Jumat, Februari 20, 2009

Rumah sederhana diberi subsidi

Kementerian Negara Perumahan Rakyat khawatir subsidi perumahan tahun 2009 tak bisa terserap habis seperti tahun 2008. Dalam anggaran tahun 2009 ini pemerintah mengalokasikan dana Rp2,5 triliun untuk subsidi rumah sederhana (RSh) dan rumah susun sederhana milik (rusunami). Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat Iskandar Saleh mengatakan, subsidi yang disediakan pemerintah akan terserap jika perbankan menyalurkan Kredit Pemilikan Rumah (KPR). Saat ini Bank Tabungan Negara (BTN) menguasai 97% pasar KPR di Indonesia. Perbankan nasional lainnya belum terlibat banyak dalam pembiayaan KPR RSh.

Kementerian akan mengusulkan fasilitas likuiditas untuk meningkatkan pokok pinjaman dengan memberikan dana pendampingan bergulir yang dihitung sebagai keikutsertaan pemerintah dalam dana pokok pinjaman. Porsi perbankan dan pemerintah masing-masing 60% dan 40%. Pemerintah membutuhkan dana Rp4,2 triliun untuk menjalankan fasilitas ini. Di samping itu, kementerian juga mengusulkan revisi Peraturan Bank Indonesia (PBI) untuk menurunkan profil risiko kredit sebesar 10% menjadi 30%. Dengan insentif ini, pemerintah berharap perbankan dapat bergairah mengucurkan kredit rumah bersubsidi karena pengucuran tak menggerus rasio kecukupan modal.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (DPD Apersi) Anton R Santoso mengatakan, pembangunan RSh terkena dampak krisis ekonomi terlihat dari turunnya permintaan sebagai akibat daya beli yang rendah serta tidak adanya dukungan perbankan. Sebenarnya perbankan sudah menurunkan tingkat bunga KPR, tetapi sangat selektif dalam memilih debitur serta syaratnya sangat ketat. Perbankan mensyaratkan uang muka lebih tinggi sampai 30% padahal semula hanya 10-20%.

Bank sangat berhati-hati dan membatasi diri terhadap pengembang yang membuka lahan untuk proyek baru. Kondisi seperti ini memaksa anggota Apersi, yang rata-rata pengembang kecil, bertahan untuk tidak melakukan investasi baru. Mereka lebih memilih untuk mengoptimalisasi lahan yang dimiliki untuk dikembangkan. Melihat kondisi ini, setidaknya dalam tiga bulan pertama tahun 2009 pengembang melihat dulu kebijakan perbankan. Akibatnya, produksi rumah tahun 2009 diperkirakan tidak berbeda jauh dengan produksi tahun 2008, yakni sekitar 24.000 unit.

Apersi sudah mengusulkan kepada Menpera untuk membebaskan PPN rumah untuk segmen menengah dengan harga Rp100 juta ke bawah, karena harga unit rusunami dengan harga Rp144 juta/unit mendapat fasilitas bebas PPN. Kebijakan ini setidaknya akan meningkatkan daya beli masyarakat untuk membeli rumah dengan harga di bawah Rp100 juta karena di segmen menengah juga terkena dampak krisis ekonomi.

Deputi Menteri Negara Perumahan Rakyat (Menpera) Bidang Pembiayaan Tito Murbaintoro memperkirakan secara keseluruhan program pembangunan perumahan tahun 2009 dengan sasaran 1.075.400 unit dan nilai investasi sejumlah Rp50,81 triliun akan menciptakan lapangan kerja langsung untuk 711.295 orang/tahun dan lapangan kerja tidak langsung untuk 2.489.533 orang/tahun sehingga total lapangan kerja yang tercipta dapat mencapai 3.200.828 orang/tahun.

Kementerian Negara Perumahan Rakyat juga akan mengkaji penetapan standar minimum RSh yang layak. RSh yang saat ini banyak dikembangkan adalah tipe 21 karena melihat daya beli masyarakat yang masih rendah. Tetapi jika Indonesia ingin meningkatkan kualitas hidupnya, sudah saatnya standar kelayakan rumah juga ditingkatkan, yaitu tipe 36 dengan luas kavling minimal 60 m2. Standar rumah tipe 36 itu merupakan hasil kajian ilmiah dari Pusat Penelitian Perumahan dan Permukiman. Ukuran itu sudah mencantumkan tingkat kenyamanan, sirkulasi udara, dan ruang gerak untuk satu keluarga dengan dua anak.

Di sisi lain, pemerintah akhirnya memberikan keringanan pajak kepada pengembang perumahan sederhana dengan menurunkan pembayaran pajak atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan bangunan menjadi 1% dari sebelumnya 5%. Insentif perpajakan ini berlaku mulai awal Januari 2009. Insentif perpajakan itu tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2008, mengenai Perubahan Ketiga atas PP No.48 tahun 1994, tentang Pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) dari Pengalihan Hak atas Tanah dan atau Bangunan.

Insentif perpajakan itu diarahkan untuk mendorong kalangan pengembang menggiatkan pembangunan hunian sederhana bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Insentif tersebut akan mengurangi beban pengeluaran pengembang dalam pembangunan RSh dan rusuna. Namun, hal itu belum tentu diikuti penurunan harga jual hunian tersebut karena margin yang diperoleh pengembang relatif kecil.

Ketua Umum DPP REI Teguh Satria menyambut baik keputusan pemerintah yang memberlakukan penurunan PPh final 1% yang dikenakan pada saat penghasilan tersebut diterima dan tidak lagi digabungkan dengan penghasilan lainnya di SPT Tahunan. PPh yang sudah dibayar atau dipotong pada saat diterima atau diperoleh itu pun tidak bisa dikreditkan. Peraturan perpajakan itu akan memperjelas dan memastikan nilai pajak dari sektor properti. Dengan demikian bagi pengembang, terutama pengembang skala kecil dengan sistem pembukuan yang sederhana, tidak takut salah dalam membayar pajak.

Menurut pandangan Associate Director PT Procon Indah Utami Prastiana, permintaan akan tertekan oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat. Terlebih jika suku bunga bank masih bertengger di level tinggi, industri properti bakal susah. Pasalnya sekitar 90% konsumen perumahan, khususnya rumah kelas menengah dan bawah, tidak bisa dilepaskan dari KPR. Presiden Direktur Era Bintaro Century Saut Sitanggang mengakui hal yang sama. Di saat ekonomi lesu, biasanya permintaan rumah menengah dan bawah akan terpukul. Harapan hanya ada dari segmen perumahan menengah atas dan atas.

