Senin, April 20, 2009

Gula

Deptan menargetkan produksi gula putih atau gula konsumsi pada tahun 2009 mencapai 2,84 juta ton, sehingga bisa mencukupi seluruh kebutuhan dalam negeri tanpa perlu mengimpor. Menurut Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani, pada tahun 2008 produksi gula putih nasional mencapai 2,74 juta ton sedangkan kebutuhannya hanya 2,7 juta ton.

Sementara itu produktivitas lahan perkebunan tebu pada tahun 2009 ini secara umum bervariasi. Namun untuk Jawa rata-rata 79,6 ton/ha sedangkan luar Jawa 76,1 ton/ha dan nasional 78 ton/ha, dengan rendemen tebu rata-rata 8,27%. Luasan areal perkebunan tebu pada tahun 2008 berkurang 20.000 ha karena saat itu harga gula rendah sehingga minat petani untuk budi daya tanaman tebu berkurang. Namun untuk tahun 2009 petani kembali bergairah karena harga bagus, sehingga petani memelihara tanamannya dan berdampak pada peningkatan produktivitas dan rendemen.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI) Arum Sabil, dari taksasi produksi gula secara nasional, besarnya kapasitas giling terpasang seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 225.303 ton tebu/hari. Angka ini didapat dari luas area mencapai 441.318 ha. Untuk rendemen, rata-rata yang dihasilkan 8,21 dan gula yang dihasilkan bisa mencapai 2.850.019 ton/tahun.

Taksasi produksi gula tersebut didasarkan luas lahan maupun produksi gula baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa. Untuk Jawa, sedikitnya ada 10 perusahaan gula. Masing-masing, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali I, PT Rajawali II, PT Kebon Agung, PT PG Madu Baru, PT Candi, PT Industri Gula Nusantara, dan PT Pakis Baru. Sepuluh perusahaan tersebut membawahi 51 pabrik gula (PG). Sementara untuk luar Jawa terdapat 8 perusahaan gula, yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN XXIV, PT Gunung Madu Plantation, PT Gula Putih Mataram, PT Sub Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gorontalo. Delapan perusahaan tersebut membawahi 12 PG.

Meski harga gula terus merangkak naik, pemerintah memastikan tidak akan menambah jatah volume impor gula untuk tahun 2009 ini. Alokasi izin impor gula masih tetap 1,6 juta ton. Namun untuk gula industri masih harus diimpor. Kebutuhan gula industri di dalam negeri, sebanyak 1,8 juta ton sementara produksi nasional raw sugar baru mencapai 100 ribu ton, sehingga kekurangannya didatangkan dari luar.

Namun demikian, pada tahun 2014 Indonesia diperkirakan sudah bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhan gula mentah untuk bahan baku industri. Dengan kondisi tersebut, untuk tahun 2009 ini produksi gula nasional diharapkan juga mengalami peningkatan sehingga mencapai target 2,84 juta ton.

Harga gula rafinasi tampaknya bakal naik lagi. Pasalnya harga raw sugar sebagai bahan baku gula rafinasi, terus melonjak di pasar internasional. Pada Desember 2008 harga raw sugar masih di kisaran harga USD247/ton, Januari 2009 USD270/ton, dan Februari USD286/ton. Dengan kondisi ini, kemungkinan produsen akan kembali mengoreksi harga. Padahal, baru bulan Januari 2009 lalu produsen menaikkan harga gula rafinasi sebesar 5% - 6%.

Pada Januari 2009 harga gula rafinasi di tingkat produsen sekitar Rp5.500 - Rp5.600/kg. Dengan kenaikan harga gula mentah belakangan ini, maka harga gula rafinasi di tingkat produsen bakal naik menjadi Rp6.600/kg. Produsen menduga, kenaikan harga gula mentah dipicu harga minyak mentah dunia yang mulai merangkak naik. Beban produsen bertambah seiring pelemahan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp12.000/USD.

Masalahnya, dalam dua tahun terakhir produksi gula rafinasi cenderung menurun. Pada tahun 2007, produksi gula rafinasi dari lima perusahaan dalam negeri mencapai 1,4 juta ton. Pada tahun 2008, produksi turun menjadi 1,1 juta ton. Tahun 2009 ini jumlahnya bakal lebih rendah lagi karena yang beroperasi baru dua pabrik gula.

Kenaikan harga gula rafinasi mengakibatkan para konsumennya harus merogoh koceknya lebih dalam lagi. Sekretaris Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) Suroso Natakusumah mengaku, gula menjadi bagian penting dalam komposisi biaya produksi industri minuman ringan. Jadi, kenaikan harga gula rafinasi pasti mengubah komponen harga jual mereka. Bila harga gula rafinasi terus meningkat, maka harga beberapa produk makanan dan minuman juga bakal ikutan naik.

Pengusaha menyambut positif aturan Mendag atas penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula rafinasi. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat perihal distribusi gula rafinasi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah. Petunjuk pendistribusian gula rafinasi ini tetap dalam kerangka SK Menperindag No.527/2004, bahwa gula kristal rafinasi hanya untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengguna.

Mendag Mari Pangestu mengungkapkan, untuk proses monitoring, produsen, distributor, dan sub distributor wajib melaporkan secara berjenjang baik kepada dinas setempat maupun kepada pemerintah pusat. Jika diusut lebih jauh, ternyata yang memprakarsai keluarnya regulasi tersebut adalah industri kecil makanan dan minuman. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan pasokan gula rafinasi. Untuk mengantisipasi kebocoran ke pasar konsumsi gula, pemerintah harus memberi sanksi pada distributor yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyaluran gula kristal rafinasi

Menurut Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani, sekarang industri rumah tangga makanan dan minuman di tingkat kabupaten dan provinsi bisa mendapatkan gula rafinasi. Industri bisa menunjuk distributor atau menggunakan subdistributor untuk mendapat pasokan. Namun sebetulnya regulasi tersebut tidak lengkap karena berpotensi terjadinya kebocoran. Artinya, pada saat industri gula rafinasi mendistribusikan produknya melalui rantai distribusi, masih ada potensi produk tersebut dibeli oleh pedagang lain.

Sementara itu, pemerintah melalui Depperin meluncurkan program revitalisasi mesin PG dengan anggaran sebesar Rp50 miliar untuk tahun 2009. Menurut Dirjen Industri Logam Mesin, Tekstil, dan Aneka Depperin Ansari Bukhari, revitalisasi mesin di PG ditujukan untuk meningkatkan rendemen atau hasil produksi gula dari tebu hasil produksi pabrik lokal. Selama ini, tingkat rendemen PG lokal masih di bawah 10% karena diproduksi oleh mesin-mesin dan pabrik yang sudah tua.

Program revitalisasi pabrik gula merupakan pemberian potongan harga 10% dari nilai mesin yang dibeli produsen gula. Meski demikian, Depperin hanya memberikan potongan harga bagi PG yang membeli mesin buatan dalam negeri. Hal ini dengan pertimbangan banyak perusahaan di dalam negeri yang sudah mampu membuat mesin untuk PG. Pemerintah sudah membuka pendaftaran program revitalisasi terhitung 28 Maret 2009 hingga 30 Juni 2009. (AI)


Jumat, April 17, 2009

Penjualaan properti diperkirakan masih bagus

Wakil Ketua Perhimpunan Real Estat Indonesia (REI) Jawa Timur Totok Lusida mengatakan, pertumbuhan penjualan rumah sederhana pada tahun 2009 akan naik signifikan seiring pemberian subsidi dari pemerintah di bidang properti. Subsidi pemerintah di bidang properti ini untuk membidik sejumlah kalangan seperti anggota TNI dan Polri dengan subsidi Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit dan Polri (YKPP), Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-PNS/Bapertarum-PNS), dan untuk karyawan swasta dengan Jamsostek.

Deputi Pemimpin BI Surabaya Wiyoto juga optimistis, penjualan rumah pada tahun 2009 akan tumbuh secara signifikan, seiring perkiraan kredit properti yang diharapkan juga tumbuh relatif stabil. Pertumbuhan ini sudah terlihat sejak triwulan IV/2008. Pertumbuhan penjualan rumah pada triwulan IV/2008 mencapai 24,07% dibandingkan periode sama tahun 2007.

Pertumbuhan ini seiring dengan peningkatan kredit properti yang tercatat di perbankan. Pada periode ini, pertumbuhan penyaluran kredit properti mencapai 25,96%. Angka ini di atas triwulan IV/2007 yang hanya tumbuh 18,57%. Kenaikan tipe rumah sederhana ini didorong masih tingginya permintaan.

Peningkatan penjualan juga diiringi kenaikan harga properti tahun 2009 sekitar 17,91%. Hal ini disebabkan, naiknya harga bahan bangunan, upah pekerja, harga tanah, dan pembangunan infrastruktur di sekitarnya. Kenaikan harga tertinggi terjadi untuk rumah sederhana sebesar 29,36%, diikuti tipe menengah 18,87%, dan tipe besar naik 5,49%.

Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) triwulan IV/2008 oleh BI Surabaya, terlihat peningkatan penjualan properti residensial dari periode yang sama tahun 2007. Pertumbuhan tertinggi disumbang rumah sederhana dengan kenaikan 64% dan rumah tipe besar tumbuh 16,67%. Sementara, untuk rumah tipe menengah justru minus 17,39%.

Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) menargetkan pengadaan rumah bagi masyarakat akan tercapai pada tahun 2009 sesuai dengan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM) 2004 - 2009. Rumah layak huni, baik Rumah Sederhana Sehat (RSh) bersubsidi maupun nonsubsidi, serta rumah khusus sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 1.026.115 unit (81,12%). Apabila prognosa tahun 2009 sebanyak 352.875 unit, maka sampai akhir tahun 2009 akan terealisasi sebanyak 1.378.990 unit (109,01%).

Untuk rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersumber dari anggaran Kemenpera, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, dan Pemprov DKI Jakarta sampai akhir tahun 2008 tercapai 28.918 unit. Apabila ditambah dengan prognosa tahun 2009 sebanyak 1.728 unit maka sampai akhir tahun 2009 tercapai 30.646 unit (51,08%). Target Rusunawa tidak terpenuhi karena keterbatasan anggaran yang setiap tahunnya dialokasikan bagi pembangunan rusunawa.

Sementara untuk rusunami (rumah susun sederhana milik) dari sasaran 3.600.000 unit, sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 3.342.982 unit (92,86%). Seandainya ditambah dengan prognosa tahun 2009 sebanyak 724.600 unit maka sampai akhir tahun 2009 tercapai 4.067.582 unit (112,99%). Sementara untuk penataan kawasan sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 39 kawasan. Apabila ditambah prognosa tahun 2009 sebanyak 10 kawasan berarti sudah terealisasi 49 kawasan yang terdiri dari kawasan siap bangun dan kawasan khusus.

Kemenpera mengajukan anggaran baru senilai Rp6,7 triliun pada tahun 2009 ini untuk penguatan program perumahan rakyat dengan lima bidang prioritas. Usulan anggaran itu terdiri dari tanggungan pajak pertambahan nilai program rusunawa senilai Rp390 miliar, dana sewa beli rusunami Rp750 miliar, fasilitas likuiditas pokok pinjaman kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR RSh) dan rusunami kepada perbankan senilai Rp4,27 triliun, moratorium pembayaran angsuran KPR bersubsidi Rp150 miliar, dan pembangunan infrastruktur perumahan rakyat sebesar Rp1,16 triliun.

Lima program prioritas yang diajukan merupakan program stimulus kementerian berkaitan dengan tujuh agenda utama perekonomian tahun 2009, seperti sasaran untuk menjaga sektor riil, mempertahankan daya beli, dan melindungi masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Misalnya tanggungan PPN rusunami berfungsi menjaga pergerakan sektor riil dengan mengurangi beban biaya produksi dari sisi biaya PPN, sedangkan fasilitas likuiditas pokok pinjaman berfungsi menjamin tersedianya likuiditas pembiayaan untuk menopang program perumahan rakyat di tengah mengeringnya likuiditas di perbankan.

Hal ini perlu dilaksanakan mengingat para pengembang mulai mengkhawatirkan dampak PHK terhadap penjualan RSh tahun 2009 ini. Menurut Sekjen Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Rakyat Indonesia (Apersi) Tirta Susanto, hampir 50% pasar RSh adalah buruh dan karyawan pabrik, sisanya dari pegawai negeri sipil, TNI dan Polri. Apabila dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah memastikan akan mengurangi jumlah karyawan secara bertahap tahun ini, dikhawatirkan pasar RSh akan anjlok.

Saat ini sebanyak 70% konsumen masih mengandalkan pembiayaan via KPR untuk membeli rumah. Hanya sebagian kecil konsumen yang membeli rumah dengan cash keras. berdasarkan survei BI, KPR tetap menjadi fasilitas yang digunakan oleh sebagian besar konsumen mencapai 70,6% dengan tingkat suku bunga 14%. Diikuti oleh pembayaran melalui cash bertahap sebanyak 20,6% dan cash keras sebanyak 8,3%. Untuk pembiayaan properti residensial pada triwulan IV-2008 sebagian besar masih bersumber dari dana internal perusahaan (52,8%), dana perbankan (29,6%), dan nasabah (13,7%).

Dari Kaltim dilaporkan, Pemprov Kaltim mengajukan usulan anggaran untuk perogram penataan pemukiman kumuh dan pengadaan perumahan melalui Kemenpera mencapai Rp194 miliar melalui APBN 2010. Anggaran yang diminta Kaltim itu meliputi pembangunan rusunawa mahasiswa Universitas Mulawarman dan Universitas Borneo Rp20 miliar, rusunawa/rusunami tahap satu untuk rencana relokasi Gang Nibung Samarinda Rp25 miliar dan rusunawa/rusunami untuk perbaikan kawasan kumuh di Kota Bontang Rp15 miliar.

