Rabu, Maret 24, 2010

HET obat generik berubah

Awal Februari 2010, pemerintah mengeluarkan keputusan penetapan harga obat generik tertinggi yang meliputi 453 item. Pabrik obat dan/atau Pedagang Besar Farmasi (PBF), dalam menyalurkan obat generik kepada pemerintah, rumah sakit, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, harus menggunakan Harga Neto Apotek (HNA) plus PPN sebagai harga patokan tertinggi. Dari 453 jenis obat generik, sebanyak 106 jenis obat harganya turun, 33 jenis obat harganya naik, dan 314 jenis obat harganya tetap.

Sebagai contoh, ACT (Artesunate tablet) 50 mg + Amocliaquine anhydrida tablet 200 mg kemasan 2 blister @ 12 tablet/kotak, harga HNA + PPN Rp33.000, sedangkan harga HET Rp41.250. Obat maag Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kemasan botol 1.000 tablet kunyah, dengan HNA+PPN Rp 30.530, sehingga HET Rp38.163. Antasida DOEN 1 tablet kunyah (kombinasi Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kotak 10×10 tablet kunyah) dengan harga HNA+PPN Rp9,117, HET Rp11.396. Kemudian penghilang sakit Antimigren (Ergotamin Tartrat 1 mg + Kofein 50 mg, kemasan botol 100 tablet, dengan harga HNA+PPN Rp10.280, HET Rp12.850. Diazepam tablet 2 mg (kemasan botol 1000 tablet) harga HNA+PPN Rp19.800, HET Rp24.750.

Ketentuan tersebut tercantum dalam Kepmenkes No.HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tertanggal 27 Januari 2010, tentang harga obat generik. Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan HNA + PPN adalah harga jual pabrik obat dan/atau PBF kepada pemerintah, RS, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah harga jual apotek, RS, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Dengan berlakunya keputusan ini, maka Kepmenkes No.302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga Obat Generik, dicabut dan tidak berlaku lagi.

Untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik, pabrik obat dan/atau PBF dapat menambahkan biaya distribusi maksimum sebesar 5% untuk regional I - II, 10% untuk regional III, dan 20% untuk regional IV. Regional I meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Bali, Lampung, dan Banten. Sementara Regional II meliputi Provinsi Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan NTB. Regional III meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, dan Gorontalo, sedangkan regional IV meliputi Provinsi NTT, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat.

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mendukung penetapan HET obat generik yang diputuskan pemerintah. Asosiasi yang menaungi perusahaan farmasi tersebut memberi apresiasi kepada pemerintah yang ternyata mendengar dan memahami usulan dan masukan dari industri farmasi di Tanah Air. Pasalnya, dalam ketentuan tersebut tidak semua item obat harganya turun, melainkan ada yang naik. Adanya kenaikan HET obat generik ini menunjukkan pemerintah paham bahwa biaya produksi beberapa jenis obat telah meningkat seiring dengan kenaikan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD.

Pelepasan harga obat pada mekanisme pasar mengakibatkan pasar dikuasai obat bermerek atau bernama dagang ketimbang obat generik. Padahal, obat bermerek dengan kandungan yang sama dengan obat generik harganya bisa jauh lebih mahal daripada obat generik. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional mencapai RP23,5 triliun, terdiri dari pasar obat bermerek Rp21,07 triliun, dan pasar obat generik Rp2,52 triliun. Sementara itu pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp32,9 triliun, yang terdiri dari pasar obat bermerk Rp30,56 triliun, dan pasar obat generik hanya Rp2,37 triliun.

Obat generik sulit menjadi populer karena tidak didukung struktur yang memadai. Regulasi yang ada belum benar-benar kuat mengontrol dan mengawasi semua dokter untuk meresepkan obat generik. Obat generik masih dipandang sebagai obat untuk orang miskin, obat puskesmas, obat curah, dan dianggap tidak ampuh. Selain itu, obat generik juga tidak pernah diiklankan dan dokter lebih banyak mengetahui tentang obat bermerek karena kerap didatangi petugas penjual obat.