Pengembang lain, Summarecon, bahkan sudah siap dengan strategi merengkuh kalangan atas ini. Salah satu strateginya dengan membuka kawasan permukiman elite yang dilengkapi fasilitas pendidikan. Sama halnya dengan Bakrieland Development yang akan memfokuskan pasar pada kelompok elite. Segmen perumahan menengah atas memang relatif bebas dari tekanan inflasi dan tingkat suku bunga. (AI)


Proyek infrastruktur perlu dana besar

Dalam buku pedoman proyek infrastruktur, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menawarkan 82 proyek infrastruktur kepada swasta melalui skim public private partnership (PPP). Ada tiga kategori untuk proyek-proyek PPP itu. Pertama, proyek yang sudah siap lelang. Artinya, pemerintah melelang proyek pada tahun 2009 ini juga. Kedua, proyek prioritas yang sudah memasuki tahap persiapan dokumen untuk dilelang. Ketiga, proyek potensial yang telah mendapat persetujuan menteri atau kepala daerah yang akan dibangun melalui skim PPP.

Menurut Direktur Kerjasama Pemerintah dan Swasta Bappenas Bastary Panji Indra, dari 82 proyek itu, sebagian besar adalah jalan tol sebanyak 32 proyek, pengadaan air minum sebanyak 20 proyek, dan pembangunan rel kereta api sebanyak 15 proyek. Yang agak mengecewakan, dari 82 proyek di dalam buku tersebut, ternyata hanya ada satu proyek yang siap lelang tahun 2009 ini. Proyek tersebut adalah pembangunan terminal kapal pesiar dan akomodasi di Tanah Ampo, Karangasem, Bali.

Beberapa jenis infrastruktur yang akan mendapat alokasi infrastruktur langsung adalah kereta api, jalan, irigasi, penanggulangan bencana banjir, air minum, perumahan, dan listrik. Sementara itu, jenis infrastruktur tidak langsung antara lain irigasi tersier, jalan desa, dan irigasi pertanian, dan tambak perikanan.

Departemen Perhubungan mengganggarkan Rp12 triliun hingga Rp13 triliun untuk belanja modal infrastruktur dari total dana sebesar Rp16,977 triliun yang diterima tahun 2009. Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal optimistis, dengan jumlah dana sebesar itu, Dephub mampu menyerap lebih dari 380.000 tenaga kerja. Jumlah tersebut belum termasuk tenaga kerja tidak langsung yang terserap.

Di samping itu, sejumlah proyek penting yang akan digarap Dephub tahun ini adalah pengadaan dan pemasangan fasilitas keselamatan lalu lintas dan angkutan jalan di 32 provinsi. Ada juga rencana membangun sejumlah dermaga sungai, danau dan penyeberangan, baik baru maupun lanjutan, termasuk meningkatkan jalan kereta api di Jawa dan Sumatera, membangun dan meningkatkan bandara di beberapa wilayah, pengembangan sarana pendidikan dan laboratorium, hingga pengadaan sarana dan prasarana penunjang pencarian dan penyelamatan.

Selain pembangunan infrastruktur, pemerintah juga harus memprioritaskan pembangunan perumahan rakyat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi 2009. Dua hal itu dipercaya mampu menjadi lokomotif ekonomi domestik di tengah resesi ekonomi global saat ini, meski dua hal itu mengandung pro dan kontra. Di satu sisi, infrastruktur memiliki efek ekonomi yang sangat besar, namun juga membutuhkan modal dan upaya yang juga tidak kalah besar. Pembangunan infrastruktur tidak dapat langsung diproses dan dananya tidak cepat berputar. Di sisi lain perumahan rakyat memberikan harapan karena pembangunan konstruksinya dan dananya bisa berputar lebih cepat. Pembangunan infrastruktur dan perumahan rakyat juga bakal menyerap tenaga kerja, termasuk lebih mengutamakan penggunaan produk dalam negeri.

Adanya penambahan belanja infrastruktur dalam stimulus fiskal 2009 sebesar Rp10,2 triliun atau setara dengan 0,2% PDB, akan digunakan untuk memperluas program-program infrastruktur guna mendorong perekonomian nasional. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, perluasan program infrastruktur perlu dilakukan mengingat banyaknya proyek yang belum terselesaikan dalam waktu satu tahun.

Sebelumnya Kepala Bappenas menyatakan pemerintah mengalokasikan dana sekitar Rp6 triliun untuk pembangunan infrastruktur yang diambil dari anggaran stimulus fiskal tahap kedua Rp15 triliun. Namun, Menkeu Sri Mulyani Indrawati saat mengajukan perubahan APBN 2009 kepada DPR mengungkapkan, belanja infrastruktur 2009 akan ditambah 0,02% dari PDB atau senilai Rpl0,2 triliun. Dari total alokasi stimulus infrastruktur sebesar Rpl0,2 triliun tersebut, sekitar Rp6 triliun dialokasikan sebagai stimulus infrastruktur langsung dan sisanya sebesar Rp4,2 triliun dialokasikan untuk stimulus infrastruktur tidak langsung.

Sementara untuk kebutuhan pendanaan infrastruktur periode 2010-2014, Bappenas menghitung pemerintah membutuhkan tambahan sedikitnya Rp1.429 triliun selama 5 tahun. Dana ini bersumber dari swasta sebesar Rp978 triliun (69%), dan sisanya Rp451 triliun (31%) berasal dari pemerintah. Dana sebesar itu dihitung berdasarkan asumsi pertumbuhan ekonomi berkisar 5,5% hingga 7%. Untuk pendanaan, pemerintah akan memakai dana APBN yang akan dikucurkan melalui Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Komunikasi dan Informasi, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS).

Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Rusman Heriawan, rencana pemerintah untuk mempercepat pelaksanaan proyek infrastruktur pada tahun 2009 diperkirakan mampu menyerap 2,5 juta hingga 3,5 juta tenaga kerja dengan catatan tergantung pada kesiapan pendanaan dan efektivitas penyerapan proyek. Pemerintah harus menyiapkan berbagai proyek infrastruktur dengan target penyerapan kelompok pekerja yang jelas untuk menghadapi gelombang PHK tahun 2009. Menurut perkiraan Organisasi Buruh Internasional, jumlah PHK pada tahun 2009 dapat mencapai 1 juta orang.

Di sisi lain, karakteristik proyek infrastruktur yang padat karya tidak bisa diharapkan terus-menerus. Pasalnya, kerangka waktu pengerjaan proyek padat karya terbatas sehingga jika proyek berakhir, jumlah pengangguran akan kembali meningkat. Untuk itu, usaha-usaha di sektor formal yang terkena dampak krisis juga perlu dibantu agar dapat berkontribusi menyerap tenaga kerja.

Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) menilai pemberian stimulus infrastruktur tidak akan efektif membantu sektor riil selama pemberiannya tidak dilakukan secara cepat. Wakil Ketua Kadin Bidang Kebijakan Publik, Perpajakan, dan Kepabeanan Hariyadi B. Sukamdani mengatakan, selain jumlah dana stimulus yang terlalu kecil, kecepatan realisasi program stimulus merupakan penentu apakah efek dari kebijakan tersebut dapat dirasakan oleh sektor riil. Oleh sebab itu, sebaiknya pemerintah memperbaiki sistem birokrasi yang selama ini dinilai tidak efektif sehingga mengakibatkan proyek-proyek yang sudah direncanakan ternyata tidak dapat berjalan dengan efektif. (AI)


Senin, Februari 16, 2009

Sepatu

Pesanan atau pembelian yang tidak kunjung membaik pada awal tahun 2009 menyebabkan industri sepatu mulai mengurangi kapasitas produksi hingga 40%. Akibatnya, pengusaha terpaksa merumahkan pekerjanya. Hingga saat ini, jumlah pekerja yang dirumahkan di industri sepatu sudah mencapai 16.000 orang. Menurut Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddy Widjanarko, pengusaha hingga kini belum mau mem-PHK karena khawatir tiba-tiba ordernya masuk lagi dan sulit mencari orang dengan skill yang baik.

Awal tahun 2009 ini, kondisi pesanan sektor usaha sepatu belum normal. Kalaupun ada pesanan, pembeli memesannya sedikit demi sedikit per bulan. Kondisi inilah yang menyulitkan produsen karena tak dapat memprediksi rencana produksi. Dari sini, produsen memutuskan untuk memangkas produksi guna menghindari biaya produksi yang besar.

Selain memberikan pesanan sedikit-sedikit, pembeli juga meminta produsen dalam negeri memberikan diskon harga. Para pembeli menilai, produsen nasional memiliki keuntungan lebih seiring penurunan harga BBM dan pelemahan nilai tukar rupiah. Terlebih, produsen sepatu di China dan Thailand juga telah menurunkan harga produknya. Berpatokan pada hal ini, para pembeli meminta produsen Indonesia ikut melakukan hal serupa. Jika tak mendapatkan diskon, mereka bakal mengalihkan pesanan ke negara pesaing Indonesia seperti China.

Kinerja ekspor sepatu tahun ini diperkirakan akan turun 10 - 20% dari target sebesar USD1,75 miliar pada tahun 2008. Penurunan ekspor itu bertolak belakang dengan pencapaian ekspor sepatu pada Januari 2008 hingga Oktober 2008 yang naik 15% dibandingkan periode yang sama tahun 2007.

Puluhan perajin di sentra industri sepatu Desa Kemasan dan Ponokawan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur mengeluh atas naiknya harga bahan baku sepatu. Harga bahan baku yang mengalami kenaikan berupa kap (bagian atas) sepatu dan lem. Untuk kap sepatu dari jenis bahan Regia, Sonia, dan Nobuk, yang kebanyakan diimpor dari China dan Korea mengalami kenaikan rata-rata 30 – 40% mengikuti pergerakan nilai tukar dolar.

Saat nilai tukar dolar Rp9 ribu/USD, harga kap sepatu Rp35 ribu/m. Kini harga tersebut naik naik menjadi Rp44 ribu/m. Untuk lem kuning harganya naik dari Rp180 ribu/galon atau seberat 12 kg menjadi Rp300 ribu/galon. Kenaikan tajam terjadi pada lem putih yang mencapai 50% lebih, dari harga semula Rp260 ribu/galon kini menjadi Rp440 ribu/galon.

Produsen sepatu yang berlokasi di Jabar sudah mulai menghentikan kegiatan produksinya. Hal ini terjadi akibat adanya ancaman penghentian order yang dilakukan oleh beberapa pembeli yang meminta penurunan harga. Pembeli yang berniat menghentikan order berasal dari Australia dan Eropa. Pembeli asal Australia tersebut adalah yang memegang merek Cherry dan NG. Mereka meminta harga diturunkan, dari USD10/pasang menjadi USD9/pasang. Menurut Ketua Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Jabar Max Lukito, sedikitnya ada tiga perusahaan yang terancam berhenti berproduksi. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Daya Tugu Mitra, PT Torch Internasional, dan PT Fortunas.

Total produksi ketiga perusahaan tersebut adalah 63.000 pasang/bulan atau 756.000 pasang/tahun. Nilai ekspor ketiga perusahaan tersebut diperkirakan mencapai USD7,5 juta. Perusahaan tersebut memiliki total karyawan sebanyak 5.000 orang. Jika produksi ini terus berhenti, secara otomatis PHK tidak akan terelakkan lagi.

Di samping itu, industri persepatuan Jabar belum mampu memenuhi pesanan luar negeri akibat tidak adanya standardisasi ukuran sepatu. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu penurunan ekspor alas kaki Jabar tahun 2009 yang diperkirakan mencapai 30%. Sebagian besar industri sepatu Jabar selama ini mendesain sepatu secara manual sehingga ukurannya sering berbeda antara produsen satu dan yang lain meski nomornya sama. Masing-masing pelaku merasa benar dengan standar ukurannya.

Mengantisipasi permasalahan itu, Aprisindo Jabar akan membantu penyediaan desain pola sepatu menggunakan peranti lunak (software) CAD/CAM. Dengan fasilitas ini, desain sepatu bisa dibuat dalam berbagai ukuran sesuai standar internasional dan meningkatkan produksi untuk mengisi pasar dalam negeri yang telah ditata dengan kenaikan bea masuk produk ekspor dan pengetatan pintu masuk di pelabuhan untuk mencegah produk ilegal. Di Jabar hanya ada tiga perusahaan yang menggunakan alat tersebut karena harganya mahal. Satu unit CAD/CAM produksi Korea seharga USD6.500, sedangkan mesin potong seharga USD8.300.

Krisis global memang mulai dirasakan produsen sepatu pada tahun 2009 ini. Sekitar 25 investor sepatu, baik dari dalam maupun luar negeri memutuskan untuk menunda rencana ekspansi. Nilai investasi yang tertunda itu totalnya mencapai USD700 juta. Para investor akan melanjutkan niatan ekspansi hingga kondisi perekonomian membaik. Kalaupun ada yang tetap jalan mendirikan pabrik, pelaksanaannya pelan-pelan tidak seperti rencana semula.

