Senin, April 20, 2009

Gula

Deptan menargetkan produksi gula putih atau gula konsumsi pada tahun 2009 mencapai 2,84 juta ton, sehingga bisa mencukupi seluruh kebutuhan dalam negeri tanpa perlu mengimpor. Menurut Dirjen Perkebunan Deptan Achmad Mangga Barani, pada tahun 2008 produksi gula putih nasional mencapai 2,74 juta ton sedangkan kebutuhannya hanya 2,7 juta ton.

Sementara itu produktivitas lahan perkebunan tebu pada tahun 2009 ini secara umum bervariasi. Namun untuk Jawa rata-rata 79,6 ton/ha sedangkan luar Jawa 76,1 ton/ha dan nasional 78 ton/ha, dengan rendemen tebu rata-rata 8,27%. Luasan areal perkebunan tebu pada tahun 2008 berkurang 20.000 ha karena saat itu harga gula rendah sehingga minat petani untuk budi daya tanaman tebu berkurang. Namun untuk tahun 2009 petani kembali bergairah karena harga bagus, sehingga petani memelihara tanamannya dan berdampak pada peningkatan produktivitas dan rendemen.

Menurut Ketua Asosiasi Petani Tebu Indonesia (APTRI) Arum Sabil, dari taksasi produksi gula secara nasional, besarnya kapasitas giling terpasang seluruh Indonesia pada tahun 2009 mencapai 225.303 ton tebu/hari. Angka ini didapat dari luas area mencapai 441.318 ha. Untuk rendemen, rata-rata yang dihasilkan 8,21 dan gula yang dihasilkan bisa mencapai 2.850.019 ton/tahun.

Taksasi produksi gula tersebut didasarkan luas lahan maupun produksi gula baik yang ada di Jawa maupun luar Jawa. Untuk Jawa, sedikitnya ada 10 perusahaan gula. Masing-masing, PTPN IX, PTPN X, PTPN XI, PT Rajawali I, PT Rajawali II, PT Kebon Agung, PT PG Madu Baru, PT Candi, PT Industri Gula Nusantara, dan PT Pakis Baru. Sepuluh perusahaan tersebut membawahi 51 pabrik gula (PG). Sementara untuk luar Jawa terdapat 8 perusahaan gula, yakni PTPN II, PTPN VII, PTPN XXIV, PT Gunung Madu Plantation, PT Gula Putih Mataram, PT Sub Indo Lampung, PT Indo Lampung Perkasa, dan PT Gorontalo. Delapan perusahaan tersebut membawahi 12 PG.

Meski harga gula terus merangkak naik, pemerintah memastikan tidak akan menambah jatah volume impor gula untuk tahun 2009 ini. Alokasi izin impor gula masih tetap 1,6 juta ton. Namun untuk gula industri masih harus diimpor. Kebutuhan gula industri di dalam negeri, sebanyak 1,8 juta ton sementara produksi nasional raw sugar baru mencapai 100 ribu ton, sehingga kekurangannya didatangkan dari luar.

Namun demikian, pada tahun 2014 Indonesia diperkirakan sudah bisa memenuhi sendiri seluruh kebutuhan gula mentah untuk bahan baku industri. Dengan kondisi tersebut, untuk tahun 2009 ini produksi gula nasional diharapkan juga mengalami peningkatan sehingga mencapai target 2,84 juta ton.

Harga gula rafinasi tampaknya bakal naik lagi. Pasalnya harga raw sugar sebagai bahan baku gula rafinasi, terus melonjak di pasar internasional. Pada Desember 2008 harga raw sugar masih di kisaran harga USD247/ton, Januari 2009 USD270/ton, dan Februari USD286/ton. Dengan kondisi ini, kemungkinan produsen akan kembali mengoreksi harga. Padahal, baru bulan Januari 2009 lalu produsen menaikkan harga gula rafinasi sebesar 5% - 6%.

Pada Januari 2009 harga gula rafinasi di tingkat produsen sekitar Rp5.500 - Rp5.600/kg. Dengan kenaikan harga gula mentah belakangan ini, maka harga gula rafinasi di tingkat produsen bakal naik menjadi Rp6.600/kg. Produsen menduga, kenaikan harga gula mentah dipicu harga minyak mentah dunia yang mulai merangkak naik. Beban produsen bertambah seiring pelemahan nilai tukar rupiah ke kisaran Rp12.000/USD.

Masalahnya, dalam dua tahun terakhir produksi gula rafinasi cenderung menurun. Pada tahun 2007, produksi gula rafinasi dari lima perusahaan dalam negeri mencapai 1,4 juta ton. Pada tahun 2008, produksi turun menjadi 1,1 juta ton. Tahun 2009 ini jumlahnya bakal lebih rendah lagi karena yang beroperasi baru dua pabrik gula.

Kenaikan harga gula rafinasi mengakibatkan para konsumennya harus merogoh koceknya lebih dalam lagi. Sekretaris Asosiasi Minuman Ringan (Asrim) Suroso Natakusumah mengaku, gula menjadi bagian penting dalam komposisi biaya produksi industri minuman ringan. Jadi, kenaikan harga gula rafinasi pasti mengubah komponen harga jual mereka. Bila harga gula rafinasi terus meningkat, maka harga beberapa produk makanan dan minuman juga bakal ikutan naik.

Pengusaha menyambut positif aturan Mendag atas penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula rafinasi. Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat perihal distribusi gula rafinasi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah. Petunjuk pendistribusian gula rafinasi ini tetap dalam kerangka SK Menperindag No.527/2004, bahwa gula kristal rafinasi hanya untuk kebutuhan bahan baku bagi industri pengguna.