Saat ini ada sekitar 8-12 produsen obat generik. Tiga di antaranya badan usaha milik negara (BUMN). Di sisi lain, setidaknya ada 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing, empat BUMN, dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia. Keengganan menggunakan obat generik menyebabkan omzet obat generik yang penggunaannya dicanangkan sejak tahun 1989 menurun.

Menurut GP Farmasi, perusahaan farmasi tentu mendukung program obat generik yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, murahnya HET yang ditentukan pemerintah dan masih kecilnya pasar membuat obat generik tidak terlalu menarik. Tidak hanya kalkulasi biaya produksi, promosi, dan distribusi, melainkan faktor psikologis harga. Sebagian masyarakat meyakini harga tidak menipu. Begitu harga obat bermerek terlalu murah malah dikira tidak ampuh atau tidak berkualitas

Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Permenkes No.HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, peraturan menteri tentang kewajiban meresepkan obat generik baru akan ampuh jika diikuti insentif dan hukuman yang jelas. Namun, pengawasan penggunaan obat generik pun tidak akan mudah. Sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. Di berbagai negara maju, harga obat dapat dikontrol karena melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial.

Penggunaan obat generik akan sangat menghemat biaya penanganan penyakit. Sejauh ini, biaya obat sekitar 60% dari total biaya pengobatan dan harusnya dapat lebih rendah. Sebanyak 453 obat generik yang HET-nya dikontrol pemerintah sudah dapat mengatasi 70% penyakit yang ada. Untuk memaksimalkan penggunaan obat generik, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan kesediaan dokter untuk meresepkan obat generik. (AI)

Senin, Maret 22, 2010

Kedelai

Pemerintah merencanakan untuk mengurangi impor kedelai hingga 20%/tahun dan meningkatkan produksi dalam negeri 20%/tahun sehingga target swasembada kedelai pada tahun 2014 dapat tercapai. Rata-rata kebutuhan kedelai nasional sebesar 2,1 juta ton/tahun, namun total produksi dalam negeri baru mencapai 900 ribu ton, karena itu masih dibutuhkan impor sebesar 1,2 juta ton.

Namun demikian, pemerintah juga mengharapkan impor kedelai dapat berkurang. Pengurangan itu bisa dilakukan dengan menggenjot produksi kedelai pada masa panen yang tersisa. Kemudian pada musim tanam selanjutnya produksi bisa digenjot dengan areal lahan baru. Apabila pemerintah bisa mengurangi impor sebesar 200 ribu ton, artinya pada tahun 2010 impor kedelai hanya satu juta ton.

Menurut Mentan Suswono, salah satu kendala dalam pengembangan kedelai yaitu saling tumpang tindihnya dengan penanaman jagung. Banyak petani yang lebih memilih untuk menanam jagung karena perawatannya lebih mudah dibanding dengan kedelai. Di samping itu, harga kedelai kurang menarik buat petani. Idealnya harga kedelai 1,5 kali lebih tinggi dari harga beras. Saat ini harga kedelai masih sama dengan harga beras.

Selain itu, produksi kedelai juga terkendalan oleh terbatasnya lahan. Dalam waktu dekat Kementrian Pertanian akan mengintegrasikan antara lahan kedelai dengan tebu. Setiap tahun ada sekitar 50 ribu ha tebu yang dipanen. Pada saat masa panen terbuka itu, lahan tebu bisa ditanami kedelai. Di samping itu, pemerintah juga akan membuka lahan-lahan baru dengan memanfaatkan pembukaan lahan hutan baru yang dilakukan oleh Perhutani juga di Hutan Tanam Industri (HTI) atau lahan yang dijanjikan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebesar 2 juta ha.

