hingga program privatisasi terealisasi.

Manajemen SB menargetkan paling cepat Semester I/2009, SB sudah diprivatisasi. Direktur Utama SB Pamadiji Rahardjo berharap rencana privatisasi dapat disetujui hingga SB dapat menjadi perusahaan terbuka. Produksi SB tidak saja memenuhi kebutuhan di Sumsel, juga bersaing dengan produk semen perusahaan lain di Tanah Air. Peluang pasar akan terus dikejar. Apalagi pasar di Sumsel permintaan mencapai 60% dari total kebutuhan sekitar 965.511 ton/tahun. Sisanya, 40% dari dipenuhi dari produksi semen lain.

Di sisi lain produsen semen nasional harus waspada terhadap semen China yang bisa menjadi ancaman bagi industri semen di Indonesia. Kebutuhan semen dunia saat ini sebagian besar dipasok oleh produk semen di Asia. China tercatat pemasok terbesar di antara negara-negara produsen semen disusul Korea. Sedangkan Indonesia tidak terlihat dalam peta semen tingkat dunia meskipun produksinya sudah dieskpor produksinya ke beberapa negara Srilanka, Bangladesh, Kuwait, dan negara-negara Timur Tengah lainnya.

Selama ini, produksi semen di Indonesia mencapai 40 juta ton, sedangkan kebutuhan semen nasional hanya 33 juta ton. Pertumbuhan konsumsi semen sendiri rata-rata mencapai 10%/tahun. Di Sumatra, konsumsi semen tumbuh 14%/tahun. Di Kalimantan lebih tinggi lagi, mencapai 20%/tahun. Di Jawa, pertumbuhan konsumsi semen hanya 4%/tahun. Jawa bagian timur masih tumbuh sekitar 7,1%/tahun, tetapi di Jawa bagian barat, termasuk Jakarta, malah negatif pertumbuhannya. (AI)


Jumat, Agustus 01, 2008

Pemadaman listrik mengganggu investasi

Pemadaman listrik oleh PLN bisa mengganggu iklim investasi. Sejumlah perusahaan besar di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, melaporkan dampak pemadaman listrik dalam laporan kerja penanaman modal (LKPM). Menurut Kepala Seksi Pengembangan Investasi Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPMPTSP) Kabupaten Purwakarta Ateng Sujana, 60% dari 90 perusahaan besar dengan nilai investasi lebih dari Rp1 miliar telah menyerahkan LKPM ke BPMPTSP. Sebagian perusahaan mencantumkan kerugian akibat pemadaman, antara lain molornya proses produksi, kerusakan produk atau bahan baku, dan peningkatan upah pekerja akibat tambahan waktu kerja.

Krisis listrik di tanah air ternyata tidak memengaruhi promosi kegiatan perdagangan dan investasi Indonesia di Jepang, bahkan kedua negara sepakat mengintensifkan kerjasama di bawah payung Economic Partnership Agreement (EPA). Ketua Japan-Indonesia Bussiness Association of Kansai (JIBAK) Hajime Kinsohita mengatakan, pengusaha Jepang memahami saat ini sedang terjadi krisis listrik di Indonesia, namun hal itu tidak mengurangi minat pebisnis Jepang untuk tetap menjalankan bisnisnya di Indonesia. Krisis listrik hanya bersifat sementara dan akan dengan cepat diatasi oleh pemerintah Indonesia.

Di tengah pelambatan ekonomi global, investasi menjadi modal utama Indonesia dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi pada tahun 2008. Menurut perhitungan Bank Dunia, pertumbuhan investasi di Indonesia tahun 2008 diperkirakan mencapai 10,5%. Untuk tahun 2008, peningkatan investasi diharapkan mampu menjaga kemerosotan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan wilayah Asia Timur pada umumnya, akibat meluasnya gangguan keuangan di AS. Pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di Asia Timur tahun 2008, akan mengalami penurunan 1-2 persen, menjadi 8,5%.

Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu mengatakan, pertumbuhan investasi tahun 2008 diperkirakan tetap seperti tahun sebelumnya meski pemerintah telah mengumumkan kenaikan harga BBM sebesar 28,7%. Kenaikan harga BBM akan berdampak positif pada investasi karena meningkatkan kredibilitas pemerintah di mata investor. Investor melihat bahwa pemerintah melakukan langkah-langkah makro ekonomi yang kredibel dan akan menciptakan kestabilan makro yang akan menyumbang iklim investasi yang kondusif.