Mendag Mari Pangestu mengungkapkan, untuk proses monitoring, produsen, distributor, dan sub distributor wajib melaporkan secara berjenjang baik kepada dinas setempat maupun kepada pemerintah pusat. Jika diusut lebih jauh, ternyata yang memprakarsai keluarnya regulasi tersebut adalah industri kecil makanan dan minuman. Tujuannya agar mereka bisa mendapatkan pasokan gula rafinasi. Untuk mengantisipasi kebocoran ke pasar konsumsi gula, pemerintah harus memberi sanksi pada distributor yang terbukti melakukan penyimpangan dalam penyaluran gula kristal rafinasi

Menurut Ketua Bidang Regulasi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) Franky Sibarani, sekarang industri rumah tangga makanan dan minuman di tingkat kabupaten dan provinsi bisa mendapatkan gula rafinasi. Industri bisa menunjuk distributor atau menggunakan subdistributor untuk mendapat pasokan. Namun sebetulnya regulasi tersebut tidak lengkap karena berpotensi terjadinya kebocoran. Artinya, pada saat industri gula rafinasi mendistribusikan produknya melalui rantai distribusi, masih ada potensi produk tersebut dibeli oleh pedagang lain.

Sementara itu, pemerintah melalui Depperin meluncurkan program revitalisasi mesin PG dengan anggaran sebesar Rp50 miliar untuk tahun 2009. Menurut Dirjen Industri Logam Mesin, Tekstil, dan Aneka Depperin Ansari Bukhari, revitalisasi mesin di PG ditujukan untuk meningkatkan rendemen atau hasil produksi gula dari tebu hasil produksi pabrik lokal. Selama ini, tingkat rendemen PG lokal masih di bawah 10% karena diproduksi oleh mesin-mesin dan pabrik yang sudah tua.

Program revitalisasi pabrik gula merupakan pemberian potongan harga 10% dari nilai mesin yang dibeli produsen gula. Meski demikian, Depperin hanya memberikan potongan harga bagi PG yang membeli mesin buatan dalam negeri. Hal ini dengan pertimbangan banyak perusahaan di dalam negeri yang sudah mampu membuat mesin untuk PG. Pemerintah sudah membuka pendaftaran program revitalisasi terhitung 28 Maret 2009 hingga 30 Juni 2009. (AI)


Jumat, April 17, 2009

Penjualaan properti diperkirakan masih bagus

Wakil Ketua Perhimpunan Real Estat Indonesia (REI) Jawa Timur Totok Lusida mengatakan, pertumbuhan penjualan rumah sederhana pada tahun 2009 akan naik signifikan seiring pemberian subsidi dari pemerintah di bidang properti. Subsidi pemerintah di bidang properti ini untuk membidik sejumlah kalangan seperti anggota TNI dan Polri dengan subsidi Yayasan Kesejahteraan Perumahan Prajurit dan Polri (YKPP), Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan (Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-PNS/Bapertarum-PNS), dan untuk karyawan swasta dengan Jamsostek.

Deputi Pemimpin BI Surabaya Wiyoto juga optimistis, penjualan rumah pada tahun 2009 akan tumbuh secara signifikan, seiring perkiraan kredit properti yang diharapkan juga tumbuh relatif stabil. Pertumbuhan ini sudah terlihat sejak triwulan IV/2008. Pertumbuhan penjualan rumah pada triwulan IV/2008 mencapai 24,07% dibandingkan periode sama tahun 2007.

Pertumbuhan ini seiring dengan peningkatan kredit properti yang tercatat di perbankan. Pada periode ini, pertumbuhan penyaluran kredit properti mencapai 25,96%. Angka ini di atas triwulan IV/2007 yang hanya tumbuh 18,57%. Kenaikan tipe rumah sederhana ini didorong masih tingginya permintaan.

Peningkatan penjualan juga diiringi kenaikan harga properti tahun 2009 sekitar 17,91%. Hal ini disebabkan, naiknya harga bahan bangunan, upah pekerja, harga tanah, dan pembangunan infrastruktur di sekitarnya. Kenaikan harga tertinggi terjadi untuk rumah sederhana sebesar 29,36%, diikuti tipe menengah 18,87%, dan tipe besar naik 5,49%.

Berdasarkan Survei Harga Properti Residensial (SHPR) triwulan IV/2008 oleh BI Surabaya, terlihat peningkatan penjualan properti residensial dari periode yang sama tahun 2007. Pertumbuhan tertinggi disumbang rumah sederhana dengan kenaikan 64% dan rumah tipe besar tumbuh 16,67%. Sementara, untuk rumah tipe menengah justru minus 17,39%.

Kementerian Negara Perumahan Rakyat (Kemenpera) menargetkan pengadaan rumah bagi masyarakat akan tercapai pada tahun 2009 sesuai dengan Rencana Pemerintah Jangka Menengah (RPJM) 2004 - 2009. Rumah layak huni, baik Rumah Sederhana Sehat (RSh) bersubsidi maupun nonsubsidi, serta rumah khusus sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 1.026.115 unit (81,12%). Apabila prognosa tahun 2009 sebanyak 352.875 unit, maka sampai akhir tahun 2009 akan terealisasi sebanyak 1.378.990 unit (109,01%).