Dari total 120 perusahaan sepatu, ada juga yang berminat berinvestasi sekitar Rp5 miliar/perusahaan. Namun, mereka sulit merealisasikannya lantaran kesulitan arus kas. Ditambah lagi, pengusaha harus membeli bahan baku secara tunai. Demikian pula dengan penerbitan surat jaminan kredit (letter of credit atau L/C) untuk ekspor yang harus dibayar penuh. Kondisi ini membuat perusahaan sepatu lokal kebingungan.

Berdasarkan data Depperin yang diperoleh dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), perusahaan yang berinvestasi di sektor alas kaki itu antara lain berasal dari China, Korea Selatan, dan Taiwan. PMA yang mendapat izin prinsip antara lain PT Bu Kyung Indonesia (PMA Korea Selatan) dengan nilai investasi USD10 juta yang merealisasikan pabrik baru dengan kapasitas 3,5 juta pasang sepatu/tahun. PT Shoe Link Shoes Indonesia berencana membangun pabrik baru senilai USD3,5 juta dengan kapasitas 3 juta pasang/tahun. PT Ka Yuen Indonesia berencana membangun pabrik baru USD2,9 juta dengan kapasitas produksi 12,2 juta pasang/tahun.

Sedangkan perusahaan sepatu PMDN yang berencana membangun pabrik baru pada tahun 2009 adalah PT Simko Prima Mandiri dengan nilai investasi Rp22 miliar. Pabrik baru itu direncanakan berkapasitas produksi 3 juta pasang/tahun. Sementara itu, perusahaan PMA yang berencana melakukan ekspansi antara lain PT Sepatu Mas Idaman yang akan menambah kapasitas produksi 870.000 pasang/tahun dengan investasi Rp66 miliar. (AI)


Jumat, Februari 06, 2009

UKM Indonesia optimistis

Deputi Kepala Bidang Pengkajian dan Kebijakan Teknologi Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Dr Utama H. Padmadinata mengatakan, lembaga interdep Pusat Inovasi untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah akan mulai beroperasi tahun 2009. Lembaga ini akan menjadi one stop service, dari berbagai informasi yang dibutuhkan oleh usaha kecil.

Pusat Inovasi ini dibentuk berdasarkan Instruksi Presiden No.6/2007 dan No.5/2008. Pusat inovasi ini akan membangun data base usaha mikro di Indonesia yang bisa diakses oleh siapapun yang membutuhkan melalui internet. Saat ini sektor usaha mikro menyerap 99% tenaga kerja di Indonesia dan jumlahnya diperkirakan mencapai 49 juta jumlah usaha.

Pusat inovasi ini juga akan menyediakan bantuan bagi usaha mikro untuk mendapatkan dukungan teknologi, jaringan pemasaran, hingga pendanaan. Yang akan dibantu adalah usaha-usaha baru dan usaha-usaha yang sudah ada yang akan dikembangkan. Program pertama akan difokuskan pada usaha mikro yang bergerak di sektor manufkatur, industri kreatif, serta industri agro.

Menghadapi krisis yang tengah melanda dunia saat ini, para pelaku UKM Indonesia dinilai optimistis dalam memandang prospek pertumbuhan ekonomi dan aktivitas perdagangan hingga pertengahan tahun 2009. Hal ini merupakan hasil survei The Hongkong and Shanghai Banking Corporation (HSBC) Comercial Banking Asia Pasifik yang bekerja sama dengan Taylor Nelson Sofres (TNS), kelompok perusahaan konsultan penelitian dan pemasaran hasil merger Taylor Nelson (AS), Sofres (Prancis), dan Frank Small Associates (Australia).

Survei dimaksud digelar pada kuartal IV/2008 dengan melibatkan 3.023 UKM yang berada di sepuluh negara dan teritori, yakni Hongkong, China Daratan, Taiwan, Bangladesh, Singapura, India, Vietnam, Korea Selatan, Malaysia, dan Indonesia. Dari Indonesia sendiri ada sekitar 300 UKM di Jakarta yang disurvei. Kategorinya, unit usaha yang omzetnya USD10 juta atau Rp110 miliar ke bawah dari berbagai sektor.

Indikator-indikator survei yang digunakan mencakup pandangan pembuat kebijakan atas perkembangan ekonomi enam bulan ke depan, rencana investasi modal dan jumlah karyawan, serta harapan pelaku usaha terhadap volume perdagangan dengan China daratan maupun dengan negara lain di dunia. Dari hasil survei diketahui 80% UKM akan mempertahankan pegawai dan hanya 7% yang berencana untuk mengurangi jumlah pegawai. Sementara dari 7% UKM yang mengurangi jumlah tenaga kerja, pengurangan sampai 20% pegawai sekitar 6%, dan hanya 1% yang mengurangi pegawai lebih dari 20%.

Menurut Kepala Divisi UKM HSBC Indonesia Steven Miller, hasil-hasil survei terhadap UKM Indonesia menunjukkan UKM Indonesia optimistis dalam menghadapi tahun 2009 yang penuh gejolak krisis. Hampir setengah responden UKM Indonesia menyatakan percaya kinerja perekonomian Indonesia 2009 bisa dipertahankan, bahkan 13% berharap akan adanya peningkatan pertumbuhan PDB Indonesia. UKM Indonesia ke depan akan mengambil kebijakan konservatif dalam aktivitas dan investasi mereka, tetapi secara umum UKM Indonesia masih tetap kokoh dalam menghadapi tantangan pada tahun 2009. UKM akan tetap menjadi pendorong perekonomian Indonesia pada tahun 2009.

Untuk level perdagangan, 63% UKM Indonesia percaya mempertahankan volume perdagangannya dengan China, 22% berencana menaikkan volume perdagangannya. Sementara untuk perdagangan regional Asia, 71% UKM Indonesia percaya masih dapat mempertahankan volume perdagangan, dan 21% percaya akan adanya peningkatan volume.

Dari Nusa Tenggara Barat dikabarkan Kementerian Negara Koperasi dan UKM melalui Lembaga Penyalur Dana Bergulir (LPDB) pada akhir Januari 2009 telah menggulirkan Rp34 miliar melalui program kredit pemberdayaan masyarakat koperasi (kridmaskop) untuk koperasi dan usaha mikro, kecil dan menengah (KUMKM). Dana sebesar itu merupakan jumlah yang diajukan oleh Bank Pembangunan Daerah (BPD) Nusa Tenggara Barat selaku bank penyalur kepada KUMKM.