Di samping itu juga ada usulan pembangunan rusunawa/rusunami pengentasan kawasan kumuh di Kota Tarakan sebanyak 5 twin blok Rp20 miliar, peremajaan kawasan kumuh di Samarinda, Tarakan, Bontang, dan Balikpapan Rp100 miliar, bantuan stimulan perumahan swadaya di 14 kabupaten/kota Rp7 miliar, dan dana pembuatan master plan atau DED untuk 14 kabupaten/kota diajukan Rp7 miliar. (AI)


Industri kayu memprihatinkan

Kondisi industri kayu lapis semakin menyedihkan. Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan industri ini selalu negatif sehingga sektor ini dikatakan sunset industry. Pada tahun 2009 ini diperkirakan akan terjadi penurunan ekspor industri kayu lapis hingga 40% dari volume tahun 2008 yang sempat mencapai 2,5 juta m3 atau senilai USD1,5 miliar. Anjloknya ekspor ini bukan hanya disebabkan lesunya permintaan di pasar ekspor tradisional seperti AS, Eropa, dan Jepang akibat krisis global, namun dipicu oleh ketidakmampuan bersaingnya produk Indonesia menghadapi pemain-pemain baru seperti Brasil, China, dan Malaysia.

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Abbas Adhar, meski terjadi pelemahan pasar namun masih ada permintaan ekspor dari negara-negara Timur Tengah. Untuk menghadapi kondisi pasar, para produsen mencoba menyiasatinya dengan mengalihkan komposisi pasar ekspor yang selama ini cukup dominan. Pasar lokal akan ditingkatkan dari komposisi sebelumnya yang hanya dipasok 10% dari total produksi 3,1 juta m3.

Dampak pertumbuhan negatif lainnya, sekitar 35.000 pekerja dari 65.000 pekerja di sektor industri kayu lapis di Indonesia terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 2009. Menurut Ketua Umum Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Reformasi H. Sofyan Siambaton, ancaman kebangkrutan industri kayu lapis nasional sudah di depan mata, karena tidak adanya permintaan ekspor. Jepang dan AS yang selama ini merupakan pembeli utama kayu lapis Indonesia, sudah menghentikan ordernya sejak November 2008 akibat krisis global.

Berdasarkan data MPI Reformasi, selama delapan tahun terakhir (2000-2008) sebanyak 105 industri kayu lapis di Indonesia bangkrut. Akibatnya, sekitar 300.000 pekerjanya kehilangan pekerjaannya. Saat ini, industri kayu lapis yang masih beroperasi tersisa 25 perusahaan. Rata-rata industri ini menampung 3.000 tenaga kerja.

Industri kayu lapis selama ini menjadi bagian penting bagi penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Dalam periode 1980 - 2005, industri ini telah memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara sekitar USD3,7 - 4 miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja yang diserap berkisar 500.000 orang. Sebelum krisis, sejak Agustus 2008 sekitar 23% kayu lapis Indonesia diekspor ke Jepang dan 18% ke AS. Sementara ekspor ke negara-negara di Eropa sebanyak 27,33%, Korsel 4%, China 4%, Taiwan 3%, Malaysia 1%, dan negara lainnya 14%.

Pada tahun 2007, ekspor industri perkayuan Indonesia mencapai 3,1 juta m3 dari total kebutuhan kayu dunia sekitar 220 juta m2. Tahun 2008 volume ekspor kayu Indonesia diperkirakan di bawah 3 juta m3, karena hingga mendekati Desember 2008 baru mencapai 2,5 juta m3. Sementara itu, produksi panel kayu Indonesia tahun 2009 turun hingga 60% dibanding tahun 2008 yang mencapai 1,8 juta m3. Nilai ekspor tahun 2009 ini juga diperkirakan hanya mencapai USD500 juta atau 60% di bawah perolehan ekspor tahun 2008 yang mencapai USD900 juta.

Sebenarnya ekspor panel kayu dan kayu olahan sudah turun sejak tahun 2007. Pada tahun 2006 ekspor panel kayu mencapai 3,5 juta ton dan kayu olahan 2,3 juta ton. Pada tahun 2007, realisasi ekspor panel kayu hanya 2,6 juta ton dan kayu olahan 1,6 juta ton. Berdasarkan data Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), volume ekspor kayu olahan Januari 2008 masih 127.477 m3, namun pada Januari 2009 tinggal 54.571 m3. Meski masih tertolong dengan kenaikan harga jual rata-rata dari Januari 2008 yang hanya USD647/m3 menjadi USD750/m3 pada Januari 2009. Kayu olahan hanya mampu mencetak devisa ekspor Januari 2009 sebesar USD40,956 juta atau lebih kecil dibanding Januari 2008 sebesar USD82,516 juta.

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Terlebih program stimulus ekonomi ternyata tidak memberi dana ke Dephut. Dari total paket stimulus ekonomi pemerintah tahun ini sebesar Rp73,3 triliun, Dephut tidak kebagian jatah. Namun demikian, Dephut masih punya cara lain, yakni relaksasi peraturan. Salah satu yang tengah digodok adalah usulan lama Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA), yakni melonggarkan kriteria teknis ukuran dan tingkat olahan produk industri kehutanan yang bisa diekspor. Bidikan diarahkan ke kayu olahan dalam bentuk S4S — yang masuk dalam HS.4407.

Berdasarkan Peraturan Mendag No.20/M-DAG/PER/5/2008, ekspor S4S hanya boleh kayu merbau dengan luas penampang maksimum 10.000 mm2 serta kayu non-merbau dengan maksimal luas penampang 4.000 mm2. Saat ini tengah dibahas upaya melonggarkan aturan tersebut menjadi maksimum 12.000 mm2. Jenis kayu pun diperluas menjadi empat, yakni Merbau, Keruing, Meranti Batu dan Jabon. Semuanya kayu sinker alias kayu keras yang memang banyak dipakai industri kayu olahan.

Di sisi lain, pada era industri yang mempunyai efek perusakan lingkungan, hutan menjadi aset yang nilainya sangat berharga. Selain mampu menghasilkan sumber daya alam yang beragam, hutan juga menjadi paru-paru dunia yang memasok udara segar. Kini kalangan industri diberi tanggung jawab untuk ikut serta menjaga kerusakan lingkungan. Sehingga banyak program yang dilakukan sebagai upaya memenuhi tanggungjawab itu. Diantaranya dengan menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku produksi dari hutan yang jelas dan bagus pengelolaannya.

Untuk membedakan hasil hutan yang bersumber dari hutan yang dikelola dengan baik dan lestari dibutuhkan sertifikat. Menurut Agus Eka Putra dari Tropical Forest Trust (TFT), lembaga yang mendorong sertifikasi hutan rakyat, setidaknya ada 19 industri kayu di Pulau Jawa telah bersertifikat. Industri kayu bersertifikat tersebut hanya akan menerima kayu dari hutan yang bersertifikat lestari pula.

Di Indonesia masalah ekolabeling ini dikelola oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). LEI adalah organisasi berbasis konstituen yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Menurut Manajer Komunikasi dan Advokasi LEI Indra S. Dewi, di dunia perdagangan antarbangsa isu ramah lingkungan sudah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Banyak negara Eropa dan AS menjadikan sertifikasi ekolabeling sebagai prasyarat untuk barang-barang yang masuk ke negaranya. Dengan syarat mutlak seperti itu, mau tak mau industri kayu seperti industri furnitur dan kerajinan, berupaya untuk memperbaiki kualitas pengelolaannya agar tetap memiliki pangsa pasar yang baik. (AI)


Senin, April 06, 2009

Rotan

Departemen Perdagangan (Depdag) sedang merevisi aturan ekspor bahan baku rotan yang ada pada Permendag No.12/2005, tujuannya untuk memperjelas pasokan bagi industri kerajinan rotan dalam negeri. Menurut Dirjen Perdagangan Depdag Diah Maulida, dalam aturan yang baru nanti prosedur wajib pasok bahan baku kepada industri kerajinan rotan diperjelas karena selama ini masih terjadi penyimpangan. Misalnya, ada eksportir yang memasok industri dalam negeri, ternyata industri yang dipasok ini juga pedagang yang akan mengekspor rotan ini.

Pemerintah mensyaratkan siapapun yang ingin melakukan ekspor rotan harus sudah sebelumnya memasok rotan untuk industri dalam negeri. Pasalnya, banyak pihak yang mensinyalir dengan dibukanya kran ekspor maka pasokan rotan untuk industri dalam negeri bakal merosot. Berdasarkan pertimbangan sementara hasil koordinasi antara Depdag dan Asosiasi Pengusaha Meubel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), kuota ekspor ditetapkan setidaknya 30% dari pasokan eksportir tersebut kepada industri dalam negeri.

Sebagai bukti sudah memasok ke dalam negeri, pemerintah membutuhkan masukan asosiasi untuk mengetahui eksportir sudah mengekspor rotan ke mana saja. Persyaratan wajib pasok dalam negeri tersebut harus bisa dibuktikan ke pemerintah saat mendaftarkan diri menjadi eksportir terdaftar. Selain itu ekspor rotan juga sudah diatur kuotanya, mengingat kuota 30% bukan angka mutlak. Misalnya saat pasokan bahan baku banyak, sedangkan industri dalam negeri sedang turun karena permintaan turun, maka kuota bisa diperbesar atau sebaliknya.

Produksi rotan olahan pada tahun 2008 lalu hanya mencapai sekitar 70.000 ton dengan tingkat utilisasi sekitar 12,69% dari total kapasitas terpasang 551.685 ton. Volume produksi tersebut dihasilkan sekitar 400 perusahaan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, rendahnya produksi rotan olahan dipicu kian sulitnya produsen mengakses bahan baku.

Sejak tahun 2005, produksi rotan olahan cenderung stagnan. Kinerja produksi pada tahun 2008 bahkan tercatat yang paling buruk yakni turun sekitar 30% dibanding realisasi produksi sepanjang 3 tahun sebelumnya. Volume produksi pada tahun 2008 hanya setara dengan 40.519,89 m3 dari total kapasitas produksi sekitar 319.202,3 m3.

Keadaan ini dinilai sangat ironis mengingat Indonesia memiliki sumber rotan terbesar di dunia yakni menghasilkan sekitar 80% dari seluruh pasokan dunia. Namun, potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri sehingga pasar furnitur rotan dunia justru dikuasai negara-negara yang tidak memiliki potensi bahan baku, seperti China dan Italia.

Dirjen Industri Agro dan Kimia Deperin Benny Wachjudi mengatakan, selain keterbatasan akses bahan baku, industri rotan dihadapkan pada persoalan kemampuan desain, jumlah tenaga terampil, lemahnya pemasaran, permodalan, iklim usaha serta masih kurangnya dukungan infrastruktur. Permasalahan bahan baku rotan dimulai muncul sejak tahun 2005, ketika diterbitkan Permendag No.12/2005 yang mengizinkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Dengan dikeluarkannya kebijakan itu, pemanfaatan kapasitas terpasang semakin menurun dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Depperin, total perusahaan pengolahan rotan hingga tahun 2007 tercatat 614 unit. Namun pada tahun 2008 lalu jumlahnya berkurang 214 unit usaha. Penyusutan jumlah usaha itu berpotensi semakin besar mengingat pada tahun ini industri rotan dunia mengalami tekanan cukup besar akibat resesi ekonomi. Saat ini pekerja langsung di sektor pengolahan rotan mencapai 276.584 orang.

Namun demikian, pengusaha mebel rotan di Cirebon optimistis permintaan pasar pada semester I/2009 akan jauh lebih baik dari semester II/2008. Sebab pada bulan Januari 2009 ekspor rotan sekitar 2.500-3.000 kontainer, atau 80% dari rata-rata ekspor sebelum krisis. Menurut Ketua Masyarakat Rotan Cirebon Badrudin, ekspor mebel rotan selama bulan Januari 2009 mencapai 2.900 kontainer. Melihat permintaan pasar Eropa yang cenderung stabil, permintaan AS yang mulai bergairah kembali, dan dari Afrika dan Timur Tengah yang menjanjikan, pada Februari 2009 ekspor mebel rotan Cirebon diperkirakan akan sama, sekitar 2.500-3.000 kontainer.

Sebelum krisis global, jumlah ekspor rotan Cirebon sekitar 3.000-4.000 kontainer per bulan. Namun saat terjadi krisis global, permintaan pasar turun sampai 50%, terlebih dari AS, termasuk dari Eropa. Lesunya daya beli konsumen di luar negeri menyebabkan stok mebel rotan di gudang importir menumpuk sehingga pesanan ke pabrik di Cirebon ditahan sementara, atau berkurang.

Namun, belum semua pabrik ordernya naik. Seorang pengusaha mebel menjelaskan, permintaan importir juga masih sedikit dan bertahap. Pengiriman barang ke luar negeri pada bulan Januari-Februari 2009 merupakan order pada bulan November dan Desember 2008, yang terlambat dikirim. Apabila dilihat dari kondisi 2007-2008, kecenderungan ekspor rotan Cirebon malah menurun. Permintaan dari Eropa masih tetap jalan, tapi permintaannya tidak sekaligus banyak karena mereka juga baru mulai pulih dari krisis.