Untuk rumah susun sederhana sewa (rusunawa) bersumber dari anggaran Kemenpera, Ditjen Cipta Karya Departemen Pekerjaan Umum, dan Pemprov DKI Jakarta sampai akhir tahun 2008 tercapai 28.918 unit. Apabila ditambah dengan prognosa tahun 2009 sebanyak 1.728 unit maka sampai akhir tahun 2009 tercapai 30.646 unit (51,08%). Target Rusunawa tidak terpenuhi karena keterbatasan anggaran yang setiap tahunnya dialokasikan bagi pembangunan rusunawa.

Sementara untuk rusunami (rumah susun sederhana milik) dari sasaran 3.600.000 unit, sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 3.342.982 unit (92,86%). Seandainya ditambah dengan prognosa tahun 2009 sebanyak 724.600 unit maka sampai akhir tahun 2009 tercapai 4.067.582 unit (112,99%). Sementara untuk penataan kawasan sampai akhir tahun 2008 sudah terealisasi 39 kawasan. Apabila ditambah prognosa tahun 2009 sebanyak 10 kawasan berarti sudah terealisasi 49 kawasan yang terdiri dari kawasan siap bangun dan kawasan khusus.

Kemenpera mengajukan anggaran baru senilai Rp6,7 triliun pada tahun 2009 ini untuk penguatan program perumahan rakyat dengan lima bidang prioritas. Usulan anggaran itu terdiri dari tanggungan pajak pertambahan nilai program rusunawa senilai Rp390 miliar, dana sewa beli rusunami Rp750 miliar, fasilitas likuiditas pokok pinjaman kredit pemilikan rumah sederhana sehat (KPR RSh) dan rusunami kepada perbankan senilai Rp4,27 triliun, moratorium pembayaran angsuran KPR bersubsidi Rp150 miliar, dan pembangunan infrastruktur perumahan rakyat sebesar Rp1,16 triliun.

Lima program prioritas yang diajukan merupakan program stimulus kementerian berkaitan dengan tujuh agenda utama perekonomian tahun 2009, seperti sasaran untuk menjaga sektor riil, mempertahankan daya beli, dan melindungi masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Misalnya tanggungan PPN rusunami berfungsi menjaga pergerakan sektor riil dengan mengurangi beban biaya produksi dari sisi biaya PPN, sedangkan fasilitas likuiditas pokok pinjaman berfungsi menjamin tersedianya likuiditas pembiayaan untuk menopang program perumahan rakyat di tengah mengeringnya likuiditas di perbankan.

Hal ini perlu dilaksanakan mengingat para pengembang mulai mengkhawatirkan dampak PHK terhadap penjualan RSh tahun 2009 ini. Menurut Sekjen Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Rakyat Indonesia (Apersi) Tirta Susanto, hampir 50% pasar RSh adalah buruh dan karyawan pabrik, sisanya dari pegawai negeri sipil, TNI dan Polri. Apabila dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) sudah memastikan akan mengurangi jumlah karyawan secara bertahap tahun ini, dikhawatirkan pasar RSh akan anjlok.

Saat ini sebanyak 70% konsumen masih mengandalkan pembiayaan via KPR untuk membeli rumah. Hanya sebagian kecil konsumen yang membeli rumah dengan cash keras. berdasarkan survei BI, KPR tetap menjadi fasilitas yang digunakan oleh sebagian besar konsumen mencapai 70,6% dengan tingkat suku bunga 14%. Diikuti oleh pembayaran melalui cash bertahap sebanyak 20,6% dan cash keras sebanyak 8,3%. Untuk pembiayaan properti residensial pada triwulan IV-2008 sebagian besar masih bersumber dari dana internal perusahaan (52,8%), dana perbankan (29,6%), dan nasabah (13,7%).

Dari Kaltim dilaporkan, Pemprov Kaltim mengajukan usulan anggaran untuk perogram penataan pemukiman kumuh dan pengadaan perumahan melalui Kemenpera mencapai Rp194 miliar melalui APBN 2010. Anggaran yang diminta Kaltim itu meliputi pembangunan rusunawa mahasiswa Universitas Mulawarman dan Universitas Borneo Rp20 miliar, rusunawa/rusunami tahap satu untuk rencana relokasi Gang Nibung Samarinda Rp25 miliar dan rusunawa/rusunami untuk perbaikan kawasan kumuh di Kota Bontang Rp15 miliar.

Di samping itu juga ada usulan pembangunan rusunawa/rusunami pengentasan kawasan kumuh di Kota Tarakan sebanyak 5 twin blok Rp20 miliar, peremajaan kawasan kumuh di Samarinda, Tarakan, Bontang, dan Balikpapan Rp100 miliar, bantuan stimulan perumahan swadaya di 14 kabupaten/kota Rp7 miliar, dan dana pembuatan master plan atau DED untuk 14 kabupaten/kota diajukan Rp7 miliar. (AI)


Industri kayu memprihatinkan

Kondisi industri kayu lapis semakin menyedihkan. Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan industri ini selalu negatif sehingga sektor ini dikatakan sunset industry. Pada tahun 2009 ini diperkirakan akan terjadi penurunan ekspor industri kayu lapis hingga 40% dari volume tahun 2008 yang sempat mencapai 2,5 juta m3 atau senilai USD1,5 miliar. Anjloknya ekspor ini bukan hanya disebabkan lesunya permintaan di pasar ekspor tradisional seperti AS, Eropa, dan Jepang akibat krisis global, namun dipicu oleh ketidakmampuan bersaingnya produk Indonesia menghadapi pemain-pemain baru seperti Brasil, China, dan Malaysia.