Hingga saat ini sejumlah 21 BPD sudah masuk daftar nominasi mitra kerja LPDB untuk menyalurkan dana bergulir, tapi baru tiga yang merealisasi, termasuk NTB. Dua BPD yang lebih dulu ikut menyalurkan dana LPDB adalah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Lembaga di bawah naungan Kementerian Koperasi dan UKM tersebut pada tahun lalu telah menyalurkan pinjaman/pembiayaan dana bergulir sebesar Rp35 miliar dari rencana penyaluran sekitar Rp135 miliar.

Menurut Direktur Utama LPDB Fadjar Sofyar, LPDB juga telah menerima realokasi dana APBN 2008 sebesar Rp381 miliar. Ditambah rencana anggaran 2009 sebesar Rp290 miliar serta sisa anggaran sekitar Rp100 miliar, lembaga tersebut akan mengelola dana sekitar Rp691 miliar. Dana tesebut akan disebar ke beberapa BPD yang telah masuk dalam daftar tunggu, ataupun BPD lain yang akan terlibat dalam penyaluran dana bergulir kelolaan LPDB. Prinsip program kerja lembaga tersebut adalah pemerataan ke setiap provinsi sehingga setiap pelaku KUMKM bisa mendapat bantuan pinjaman dengan suku bunga rendah, yakni SBI 3 bulanan plus 3%.

Di Bangli, Bali, Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengalokasikan dana sebesar Rp2 triliun untuk menjamin kredit usaha rakyat (KUR) senilai Rp20 triliun yang akan disalurkan enam bank pelaksana. KUR yang disalurkan untuk usaha kecil menengah itu besarnya bervariasi dari Rp5 juta hingga Rp20 juta/debitor. Penyaluran KUR ini di antaranya sebagai upaya mengantisipasi krisis ekonomi global. Dana jaminan pada tahun 2008 sebesar Rp1,45 triliun untuk menjamin KUR sebesar Rp14,5 triliun. Namun, realisasinya hanya Rp12,5 triliun, dengan kredit kurang lancar hanya 0,84%.

Kementerian Negara Koperasi dan UKM juga berkomitmen melanjutkan program pencipta kerja (Prospek) Mandiri, kendati tanpa disertai bantuan pinjaman modal. Program kerja pada tahun ini terfokus pada peningkatan kapasitas pengelola koperasi yang ada, serta diversifikasi usaha. Namun demikian, program ini tetap bisa dilanjutkan, dengan catatan pemerintah daerah memiliki komitmen serta mendorong pendirian Prospek Mandiri dengan menyediakan dana.

Pada tahun 2008, Kementerian Koperasi dan UKM menerima proposal Prospek Mandiri dari 6 provinsi dengan rencana pendirian sedikitnya 10 koperasi. Namun, karena ada perubahan kebijakan dana bergulir, proposal tersebut tidak diproses. Di samping Prospek Mandiri, program lain yang dibiayai dana bergulir, antara lain Perempuan Keluarga Sehat dan Sejahtera (Perkassa), dan Program Pembiayaan Produktif untuk Koperasi dan Usaha Mikro (P3KUM). (AI)


Ekspor perikanan terancam

Investasi usaha perikanan tahun 2008 meleset dari sasaran. Nilai investasi swasta nasional yang direncanakan sebesar Rp4,25 triliun hanya terealisasi Rp1,80 triliun. Nilai investasi penanaman modal asing (PMA) yang direncanakan Rp2,50 triliun hanya terealisasi Rp0,71 triliun. Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi, banyak faktor penyebab tersendatnya investasi usaha perikanan, antara lain lemahnya infrastruktur dan dukungan lintas sektoral, serta izin yang berbelit-belit di daerah.

Di sisi lain terjadi peningkatan produksi dan ekspor perikanan. Produksi perikanan tangkap meningkat dari 5,04 juta ton (2007) menjadi 5,18 juta ton (2008) atau naik 2,78%. Perikanan budi daya meningkat dari 3,19 juta ton (2007) menjadi 3,53 juta ton (2008) atau naik 10,66%. Volume ekspor juga meningkat. Jika pada tahun 2007 mencapai 854.329 ton senilai USD2,25 miliar, maka pada tahun 2008 meningkat menjadi 895.000 ton dengan nilai USD2,56 miliar. Berdasarkan volume, ada kenaikan 4,76%,sedangkan berdasarkan nilai naik 13,33%.

Dalam hal penyerapan tenaga kerja, antara tahun 2007 dan 2008 terjadi kenaikan pada perikanan tangkap yakni dari 2,76 juta orang menjadi 2,78 juta orang. Pada perikanan budi daya, dari 3,84 juta orang naik menjadi 4,21 juta orang, sedangkan di pengolahan dan pemasaran naik dari 0,59 juta orang menjadi 0,64 juta orang. Pada jasa penunjang juga meningkat dari 0,04 juta orang menjadi 0,06 juta orang. Total yang terserap di sektor ini mencapai 7,69 juta orang atau naik 6,36%.

Sebelumnya, untuk tahun 2009 DKP menargetkan produksi perikanan meningkat hingga 50%. Kenaikan target produksi tersebut lebih besar bila dibandingkan dengan tahun 2007 dan 2008. Kenaikan produksi tersebut didasarkan pada asumsi akan dilakukannya revitalisasi dan juga karena penyerapan pasar di dalam negeri dan pasar ekspor yang cukup besar. Target produksi perikanan tahun 2009 diperkirakan mencapai 12,73 juta ton, sedangkan target untuk ekspor senilai USD2,8 miliar.

Namun krisis yang tengah melanda dunia ini diperkirakan akan mengancam kinerja ekspor hasil perikanan tahun 2009. Realisasi ekspor tahun 2008 sudah tergerus dari target USD2,6 miliar hanya tercapai USD2,5 miliar. Untuk itu, DKP tidak akan menaikkan target ekspor. Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung mengatakan, diharapkan dengan konsolidasi asosiasi usaha dan kerja keras, target ekspor perikanan tahun 2009 bisa mencapai USD2,6 miliar.

Di samping dampak krisis keuangan global dengan turunnya permintaan di pasar utama terutama AS, UE, dan Jepang, ekspor perikanan juga sedang mendapat ancaman atas tuduhan transhipment oleh otoritas AS terhadap udang Indonesia. Produk di bawah standar mutu dan keamanan ekspor pangan dapat diancam embargo. Pemerintah Indonesia sedang melakukan negosiasi dengan AS agar melepas udang yang ditahan di pelabuhan AS.