Sementara itu, mulai tahun 2010 ini Perum Bulog akan berbisnis kedelai. Perusahaan umum milik negara ini berencana mengelola sekitar 360.000 ton kedelai tiap tahun, baik impor maupun kedelai produksi dalam negeri. Dalam hal ini Bulog hanya akan mengambil margin keuntungan tipis dari pembelian kedelai dalam negeri, karena tujuan utamanya adalah memberi kepastian usaha bagi petani dengan memberi jaminan pasar. Bulog membeli kedelai dari petani dengan harga patokan. Selanjutnya, Bulog menjualnya kepada perajin atau industri makanan berbahan baku kedelai.

Guna menjaga stabilitas harga, Bulog juga akan mengajukan izin impor kedelai dari pemerintah. Dari impor kedelai ini, Bulog mengambil keuntungan sewajarnya untuk operasionalisasi kegiatan. Implementasinya mulai musim panen kedelai pada musim tanam gadu tahun 2010 ini. Bulog akan menggunakan dana komersial melalui pinjaman bank, bukan dari APBN. Dewan Kedelai Nasional menyarankan agar Bulog menjadi distributor tunggal kedelai ke Kopti, yang kebutuhannya rata- rata 80.000 ton/bulan. Masuknya Bulog ke bisnis kedelai diharapkan dapat menjaga harga kedelai di tingkat petani, yaitu 1,5 kali harga beras. Dengan cara ini, petani diharapkan akan semangat menanam kedelai.

Angka Sementara (ASEM) produksi kedelai tahun 2009 sebesar 972,95 ribu ton biji kering. Dibandingkan produksi tahun 2008, terjadi kenaikan sebesar 197,24 ribu ton (25,43%). Angka Ramalan I (ARAM I) produksi kedelai tahun 2010 diperkirakan sebesar 962,54 ribu ton biji kering. Dibandingkan produksi tahun 2009 (ASEM), terjadi penurunan sebesar 10,41 ribu ton (1,07%). Penurunan produksi tahun 2010 diperkirakan terjadi karena turunnya luas panen seluas 12,43 ribu ha (1,72%), sedangkan produktivitas mengalami peningkatan sebesar 0,08 kuintal/ha (0,59%).

Produksi kedelai di Aceh pada tahun 2009 meningkat cukup signifikan. Dari 43,9 ribu ton menjadi 63,4 ribu ton atau meningkat sebesar 44%. Dengan pencapaian tersebut, Aceh siap mendukung program Indonesia swasembada kedelai tahun 2014. Peningkatan produksi tersebut disebabkan adanya penambahan luas panen sekitar 13 ribu ha pada tahun 2008 menjadi 35,5 ribu ha pada tahun 2009. Pada tahun 2010 ini produksinya akan meningkat lagi dengan perkiraan produktivitas sekitar 3 ton/ha. Peningkatan produksi tersebut juga akan didukung dengan perluasan lahan yang diperkirakan mencapai 80% dari jumlah panen tahun 2009.

Dari hasil survei BPS Provinsi Kaltim, ARAM I produksi kedelai pada tahun 2010 ini diperkirakan mencapai 2,77 ribu ton biji kering. Dibandingkan produksi tahun 2009, produksi kedelai Kaltim mengalami peningkatan sebanyak 531 ton atau 23,69%. Kenaikan produksi ini diperkirakan terjadi karena adanya peningkatan luas panen sebanyak 463 ha atau 25,04%. Kenaikan produksi kedelai relatif besar pada tahun 2010 ini terjadi di Bulungan, Passer, dan Berau. Sementara untuk pola panen kedelai diperkirakan masih akan sama dengan pola panen tahun 2008 maupun tahun 2009, yakni puncak panen selalu terjadi pada sekitar Mei-Agustus.