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Abbas Adhar, meski terjadi pelemahan pasar namun masih ada permintaan ekspor dari negara-negara Timur Tengah. Untuk menghadapi kondisi pasar, para produsen mencoba menyiasatinya dengan mengalihkan komposisi pasar ekspor yang selama ini cukup dominan. Pasar lokal akan ditingkatkan dari komposisi sebelumnya yang hanya dipasok 10% dari total produksi 3,1 juta m3.

Dampak pertumbuhan negatif lainnya, sekitar 35.000 pekerja dari 65.000 pekerja di sektor industri kayu lapis di Indonesia terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 2009. Menurut Ketua Umum Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Reformasi H. Sofyan Siambaton, ancaman kebangkrutan industri kayu lapis nasional sudah di depan mata, karena tidak adanya permintaan ekspor. Jepang dan AS yang selama ini merupakan pembeli utama kayu lapis Indonesia, sudah menghentikan ordernya sejak November 2008 akibat krisis global.

Berdasarkan data MPI Reformasi, selama delapan tahun terakhir (2000-2008) sebanyak 105 industri kayu lapis di Indonesia bangkrut. Akibatnya, sekitar 300.000 pekerjanya kehilangan pekerjaannya. Saat ini, industri kayu lapis yang masih beroperasi tersisa 25 perusahaan. Rata-rata industri ini menampung 3.000 tenaga kerja.

Industri kayu lapis selama ini menjadi bagian penting bagi penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Dalam periode 1980 - 2005, industri ini telah memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara sekitar USD3,7 - 4 miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja yang diserap berkisar 500.000 orang. Sebelum krisis, sejak Agustus 2008 sekitar 23% kayu lapis Indonesia diekspor ke Jepang dan 18% ke AS. Sementara ekspor ke negara-negara di Eropa sebanyak 27,33%, Korsel 4%, China 4%, Taiwan 3%, Malaysia 1%, dan negara lainnya 14%.

Pada tahun 2007, ekspor industri perkayuan Indonesia mencapai 3,1 juta m3 dari total kebutuhan kayu dunia sekitar 220 juta m2. Tahun 2008 volume ekspor kayu Indonesia diperkirakan di bawah 3 juta m3, karena hingga mendekati Desember 2008 baru mencapai 2,5 juta m3. Sementara itu, produksi panel kayu Indonesia tahun 2009 turun hingga 60% dibanding tahun 2008 yang mencapai 1,8 juta m3. Nilai ekspor tahun 2009 ini juga diperkirakan hanya mencapai USD500 juta atau 60% di bawah perolehan ekspor tahun 2008 yang mencapai USD900 juta.

Sebenarnya ekspor panel kayu dan kayu olahan sudah turun sejak tahun 2007. Pada tahun 2006 ekspor panel kayu mencapai 3,5 juta ton dan kayu olahan 2,3 juta ton. Pada tahun 2007, realisasi ekspor panel kayu hanya 2,6 juta ton dan kayu olahan 1,6 juta ton. Berdasarkan data Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), volume ekspor kayu olahan Januari 2008 masih 127.477 m3, namun pada Januari 2009 tinggal 54.571 m3. Meski masih tertolong dengan kenaikan harga jual rata-rata dari Januari 2008 yang hanya USD647/m3 menjadi USD750/m3 pada Januari 2009. Kayu olahan hanya mampu mencetak devisa ekspor Januari 2009 sebesar USD40,956 juta atau lebih kecil dibanding Januari 2008 sebesar USD82,516 juta.

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Terlebih program stimulus ekonomi ternyata tidak memberi dana ke Dephut. Dari total paket stimulus ekonomi pemerintah tahun ini sebesar Rp73,3 triliun, Dephut tidak kebagian jatah. Namun demikian, Dephut masih punya cara lain, yakni relaksasi peraturan. Salah satu yang tengah digodok adalah usulan lama Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA), yakni melonggarkan kriteria teknis ukuran dan tingkat olahan produk industri kehutanan yang bisa diekspor. Bidikan diarahkan ke kayu olahan dalam bentuk S4S — yang masuk dalam HS.4407.

Berdasarkan Peraturan Mendag No.20/M-DAG/PER/5/2008, ekspor S4S hanya boleh kayu merbau dengan luas penampang maksimum 10.000 mm2 serta kayu non-merbau dengan maksimal luas penampang 4.000 mm2. Saat ini tengah dibahas upaya melonggarkan aturan tersebut menjadi maksimum 12.000 mm2. Jenis kayu pun diperluas menjadi empat, yakni Merbau, Keruing, Meranti Batu dan Jabon. Semuanya kayu sinker alias kayu keras yang memang banyak dipakai industri kayu olahan.

Di sisi lain, pada era industri yang mempunyai efek perusakan lingkungan, hutan menjadi aset yang nilainya sangat berharga. Selain mampu menghasilkan sumber daya alam yang beragam, hutan juga menjadi paru-paru dunia yang memasok udara segar. Kini kalangan industri diberi tanggung jawab untuk ikut serta menjaga kerusakan lingkungan. Sehingga banyak program yang dilakukan sebagai upaya memenuhi tanggungjawab itu. Diantaranya dengan menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku produksi dari hutan yang jelas dan bagus pengelolaannya.

Untuk membedakan hasil hutan yang bersumber dari hutan yang dikelola dengan baik dan lestari dibutuhkan sertifikat. Menurut Agus Eka Putra dari Tropical Forest Trust (TFT), lembaga yang mendorong sertifikasi hutan rakyat, setidaknya ada 19 industri kayu di Pulau Jawa telah bersertifikat. Industri kayu bersertifikat tersebut hanya akan menerima kayu dari hutan yang bersertifikat lestari pula.