Sementara itu, pengusaha mebel juga mendesak pemerintah segera menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) rotan. Penghapusan tersebut dibutuhkan untuk menambah daya saing produk rotan Indonesia di tengah krisis finansial. Selama ini rotan setengah jadi yang dikirimkan antarpulau dikenakan pajak sebesar 10%. Pajak itu membuat produk jadi lebih mahal, akibatnya mebel rotan buatan Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani sempat mengumumkan pemerintah akan menanggung fasilitas PPN untuk tujuh belas sektor. Salah satunya disebutkan rotan akan dialokasikan pembebasan pajak sebesar Rp100 miliar. Namun, rencana tersebut dibatalkan karena stimulus pada bahan baku dianggap tak akan langsung menurunkan harga barang jadi.

Asosiasi memperkirakan, krisis finansial akan menyebabkan pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan tahun 2009 ini turun menjadi 5%, padahal tahun lalu mencapai 11%. Pada tahun 2008, ekspor tercatat sebesar USD2,55 miliar (Rp28,6 triliun), atau tumbuh 11% dari USD2,3 miliar dibanding tahun 2007. Sementara tahun 2009 ini ekspor diperkirakan berada di kisaran USD2,68 miliar atau sekitar Rp30,3 triliun. (AI)


Jumat, April 03, 2009

Industri telematika 2009

Departemen Perindustrian optimistis industri telematika nasional akan mencapai pertumbuhan 8% tahun 2009 ini. Angka pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 9%. Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika Depperin Budi Darmadi mengatakan, pertumbuhan industri telematika tidak terlalu terpengaruh dampak krisis global.

Ada dua faktor yang membuat Depperin optimistis dengan angka tersebut. Faktor itu di antaranya perkembangan layanan di sektor telekomunikasi dan kebijakan pengetatan prosedur impor untuk perangkat handset dan komputer, yang mewajibkan importasi kedua perangkat teknologi informasi itu menggunakan importir terdaftar.

Industri telematika menjadi harapan pemerintah di saat kondisi sektor industri sedang lesu. Depperin mencatat sepanjang tahun 2008 produksi industri telematika meningkat 13,38% dari Rp45,73 triliun menjadi Rp51,85 triliun. Meski produksinya naik, ternyata industri telematika belum memaksimalkan kapasitas produksinya. Artinya, produksi industri telematika masih di bawah kapasitas terpasang. Hal ini disebabkan masih banyaknya kebijakan yang tak berpihak pada industri lokal.

Ekspor industri telematika tahun 2008 mencapai USD3 miliar mencakup peranti keras di antaranya printer, monitor, dan komponen komputer lainnya. Sementara peranti lunak dan jasa mencapai USD400 juta. Hal ini membuktikan bahwa secara kualitas, produk dalam negeri sudah dapat diterima internasional. Di samping itu, produk telematika lokal juga memiliki peluang besar terserap ke infrastruktur telekomunikasi seperti base transceiver station (BTS), software, infrastruktur kabel optik, VSAT (very small aperture terminal), dan lainnya.

Namun demikian, berdasarkan data Depperin tingkat penyerapan kandungan lokal di industri telematika masih relatif rendah yakni di bawah 5% dari total belanja modal kendati sepanjang tahun 2008 sektor ini mencatat produksi senilai Rp51,85 triliun atau meningkat 13,38% dibanding tahun 2007. Komputer termasuk produk telematika yang kandungan impornya semakin berkurang, yakni saat ini mencapai 35%. Sementara laptop kandungan impornya masih dominan sekitar 65%.

Sementara itu produksi piranti lunak hasil produsen nasional kebanyakan berupa piranti lunak untuk perbankan dan nada sambung telepon seluler. Inpres No.2/2009 tentang Pelaksanaan Program Penggunaan Produksi Dalam Negeri juga mendorong peningkatan penjualan produk nasional. Penyerapan kandungan lokal yang rendah ini membuat industri penunjang di sektor telematika nasional kesulitan mengoptimalkan kapasitas produksi dan perdagangan sehingga pada umumnya beroperasi di bawah kapasitas terpasang. Apabila operator bersedia menyerap produksi lokal, pertumbuhan pasar industri telematika lokal dapat mencapai 30% sampai 40% dari total produksi pada 2008. Selain itu, utilisasi produsen perangkat komunikasi dapat mencapai 70%.

Berdasarkan hitungan, rata-rata produsen industri peralatan komunikasi dan jaringan kabel optik berproduksi 50% dari kapasitas terpasang. Demikian pula dengan pangsa pasar industri telematika di pasar domestik masih kalah bersaing dengan produk impor dengan kisaran 50%. Para produsen pemakai produk telematika di dalam negeri lebih memilih menggunakan produk impor, yang sebagian besar berasal dari China. Sebab, mereka terikat dengan kontrak main contractors.

Produk lokal sulit bersaing dengan produk China. Selain harga yang ditetapkan lebih mahal, kualitas produksi masih sulit memenuhi keinginan pemakai lokal. Dari total belanja di industri telematika sekitar USD4,1 miliar pada tahun 2008, kandungan lokal tidak lebih dari 3%. Sebab itu, pemerintah antara lain melalui Depkominfo meminta proses tender dalam negeri wajib memasukkan kandungan lokal minimum 30%.

Depperin mengusulkan fiber optik dan komponen telekomunikasi mendapatkan stimulus fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) sebesar Rp70 miliar. Untuk meraih target tersebut, pemerintah akan mengoptimalisasikan TKDN pada tiga produk utama yakni hardware, software dan service (layanan purnajual) di pasar domestik. Investasi di bidang telekomunikasi terus meningkat. Industri telematika diperkirakan bisa tumbuh 9-10% di tengah krisis ekonomi global. Sementara pajak dari industri piranti lunak tahun 2009 ini diperkirakan mencapai USD8 juta atau sekitar Rp96 miliar.

Langkah lain pemerintah untuk menumbuhkan industri telematika antara lain melalui pengembangan kompetensi di bidang penelitian dan pengembangan atau research and development, manufacturing and engineering services. Pemerintah juga bakal membangun pusat desain produk telekomunikasi. Dalam lima tahun ke depan, Depperin memperkirakan nilai belanja modal peralatan telekomunikasi dalam negeri mencapai sekitar Rpl50 triliun.

Sekretaris Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (PPHKI), Andy N. Sommeng mengatakan, dalam empat tahun terakhir industri kreatif, termasuk piranti lunak, memberi peran signifikan dengan menyumbang 6,5% terhadap produk domestik bruto. Saat ini terdapat sekitar 500 perusahaan yang memproduksi piranti lunak dengan jumlah aplikasi mencapai 5.000.

Sementara itu, Pemerintah Kota Salatiga membidik bidang telematika sebagai salah satu motor penggerak industri kreatif. Di Salatiga terdapat satu perusahaan bidang teknologi informatika yang menjadi satu-satunya perusahaan di Indonesia yang mengekspor alat uji elektro ke sejumlah negara, seperti Jerman dan AS. Pada tahun 2009 ini, bidang tersebut masih akan menjadi fokus andalan pengembangan industri kreatif di Salatiga.

Pemerintah Kota Salatiga akan bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Bentuk kerja sama tersebut berupa penyediaan sejumlah perangkat komputer maupun pelatihan untuk mendukung inkubator bisnis yang ada di UKSW, termasuk juga menyediakan bantuan bagi sejumlah teknisi telepon genggam.

Di sektor usaha lain, industri kecil dan menengah sarung palekat di Kabupaten Pekalongan juga tidak terpengaruh dampak krisis global. Setelah sempat terpuruk pada tahun 2002, industri ini kini berkembang pesat setelah menemukan tren baru sejak industri sarung printing berhenti produksi pada tahun 2008. Pangsa pasar sarung di Indonesia diperkirakan baru 38- 40 juta sarung/tahun atau hanya seperlima dari total kebutuhan sarung secara nasional. (AI)


Rabu, April 01, 2009

Obat generik masih belum popular

Inspektur Badan Pusat Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) Ratna Rosita mengatakan, masyarakat Indonesia terkesan kurang menyukai obat generik, sehingga tingkat penjualan obat tersebut menurun setiap tahun. Pada tahun 2007 penjualan obat generik hanya mencapai 8,7% dari total penjualan obat. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kepopuleran obat generik di negara lain, seperti Taiwan, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, tingkat belanja masyarakat Indonesia terhadap obat juga masih rendah.

Sebenarnya hal ini merupakan peluang besar bagi tersedianya ruang yang cukup untuk perkembangan dunia industri farmasi nasional. Nilai impor untuk beberapa bahan aktif farmasi meningkat pesat selama tujuh tahun belakang ini. Pada tahun 2007 impor bahan baku terbesar adalah antibiotik yang mencapai USD86,8juta. Bahan baku tersebut diimpor dari China dan India.

Krisis global yang sedang terjadi juga sangat berdampak pada sektor usaha farmasi. Hal ini disebabkan tingkat impor bahan baku farmasi yang sangat besar. Guna mengurangi dampak krisis ekonomi, BPPOM akan menggunakan prinsip pool purchasing dalam meningkatkan daya tawar sehingga dapat menurunkan harga jual obat.

Agar mandiri dan tidak perlu mengimpor bahan baku obat, Indonesia harus mampu mengembangkan produksi bahan baku yang tersedia di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan mega centre bahan bio diversity. Selain itu, BPPOM juga mengajak perguruan tinggi farmasi untuk menghasilkan penelitian-penelitian yang berguna untuk meningkatkan kualitas obat-obatan.

Terkait dengan obat generik, dari Makassar, Sulsel, dilaporkan sejak minggu ketiga Maret 2009, sejumlah rumah sakit milik pemerintah provinsi mengeluhkan langkanya persediaan obat generik. Kelangkaan ini dipicu oleh kebijakan distributor obat-obat generik yang menghentikan distribusi ke rumah sakit akibat menumpuknya utang pemerintah provinsi hingga tahun 2009 ini.

Menanggapi laporan ini, anggota Komisi IV DPRD Sulsel langsung melakukan inspeksi mendadak. Sidak dilakukan di sejumlah rumah sakit pemerintah, seperti RS Dadi, Labuang Baji dan RS Haji. Di RS Dadi anggota dewan menemukan stok obat yang tak lagi mencukupi untuk melayani pasien hingga satu bulan ke depan. Kondisi ini masih lebih baik dibanding di RS Labuang Baji.

Di Labuang Baji, sejak pertengahan Maret 2009 lalu tidak lagi melayani pasien yang membutuhkan obat generik, karena stok benar-benar telah habis. Pihak RS terpaksa mengarahkan pasien untuk membeli obat di apotik, tentu dengan harga yang lebih mahal. Kelangkaan obat itu terjadi karena stok obat kosong. Pasalnya, pedagang besar farmasi (PBF) sebagai distributor atau pemasok obat-obatan menghentikan sementara droping obat yang diperlukan karena masih terdapat tunggakan yang harus dilunasi. PBF baru bisa memasok obat ke rumah sakit kalau tunggakan mereka sudah dibayarkan pihak rumah sakit. Masalahnya, saat ini belum dilakukan tender pengadaan obat-obatan. Tender baru akan dilaksanakan pada April 2009.

Dari RS Dadi diperoleh informasi bahwa stok obat masih tersedia, hanya saja stok yang dibutuhkan pasien tidak termasuk jenis obat yang ditanggung jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), sehingga tetap dikatakan langka. Agar ke depan stok obat tidak terjadi lagi kelangkaan, pemprov perlu mengantisipasi dengan memanfaatkan dana talangan yang ada pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel. Nantinya pada saat anggaran pengadaan obat-obatan telah dicairkan, barulah dana talangan yang telah digunakan itu dapat diganti kembali.

Kadis Kesehatan Sulsel Rachmat Latief mengungkapkan, sebenarnya stok obat-obatan di apotik atau rumah sakit tidak boleh dibiarkan kosong sama sekali. Sebelum stok obat mengalami kekosongan, pihak apotik sudah harus merencanakan pengadaan jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, pihak rumah sakit dapat dipersalahkan karena tidak melakukan antisipasi dini. Penumpukan utang di distributor bukan alasan untuk tidak memasok obat ke RS. Semua ini terjadi karena minimnya koordinasi dan antisipasi pihak rumah sakit.

Sementara itu, dalam pelayanan obat bagi peserta, PT Askes (Persero) telah menerapkan pelayanan obat berdasarkan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) untuk menjamin ketersediaan dan standarisasi harga obat seluruh Indonesia. DPHO ini dapat menjamin ketersediaan obat di Indonesia, mengkomodasi kedokteran dan industri obat, serta dapat menciptakan persamaan harga sesuai efisiensi medis.

Para provider PT Askes baik pabrik, distributor maupun apotek dan instalasi farmasi yang menerima layanan obat Askes bisa saling berkomunikasi langsung tentang ketersediaan obat. Sesuai DPHO terbaru di edisi XXVII Tahun 2009, yang terbanyak adalah obat dengan nama dagang yakni sekitar 883 item, sedangkan dengan nama generik ada 321 item obat.

Pemerintah berjanji memberikan jaminan pasar bagi produsen obat di dalam negeri untuk membantu industri farmasi nasional mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, lebih dari 90% bahan baku obat masih diimpor dari luar negeri. Kalau krisis ini berlanjut dan nilai tukar rupiah turun terhadap dolar, harga obat tentu terpengaruh. Oleh karena itu pemerintah memberikan subsidi dan jaminan pasar. Selain memberikan subsidi bahan baku senilai Rp350 miliar bagi produsen obat generik pemerintah juga memberikan jaminan pasar obat yang nilainya diperkirakan Rp4,5 triliun.

Jaminan pasar yang dimaksud adalah pembelian obat melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang nilainya sekitar Rp2 triliun, pembelian obat untuk pelayanan kesehatan di daerah senilai Rp2 triliun dan sekitar Rp0,5 triliun dari penjualan obat generik di pasar bebas.