Dengan tertekannya pasar ekspor utama, maka ekspor ke Timur Tengah dan Eropa Timur dan Eropa Tengah akan diintensifkan pada tahun 2009. Komoditas yang menjadi andalan adalah udang dengan ukuran lebih kecil (dari 40-50 ekor/kg menjadi 80 ekor atau lebih/kg), ikan patin, ikan nila banding, lobster, dan ikan hias. Secara umum, pada tahun 2008 banyak perbaikan yang dilakukan pemerintah. Antara lain UE mencabut keputusan komisi (CD) Nomor 236/2006 melalui keluarnya CD 660/2008, yakni pengawasan total (systematic border control) di pelabuhan masuk dicabut. Pengawasan total hanya terhadap jenis ikan laut seperti tuna wajib uji laboratorium. Jepang juga menghapus 51 pos tarif bea masuk antara lain untuk produk udang.

Menurut Peneliti Utama Pusat Riset Perikanan Budidaya DKP Fatuchri Sukadi, dampak krisis keuangan sudah mulai terasa di sektor perikanan dalam tiga bulan terakhir. Harga jual produk juga sudah mulai turun, terutama udang. Berdasarkan informasi dari Shrimp Club Indonesia (SCI), ekspor udang ke AS mulai menurun pada November 2008. Pada Desember 2008 tren harga udang mengalami penurunan hingga 8%.

Sementara untuk ekspor ikan nila, setiap bulan sejak bulan September 2008 telah terjadi penurunan baik dari volume maupun nilai jual. Jika pada September 2008 volume ekspor mencapai 3.624.000 kg dengan nilai USD18.62 juta, maka pada Oktober 2008 volume turun menjadi 3.259.321 kg dengan nilai USD15,48 juta, dan pada November 2008 volume ekspor kembali turun menjadi 3.248.046 kg dengan nilai USD15,44 juta.

Ekspor ikan hias pun jika dibandingkan dengan tahun 2007 mengalami penurunan, baik dari volume dan nilai ekspornya. Tidak tersedianya transportasi udara yang layak untuk ekspor ikan hias masih jadi kendala. Sementara untuk ekspor kerapu, telah terjadi penurunan 35% akibat menurunnya aktivitas bisnis restoran di China dan Hongkong sejak Oktober 2008. Penurunan ekspor tersebut juga memicu penurunan harga jual ikan kerapu sebesar 28% dan menurunkan permintaan benih kerapu hingga 85%. Harga kerapu di Riau yang sebelumnya mencapai USD22/kg turun menjadi USD16/kg.

Pemerintah RI telah memperpanjang larangan impor udang jenis vaname ke Indonesia. Larangan impor tersebut merupakan perpanjangan dari larangan sebelumnya yang terbit pada Juni 2008. Larangan yang dituangkan dalam peraturan bersama Menteri Perdagangan dan Menteri Kelautan dan Perikanan No.SKB 54/M-DAG/12/2008 dan PB.02/MEN/2008 tanggal 24 Desember 2008 berlaku sejak 28 Desember 2008 (SKB lama berakhir tanggal 27 Desember 2008). Larangan impor ini dimaksudkan untuk mencegah berkembangnya penyakit virus.

Larangan ini memperhatikan masukan Gappindo, SCI, dan hasil monitoring penyakit khususnya virus pada usaha udang vaname. Juga aturan World Trade Organization (WTO) yang menyatakan sepanjang alasan sanitary and phytosanitary (SPS)
seperti penyakit, maka pemberlakuan larangan diperbolehkan. Pelaku usaha pembudidaya dan unit-unit pengolahan juga diharapkan terus memperbaiki mutu produk, daya saing meningkat sehingga konsumen dan pasar domestik lebih banyak membeli udang produksi tambak dalam negeri. Dengan demikian dapat menekan impor hasil perikanan.

Dari Asosiasi Pengalengan Ikan Indonesia (APIKI) juga dilaporkan telah terjadi penurunan ekspor sebesar 40%. Bahkan sudah ada satu permintaan penangguhan pengiriman. Realisasi ekspor September 2008 hingga awal Desember 2008 merupakan tindak lanjut dari kontrak yang telah ada. Ke depannya, ada indikasi mitra impor di luar negeri, khususnya AS, diperkirakan akan melakukan negosiasi ulang kontrak terkait harga dan volume. Dampak nyata dari krisis ini terhadap kinerja ekspor hasil perikanan kemungkinan akan mulai terlihat satu atau dua bulan pada tahun 2009. (AI)


Rabu, Februari 04, 2009

Subsidi obat generik

Depkes akan mengadakan program pengadaan Obat Generik Bersubsidi (OGS) pada tahun 2009 ini. Hal ini dilakukan untuk mempersiapkan diri dalam menghadapi krisis global yang diperkirakan akan berlanjut menjadi resesi ekonomi. Menurut Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, program ini sekaligus memberdayakan industri farmasi dalam negeri yang telah mampu memproduksi obat-obatan bertaraf internasional dan industri farmasi menengah ke bawah yang juga harus dibantu untuk ambil peran dalam pemenuhan kebutuhan obat dalam negeri.

Dalam program itu, obat-obatan yang dilindungi adalah obat-obatan paling dibutuhkan masyarakat (fast moving) dan obat-obatan untuk menyelamatkan nyawa (life saving). Subsidi juga diberikan bagi obat esensial, obat program kesehatan, dan obat yang tak bernilai ekonomis tetapi sangat dibutuhkan dalam pelayanan kesehatan.

Pengadaan OGS ini sudah dianggarkan dalam APBN 2009 sebesar Rp280 miliar dengan skema perincian ditentukan oleh Depkes. Menkes menghimbau agar semua apotik di Indonesia menyediakan OGS. Tujuannya, Depkes ingin menjamin ketersediaan dan pemerataan obat di seluruh Indonesia sekaligus menstabilkan harga obat generik atau obat bermerek meskipun terjadi fluktuasi dolar pada tahun 2009.

Selain obat bersubsidi, pemerintah juga akan melanjutkan program Apotek Rakyat. Selama tahun 2008, Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia (ISFI) telah memberikan sertifikasi sebanyak 18.000 apoteker untuk persiapan menjalankan program apotek rakyat yang sudah dicanangkan Depkes tahun lalu. Pada tahun 2009 akan diresmikan 100 buah apotik rakyat dengan dukungan KUR (Kredit Usaha Rakyat) dari perbankan di 5 provinsi, yakni DKI Jakarta, Bali, Yogyakarta, Jatim, dan Sumatra Utara. Diharapkan dengan adanya apotek rakyat ini akan meningkatkan keterjangkauan obat pada masyarakat lebih luas lagi.