Di Indonesia masalah ekolabeling ini dikelola oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). LEI adalah organisasi berbasis konstituen yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Menurut Manajer Komunikasi dan Advokasi LEI Indra S. Dewi, di dunia perdagangan antarbangsa isu ramah lingkungan sudah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Banyak negara Eropa dan AS menjadikan sertifikasi ekolabeling sebagai prasyarat untuk barang-barang yang masuk ke negaranya. Dengan syarat mutlak seperti itu, mau tak mau industri kayu seperti industri furnitur dan kerajinan, berupaya untuk memperbaiki kualitas pengelolaannya agar tetap memiliki pangsa pasar yang baik. (AI)


Senin, April 06, 2009

Rotan

Departemen Perdagangan (Depdag) sedang merevisi aturan ekspor bahan baku rotan yang ada pada Permendag No.12/2005, tujuannya untuk memperjelas pasokan bagi industri kerajinan rotan dalam negeri. Menurut Dirjen Perdagangan Depdag Diah Maulida, dalam aturan yang baru nanti prosedur wajib pasok bahan baku kepada industri kerajinan rotan diperjelas karena selama ini masih terjadi penyimpangan. Misalnya, ada eksportir yang memasok industri dalam negeri, ternyata industri yang dipasok ini juga pedagang yang akan mengekspor rotan ini.

Pemerintah mensyaratkan siapapun yang ingin melakukan ekspor rotan harus sudah sebelumnya memasok rotan untuk industri dalam negeri. Pasalnya, banyak pihak yang mensinyalir dengan dibukanya kran ekspor maka pasokan rotan untuk industri dalam negeri bakal merosot. Berdasarkan pertimbangan sementara hasil koordinasi antara Depdag dan Asosiasi Pengusaha Meubel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo), kuota ekspor ditetapkan setidaknya 30% dari pasokan eksportir tersebut kepada industri dalam negeri.

Sebagai bukti sudah memasok ke dalam negeri, pemerintah membutuhkan masukan asosiasi untuk mengetahui eksportir sudah mengekspor rotan ke mana saja. Persyaratan wajib pasok dalam negeri tersebut harus bisa dibuktikan ke pemerintah saat mendaftarkan diri menjadi eksportir terdaftar. Selain itu ekspor rotan juga sudah diatur kuotanya, mengingat kuota 30% bukan angka mutlak. Misalnya saat pasokan bahan baku banyak, sedangkan industri dalam negeri sedang turun karena permintaan turun, maka kuota bisa diperbesar atau sebaliknya.

Produksi rotan olahan pada tahun 2008 lalu hanya mencapai sekitar 70.000 ton dengan tingkat utilisasi sekitar 12,69% dari total kapasitas terpasang 551.685 ton. Volume produksi tersebut dihasilkan sekitar 400 perusahaan. Menurut Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI) Hatta Sinatra, rendahnya produksi rotan olahan dipicu kian sulitnya produsen mengakses bahan baku.

Sejak tahun 2005, produksi rotan olahan cenderung stagnan. Kinerja produksi pada tahun 2008 bahkan tercatat yang paling buruk yakni turun sekitar 30% dibanding realisasi produksi sepanjang 3 tahun sebelumnya. Volume produksi pada tahun 2008 hanya setara dengan 40.519,89 m3 dari total kapasitas produksi sekitar 319.202,3 m3.

Keadaan ini dinilai sangat ironis mengingat Indonesia memiliki sumber rotan terbesar di dunia yakni menghasilkan sekitar 80% dari seluruh pasokan dunia. Namun, potensi ini belum dapat dimanfaatkan secara optimal di dalam negeri sehingga pasar furnitur rotan dunia justru dikuasai negara-negara yang tidak memiliki potensi bahan baku, seperti China dan Italia.

Dirjen Industri Agro dan Kimia Deperin Benny Wachjudi mengatakan, selain keterbatasan akses bahan baku, industri rotan dihadapkan pada persoalan kemampuan desain, jumlah tenaga terampil, lemahnya pemasaran, permodalan, iklim usaha serta masih kurangnya dukungan infrastruktur. Permasalahan bahan baku rotan dimulai muncul sejak tahun 2005, ketika diterbitkan Permendag No.12/2005 yang mengizinkan ekspor rotan asalan dan rotan setengah jadi. Dengan dikeluarkannya kebijakan itu, pemanfaatan kapasitas terpasang semakin menurun dari tahun ke tahun.

Berdasarkan data Depperin, total perusahaan pengolahan rotan hingga tahun 2007 tercatat 614 unit. Namun pada tahun 2008 lalu jumlahnya berkurang 214 unit usaha. Penyusutan jumlah usaha itu berpotensi semakin besar mengingat pada tahun ini industri rotan dunia mengalami tekanan cukup besar akibat resesi ekonomi. Saat ini pekerja langsung di sektor pengolahan rotan mencapai 276.584 orang.

Namun demikian, pengusaha mebel rotan di Cirebon optimistis permintaan pasar pada semester I/2009 akan jauh lebih baik dari semester II/2008. Sebab pada bulan Januari 2009 ekspor rotan sekitar 2.500-3.000 kontainer, atau 80% dari rata-rata ekspor sebelum krisis. Menurut Ketua Masyarakat Rotan Cirebon Badrudin, ekspor mebel rotan selama bulan Januari 2009 mencapai 2.900 kontainer. Melihat permintaan pasar Eropa yang cenderung stabil, permintaan AS yang mulai bergairah kembali, dan dari Afrika dan Timur Tengah yang menjanjikan, pada Februari 2009 ekspor mebel rotan Cirebon diperkirakan akan sama, sekitar 2.500-3.000 kontainer.