Rencana pemerintah menurunkan harga obat generik memang menjadi kabar buruk bagi Kimia Farma dan Indofarma. Pasalnya selama ini dua perusahaan itulah yang paling banyak memproduksi obat-obat generik. Dari total produksinya, PT Indofarma misalnya, memproduksi obat generik sebanyak 80%, sisanya 12% berupa branded, dan 8% obat bebas. Kenyataan itulah yang membuat manajemen perseroan bertekad untuk mengurangi ketegantungannya pada obat-obat generik, dengan meningkatkan produksi branded dan over the counter (OTC).

Demikian halnya dengan PT Kimia Farma. Perusahaan ini juga diperkirakan akan terpukul oleh keputusan penurunan harga obat generik. Terlebih perseroan kini tengah direpotkan oleh besarnya rugi kurs sehingga manajemen Kimia Farma terpaksa meminta bantuan berupa dana talangan dari pemerintah untuk menutupi kerugian tesebut. Permohonan bantuan itu tampaknya bakal dikabulkan karena Menkes akan memberikan subsidi Rp350 miliar bagi produsen obat generik disamping jaminan pasar obat sebesar Rp4 triliun. (AI)


Jumat, Maret 27, 2009

Pemekaran daerah istirahat dulu

Aksi kekerasan di Sumut yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat telah mengusik pemerintah pusat. Presiden SBY mendukung moratorium pemekaran daerah baru. Presiden meminta untuk dilakukan evaluasi dulu pemekaran yang berjalan selama ini. Presiden mengajak semua pihak untuk melihat permasalahan pemekaran ini secara matang. Apalagi pemekaran daerah ternyata melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada awal Februari 2009 lalu, disimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Kerangka pemekaran masih dipersiapkan, dan sampai tahun 2025 jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Menurut pakar politik lokal dan otonomi daerah Pratikno dan Purwo Santoso dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru, tapi langsung menutup peluang untuk mengajukan proposal pemekaran daerah. Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum (DAU) dari pusat akan langsung mengalir.

Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan. Kriteria pemekaran dalam UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 78/2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi.

Kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan. Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan membahas pemekaran daerah kabupaten/kota/ provinsi yang diusulkan DPR setelah Pemilu 2009 karena saat ini beberapa tahapan pemilu itu telah berjalan. Ketua Tim Kerja (Timja) Pemekaran Daerah PAH I DPD M Kafrawi Rahim menjelaskan, sejak DPD bersama DPR dan pemerintah membahas usul pemekaran daerah, telah terbentuk sebanyak 59 daerah otonom baru.

Sejak UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dan selanjutnya disempurnakan dengan UU Nomor 32/2004, daerah baru hasil pemekaran berjumlah 206 daerah otonom, termasuk 59 daerah otonom baru. Pemekaran daerah paling banyak terjadi di Papua (9 daerah otonom baru), disusul Sumatra Utara (8), Sulawesi Utara (6), Nusa Tenggara Timur (5), dan Maluku (3).

Kuatnya aspirasi yang terjadi di luar Pulau Jawa disebabkan karena terjadinya perbedaan perlakuan pemerintah pusat yang sangat tajam antara Jawa dan luar Jawa. Sementara munculnya pemekaran daerah, salah satunya dipicu oleh tingginya keinginan politis dan cara mudah untuk mendapatkan dana pusat.

Pengamat perimbangan keuangan sekaligus guru besar Universitas Indonesia (UI) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pemekaran daerah secara tak terpola seperti selama ini hanya menghasilkan pemborosan anggaran. Meski anggaran sudah dibelanjakan dalam jumlah besar untuk daerah baru, hasilnya tidak sepadan dengan pelayanan kepada masyarakat yang seharusnya meningkat. Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Program Pembangunan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) membuat studi yang menunjukkan perkembangan kurang memuaskan pada daerah-daerah hasil pemekaran.

Riset ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian dan pelayanan masyarakat di daerah hasil pemekaran tidak membaik meskipun ada aliran dana dalam jumlah besar dari pusat untuk mendukung operasional daerah tersebut. Hasil riset Bappenas dan UNDP itu sudah sangat memadai sebagai alasan yang bisa digunakan pemerintah pusat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah sejak saat ini. Alasan lain adalah sebagian besar daerah hasil pemekaran justru masuk dalam kategori daerah tertinggal.

Riset Bappenas dan UNDP yang dipublikasikan pada Juli 2008 itu mengambil sampel pada 26 kabupaten, yang terdiri atas 10 kabupaten induk, 10 kabupaten pemekaran (yang dimekarkan tahun 2000), dan 6 kabupaten sebagai daerah kontrol. Dilihat dari aspek kinerja perekonomian daerah, tim studi Bappenas dan UNDP menemukan dua masalah. Pertama, pembagian potensi ekonomi yang tidak merata. Kedua, beban penduduk miskin yang lebih tinggi.

Di sisi keuangan menunjukkan, kinerja daerah baru kurang optimal dibandingkan dengan daerah kontrol. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran. Kedua, optimalisasi pendapatan dan kontribusi yang rendah. Ketiga, porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah.

Semua itu mengindikasikan belum efektifnya kebijakan keuangan di daerah otonomi baru dalam menggerakkan aktivitas ekonomi di daerah, baik yang bersifat konsumtif maupun investasi. Secara teoretis, setiap pemekaran daerah akan menyebabkan perubahan alokasi DAU dan dana alokasi khusus (DAK). DAU yang diterima daerah yang memisahkan diri akan menyedot DAU daerah induknya. Adapun DAK akan diberikan oleh pemerintah pusat pada saat daerah hasil pemekaran memiliki DAU sendiri. Dengan demikian, setiap pemekaran daerah akan disertai peningkatan beban DAU dan DAK.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, pemerintah harus melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pemekaran daerah yang sudah dilakukan saat ini. Selama masa evaluasi, tidak ada daerah yang dimekarkan dan pada saat yang sama dilakukan bantuan pendampingan pada seluruh daerah yang sudah dimekarkan. (AI)


Rabu, Maret 25, 2009

Tantangan transportasi laut

Berdasarkan Permenhub No.KM 8 Tahun 2009 tentang Tarif Batas Atas Angkutan Penumpang Laut Dalam Negeri Kelas Ekonomi, tarif penumpang angkutan laut kelas ekonomi akan diturunkan. Selain itu, tarif jasa kepelabuhanan yang meliputi tarif jasa pemanduan, penundaan, dan penanganan peti kemas juga diturunkan. Kebijakan ini mulai berlaku pada 1 Maret 2009.

Menurut Dirjen Perhubungan Laut Dephub Sunaryo, besaran penurunan tarif angkutan penumpang laut kelas ekonomi adalah 10% untuk angkutan laut kelas ekonomi yang berjarak di atas 1.000 km. Sedangkan penurunan secara keseluruhan dari rute yang berlaku di perairan Indonesia rata-rata sebesar 3,94%. Dari perhitungan tersebut, penurunan tarif angkutan laut dalam negeri kelas ekonomi yang terendah adalah sebesar Rp39.800/penumpang dan tertinggi Rp124.200/penumpang.

Sementara itu, penurunan tarif jasa kepelabuhan diberikan untuk pelayanan jasa yang terkait langsung dengan penggunaan BBM yang meliputi jasa pemanduan, jasa penundaan, dan jasa pelayanan peti kemas. Penurunan tarif jasa kepelabuhan ini dilaksanakan dengan memberikan diskon sebesar 5% dalam kurun waktu 3 bulan dan dapat dilakukan peninjauan kembali. Penurunan tarif berlaku efektif sejak 15 Februari 2009. Kebijakan penurunan tarif penumpang laut kelas ekonomi dan tarif jasa kepelabuhan tersebut diharapkan dapat mendorong perkembangan dunia usaha, terutama terkait dampak terjadinya krisis keuangan global.

Sebelumnya, PT Perusahaan Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni) telah melakukan kajian untuk melakukan penurunan tarif kelas ekonomi. Hal ini juga sebagai respon atas imbauan pemerintah bahwa BUMN di sektor transportasi harus memelopori penurunan tarif setelah harga BBM diturunkan hingga tiga kali. Berdasarkan perhitungan Pelni, penurunan tarif penumpang dari Rp415/penumpang/mil menjadi Rp412/penumpang/mil. Apabila kajian ini disetujui, maka tarif kapal penumpang yang berlaku saat ini di masyarakat, khususnya untuk jarak jauh, seperti Jakarta-Jayapura, dapat diturunkan berkisar antara Rp50.000-Rp80.000.

Dari Balikpapan dilaporkan, pasca penurunan harga BBM per 15 Januari 2009 lalu, tarif transportasi angkutan darat perlahan mulai terpengaruh. Terbitnya tarif baru bagi angkutan darat tinggal menunggu Surat Keputusan (SK) wali kota. Sebaliknya tarif transportasi laut hingga saat ini belum ada rencana penurunan dan masih memberlakukan tarif lama.

Branch Manager perusahaan pelayaran swasta di Balikpapan, PT Prima Vista Widyatmoko mengatakan, sejauh ini sinyal penurunan tarif kapal laut di perusahaannya belum ada. Pasalnya, meski penurunan harga BBM mengurangi biaya operasional namun tingginya harga spare part yang dibayar menggunakan mata uang asing membuat kemungkinan tersebut belum dapat terwujud.

Sementara bagi Pelni, masalah tarif sepenuhnya bergantung dari ketentuan yang diterbitkan pemerintah dan Direksi PT Pelni. Kepala Cabang PT Pelni Balikpapan Capten Indardjo Setiadji mengatakan, pihaknya belum mendapat informasi lebih lanjut terkait hal tersebut, mengingat selama ini Pelni memang tidak menaikkan tarif sekalipun saat harga BBM tinggi. Memberlakukan tarif lama juga terlihat pada Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) yang melayani penyeberangan Balikpapan-Penajam Paser Utara (PPU) melalui pelabuhan Kariangau, Balikpapan.

Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengaku sempat merasa prihatin dengan lemahnya penegakan aturan-aturan keselamatan transportasi laut. Lemahnya pengawasan berakibat penumpang kapal motor (KM) selalu menjadi korban. Padahal peran pengawasan adalah kunci awal dari keselamatan transportasi laut. Tenggelamnya sejumlah kapal penumpang dalam kurun Januari 2009 membuktikan betapa lemahnya sistem pengawasan transportasi di sektor kelautan.

Pada Januari 2009 tercatat sembilan kasus kapal tenggelam. Dalam kasus ini umumnya kondisi alam yang selalu dijadikan kambing hitam penyebab kecelakaan. Dimulai dari tanggal 3 Januari 2009, yaitu tenggelamnya KM Lian Senggigi akibat mengalami kebocoran di perairan Klungkung, Bali. Seminggu kemudian (10/1), KM Permata Mulia dan kapal Cahaya Alam tenggelam di perairan Muara Lagoi, Batam. Sehari kemudian (11/1), ratusan nyawa orang melayang akibat tenggelamnya KM Teratai Prima di perairan Majene, Sulbar. Pada hari yang sama juga tenggelam KM Express Bahari di Perairan Sunsang, Sumsel dan sebuah speedboat berisi 18 TKI ditabrak tanker LPG di perairan Kepri.

Esoknya (12/1), KM Sinar Genteng tenggelam di perairan selatan Kecamatan Tegalbuleud, Kabupaten Sukabumi. Esoknya lagi (13/1), KM Risma Jaya yang mengalami lambung bocor setelah dihantam ombak besar, tenggelam di Muara Kali Aswet Distrik Agast, Kabupaten Asmat, Papua. Pada 14 Januari 2009 KM Bangka Jaya Expres tenggelam di perairan Pulau Ketawai, Kabupaten Bangka Tengah, Bangka Belitung. Disusul kemudian tenggelamnya KM cepat Express Bahari 5 B (27/1) di perairan Sunsang, Sumsel.

Komite Nasional Keselamatan Transportasi atau KNKT menilai, selama ini 90% kecelakaan laut yang terjadi di Indonesia disebabkan faktor manusia. Karena itu, profesionalitas dan kompetensi dari operator pelayaran sangat dibutuhkan di samping kelengkapan fasilitas keamanan pelayaran. Menurut Ketua KNKT Sub Komite Penelitian Kecelakaan Transportasi Laut Hermanu Karmoyono, beberapa contoh faktor manusia yang mengakibatkan kecelakaan laut antara lain kelelahan, kejenuhan, dan kecerobohan. Selain itu, screening atau penyaringan muatan kapal juga kurang teliti.

Barang apapun dengan mudah masuk ke dalam kapal. Padahal kapal-kapal di Indonesia belum dilengkapi dengan fasilitas x-ray detector atau sinar inframerah untuk mendeteksi barang. Kasus terbakarnya KM Levina I tahun 2007 lalu terjadi karena lolosnya barang-barang yang tak layak angkut namun tetap dinaikkan.

Di tengah mendesaknya peningkatan keselamatan transportasi laut, hingga saat ini jumlah investigator transportasi laut KNKT hanya enam petugas. Padahal, untuk kebutuhan investigasi kecelakaan di seluruh Indonesia minimal dibutuhkan 30 petugas investigasi. Ketua Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) Jatim Bambang Harjo S mengakui investigator KNKT di tingkat provinsi masih minim. Indonesia sangat luas, karena itu dibutuhkan investigator di masing-masing daerah. Kriteria investigator yang dibutuhkan harus memiliki latar belakang pendidikan atau bekerja sebagai nakhoda kapal, sarjana tekni k perkapalan, dan kapten kapal. (AI)


Jumat, Maret 20, 2009

Harga pangan cenderung naik

International Food Policy Research Institute (IFPRI) memperkirakan harga pangan dunia akan naik lebih cepat dibanding pemulihan ekonomi dunia setelah resesi. Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pangan dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, pada akhir tahun 2009-2010 harga pangan dunia diperkirakan akan tinggi, sama seperti kondisi awal tahun 2008. Penurunan permintaan yang dimulai pada September 2008, telah menyebabkan harga-harga anjlok. Di sisi lain, sebagai akibat dari krisis global, investasi di bidang pangan turun. sehingga pertumbuhan produksi menjadi lebih kecil. Hal ini menyebabkan produksi pangan menurun sehingga harga pangan akan kembali merangkak naik.