Dari Sumatera, Pemprov Jambi menggunakan varietas unggul untuk memacu peningkatan produksi kedelai, sehingga mampu menyamai produksi rata-rata nasional 1,2 ton/ha. Ada dua varietas unggul yang digunakan, yakni baluran dengan teknologi Bio P-2000 Z, dan millenium. Dua varietas tersebut mempunyai umur tanam yang singkat sekitar 78 hingga 80 hari, dengan hasil panen mencapai 2,5 hingga 3,5 ton/ha. Produksi kedelai Provinsi Jambi kini baru mencapai rata-rata 1,1 ton/ha. Pemda optimistis dua varietas yang dikembangkan itu akan mampu mewujudkan Provinsi Jambi sebagai sentra kedelai, tidak saja mampu memenuhi kebutuhan daerah setempat, bahkan luar daerah serta untuk diekspor.

Sementara itu, produksi kedelai Sumbar pada tahun 2009 (ASEM 2009) mencapai 3.175 ton atau mengalami peningkatan sebesar 117,61% atau 1.716 ton, dibandingkan produksi selama tahun 2008 yang mencapai 1.459 ton. Peningkatan produksi terutama disebabkan bertambahnya luas panen tanaman seluas 757 ha (67,29%). Kenaikan luas panen terjadi karena ada kegiatan bantuan benih kedelai tahun 2008, yang yang baru tanam pada akhir tahun 2008 dan awal tahun 2009.

Bali mampu menghasilkan kedelai sebanyak 13.622 ton selama tahun 2009, atau meningkat sebesar 4.198 ton atau 45,03% dibanding tahun 2008 yang hanya mencapai 9.424 ton. Peningkatan produksi itu berkat adanya penambahan luas panen yang mencapai 3.033 ha atau 47,80%. Meskipun produksi mengalami peningkatan yang cukup signifikan, namun produktivitas mengalami penurunan 0,27 kuintal atau sebesar 1,84%/ha. Meningkatnya hasil kedelai berkat petani mulai tertarik mengembangkan tanaman ini karena harga yang dinikmati petani tidak kalah dengan menanam padi atau jenis tanaman lainnya. (AI)

Jumat, Maret 12, 2010

Ponsel cerdas makin marak

Serikat Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU), badan PBB untuk telekomunikasi mengatakan, jumlah pelanggan ponsel akan membengkak sampai lima miliar orang tahun 2010 ini. Hal ini disebabkan pertumbuhan ponsel cerdas di negara-negara maju dan layanan bergerak (mobile) di negara-negara berkembang. Pada tahun 2009 pelanggan ponsel mencapai 4,6 miliar orang. Jumlah pelanggan mobile broadband juga akan melebihi satu miliar pada tahun 2010 setelah mencapai 600 juta pada tahun 2009.

Prediksi tersebut menyebabkan produsen ponsel berani bersaing di pasar ponsel cerdas. LG Electronic misalnya, akan memperkenalkan dua ponsel baru. Salah satu ponsel tersebut menggunakan sistem operasi Android dari Google. Sebelumnya, Samsung dan Sony Ericsson juga memperkenalkan dua ponsel cerdas multimedia terbaru. Mereka berusaha memperbaiki ketertinggalannya dari Nokia, Apple, dan Blackberry.

Samsung mengeluarkan Samsung Wave, ponsel layar sentuh yang pertama kali dibeli mobile operating system miliknya sendiri, yakni Bada. Perusahaan asal Korea Selatan itu akan mengeluarkan lima ponsel cerdas. Di antara ponsel itu, ada yang menggunakan sistem operasi Android. Samsung berharap mampu menjual 18 juta unit ponsel cerdas tahun 2010 ini.