Menkes juga menegaskan tidak akan menaikkan harga obat generik. Pernyataan Menkes ini menindaklanjuti desakan BUMN yang bergerak di bidang farmasi kepada Pemerintah agar menaikkan harga jual obat generik. Obat generik yang diproduksi mulai Januari 2009 menggunakan kurs Rp9.000/USD, sedangkan kurs saat ini sudah mencapai lebih dari Rp11.000/USD. Selisih kurs ini diharapkan ditanggung Depkes melalui subsidi. Hal ini penting bagi BUMN, mengingat dua BUMN yang memproduksi obat generik, yakni Indo Farma (menguasai 80% pasar obat generik) dan Kimia Farma (60%), mengandalkan 80% bahan bakunya dari impor.

Sebelumnya diberitakan bahwa kenaikan harga bahan baku, melemahnya rupiah, dan naiknya suku bunga perbankan membuat perusahaan BUMN farmasi terancam kolaps. Untuk mencegah itu, BUMN farmasi akan menaikkan harga obat generik. Kenaikan harga obat generik terakhir terjadi pada tahun 2003 berdasarkan SK Menteri Kesehatan No.1112/ Menkes/SK/VII/2003. Kenaikan itu disebabkan kenaikan beberapa komponen biaya struktur produksi, antara lain, harga bahan baku, kemasan, dan overhead atau biaya operasional.

Dari perhitungan BUMN farmasi, kebutuhan subsidi mencapai Rp300 miliar. Angka itu dihitung dari kebutuhan bahan baku obat yang masih impor sebesar USD10 juta dikalikan selisih dolar. Subsidi seperti ini pernah dilakukan pada tahun 1998 sebesar Rp5.000 saat kurs USD mencapai Rp15 ribu. Pada tahun 2008 kerugian BUMN farmasi hanya diperoleh dari selisih kurs dolar. Kerugian Kimia Farma akibat selisih kurs mencapai Rp3 miliar, dan Indo Farma Rp17 miliar.

Menurut Direktur Utama Kimia Farma Syamsul Arifin, perusahaan bukannya tidak mau memproduksi obat, namun tidak memiliki dana cash untuk membeli bahan baku. Bagaimanapun, produksi obat tidak mungkin dikurangi. Selain karena akan mengalami kerugian dari sisi pabrik, masyarakat pun membutuhkan obat generik yang manfaatnya sama, namun harganya sangat miring. Obat generik adalah obat yang khasiatnya sama persis seperti obat paten dengan komposisi yang serupa.

Dari 200 item obat generik yang diproduksi Kimia Farma, ada 50 item yang minus. Walaupun ada yang minus, secara total Kimia Farma masih meraup untung berkisar Rp57 miliar - Rp60 miliar pada tahun 2008 dari omzet Rp2,6 triliun. Keuntungan diperoleh dari apotek, klinik, dan ekspor alat kesehatan yang dikelola Kimia Farma.

Direktur Produksi PT Indofarma Yuliarti Merati menyambut baik subsidi bahan baku obat generik. Pasalnya, bila harus membeli bahan baku dengan harga saat ini sementara harga obat tetap, maka perusahaan akan merugi. Saat ini Indofarma memiliki stok bahan baku dengan harga lama, yakni dengna nilai tukar rupiah Rp9.200/USD, hingga Februari 2009.

Dari Jayapura diberitakan, sesuai dengan peraturan Depkes apotek-apotek di Jayapura menyediakan obat generik dengan cukup. Selain mengawasi jenis obat yang diperdagangkan, BPOM juga ikut mengawasi harga eceran yang ditetapkan oleh para penjual. Untuk masalah ini, di wilayah Papua, harga eceran tertinggi (HET) tidak dapat dipenuhi oleh para pemilik bisnis penjualan obat.

Untuk instansi pemerintah, ketentuan HET harus dipatuhi. Tapi untuk beberapa usaha individu, ketentuan HET tidak bisa disamakan, mengingat ada pertimbangan biaya pengiriman dan transportasi dari produsen sampai ke Papua yang cukup mahal.
Namun sejauh ini, harga yang ditentukan oleh para penjual masih dalam taraf kewajaran dan tetap dapat dijangkau oleh masyarakat Jayapura.

Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi yang juga Ketua Panitia Ad Hoc IV Dewan Perwakilan daerah (DPD) Anthony Ch Sunarjo menegaskan, subsidi obat generik senilai Rp280 miliar cenderung berbau politis. Pasalnya, isu obat merupakan isu yang populer, sehingga meskipun harga bahan baku naik dan nilai tukar rupiah terhadap dolar melemah, pemerintah berupaya menurunkan harga obat generik.

Lies Sugeng dari Lembaga Bantuan Hukum Konsumen (LBHK) mengatakan, keputusan Depkes menurunkan harga obat generik di pasaran melalui subsidi bahan baku obat merupakan kabar positif dan perlu disambut baik oleh masyarakat. Namun, diharapkan kebijakan ini tidak hanya bersifat ad hoc dan menjadikannya isu populis untuk kepentingan politik, tapi benar-benar menjadi solusi kesehatan bagi masyarakat secara berkesinambungan.

Masalah lainnya adalah bagaimana pengawasan kebijakan tersebut di lapangan, apakah disertai aturan atau koordinasi pengawasan yang baik dengan pihak-pihak terkait. Karena, tidak menutup kemungkinan pelayanan di lapangan justru jauh dari harapan dan mengecewakan masyarakat. (AI)

Senin, Februari 02, 2009

Pupuk

Menurut Dirut PT Pupuk Sriwijaya, selaku holding BUMN pupuk, Dadang Heru Kodri, produksi pupuk nasional tahun 2009 diperhitungkan akan melebihi target pemerintah 7 juta ton, seiring dengan peningkatan produksi dari seluruh BUMN pupuk di Indonesia. PT Pupuk Kaltim (PKT) menargetkan produksi pupuk sebesar 2.780.000 ton pada tahun 2009, atau naik jika dibandingkan dengan harapan produksi tahun 2008 sebesar 2.528.200 ton. Produksi pupuk PKT disalurkan ke dua pertiga wilayah Indonesia. Wilayah yang dimaksud adalah Kalimantan di luar Kalimantan Barat, Jawa Timur, Bali, Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara.

Sebelumnya Wakil Presiden M Jusuf Kalla mengatakan, target produksi pupuk untuk tahun 2009 dinaikkan menjadi 7 juta ton. Menurut Wapres, jika produksi tahun 2009 bisa mencapai target 7 juta ton maka tidak akan ada lagi kekurangan pupuk. Karena dalam hitungan Wapres kebutuhan pupuk pada tahun 2009 sebesar 7 juta ton/tahun. Hingga tahun 2015 target produksi pupuk mencapai 15 juta ton.