IFPRI menyarankan agar investasi di sektor pangan dan gizi ditingkatkan, karena jika kondisi penurunan investasi pangan dibiarkan, dalam jangka waktu 20-30 tahun akan mengancam gizi buruk bagi anak-anak. Oleh karena itu, pemerintah harus segera menjaga kemananan pangan dan nutrisi (food and nutrition security). Meski kondisi ekonomi lesu dan pangan tidak akan dikorbankan, tetapi gizi yang akan dikorbankan. Kondisi gizi anak-anak yang buruk dapat mengakibatkan kondisi ekonomi yang buruk pula pada 20-30 tahun mendatang. IFPRI mengimbau jika terpaksa harus memilih untuk dana yang sedikit untuk investasi, maka lakukanlah investasi di bidang pangan dan gizi.

Bagi pengamat ekonomi Indef Aviliani, ketergantungan bahan pangan impor menjadi penyebab utama naiknya harga pangan. Selain membuat juga tekanan inflasi sebesar 0,21% pada Februari 2009, inflasi yang terjadi juga akibat tingginya nilai tukar rupiah terhadap USD. Indonesia masih sangat bergantung pada barang-barang impor. Meski bahan bakunya berasal dari dalam negeri, namun komponen pendukungnya diperoleh dari impor sehingga menyebabkan harga bahan kebutuhan pangan ikut naik.

Sekalipun pemerintah sempat menurunkan harga BBM, namun faktor BBM tidak banyak mempengaruhi harga bahan pangan. Karena BBM hanya komponen kecil dari distribusi barang maupun transportasi. Yang harus diperhatikan di sini adalah subsitusi impor. Harga makanan masih dapat berfluktuasi sepanjang rupiah juga masih mendapat tekanan. Pemerintah dinilai tidak banyak melakukan usaha untuk menstabilkan harga bahan pangan. Pemerintah hanya mengatur harga pada tiga komoditi saja yaitu terigu, gula dan beras melalui Bulog. Padahal kenaikan lebih banyak terjadi di luar ketiga bahan pokok tersebut.

Pemerintah menilai menilai laju inflasi pada Februari 2009 sebesar 0,21% masih normal. Pasalnya, selama enam tahun terakhir inflasi pada bulan Februari biasanya di atas 0,5% masih tergolong normal. Meski demikian, pemerintah tetap mencermati perkembangan laju inflasi saat ini, sebab jika pemicu inflasi berasal dari komponen bahan makanan maka akan mengurangi daya beli masyarakat.

Pemerintah, dalam hal ini Menkeu Sri Mulyani Indrawati, melihat dari komponen makanan ada yang meningkat terutama beras. Selama musim panen belum tiba, harga beras memang meningkat. Musim panen sendiri baru berlangsung pada bulan Maret 2009. Data BPS menunjukkan harga beras pada Februari 2009 naik 2% dan memberikan sumbangan inflasi 0,08%. Namun lonjakan ini lebih disebabkan siklus tahunan pada Februari sebelum terjadi panen.

Direktur Utama Perum Bulog Mustafa Abubakar menjelaskan, kenaikan harga beras yang terjadi pada awal tahun 2009 ini disebabkan oleh pengaruhi musim hujan. Banjir yang terjadi di beberapa daerah menyebabkan distribusi beras terganggu. Penyaluran raskin ikut terganggu karena faktor cuaca. Sejak awal tahun, raskin yang sudah disalurkan sebanyak 180 ribu ton atau 22% dari target sepanjang tahun 2009.

Mengenai pengadaan atau pembelian beras petani oleh Bulog, realisasinya bisa lebih cepat dibandingkan tahun 2008. Pada tahun 2008 pengadaan baru bisa dimulai pada pekan keempat Februari. Sedangkan tahun 2009 ini sudah dilaksanakan pekan kedua Januari 2009. Sampai pekan pertama Maret 2009, pengadaan sudah mencapai 220 ribu ton. Sepanjang tahun 2009 target pengadaan beras ini ditetapkan sebesar 3,8 juta ton. Pengadaan yang sudah dilakukan baru 5,5% lantaran petani baru melakukan panen kecil-kecilan. Panen raya diperkirakan mulai dilakukan pertengahan Maret sampai Mei 2009.

Sementara itu praktisi pertanian Siswono Yudo Husodo menekankan semua pihak hendaknya memperjuangkan peningkatan daya beli masyarakat dibanding merancang program harga pangan murah. Kenaikan daya beli akan mendorong kemampuan masyarakat membeli harga pangan yang menguntungkan petani. Konsep harga pangan murah justru berpotensi melanggengkan kemiskinan petani. Harga jual produk pangan yang dibuat murah bagi konsumen membuat keuntungan petani makin rendah akibat selisih pendapatan dan biaya produksi yang makin kecil. Hal tersebut akan berdampak pada penurunan produksi pertanian sehingga dikhawatirkan ketergantungan pada produk pangan impor akan kembali tinggi, bahkan Indonesia bisa menjadi net importir.

Senada dengan Siswono, Guru Besar Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar mengatakan, harga pangan rendah membuat petani tidak mau berproduksi. Hal itu merupakan disinsentif bagi petani. Untuk itu harga komoditas pertanian yang dikendalikan pemerintah seperti beras, kenaikan HPP-nya harus ditingkatkan melampaui tingkat inflasi. Kenaikan HPP terakhir hanya 10%, artinya masih di bawah inflasi yang mencapai 12% sehingga pendapatan petani selalu di bawah kebutuhannya.

Dampaknya, saat hasil panennya habis dan harus menjadi net konsumen, petani tidak memiliki pendapatan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Rendahnya produksi tersebut juga disebabkan produktivitas pertanian yang sangat terbatas akibat tingkat kepemilikan lahan para petani Indonesia sangat rendah, yaitu rata-rata 0,25 ha. Pemerintah, dalam hal ini Perum Bulog, harus membeli hasil panen petani dengan harga yang bagus, sedangkan untuk masyarakat miskin pemerintah harus memberikan subsidi harga seperti raskin yang disediakan Perum Bulog.

Peneliti dan pengamat masalah pertanian Dwi Andreas Santosa mengatakan, jika ingin memproteksi petani, pemerintah harus berani membeli produk pangan dari petani dengan harga yang tinggi. Kemudian produk itu dijual ke konsumen dengan harga rendah. Hal serupa telah dilakukan di Jepang. Pemerintah Jepang membeli harga produk pertanian dari petaninya dengan harga yang lebih tinggi, kemudian menjual ke konsumen dengan harga yang rendah. Hal tersebut membuat produksi pertanian Jepang meningkat bahkan terjadi surplus. (AI)


Jumat, Maret 06, 2009

Merevisi daftar negatif investasi

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengungkapkan, saat ini ada sekitar lima sektor manufaktur masuk dalam daftar negatif pemberian kredit perbankan sehingga sulit memperoleh pinjaman investasi dan modal kerja. Kelima sektor tersebut mencakup industri pertekstilan khususnya yang bergerak di sektor antara (intermediate) dan hilir seperti benang dan garmen, industri besi dan baja, elektronik, alas kaki, dan sektor kimia hilir khususnya plastik. Sektor-sektor tersebut masuk dalam daftar negatif pemberian kredit perbankan karena banyak perusahaan yang bergerak di bidang usaha tersebut mengalami gagal bayar atas utang-utangnya (default).

Nilai default tersebut dinilai cukup besar sehingga berpotensi mengganggu bisnis sejumlah bank pemberi kredit. Kelima sektor tersebut memiliki konten impor yang besar sehingga pada saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, nilai utangnya akan membengkak. Saat ini banyak industri yang membeli bahan baku dengan dolar AS tetapi menjual produknya dengan rupiah sehingga mengalami tekanan utang yang besar. Problem kredit macet tersebut juga bisa disebabkan adanya gagal bayar dari buyer, penurunan ekspor, atau tidak bisa mendapatkan buyer sehingga pinjaman bank hanya digunakan untuk menutup biaya overhead.

Untuk mengatasi hal ini, Kantor Menko Perekonomian, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia akan mengkaji solusi yang cocok, termasuk kemungkinan pemutihan utang dan penjadwalan ulang utang (rescheduling). Solusi ini disebut sebagai trade adjustment assistance yang bisa berbentuk rehabilitasi, keringanan, dan fasilitas fiskal berupa harmonisasi bea masuk (BM). Selain itu, pemerintah juga akan melindungi industri dalam negeri dengan menaikkan tarif BM untuk mengurangi peredaran barang impor.

Sementara itu, rapat antardepartemen yang membahas revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) telah memutuskan perusahaan publik dikecualikan dari kebijakan yang membatasi kepemilikan asing tersebut. Adalah pasal 3a Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka yang mengeluarkan perusahaan publik dari DNI. Selama ini, seluruh perusahaan baik tertutup maupun terbuka masih terikat ketentuan ini.

Rapat itu juga memutuskan bahwa ketentuan DNI hanya boleh diatur berdasarkan perpres. Artinya, tak ada lagi peraturan di bawah perpres yang ikut campur. Saat ini ada beberapa peraturan menteri yang memang simpang-siur dengan pengaturan DNI. Akibatnya, investor pun bingung harus berpedoman pada peraturan yang mana. Pemerintah ingin memberlakukan pengecualian ini agar ada kepastian, kemudahan, dan konsistensi bagi kegiatan investasi melalui bursa saham. Pasalnya, belakangan ini memang ada sejumlah kasus akuisisi oleh investor asing di bursa yang menimbulkan kerancuan.

Salah satu akuisisi yang paling heboh menimbulkan polemik adalah akuisisi PT Indosat Tbk oleh Qatar Telecom (Qtel) pada pertengahan tahun 2008. Saat itu terjadi perbedaan persepsi antara Qtel, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Bapepam-LK dan Qtel berpegang pada aturan pasar modal. Sementara Depkominfo bersikeras memakai ketentuan DNI yang membatasi kepemilikan asing di sektor telekomunikasi. Akibat polemik ini proses akuisisi dan penawaran tender (tender offer) Qtel atas saham publik Indosat sempat terkatung-katung.

Namun Wakil Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yusan yang lembaganya turut menggodok revisi DNI mengaku belum mengetahui kesepakatan itu. Tapi menurut Yusan sudah sewajarnya jika perusahaan terbuka dikecualikan dari DNI. Yang tergolong perusahaan publik atau terbuka adalah perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh minimal 300 pihak. Perusahaan publik terdaftar di Bapepam-LK. Perusahaan terbuka bisa menjual saham melalui bursa atau bisa juga tidak.

Rencana perubahan ketentuan DNI ini juga membuat Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Airlangga Hartarto senang. Menurutnya, perusahaan publik memiliki akuntabilitas yang telah teruji. Jadi sudah sewajarnya kalau dikecualikan dari DNI. Kesepakatan ini menunjukkan pemerintah masih berkomitmen mendorong perkembangan investasi di pasar modal.

Dari kawasan regional, pembahasan mengenai rencana DNI ASEAN akan di-update dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh pimpinan negara yang akan berkumpul pada Desember 2009 mendatang. Menurut Menkeu Sri Mulyani, hal ini tidak khusus dibahas, tapi pemutakhiran perlu dilakukan dalam rangka memenuhi kepada seluruh pimpinan negara ASEAN. Perjanjian tahap ketujuh ini akan memuat berbagai pembaruan atau revisi dari berbagai sektor jasa yang akan masuk dalam persetujuan.

Di samping itu, nantinya juga akan dilakukan pengecekan ke sektor-sektor apakah yang mendapat tawaran dari bidang-bidang yang dianggap baik dan memiliki nilai strategis untuk masuk kedalam perundingan ketujuh ini. Bidang-bidang yang strategis seperti komunikasi, perhubungan, pariwisata, perdagangan, bahkan pendidikan juga akan dilihat dan difinalkan dalam waktu dekat. Pada dasarnya Indonesia membuat kebijakan sedemikian rupa hingga kebijakan sektor bisa harmonis dengan kebijakan-kebijakan strategis dan memiliki peluang yang sama.

Sementara itu Kepala BKPM M. Luthfi mengatakan, dalam Roadmap Penanaman Modal 2009 ada tiga sektor usaha yang menjadi tumpuan investasi pada tahun 2009. Ketiganya adalah sektor energi, infrastruktur, dan pangan. Roadmap ini diharapkan dapat menjadi arahan strategis mengenai investasi secara nasional yang meliputi kebutuhan investasi, arah investasi, dan arah fasilitas investasi.

Sektor infrastruktur menjadi andalan investasi karena diharapkan bisa memberikan efek kemudahan investasi lainnya. Dengan fasilitas infrastruktur yang baik tentunya akan semakin menarik pada investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sektor energi dipilih terkait fungsinya sebagai roda perekonomian masyarakat dan potensinya yang juga dimiliki oleh Indonesia.