Sebelum krisis global, jumlah ekspor rotan Cirebon sekitar 3.000-4.000 kontainer per bulan. Namun saat terjadi krisis global, permintaan pasar turun sampai 50%, terlebih dari AS, termasuk dari Eropa. Lesunya daya beli konsumen di luar negeri menyebabkan stok mebel rotan di gudang importir menumpuk sehingga pesanan ke pabrik di Cirebon ditahan sementara, atau berkurang.

Namun, belum semua pabrik ordernya naik. Seorang pengusaha mebel menjelaskan, permintaan importir juga masih sedikit dan bertahap. Pengiriman barang ke luar negeri pada bulan Januari-Februari 2009 merupakan order pada bulan November dan Desember 2008, yang terlambat dikirim. Apabila dilihat dari kondisi 2007-2008, kecenderungan ekspor rotan Cirebon malah menurun. Permintaan dari Eropa masih tetap jalan, tapi permintaannya tidak sekaligus banyak karena mereka juga baru mulai pulih dari krisis.

Sementara itu, pengusaha mebel juga mendesak pemerintah segera menghapuskan pajak pertambahan nilai (PPN) rotan. Penghapusan tersebut dibutuhkan untuk menambah daya saing produk rotan Indonesia di tengah krisis finansial. Selama ini rotan setengah jadi yang dikirimkan antarpulau dikenakan pajak sebesar 10%. Pajak itu membuat produk jadi lebih mahal, akibatnya mebel rotan buatan Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor.

Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Sri Mulyani sempat mengumumkan pemerintah akan menanggung fasilitas PPN untuk tujuh belas sektor. Salah satunya disebutkan rotan akan dialokasikan pembebasan pajak sebesar Rp100 miliar. Namun, rencana tersebut dibatalkan karena stimulus pada bahan baku dianggap tak akan langsung menurunkan harga barang jadi.

Asosiasi memperkirakan, krisis finansial akan menyebabkan pertumbuhan ekspor mebel dan kerajinan tahun 2009 ini turun menjadi 5%, padahal tahun lalu mencapai 11%. Pada tahun 2008, ekspor tercatat sebesar USD2,55 miliar (Rp28,6 triliun), atau tumbuh 11% dari USD2,3 miliar dibanding tahun 2007. Sementara tahun 2009 ini ekspor diperkirakan berada di kisaran USD2,68 miliar atau sekitar Rp30,3 triliun. (AI)


Jumat, April 03, 2009

Industri telematika 2009

Departemen Perindustrian optimistis industri telematika nasional akan mencapai pertumbuhan 8% tahun 2009 ini. Angka pertumbuhan itu lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2008 yang mencapai 9%. Direktur Jenderal Industri Alat Transportasi dan Telematika Depperin Budi Darmadi mengatakan, pertumbuhan industri telematika tidak terlalu terpengaruh dampak krisis global.

Ada dua faktor yang membuat Depperin optimistis dengan angka tersebut. Faktor itu di antaranya perkembangan layanan di sektor telekomunikasi dan kebijakan pengetatan prosedur impor untuk perangkat handset dan komputer, yang mewajibkan importasi kedua perangkat teknologi informasi itu menggunakan importir terdaftar.

Industri telematika menjadi harapan pemerintah di saat kondisi sektor industri sedang lesu. Depperin mencatat sepanjang tahun 2008 produksi industri telematika meningkat 13,38% dari Rp45,73 triliun menjadi Rp51,85 triliun. Meski produksinya naik, ternyata industri telematika belum memaksimalkan kapasitas produksinya. Artinya, produksi industri telematika masih di bawah kapasitas terpasang. Hal ini disebabkan masih banyaknya kebijakan yang tak berpihak pada industri lokal.

Ekspor industri telematika tahun 2008 mencapai USD3 miliar mencakup peranti keras di antaranya printer, monitor, dan komponen komputer lainnya. Sementara peranti lunak dan jasa mencapai USD400 juta. Hal ini membuktikan bahwa secara kualitas, produk dalam negeri sudah dapat diterima internasional. Di samping itu, produk telematika lokal juga memiliki peluang besar terserap ke infrastruktur telekomunikasi seperti base transceiver station (BTS), software, infrastruktur kabel optik, VSAT (very small aperture terminal), dan lainnya.

Namun demikian, berdasarkan data Depperin tingkat penyerapan kandungan lokal di industri telematika masih relatif rendah yakni di bawah 5% dari total belanja modal kendati sepanjang tahun 2008 sektor ini mencatat produksi senilai Rp51,85 triliun atau meningkat 13,38% dibanding tahun 2007. Komputer termasuk produk telematika yang kandungan impornya semakin berkurang, yakni saat ini mencapai 35%. Sementara laptop kandungan impornya masih dominan sekitar 65%.

Sementara itu produksi piranti lunak hasil produsen nasional kebanyakan berupa piranti lunak untuk perbankan dan nada sambung telepon seluler. Inpres No.2/2009 tentang Pelaksanaan Program Penggunaan Produksi Dalam Negeri juga mendorong peningkatan penjualan produk nasional. Penyerapan kandungan lokal yang rendah ini membuat industri penunjang di sektor telematika nasional kesulitan mengoptimalkan kapasitas produksi dan perdagangan sehingga pada umumnya beroperasi di bawah kapasitas terpasang. Apabila operator bersedia menyerap produksi lokal, pertumbuhan pasar industri telematika lokal dapat mencapai 30% sampai 40% dari total produksi pada 2008. Selain itu, utilisasi produsen perangkat komunikasi dapat mencapai 70%.