Pemerintah daerah (pemda) juga perlu menciptakan iklim investasi yang kondusif, memperbaiki infrastruktur, dan menerapkan peraturan daerah (perda) yang mendukung investasi jika menginginkan investasi meningkat. Dampak globalisasi menghendaki daerah mempunyai akses informasi pasar keuangan dan komunikasi dengan investor atau kreditor luar negeri. Daerah perlu memahami masalah pembiayaan yang ditawarkan investor atau kreditor, menjalin sinergi antarlembaga/instansi di daerah, dan melakukan penelitian yang berkelanjutan terhadap potensi daerah.

Globalisasi ekonomi dan keuangan membuat sistem ekonomi dan keuangan lokal harus berintegrasi dengan internasional yang menyediakan sumber pembiayaan luar negeri, seperti government to government, lembaga multilateral, lembaga keuangan/nonkeuangan komersial, termasuk pembiayaan dengan prinsip syariah. Hal itu menyebabkan daerah mendapat pembiayaan dari luar negeri sehingga daerah mampu mampu membangun ekonomi dalam rangka memperbaiki tingkat kesejahteraan, menurunkan jumlah angka kemiskinan, dan memperbaiki infrastruktur.

Menurut Deputi Pemimpin BI Semarang Mahdi Mahmudy, adanya pinjaman luar negeri akan berdampak pada rendahnya risiko berinvestasi kalangan investor, investasi, pajak, lapangan kerja, kesejahteraan nasional, ketahanan perekonomian nasional meningkat, dan cost borrowing menjadi lebih rendah. Kesepakatan internasional, menyebabkan diseminasi kesepakatan nasional yang berpengaruh pada perekonomian daerah, sedangkan diseminasi kebijakan pemerintah pusat memengaruhi iklim investasi di daerah.

Peran Kantor Bank Indonesia (KBI) sebagai mitra stakeholders daerah dalam fungsi internasional adalah melakukan koordinasi untuk mengoptimalkan sumber pembiayaan luar negeri bagi pemerintah daerah dan swasta. Pinjaman luar negeri diharapkan mampu meningkatkan kualitas kebijakan perekonomian daerah sehingga bisa berdaya saing tinggi, berkontribusi positif pada perekonomian daerah, dan nasional.

Salah satu upaya untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dilakukan melalui pengembangan mekanisme insentif dan menyederhanakan prosedur perizinan untuk meningkatkan minat dan realisasi investasi. Menurut Dirjen Penataan Ruang Departemen PU Imam S. Ernawi, ada empat jenis insentif yang dimaksud, yakni insentif pajak, insentif infrastruktur, insentif individu, dan izin mendirikan bangunan. Hal ini terdapat dalam PP No.26 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) yang menyebutkan bahwa untuk pengembangan dan peningkatan fungsi kawasan dalam pengembangan perekonomian nasional perlu diciptakan iklim investasi yang kondusif.

Direktur Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah Bappenas Max Pohan mengatakan, untuk daerah tertentu harus diberikan insentif, diberikan pembangunan infrastruktur, kemudahan listrik, atau dalam bentuk regulatoris, dan fiskal. Namun, untuk perizinan tidak bisa spesifik, tapi akan dilihat kasus per kasus. Selain pemberian insentif, juga diberlakukan beberapa kebijakan strategis untuk mendorong pengembangan perekonomian nasional, antara lain mengembangkan pusat pertumbuhan berbasis potensi sumber daya alam dan kegiatan budi daya unggulan sebagai penggerak utama pengembangan wilayah.

Pemerintah Provinsi DKI Jakarta misalnya, terus berupaya menyederhanakan prosedur pendaftaran usaha dan perizinan bagi investor asing yang berminat menanamkan modalnya. Lebih dari itu, Badan Penanaman Modal-Pengelolaan Kekayaan dan Usaha Daerah (BPM-PKUD) DKI menandatangani kerja sama dengan International Financial Corporation (IFC) untuk memperbaiki iklim investasi. Melalui kerja sama berjangka waktu dua tahun itu, organisasi di bawah Bank Dunia itu akan membantu otoritas pemberi izin investasi asing di DKI ini dalam menyederhanakan tahapan prosedur perizinan.

Kerja sama tersebut dilakukan untuk menambah daya saing iklim investasi di Ibukota. Sebelumnya, BPM-PKUD juga sudah memperkenalkan sistem get one service dalam pelayanan perizinan. Sistem yang sudah dirintis sejak awal tahun 2007, dan mulai diterapkan pada awal tahun 2008 tersebut telah berhasil mengurangi prosedur perizinan dari 19 tahapan menjadi hanya 8 tahapan. Dampaknya, waktu proses berhasil dipersingkat dari 136 hari menjadi 38 hari. (AI)