Sektor pangan dipilih terkait dengan kondisi geografis yang sangat strategis dan potensi alam, baik yang dapat menjadi keunggulan komparatif bagi Indonesia, maupun modal untuk ketahanan pangan. BKPM memfokuskan pada komoditas padi, jagung, kedelai, tebu, CPO, dan kakao. (AI)


Rabu, Maret 04, 2009

Kontroversi puyer

Polemik yang beredar mengenai obat puyer atau racikan membuat mayarakat ragu-ragu menggunakan obat itu. Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari, adanya oknum yang membuat puyer menjadi berbahaya bukan berarti puyer tidak boleh dipakai lagi. Sejak zaman dulu, obat berbentuk puyer sering digunakan masyarakat terutama di daerah-daerah terpencil.

Obat jenis ini juga tidak bisa dikatakan berbahaya jika peracikan dilakukan dengan benar. Kontroversi ini dikhawatirkan bisa menimbulkan kesalahpahaman di kalangan masyarakat dan pencitraan negatif terhadap profesi dokter secara umum di Indonesia. Padahal, pemberian resep obat dalam bentuk puyer oleh seorang dokter adalah bagian dari rangkaian praktik kedokteran.

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyatakan tidak ada masalah dalam penggunaan obat puyer untuk tindakan pengobatan selagi memenuhi syarat ketentuan dan prosedur. Ketua Umum IDI Fahmi Idris mengimbau pihak yang dirugikan akibat praktik tenaga medis agar melapor ke IDI dengan dilengkapi identitas pelapor dan bukti-bukti yang cukup. Selanjutnya akan diproses oleh Majelis Etik untuk dibuktikan bersalah atau tidak berdasarkan kacamata ilmu kedokteran.

Dalam Pasal 80 ayat (b) Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan disebutkan, barang siapa dengan sengaja memproduksi dan atau mengedarkan sediaan farmasi berupa obat atau bahan obat yang tidak memenuhi syarat farmakope Indonesia dan atau buku standar lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda paling banyak Rp300 juta.

Menurut dr Purnamawati S Pujiarto, penggunaan obat puyer menjadi polemik di sejumlah negara. Di negara-negara miskin seperti Bangladesh dan negara-negara Afrika, penggunaan puyer sudah ditinggalkan karena banyaknya kelemahan. Di India yang populasinya sangat padat, jumlah pengunjungnya ke poliklinik lebih tinggi, tapi ternyata puyer tidak menjadi pilihan. Berdasarkan catatan, ratusan tahun lalu puyer lahir karena ketersediaan obat untuk anak sangat terbatas. Untuk menyiasati keterbatasan ini, obat orang dewasa dihaluskan untuk menyesuaikan dosis anak yang lebih kecil sesuai berat badannya.

Namun seiring dengan perkembangan teknologi, puyer sudah mulai ditinggalkan. Selain ketersediaan obat jadi untuk anak sudah cukup banyak, risiko yang ditimbulkan lebih banyak daripada manfaatnya. Farmakalog Universitas Indonesia Riyanto Setiabudi mengatakan, meracik puyer sudah tidak dipelajari lagi calon dokter di bangku kuliah. Tapi karena tradisi, dokter senior pun belajar dengan dokter senior lainnya untuk meracik puyer ini.

Kebiasaan ini susah hilang karena di benak masyarakat sudah tertanam puyer lebih manjur dibanding obat lainnya. Negara-negara lain sudah mulai meninggalkan metode pemberian resep obat puyer terhadap pasien-pasiennya. Malaysia telah tegas mengambil sikap dengan menghentikan penggunaan obat puyer di negaranya. Namun hingga kini, Indonesia belum mau mengarah ke sana.

Munculnya polemik obat puyer bahkan obat-obat jenis lainnya menjadi salah satu keprihatinan bagi dunia kesehatan di Tanah Air. Hal itu terjadi karena lemahnya pengawasan dari negara. Pasalnya selama ini tidak ada standar baku dan sistem pengawasan yang berkesinambungan dalam mengontrol kualitas obat-obatan yang digunakan dalam dunia kesehatan.

Ketua LBH Kesehatan Iskandar Sitorus mengatakan, sebenarnya tidak hanya obat puyer yang bermasalah, tapi banyak obat asal pabrikan dan beredar luas di pasaran sebenarnya berbahaya jika digunakan. Malah lebih memprihantinkan, masalah ini sudah berlangsung cukup lama. Pembuatan obat puyer dan obat pabrikan di Indonesia diragukan telah sesuai dengan teori pembuatan obat yang baik. Pasalnya, tidak ada uji kualitas secara rutin untuk mengetahui proses pembuatan dan standar kualitas obat yang diuji dalam rentang waktu tertentu, dan dilaporkan secara periodik pula.

Semestinya pemerintah dapat belajar dari kasus susu melamin di China. Pemerintah setempat mengambil langkah cepat, salah satunya dengan menindak tegas pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Sementara di Indonesia, sudah terbukti ada obat, makanan atau minuman yang mengandung bahan berbahaya tidak ditindak tegas. Memang sudah ada UU Kesehatan, tapi pada kenyataannya terjadi tumpang tindih antara Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat-obatan dan Makanan (BPOM), dan pihak industri

Menanggapi hal ini Kepala BPOM Husniah Rubiana mengatakan, BPOM tidak memiliki kewenangan dalam persoalan obat puyer, khususnya untuk memberikan tindakan pada dokter yang berpraktik meracik obat berbentuk serbuk tersebut. Meski demikian, BPOM menegaskan semua obat-obatan yang diracik harus sesuai prosedur dan dilakukan di tempat yang higienis. Hal itu harus menjadi perhatian untuk menjaga kualitas obat dan aspek keamanan konsumen.

Meski muncul perbedaan pendapat baik yang pro maupun yang kontra soal penggunaan obat puyer kepada pasien, namun Rumah Sakit Daerah Panembahan Senopati Kabupaten Bantul, DIY, tetap menggunakan obat tersebut karena penggunaan obat puyer tidak berbahaya bagi pasien. Pasalnya rumah sakit ini membuat obat puyer dengan mesin, sehingga kekhawatiran akan higienitas, dosis atau takaran obat akan berbeda dan dampak negatif yang lainnya dapat dihindari. Bahkan proses pembungkusan obat puyer dilakukan dengan mesin sehingga pasien tidak perlu khawatir.

Di RSD Panembahan Senopati Bantul, obat puyer lebih banyak diberikan kepada balita ataupun lansia yang mengalami kesulitan menelan obat berupa pil atau kapsul. Untuk balita, misalnya, jika tidak ada obat sirup maka obat puyer akan diberikan karena tidak mungkin bayi menelan pil. Begitu pula dengan pasien lansia yang kesulitan menelan obat yang berbentuk kapsul, akan diberi obat puyer. Pembuatan obat puyer dengan mesin di Kabupaten Bantul ini juga sudah diterapkan diseluruh Puskesmas yang ada di Kabupaten Bantul, sehingga takaran atau dosis obat, higienitas atau dampak negatif yang lainnya dapat dihindari.

Sementara dari Palembang, Sumatera Selatan dilaporkan, masyarakat yang meragukan pembuatan puyer mendorong YLKI Palembang mengecek pembuatan obat itu pada apotek dan rumah sakit serta puskesmas dan menertibkan praktik pemrosesan obat tidak sesuai ketentuan. YLKI siap bersama-sama turun dan mengecek langsung praktik pembuatan obat puyer tersebut yang selama ini dinilai tidak memenuhi standar kelayakan produksi obat. Ketua YLKI Sriwijaya Taufik Husni mengatakan, pihaknya segera mengajak BPOM untuk mengecek langsung pembuatan obat puyer pada setiap apotek, rumah sakit dan puskesmas. (AI)


Senin, Maret 02, 2009

Menyerap tenaga kerja

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta agar pembangunan infrastruktur dipercepat agar bisa mendongkrak pertumbuhan ekonomi Indonesia pada masa krisis. Dengan percepatan itu, Presiden berharap pada tahun 2009 ini akan tersedia tiga juta lapangan kerja baru bagi masyarakat, terutama korban pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dampak krisis.

Sementara itu, Menteri Keuangan sekaligus Menko Perekonomian Sri Mulyani mengungkapkan, selain rencana percepatan pembangunan infrrastruktur untuk mengantisipasi kemungkinan gelombang PHK tahun 2009. Anggaran Infrastruktur tahun 2008 Departemen Pekerjaan Umum tersedia sekitar Rp34,9 triliun. Menurut rencana terdapat peningkatan alokasi anggaran infrastruktur Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 2009 menjadi Rp35,7 triliun. Dana tersebut antara lain ditujukan untuk menyelesaikan seluruh proyek jalan nasional, pembangunan dan perbaikan infrastruktur untuk irigasi.

Pemerintah juga berencana mempercepat program-pogram padat karya lainnya, seperti Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) dan program perlindungan sosial. Program-program tersebut antara lain, belanja modal lebih dari Rp90 triliun untuk pembangunan jalan dan jembatan, pelabuhan, irigasi pertanian, jaringan listrik, lintasan kereta api, dan telekomunikasi. Kemudian dari PNPM senilai Rp10,3 triliun akan dialokasikan Rp3 miliar per kecamatan per tahun untuk 5.720 kecamatan. Sementara untuk program perlindungan sosial dan pengentasan kemiskinan, ada misalnya bantuan tunai bersyarat Rp1,75 triliun serta Bantuan Langsung Tunai (BLT) untuk dua bulan Rp3,7 triliun.

Data hingga akhir November 2008, jumlah tenaga kerja yang terancam terkena PHK mencapai angka 66.603 di seluruh Indonesia. DKI Jakarta tercatat sebagai provinsi yang paling banyak terjadi PHK, yakni sebanyak 14.268 orang. Sementara itu, jumlah karyawan yang akan terkena PHK dan suratnya sudah masuk mencapai 23.927 orang, belum termasuk 19.091 pekerja yang akan dirumahkan.

Untuk menggenjot proyek-proyek yang menggunakan banyak tenaga kerja atau padat karya, pemerintah akan memasukkan spesifikasi jumlah penggunaan tenaga kerja dalam tender pengadaan proyek infrastruktur tahun 2009. Peserta tender yang menggunakan lebih banyak tenaga kerja bisa mengajukan harga lebih tinggi dibanding mereka yang menggunakan alat berat atau mesin. Kemungkinan pemerintah akan memasukkan spesifikasi jumlah tenaga kerja dalam dokumen penawaran tender.

Deputi Bidang Evaluasi Kinerja Pembangunan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Bambang Widiyanto mengatakan, pemerintah saat ini sedang merumuskan bagaimana agar dalam pelaksanaan proyek padat karya tidak merugikan kontraktor. Rumusan itu diperlukan karena biasanya proyek yang padat tenaga kerja lebih mahal biayanya dibanding dengan menggunakan mesin yang efisien. Namun tidak semua proyek infrastruktur pemerintah menggunakan rumusan ini, karena spesifikasi jumlah tenaga kerja hanya bisa diterapkan untuk proyek sederhana.

Pemerintah, dalam hal ini Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) Erman Soeparno yakin sebanyak 2,6 juta orang tenaga kerja bakal mendapatkan pekerjaan pada tahun 2009 ini. Rinciannya, sekitar dua juta orang bakal mendapatkan pekerjaan lewat proyek dan/atau program yang dibuat pemerintah. Selebihnya, sekitar 600 ribu orang ditargetkan bisa dikirim keluar negeri untuk menjadi Tenaga Kerja Indonesia (TKI).

Nantinya, pembahasan mengenai masalah ini juga akan melibatkan Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP). Dengan memasukkan persyaratan tenaga kerja sebagai penghitungan tender proyek, maka nantinya kontraktor yang mempekerjakan lebih banyak buruh akan dimenangkan bukan cuma harga penawarannya yang murah.

Untuk itu, pemerintah bakal melanjutkan sejumlah program yang dipercaya mampu menyerap tenaga kerja dengan baik. Antara lain, program transmigrasi melalaui pembangunan kota transmigrasi mandiri (KTM) yang diyakini mampu menyerap 350 ribu orang tenaga kerja dan pembangunan perumahan pekerja dengan estimasi penyerapan tenaga kerjanya sekitar 50.000 orang.

Agar penyerapan tenaga kerja semakin optimal, Depnakertrans juga telah mendapat lampu hijau penambahan anggaran pagu indikatif. Anggaran yang semula hanya Rp2,828 triliun menjadi Rp3,227 triliun. Sedianya dana itu antara lain digunakan untuk pelatihan 40.000 orang sebesar Rp109 miliar dan Rp230 miliar untuk program padat karya produktif dengan target penyerapan 110.000 orang.

TKI masih menjadi pilihan yang menarik bagi sebagian besar angkatan kerja di Indonesia. Godaan untuk bekerja di luar negeri terkait dengan tingginya penghasilan yang akan diterima. Hal ini dapat dilihat dari remitance atau kiriman uang dari TKI asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang bekerja di sejumlah negara. Jumlah TKI NTB yang bekerja di luar negeri selama tahun 2008 mencapai 52.754 orang terbanyak bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit di Malaysia dan menjadi Penata Laksana Rumah Tangga (PLRT) atau Pembantu Rumah Tangga (PRT) di Arab Saudi.

Selama tahun 2008 remitance TKI mencapai Rp800 miliar, jauh melampuai Pendapatan Asli Daerah (PAD) NTB sebesar Rp325 miliar. Kalau dihitung, rata-rata satu orang TKI mengirim uang Rp20 juta/tahun, maka jumlah remitance bisa mencapai Rp1 triliun per tahun. Kiriman uang ini merupakan devisa terbesar yang masuk ke NTB dan langsung dinikmati masyarakat.