Berdasarkan hitungan, rata-rata produsen industri peralatan komunikasi dan jaringan kabel optik berproduksi 50% dari kapasitas terpasang. Demikian pula dengan pangsa pasar industri telematika di pasar domestik masih kalah bersaing dengan produk impor dengan kisaran 50%. Para produsen pemakai produk telematika di dalam negeri lebih memilih menggunakan produk impor, yang sebagian besar berasal dari China. Sebab, mereka terikat dengan kontrak main contractors.

Produk lokal sulit bersaing dengan produk China. Selain harga yang ditetapkan lebih mahal, kualitas produksi masih sulit memenuhi keinginan pemakai lokal. Dari total belanja di industri telematika sekitar USD4,1 miliar pada tahun 2008, kandungan lokal tidak lebih dari 3%. Sebab itu, pemerintah antara lain melalui Depkominfo meminta proses tender dalam negeri wajib memasukkan kandungan lokal minimum 30%.

Depperin mengusulkan fiber optik dan komponen telekomunikasi mendapatkan stimulus fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) sebesar Rp70 miliar. Untuk meraih target tersebut, pemerintah akan mengoptimalisasikan TKDN pada tiga produk utama yakni hardware, software dan service (layanan purnajual) di pasar domestik. Investasi di bidang telekomunikasi terus meningkat. Industri telematika diperkirakan bisa tumbuh 9-10% di tengah krisis ekonomi global. Sementara pajak dari industri piranti lunak tahun 2009 ini diperkirakan mencapai USD8 juta atau sekitar Rp96 miliar.

Langkah lain pemerintah untuk menumbuhkan industri telematika antara lain melalui pengembangan kompetensi di bidang penelitian dan pengembangan atau research and development, manufacturing and engineering services. Pemerintah juga bakal membangun pusat desain produk telekomunikasi. Dalam lima tahun ke depan, Depperin memperkirakan nilai belanja modal peralatan telekomunikasi dalam negeri mencapai sekitar Rpl50 triliun.

Sekretaris Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran Hak Kekayaan Intelektual (PPHKI), Andy N. Sommeng mengatakan, dalam empat tahun terakhir industri kreatif, termasuk piranti lunak, memberi peran signifikan dengan menyumbang 6,5% terhadap produk domestik bruto. Saat ini terdapat sekitar 500 perusahaan yang memproduksi piranti lunak dengan jumlah aplikasi mencapai 5.000.

Sementara itu, Pemerintah Kota Salatiga membidik bidang telematika sebagai salah satu motor penggerak industri kreatif. Di Salatiga terdapat satu perusahaan bidang teknologi informatika yang menjadi satu-satunya perusahaan di Indonesia yang mengekspor alat uji elektro ke sejumlah negara, seperti Jerman dan AS. Pada tahun 2009 ini, bidang tersebut masih akan menjadi fokus andalan pengembangan industri kreatif di Salatiga.

Pemerintah Kota Salatiga akan bekerja sama dengan Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW). Bentuk kerja sama tersebut berupa penyediaan sejumlah perangkat komputer maupun pelatihan untuk mendukung inkubator bisnis yang ada di UKSW, termasuk juga menyediakan bantuan bagi sejumlah teknisi telepon genggam.

Di sektor usaha lain, industri kecil dan menengah sarung palekat di Kabupaten Pekalongan juga tidak terpengaruh dampak krisis global. Setelah sempat terpuruk pada tahun 2002, industri ini kini berkembang pesat setelah menemukan tren baru sejak industri sarung printing berhenti produksi pada tahun 2008. Pangsa pasar sarung di Indonesia diperkirakan baru 38- 40 juta sarung/tahun atau hanya seperlima dari total kebutuhan sarung secara nasional. (AI)


Rabu, April 01, 2009

Obat generik masih belum popular

Inspektur Badan Pusat Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) Ratna Rosita mengatakan, masyarakat Indonesia terkesan kurang menyukai obat generik, sehingga tingkat penjualan obat tersebut menurun setiap tahun. Pada tahun 2007 penjualan obat generik hanya mencapai 8,7% dari total penjualan obat. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kepopuleran obat generik di negara lain, seperti Taiwan, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, tingkat belanja masyarakat Indonesia terhadap obat juga masih rendah.

Sebenarnya hal ini merupakan peluang besar bagi tersedianya ruang yang cukup untuk perkembangan dunia industri farmasi nasional. Nilai impor untuk beberapa bahan aktif farmasi meningkat pesat selama tujuh tahun belakang ini. Pada tahun 2007 impor bahan baku terbesar adalah antibiotik yang mencapai USD86,8juta. Bahan baku tersebut diimpor dari China dan India.

Krisis global yang sedang terjadi juga sangat berdampak pada sektor usaha farmasi. Hal ini disebabkan tingkat impor bahan baku farmasi yang sangat besar. Guna mengurangi dampak krisis ekonomi, BPPOM akan menggunakan prinsip pool purchasing dalam meningkatkan daya tawar sehingga dapat menurunkan harga jual obat.

Agar mandiri dan tidak perlu mengimpor bahan baku obat, Indonesia harus mampu mengembangkan produksi bahan baku yang tersedia di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan mega centre bahan bio diversity. Selain itu, BPPOM juga mengajak perguruan tinggi farmasi untuk menghasilkan penelitian-penelitian yang berguna untuk meningkatkan kualitas obat-obatan.