Wapres menambahkan saat ini semua produk pertanian seperti padi, jagung, tebu, kakao maupun kelapa sawit mengalami kenaikan produksi. Dengan demikian, dibutuhkan pupuk yang lebih banyak. Sementara selama 10 tahun ini tidak ada peningkatan produksi pada pabrik pupuk. Karena itu, semua pabrik pupuk harus ditingkatkan produksinya. Untuk saat ini ada dua pabrik yang belum berproduksi maksimal yakni PIM di Aceh dan PKT karena kurangnya pasokan gas. Untuk itu Wapres telah memerintahkan agar pasokan gas segera bisa diselesaikan.

Produksi pupuk nasional diperkirakan akan mencapai 7,1 ton hingga 7,7 juta ton, dan selisihnya akan mampu menambah cadangan seiring dengan kenaikan subsidi pupuk dari pemerintah. Subsidi pupuk dari pemerintah tahun 2009 telah dinaikkan menjadi 5,3 juta ton dari sebelumnya 4,8 juta ton pada tahun 2008. Dengan tambahan itu, diharapkan produksi akan berjalan lancar. Apalagi sejumlah BUMN pupuk anggota holding menginformasikan sampai kini produksi dan kondisi pabrik dalam keadaan normal. Justru yang mendesak saat ini adalah optimalisasi distribusi pupuk, terutama yang bersubsidi, agar benar-benar diterima petani.

Distribusi pupuk urea bersubsidi di Banyumas mulai awal tahun 2009 menerapkan sistem distribusi tertutup. Distributor dan pengecer resmi tak boleh lagi menyimpan pupuk. Mereka juga hanya diperbolehkan menjual pupuk kepada petani, sedangkan petani hanya boleh membeli pupuk jika memiliki kartu kendali. Seorang petani di Desa Karang Kedawung, Kecamatan Sokaraja mengaku, sudah tak kesulitan lagi memperoleh pupuk urea sejak petani harus membeli pupuk dengan kartu kendali. Harga belinya pun sesuai dengan harga eceran tertinggi pupuk urea bersubsidi yakni Rp60.000/zak isi 50 kg.

Wakil Bupati Banyumas Achmad Husein mengatakan, dengan diterapkannya distribusi tertutup, distributor maupun pengecer tak diperbolehkan lagi menyimpan pupuk. Pupuk hanya boleh disimpan di gudang PT Pupuk Sriwijaya. Pupuk pun hanya didistribusikan oleh distributor dan pengecer pada saat petani membutuhkannya. Agar jumlah pupuk yang didistribusikan sesuai kebutuhan petani, pengecer dengan petani mengadakan pertemuan seminggu sekali untuk membahas kebutuhan pupuk.

Dari Klaten, Jateng, ancaman kelangkaan pupuk tahun 2009 tampaknya tidak akan surut karena defisit pupuk tahun 2009 bakal mencapai 48.554 ton. Dari kebutuhan Pemerintah Kabupaten Klaten untuk alokasi tahun 2009 total sebanyak 96.442 ton, ternyata oleh pemprov hanya disetujui sebesar 47.888 ton baik untuk pupuk bersubsidi jenis urea, superphospat, ZA, NPK, dan organik.

Menurut Kasubdin Pertanaman Pangan, Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan (DPDKP) Klaten Wahyu Prasetyo, alokasi dari pemprov sulit dikatakan cukup karena kenyataannya ada kekurangan sebanyak itu. Dengan kenyataan itu petani diminta menyadari dan menggunakan pupuk sesuai dengan kuota pemerintah dalam rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) jenis urea sebesar 250 kg/ha sehingga tidak ada kelangkaan. Ajuan ke provinsi memang masih menggunakan kuota kebutuhan rata-rata sebesar 300 kg/ha. Sementara perkiraan provinsi sudah menggunakan kuota baru 250 kg/ha yang menjadi dasar distribusi sistem tertutup berdasar RDKK per 1 Januari 2009.

Data di DPDKP, ajuan pemkab untuk urea sebesar 35.173 ton hanya disetujui 27.388 ton, ZA dari ajuan 10.953 ton hanya dijatah 6.678 ton, superphospat dari 10.391 ton hanya diberi 4.279 ton, NPK mengajukan 15.170 ton hanya dialokasikan 7.717 ton. Sementara untuk pupuk organik yang digenjot meminta 24.755 ton hanya dialokasikan 1.826 ton. Jumlah alokasi 2009 ini juga tidak jauh berbeda dengan tahun 2008. Pada tahun 2008, dari ajuan urea 30.000 ton hanya disetujui 27.000 ton, SP36 diusulkan 10.000 ton hanya diberikan 7.101 ton, dan Za hanya 5.195 ton.

Stok pupuk urea bersubsidi tahun 2009 di Kabupaten Sukoharjo dijamin aman. Namun, pupuk jenis nonurea seperti SP36, Phonska maupun ZA justru diperkirakan akan mengalami kekurangan stok. Menurut Kepala Dinas Pertanian Sukoharjo Giyarti, pada tahun 2009 ini Sukoharjo mendapatkan alokasi pupuk urea bersubsidi dari Provinsi Jateng sebanyak 20.422 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 20.220 ton dialokasikan untuk tanaman pangan, sebanyak 117 ton untuk holtikultura dan sebanyak 85 ton untuk peternakan.

Alokasi pupuk yang diperoleh Kabupaten Sukoharjo pada tahun 2009 ini lebih banyak jika dibanding tahun 2008 lalu yang hanya sebanyak 19.444 ton. Sementara itu, alokasi pupuk nonurea bersubsidi yang diperoleh kabupaten itu untuk tahun 2009 ini sebanyak 14.367,75 ton. Dari jumlah itu, sebanyak 3.517,75 ton pupuk Super Pos, 3.457 ton pupuk ZA, 5.490 ton pupuk NPK Phonska, dan sebanyak 1.903 ton pupuk organik. Pupuk sebanyak itu dialokasikan untuk kebutuhan pemupukan tanaman pangan.

Pemerintah akan menambah alokasi pupuk urea bersubsidi untuk tahun 2009 menjadi 4,55 juta ton dibanding pada tahun 2008 sebesar 4,3 juta ton. Penambahan ini terkait dengan peningkatan target capaian produksi. Menurut Direktur Sarana Produksi Direktorat Tanaman Pangan Departemen Pertanian Spudnik Sujono, pemerintah menargetkan pencapaian produksi sebesar 63,5 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik dari target produksi tahun 2008 yang sebesar 61,1 juta ton GKG. Selain urea, pemerintah juga akan memberikan alokasi pupuk bersubsidi lainnya seperti 1 juta ton untuk fosfor, 932.000 ton ZA, 1,3 juta ton NPK, dan 450.000 pupuk organik. (AI)