Untuk program penempatan tahun 2009, Deputi Bidang Penempatan BNP2TKI Ade Adam Noeh mengungkapkan, pihaknya akan menekankan pada dua program utama, yaitu peningkatan pelayanan TKI ke luar negeri dan penguatan kelembagaan badan penyelenggaraan TKI.

Dalam konteks kedua program itu, maka kegiatan yang akan dilakukan Deputi Bidang Penempatan sepanjang tahun 2009 di antaranya pengembangan Sistem Pelayanan Penerbitan Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (SPP-KTKLN), pemantauan dan evaluasi kinerja Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS), peningkatan koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait di dalam dan luar negeri, serta pelaksanaan penempatan kembali TKI deportasi di daerah-daerah perbatasan. (AI)


Industri baja melemah

Harga baja dunia makin merosot ke titik terendah dalam tiga tahun terakhir seiring dengan perlambatan ekonomi global. Kondisi itu diperkirakan menggerus proyeksi pendapatan industri baja nasional mengingat kelebihan stok di pasar lokal masih besar. Berdasarkan data Middle East Steel (lembaga riset baja Timur Tengah), harga baja dunia terus turun dari USD450-500/ton pada Desember 2008 menjadi USD430-470/ton pada pertengahan Januari 2009. Dengan demikian, harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi acuan telah menurun lebih dari 64% dari titik tertinggi pada Agustus 2008 yang pernah menyentuh USD1.200/ton.

World Steel Association (Worldsteel) memproyeksikan permintaan baja pada tahun 2009 terus menurun sekitar 10-15%. Akibatnya, sejumlah perusahaan baja dunia masih akan terus memangkas produksi hingga 20%. Menanggapi hal ini, Ketua Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Bidang Long Product Ismail Mandry menjelaskan, penurunan harga dunia secara otomatis mengoreksi harga baja di sektor hilir antara lain besi beton, besi profil, kawat, paku, seng, dan pipa baja. Harga kelompok baja long product ikut terkoreksi Rp7.000/kg pada Januari 2009 dari posisi Rp11.000/kg pada November 2008.

Pengusaha industri baja nasional diperkirakan akan memangkas produksinya sebesar 30% hingga 40%. Artinya, produksi baja nasional hanya 2,4 juta ton bila dibandingkan dengan total produksi tahun 2008 sebesar 4 juta ton. Pemangkasan produksi bukan tanpa sebab. Ada tiga faktor menjadi alasan produsen mengurangi produksi mereka. Pertama, produsen hulu dan hilir masih memiliki stok bahan baku yang menumpuk yang mereka beli pada saat harga tinggi. Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketiga, ketergantungan industri dalam negeri terhadap produk baja impor.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka Depperin Ansari Bukhari mengatakan, beberapa bulan menjelangi akhir tahun 2008, sejumlah perusahaan hulu – hilir baja ada yang telah menghentikan sementara produksinya. Salah satunya, PT Krakatau Steel (KS) menghentikan produksi di lini hulu atau steel making dengan alasan perawatan berkala atau overhaul pada Desember 2008 hingga Januari 2009. Jumlah produksi yang terhenti mencapai 30% atau 1,5 juta ton.

Penumpukan stok di produsen hulu dan hilir terjadi karena spekulasi yang dilakukan pada saat harga baja bakal melonjak. Pengusaha membeli banyak karena khawatir harga baja bakal tidak turun lagi dan justru terus meninggi. Pada Agustus 2008 harga baja menembus titik tertinggi USD1.220/ton. Pada saat pembelian, produsen membeli di kisaran antara USD800 – USD1.000/ton. Saat ini, harga baja justru telah menyentuh titik terendah menjadi hanya USD440 – USD500/ton. Jumlah stok yang tertumpuk setara untuk stok dua bulan produksi atau sekitar 666.700 ton. Alhasil, ketika harga baja anjlok, produsen merugi.

Sementara untuk pelemahan nilai tukar rupiah ke dolar bila terus berlanjut menyebabkan harga bahan baku dan produk setengah jadi (semifinished) baja kian mahal sehingga memperlemah daya beli konsumen lokal. Akibatnya, berpotensi menghambat realisasi sejumlah proyek infrastruktur dan properti pemerintah pada tahun 2009.

Proyek industri hulu baja yang belum terwujud menyebabkan Indonesia masih akan bergantung besar terhadap impor bahan baku pada tahun 2009. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan agar KS segera melaksanakan proyek baja hulu antara KS-Antam di Kalimantan. Pemerintah juga berharap produsen mencari celah memanfaatkan peluang kelesuan pasar domestik sehingga sektor baja nasional tetap bergerak. Salah satu caranya dengan menyesuaikan harga produknya dengan harga internasional.

Namun demikian, pemerintah memastikan tiga pabrik baja milik PT Meratus Jaya Iron and Steel (perusahaan patungan PT Krakatau Steel dan PT Aneka Tambang) yang akan membangun pabrik iron making berkapasitas 300.000 ton, PT Semeru Surya Steel, dan PT Mandan Steel (Penanaman Modal Asing asal China/China Nickel Holding Resources) sudah mulai berdiri. Investasi ketiga perusahaan yang berlokasi di Kalimantan Selatan itu mencapai USD660 juta.

Penurunan harga baja ini seharusnya menjadi momentum produsen lokal meningkatkan pembelian bahan baku dari pasar domestik dan impor dengan harga murah. Namun, dengan stok yang besar, arus kas (cash flow) perusahaan baja lokal terbatas sehingga sulit memanfaatkan momentum itu. Pada kuartal I/2009 tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang industri baja lokal hanya mencapai 30%.

Di sisi lain ada kabar baik bagi industri atau produsen baja dalam negeri. Mereka tak perlu merasa khawatir produknya bakal tergerus produk impor terutama yang tidak memenuhi standar nasional. Pasalnya Departemen Perindustrian (Depperin) menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 1 dan 2/M-IND/PER/2009 tanggal 6 Januari 2009 yang mewajibkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) produk baja impor. Kebijakan ini mulai efektif berlaku terhitung April 2009.

Dalam peraturan itu produk baja impor yang wajib memiliki SNI antara lain baja lembaran, pelat, dan gulungan canai panas dari pos tarif 7208.25.10.00 sampai 7211.19.90.00. Selain itu, SNI wajib diberlakukan untuk baja lembaran dan gulungan lapis paduan aluminium-seng dengan pos tarif 7210.61.10.00 sampai 7212.50.20.10. Produk baja impor yang memasuki daerah pabean Indonesia wajib memenuhi ketentuan SNI dengan dibuktikan dengan SPPT SNI. Bila tidak, baja yang tidak memenuhi SNI akan direekspor atau dimusnahkan.

Pemberlakuan SNI merupakan kebijakan hambatan non tarif atau yang dikenal non tarif barrier yang bertujuan melindungi industri dalam negeri, khususnya dari produk baja impor ilegal. Namun, kebijakan SNI ini tak serta merta berlaku, pemerintah menetapkan kebijakan SNI wajib bagi HRC dan baja lapis aluminium-seng berlaku surut pada tahun 2009. Dengan pertimbangan, setidaknya butuh waktu tiga bulan untuk sosialisasi dan memberi kesempatan bagi importir umum (IU) mempersiapkan diri memiliki Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT). Sebelum mengimpor, setiap produsen baja asing harus melaporkan standar produknya. Bisa saja produsen baja asing misalnya di China diverifikasi terlebih dahulu agar produknya sesuai SNI. (AI)


Jumat, Februari 20, 2009

Rumah sederhana diberi subsidi

Kementerian Negara Perumahan Rakyat khawatir subsidi perumahan tahun 2009 tak bisa terserap habis seperti tahun 2008. Dalam anggaran tahun 2009 ini pemerintah mengalokasikan dana Rp2,5 triliun untuk subsidi rumah sederhana (RSh) dan rumah susun sederhana milik (rusunami). Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat Iskandar Saleh mengatakan, subsidi yang disediakan pemerintah akan terserap jika perbankan menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Saat ini Bank Tabungan Negara (BTN) menguasai 97% pasar KPR di Indonesia. Perbankan nasional lainnya belum terlibat banyak dalam pembiayaan KPR RSh.

Kementerian akan mengusulkan fasilitas likuiditas untuk meningkatkan pokok pinjaman dengan memberikan dana pendampingan bergulir yang dihitung sebagai keikutsertaan pemerintah dalam dana pokok pinjaman. Porsi perbankan dan pemerintah masing-masing 60% dan 40%. Pemerintah membutuhkan dana Rp4,2 triliun untuk menjalankan fasilitas ini. Di samping itu, kementerian juga mengusulkan revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk menurunkan profil risiko kredit sebesar 10% menjadi 30%. Dengan insentif ini, pemerintah berharap perbankan dapat bergairah mengucurkan kredit rumah bersubsidi karena pengucuran tak menggerus rasio kecukupan modal.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPD Apersi) Anton R Santoso mengatakan, pembangunan RSh terkena dampak krisis ekonomi terlihat dari turunnya permintaan sebagai akibat daya beli yang rendah serta tidak adanya dukungan perbankan. Sebenarnya perbankan sudah menurunkan tingkat bunga KPR, tetapi sangat selektif dalam memilih debitur serta syaratnya sangat ketat. Perbankan mensyaratkan uang muka lebih tinggi sampai 30% padahal semula hanya 10-20%.

Bank sangat berhati-hati dan membatasi diri terhadap pengembang yang membuka lahan untuk proyek baru. Kondisi seperti ini memaksa anggota Apersi, yang rata-rata pengembang kecil, bertahan untuk tidak melakukan investasi baru. Mereka lebih memilih untuk mengoptimalisasi lahan yang dimiliki untuk dikembangkan. Melihat kondisi ini, setidaknya dalam tiga bulan pertama tahun 2009 pengembang melihat dulu kebijakan perbankan. Akibatnya, produksi rumah tahun 2009 diperkirakan tidak berbeda jauh dengan produksi tahun 2008, yakni sekitar 24.000 unit.

Apersi sudah mengusulkan kepada Menpera untuk membebaskan PPN rumah untuk segmen menengah dengan harga Rp100 juta ke bawah, karena harga unit rusunami dengan harga Rp144 juta/unit mendapat fasilitas bebas PPN. Kebijakan ini setidaknya akan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli rumah dengan harga di bawah Rp100 juta karena di segmen menengah juga terkena dampak krisis ekonomi.

Deputi Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Bidang Pembiayaan Tito Murbaintoro memperkirakan secara keseluruhan program pembangunan perumahan tahun 2009 dengan sasaran 1.075.400 unit dan nilai investasi sejumlah Rp50,81 triliun akan menciptakan lapangan kerja langsung untuk 711.295 orang/tahun dan lapangan kerja tidak langsung untuk 2.489.533 orang/tahun sehingga total lapangan kerja yang tercipta dapat mencapai 3.200.828 orang/tahun.

Kementerian Negara Perumahan Rakyat juga akan mengkaji penetapan standar minimum RSh yang layak. RSh yang saat ini banyak dikembangkan adalah tipe 21 karena melihat daya beli masyarakat yang masih rendah. Tetapi jika Indonesia ingin meningkatkan kualitas hidupnya, sudah saatnya standar kelayakan rumah juga ditingkatkan, yaitu tipe 36 dengan luas kavling minimal 60 m2. Standar rumah tipe 36 itu merupakan hasil kajian ilmiah dari Pusat Penelitian Perumahan dan Permukiman. Ukuran itu sudah mencantumkan tingkat kenyamanan, sirkulasi udara, dan ruang gerak untuk satu keluarga dengan dua anak.

Di sisi lain, pemerintah akhirnya memberikan keringanan pajak kepada pengembang perumahan sederhana dengan menurunkan pembayaran pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan menjadi 1% dari sebelumnya 5%. Insentif perpajakan ini berlaku mulai awal Januari 2009. Insentif perpajakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2008, mengenai Perubahan Ketiga atas PP No.48 tahun 1994, tentang Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.

Insentif perpajakan itu diarahkan untuk mendorong kalangan pengembang menggiatkan pembangunan hunian sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Insentif tersebut akan mengurangi beban pengeluaran pengembang dalam pembangunan RSh dan rusuna. Namun, hal itu belum tentu diikuti penurunan harga jual hunian tersebut karena margin yang diperoleh pengembang relatif kecil.

Ketua Umum DPP REI Teguh Satria menyambut baik keputusan pemerintah yang memberlakukan penurunan PPh final 1% yang dikenakan pada saat penghasilan tersebut diterima dan tidak lagi digabungkan dengan penghasilan lainnya di SPT Tahunan. PPh yang sudah dibayar atau dipotong pada saat diterima atau diperoleh itu pun tidak bisa dikreditkan. Peraturan perpajakan itu akan memperjelas dan memastikan nilai pajak dari sektor properti. Dengan demikian bagi pengembang, terutama pengembang skala kecil dengan sistem pembukuan yang sederhana, tidak takut salah dalam membayar pajak.

Menurut pandangan Associate Director PT Procon Indah Utami Prastiana, permintaan akan tertekan oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat. Terlebih jika suku bunga bank masih bertengger di level tinggi, industri properti bakal susah. Pasalnya sekitar 90% konsumen perumahan, khususnya rumah kelas menengah dan bawah, tidak bisa dilepaskan dari KPR. Presiden Direktur Era Bintaro Century Saut Sitanggang mengakui hal yang sama. Di saat ekonomi lesu, biasanya permintaan rumah menengah dan bawah akan terpukul. Harapan hanya ada dari segmen perumahan menengah atas dan atas.