Terkait dengan obat generik, dari Makassar, Sulsel, dilaporkan sejak minggu ketiga Maret 2009, sejumlah rumah sakit milik pemerintah provinsi mengeluhkan langkanya persediaan obat generik. Kelangkaan ini dipicu oleh kebijakan distributor obat-obat generik yang menghentikan distribusi ke rumah sakit akibat menumpuknya utang pemerintah provinsi hingga tahun 2009 ini.

Menanggapi laporan ini, anggota Komisi IV DPRD Sulsel langsung melakukan inspeksi mendadak. Sidak dilakukan di sejumlah rumah sakit pemerintah, seperti RS Dadi, Labuang Baji dan RS Haji. Di RS Dadi anggota dewan menemukan stok obat yang tak lagi mencukupi untuk melayani pasien hingga satu bulan ke depan. Kondisi ini masih lebih baik dibanding di RS Labuang Baji.

Di Labuang Baji, sejak pertengahan Maret 2009 lalu tidak lagi melayani pasien yang membutuhkan obat generik, karena stok benar-benar telah habis. Pihak RS terpaksa mengarahkan pasien untuk membeli obat di apotik, tentu dengan harga yang lebih mahal. Kelangkaan obat itu terjadi karena stok obat kosong. Pasalnya, pedagang besar farmasi (PBF) sebagai distributor atau pemasok obat-obatan menghentikan sementara droping obat yang diperlukan karena masih terdapat tunggakan yang harus dilunasi. PBF baru bisa memasok obat ke rumah sakit kalau tunggakan mereka sudah dibayarkan pihak rumah sakit. Masalahnya, saat ini belum dilakukan tender pengadaan obat-obatan. Tender baru akan dilaksanakan pada April 2009.

Dari RS Dadi diperoleh informasi bahwa stok obat masih tersedia, hanya saja stok yang dibutuhkan pasien tidak termasuk jenis obat yang ditanggung jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), sehingga tetap dikatakan langka. Agar ke depan stok obat tidak terjadi lagi kelangkaan, pemprov perlu mengantisipasi dengan memanfaatkan dana talangan yang ada pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel. Nantinya pada saat anggaran pengadaan obat-obatan telah dicairkan, barulah dana talangan yang telah digunakan itu dapat diganti kembali.

Kadis Kesehatan Sulsel Rachmat Latief mengungkapkan, sebenarnya stok obat-obatan di apotik atau rumah sakit tidak boleh dibiarkan kosong sama sekali. Sebelum stok obat mengalami kekosongan, pihak apotik sudah harus merencanakan pengadaan jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, pihak rumah sakit dapat dipersalahkan karena tidak melakukan antisipasi dini. Penumpukan utang di distributor bukan alasan untuk tidak memasok obat ke RS. Semua ini terjadi karena minimnya koordinasi dan antisipasi pihak rumah sakit.

Sementara itu, dalam pelayanan obat bagi peserta, PT Askes (Persero) telah menerapkan pelayanan obat berdasarkan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) untuk menjamin ketersediaan dan standarisasi harga obat seluruh Indonesia. DPHO ini dapat menjamin ketersediaan obat di Indonesia, mengkomodasi kedokteran dan industri obat, serta dapat menciptakan persamaan harga sesuai efisiensi medis.

Para provider PT Askes baik pabrik, distributor maupun apotek dan instalasi farmasi yang menerima layanan obat Askes bisa saling berkomunikasi langsung tentang ketersediaan obat. Sesuai DPHO terbaru di edisi XXVII Tahun 2009, yang terbanyak adalah obat dengan nama dagang yakni sekitar 883 item, sedangkan dengan nama generik ada 321 item obat.

Pemerintah berjanji memberikan jaminan pasar bagi produsen obat di dalam negeri untuk membantu industri farmasi nasional mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, lebih dari 90% bahan baku obat masih diimpor dari luar negeri. Kalau krisis ini berlanjut dan nilai tukar rupiah turun terhadap dolar, harga obat tentu terpengaruh. Oleh karena itu pemerintah memberikan subsidi dan jaminan pasar. Selain memberikan subsidi bahan baku senilai Rp350 miliar bagi produsen obat generik pemerintah juga memberikan jaminan pasar obat yang nilainya diperkirakan Rp4,5 triliun.

Jaminan pasar yang dimaksud adalah pembelian obat melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang nilainya sekitar Rp2 triliun, pembelian obat untuk pelayanan kesehatan di daerah senilai Rp2 triliun dan sekitar Rp0,5 triliun dari penjualan obat generik di pasar bebas.

Rencana pemerintah menurunkan harga obat generik memang menjadi kabar buruk bagi Kimia Farma dan Indofarma. Pasalnya selama ini dua perusahaan itulah yang paling banyak memproduksi obat-obat generik. Dari total produksinya, PT Indofarma misalnya, memproduksi obat generik sebanyak 80%, sisanya 12% berupa branded, dan 8% obat bebas. Kenyataan itulah yang membuat manajemen perseroan bertekad untuk mengurangi ketegantungannya pada obat-obat generik, dengan meningkatkan produksi branded dan over the counter (OTC).

Demikian halnya dengan PT Kimia Farma. Perusahaan ini juga diperkirakan akan terpukul oleh keputusan penurunan harga obat generik. Terlebih perseroan kini tengah direpotkan oleh besarnya rugi kurs sehingga manajemen Kimia Farma terpaksa meminta bantuan berupa dana talangan dari pemerintah untuk menutupi kerugian tesebut. Permohonan bantuan itu tampaknya bakal dikabulkan karena Menkes akan memberikan subsidi Rp350 miliar bagi produsen obat generik disamping jaminan pasar obat sebesar Rp4 triliun. (AI)