Pengembang lain, Summarecon, bahkan sudah siap dengan strategi merengkuh kalangan atas ini. Salah satu strateginya dengan membuka kawasan permukiman elite yang dilengkapi fasilitas pendidikan. Sama halnya dengan Bakrieland Development yang akan memfokuskan pasar pada kelompok elite. Segmen perumahan menengah atas memang relatif bebas dari tekanan inflasi dan tingkat suku bunga. (AI)


Proyek infrastruktur perlu dana besar

Dalam buku pedoman proyek infrastruktur, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menawarkan 82 proyek infrastruktur kepada swasta melalui skim public private partnership (PPP). Ada tiga kategori untuk proyek-proyek PPP itu. Pertama, proyek yang sudah siap lelang. Artinya, pemerintah melelang proyek pada tahun 2009 ini juga. Kedua, proyek prioritas yang sudah memasuki tahap persiapan dokumen untuk dilelang. Ketiga, proyek potensial yang telah mendapat persetujuan menteri atau kepala daerah yang akan dibangun melalui skim PPP.

Menurut Direktur Kerjasama Pemerintah dan Swasta Bappenas Bastary Panji Indra, dari 82 proyek itu, sebagian besar adalah jalan tol sebanyak 32 proyek, pengadaan air minum sebanyak 20 proyek, dan pembangunan rel kereta api sebanyak 15 proyek. Yang agak mengecewakan, dari 82 proyek di dalam buku tersebut, ternyata hanya ada satu proyek yang siap lelang tahun 2009 ini. Proyek tersebut adalah pembangunan terminal kapal pesiar dan akomodasi di Tanah Ampo, Karangasem, Bali.

Beberapa jenis infrastruktur yang akan mendapat alokasi infrastruktur langsung adalah kereta api, jalan, irigasi, penanggulangan bencana banjir, air minum, perumahan, dan listrik. Sementara itu, jenis infrastruktur tidak langsung antara lain irigasi tersier, jalan desa, dan irigasi pertanian, dan tambak perikanan.

Departemen Perhubungan mengganggarkan Rp12 triliun hingga Rp13 triliun untuk belanja modal infrastruktur dari total dana sebesar Rp16,977 triliun yang diterima tahun 2009. Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal optimistis, dengan jumlah dana sebesar itu, Dephub mampu menyerap lebih dari 380.000 tenaga kerja. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kerja tidak langsung yang terserap.

Di samping itu, sejumlah proyek penting yang akan digarap Dephub tahun ini adalah pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan di 32 provinsi. Ada juga rencana membangun sejumlah dermaga sungai, danau dan penyeberangan, baik baru maupun lanjutan, termasuk meningkatkan jalan kereta api di Jawa dan Sumatera, membangun dan meningkatkan bandara di beberapa wilayah, pengembangan sarana pendidikan dan laboratorium, hingga pengadaan sarana dan prasarana penunjang pencarian dan penyelamatan.

Selain pembangunan infrastruktur, pemerintah juga harus memprioritaskan pembangunan perumahan rakyat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 2009. Dua hal itu dipercaya mampu menjadi lokomotif ekonomi domestik di tengah resesi ekonomi global saat ini, meski dua hal itu mengandung pro dan kontra. Di satu sisi, infrastruktur memiliki efek ekonomi yang sangat besar, namun juga membutuhkan modal dan upaya yang juga tidak kalah besar. Pembangunan infrastruktur tidak dapat langsung diproses dan dananya tidak cepat berputar. Di sisi lain perumahan rakyat memberikan harapan karena pembangunan konstruksinya dan dananya bisa berputar lebih cepat. Pembangunan infrastruktur dan perumahan rakyat juga bakal menyerap tenaga kerja, termasuk lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.

Adanya penambahan belanja infrastruktur dalam stimulus fiskal 2009 sebesar Rp10,2 triliun atau setara dengan 0,2% PDB, akan digunakan untuk memperluas program-program infrastruktur guna mendorong perekonomian nasional. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, perluasan program infrastruktur perlu dilakukan mengingat banyaknya proyek yang belum terselesaikan dalam waktu satu tahun.

Sebelumnya Kepala Bappenas menyatakan pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp6 triliun untuk pembangunan infrastruktur yang diambil dari anggaran stimulus fiskal tahap kedua Rp15 triliun. Namun, Menkeu Sri Mulyani Indrawati saat mengajukan perubahan APBN 2009 kepada DPR mengungkapkan, belanja infrastruktur 2009 akan ditambah 0,02% dari PDB atau senilai Rpl0,2 triliun. Dari total alokasi stimulus infrastruktur sebesar Rpl0,2 triliun tersebut, sekitar Rp6 triliun dialokasikan sebagai stimulus infrastruktur langsung dan sisanya sebesar Rp4,2 triliun dialokasikan untuk stimulus infrastruktur tidak langsung.

Sementara untuk kebutuhan pendanaan infrastruktur periode 2010-2014, Bappenas menghitung pemerintah membutuhkan tambahan sedikitnya Rp1.429 triliun selama 5 tahun. Dana ini bersumber dari swasta sebesar Rp978 triliun (69%), dan sisanya Rp451 triliun (31%) berasal dari pemerintah. Dana sebesar itu dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi berkisar 5,5% hingga 7%. Untuk pendanaan, pemerintah akan memakai dana APBN yang akan dikucurkan melalui Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, rencana pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur pada tahun 2009 diperkirakan mampu menyerap 2,5 juta hingga 3,5 juta tenaga kerja dengan catatan tergantung pada kesiapan pendanaan dan efektivitas penyerapan proyek. Pemerintah harus menyiapkan berbagai proyek infrastruktur dengan target penyerapan kelompok pekerja yang jelas untuk menghadapi gelombang PHK tahun 2009. Menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional, jumlah PHK pada tahun 2009 dapat mencapai 1 juta orang.

Di sisi lain, karakteristik proyek infrastruktur yang padat karya tidak bisa diharapkan terus-menerus. Pasalnya, kerangka waktu pengerjaan proyek padat karya terbatas sehingga jika proyek berakhir, jumlah pengangguran akan kembali meningkat. Untuk itu, usaha-usaha di sektor formal yang terkena dampak krisis juga perlu dibantu agar dapat berkontribusi menyerap tenaga kerja.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai pemberian stimulus infrastruktur tidak akan efektif membantu sektor riil selama pemberiannya tidak dilakukan secara cepat. Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, selain jumlah dana stimulus yang terlalu kecil, kecepatan realisasi program stimulus merupakan penentu apakah efek dari kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh sektor riil. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah memperbaiki sistem birokrasi yang selama ini dinilai tidak efektif sehingga mengakibatkan proyek-proyek yang sudah direncanakan ternyata tidak dapat berjalan dengan efektif. (AI)


Senin, Februari 16, 2009

Sepatu

Pesanan atau pembelian yang tidak kunjung membaik pada awal tahun 2009 menyebabkan industri sepatu mulai mengurangi kapasitas produksi hingga 40%. Akibatnya, pengusaha terpaksa merumahkan pekerjanya. Hingga saat ini, jumlah pekerja yang dirumahkan di industri sepatu sudah mencapai 16.000 orang. Menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko, pengusaha hingga kini belum mau mem-PHK karena khawatir tiba-tiba ordernya masuk lagi dan sulit mencari orang dengan skill yang baik.

Awal tahun 2009 ini, kondisi pesanan sektor usaha sepatu belum normal. Kalaupun ada pesanan, pembeli memesannya sedikit demi sedikit per bulan. Kondisi inilah yang menyulitkan produsen karena tak dapat memprediksi rencana produksi. Dari sini, produsen memutuskan untuk memangkas produksi guna menghindari biaya produksi yang besar.

Selain memberikan pesanan sedikit-sedikit, pembeli juga meminta produsen dalam negeri memberikan diskon harga. Para pembeli menilai, produsen nasional memiliki keuntungan lebih seiring penurunan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah. Terlebih, produsen sepatu di China dan Thailand juga telah menurunkan harga produknya. Berpatokan pada hal ini, para pembeli meminta produsen Indonesia ikut melakukan hal serupa. Jika tak mendapatkan diskon, mereka bakal mengalihkan pesanan ke negara pesaing Indonesia seperti China.

Kinerja ekspor sepatu tahun ini diperkirakan akan turun 10 - 20% dari target sebesar USD1,75 miliar pada tahun 2008. Penurunan ekspor itu bertolak belakang dengan pencapaian ekspor sepatu pada Januari 2008 hingga Oktober 2008 yang naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun 2007.

Puluhan perajin di sentra industri sepatu Desa Kemasan dan Ponokawan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur mengeluh atas naiknya harga bahan baku sepatu. Harga bahan baku yang mengalami kenaikan berupa kap (bagian atas) sepatu dan lem. Untuk kap sepatu dari jenis bahan Regia, Sonia, dan Nobuk, yang kebanyakan diimpor dari China dan Korea mengalami kenaikan rata-rata 30 – 40% mengikuti pergerakan nilai tukar dolar.

Saat nilai tukar dolar Rp9 ribu/USD, harga kap sepatu Rp35 ribu/m. Kini harga tersebut naik naik menjadi Rp44 ribu/m. Untuk lem kuning harganya naik dari Rp180 ribu/galon atau seberat 12 kg menjadi Rp300 ribu/galon. Kenaikan tajam terjadi pada lem putih yang mencapai 50% lebih, dari harga semula Rp260 ribu/galon kini menjadi Rp440 ribu/galon.

Produsen sepatu yang berlokasi di Jabar sudah mulai menghentikan kegiatan produksinya. Hal ini terjadi akibat adanya ancaman penghentian order yang dilakukan oleh beberapa pembeli yang meminta penurunan harga. Pembeli yang berniat menghentikan order berasal dari Australia dan Eropa. Pembeli asal Australia tersebut adalah yang memegang merek Cherry dan NG. Mereka meminta harga diturunkan, dari USD10/pasang menjadi USD9/pasang. Menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jabar Max Lukito, sedikitnya ada tiga perusahaan yang terancam berhenti berproduksi. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Daya Tugu Mitra, PT Torch Internasional, dan PT Fortunas.

Total produksi ketiga perusahaan tersebut adalah 63.000 pasang/bulan atau 756.000 pasang/tahun. Nilai ekspor ketiga perusahaan tersebut diperkirakan mencapai USD7,5 juta. Perusahaan tersebut memiliki total karyawan sebanyak 5.000 orang. Jika produksi ini terus berhenti, secara otomatis PHK tidak akan terelakkan lagi.

Di samping itu, industri persepatuan Jabar belum mampu memenuhi pesanan luar negeri akibat tidak adanya standardisasi ukuran sepatu. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu penurunan ekspor alas kaki Jabar tahun 2009 yang diperkirakan mencapai 30%. Sebagian besar industri sepatu Jabar selama ini mendesain sepatu secara manual sehingga ukurannya sering berbeda antara produsen satu dan yang lain meski nomornya sama. Masing-masing pelaku merasa benar dengan standar ukurannya.

Mengantisipasi permasalahan itu, Aprisindo Jabar akan membantu penyediaan desain pola sepatu menggunakan peranti lunak (software) CAD/CAM. Dengan fasilitas ini, desain sepatu bisa dibuat dalam berbagai ukuran sesuai standar internasional dan meningkatkan produksi untuk mengisi pasar dalam negeri yang telah ditata dengan kenaikan bea masuk produk ekspor dan pengetatan pintu masuk di pelabuhan untuk mencegah produk ilegal. Di Jabar hanya ada tiga perusahaan yang menggunakan alat tersebut karena harganya mahal. Satu unit CAD/CAM produksi Korea seharga USD6.500, sedangkan mesin potong seharga USD8.300.

Krisis global memang mulai dirasakan produsen sepatu pada tahun 2009 ini. Sekitar 25 investor sepatu, baik dari dalam maupun luar negeri memutuskan untuk menunda rencana ekspansi. Nilai investasi yang tertunda itu totalnya mencapai USD700 juta. Para investor akan melanjutkan niatan ekspansi hingga kondisi perekonomian membaik. Kalaupun ada yang tetap jalan mendirikan pabrik, pelaksanaannya pelan-pelan tidak seperti rencana semula.

Dari total 120 perusahaan sepatu, ada juga yang berminat berinvestasi sekitar Rp5 miliar/perusahaan. Namun, mereka sulit merealisasikannya lantaran kesulitan arus kas. Ditambah lagi, pengusaha harus membeli bahan baku secara tunai. Demikian pula dengan penerbitan surat jaminan kredit (letter of credit atau L/C) untuk ekspor yang harus dibayar penuh. Kondisi ini membuat perusahaan sepatu lokal kebingungan.

Berdasarkan data Depperin yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perusahaan yang berinvestasi di sektor alas kaki itu antara lain berasal dari China, Korea Selatan, dan Taiwan. PMA yang mendapat izin prinsip antara lain PT Bu Kyung Indonesia (PMA Korea Selatan) dengan nilai investasi USD10 juta yang merealisasikan pabrik baru dengan kapasitas 3,5 juta pasang sepatu/tahun. PT Shoe Link Shoes Indonesia berencana membangun pabrik baru senilai USD3,5 juta dengan kapasitas 3 juta pasang/tahun. PT Ka Yuen Indonesia berencana membangun pabrik baru USD2,9 juta dengan kapasitas produksi 12,2 juta pasang/tahun.

Sedangkan perusahaan sepatu PMDN yang berencana membangun pabrik baru pada tahun 2009 adalah PT Simko Prima Mandiri dengan nilai investasi Rp22 miliar. Pabrik baru itu direncanakan berkapasitas produksi 3 juta pasang/tahun. Sementara itu, perusahaan PMA yang berencana melakukan ekspansi antara lain PT Sepatu Mas Idaman yang akan menambah kapasitas produksi 870.000 pasang/tahun dengan investasi Rp66 miliar. (AI)