Pada November 2009 lalu, Sony Ericsson telah mengeluarkan ponsel cerdas berbasis Android, Xperia X10. Sony Ericsson juga mengeluarkan versi mini Xperia, X10 Mini, dan X10 Pro. Mereka juga meluncurkan Vivaz Pro, yang dilengkapi dengan high-definition video dan beroperasi dengan menggunakan OS Symbian. Accer pun tak ketinggalan memperebutkan pangsa pasar smartphone. Accer akan menjual sekitar 2,5 juta hingga 3 juta smartphone pada tahun 2010. Penjualan smartphone Accer diharapkan meningkat menjadi 7 - 8 juta pada tahun 2012, dan naik lagi hingga 12 - 15 juta pada tahun 2012.

Sementara itu, imbas perjanjian pasar bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) sudah benar-benar terasa di industri telepon seluler. Sejak negara-negara Asean dan China membebaskan bea masuk impor ponsel, yang masuk kategori elektronik pada 1 Januari 2010, ponsel China makin deras masuk pasar Indonesia. Hal ini terbukti dari membludaknya permohonan dan pemberian izin sertifikasi perangkat telekomunikasi asal China di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Kemenkominfo mencatat, sejak 1 Januari 2010 hingga akhir Februari 2010, sudah terbit total 283 izin. Dari jumlah itu, 185 izin diantaranya untuk perangkat-perangkat telekomunikasi asal China. Dari 185 izin itu, 99 sertifikasi diantaranya merupakan sertifikasi perangkat (handset) ponsel. Mereknya macam-macam, seperti Nexian, Ipphone, K-Touch, ZTE, Skyphone, Tiphone, Dezzo, dan GStar. Sisanya aneka perangkat lain, mulai modem, hingga wireless.

Tidak hanya itu, antrian pengajuan sertifikasi perangkat telekomunikasi China masih panjang. Untuk pengajuan sertifikasi ponsel saja, jumlah antrian hingga puluhan pengajuan. Sertifikasi ponsel memang diwajibkan oleh Peraturan Menteri No.29/2008 tentang sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi. Pada prinsipnya, sebelum beredar di Indonesia, tiap-tiap importir dan prinsipal ponsel di Indonesia harus mengajukan permohonan sertifikasi.

Konsumen lokal banyak yang mencari telepon harga murah. Ponsel China dengan tipe qwerty seperti model BlackBerry dan iPhone bisa dibeli dengan harga Rp600 ribu/unit. Padahal harga BlackBerrydan iPhone masih tinggi, masih di atas Rp5 juta/unit. Makanya pembeli berbondong-bondong membeli ponsel China. Pasar ponsel Indonesia memang sangat menarik. Kementerian Perindustrian mencatat hingga akhir tahun 2009, ada 80 juta unit ponsel di Indonesia. Tahun 2009 lalu, penjualan ponsel mencapai 20 juta, dengan nilai USD1,5 miliar. Pada tahun 2010, angka ini diperkirakan bisa naik hingga separuhnya.

Sekarang, menelepon menggunakan ponsel merupakan hal yang biasa. Sinyal telepon sangat mudah didapatkan hingga ke pelosok mana pun di tanah air. Maklum saja, operator telekomunikasi terus memperkuat jaringan mereka di daerah-daerah. Bukan cuma operator lama yang berpacu menyebar sinyal di daerah, operator baru juga tidak mau kalah. PT Natrindo Telepon Seluler yang memiliki brand Axis misalnya. Sebagai operator baru, Axis gencar memperluas jangkauan. Akhir Januari 2010, Axis mengumumkan telah memperluas layanannya secara komersial di wilayah Aceh dan Sumatera Selatan. Dengan perluasan layanan ini maka Axis mampu menyediakan akses bagi 65% dari total populasi di Indonesia.

Pemain lama tak agresif mempertahankan pelanggan sekaligus menggenjot pelanggan baru. Misalnya PT Indosat yang memilih membangun backbone dengan meluncurkan satelit Palapa D sejak Agustus 2009. Satelit itu memiliki kapasitas sebesar 40 transponder dengan jangkauan hingga seluruh Indonesia, bahkan luar negeri semisal negara ASEAN, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Australia. Untuk pelanggan di Pulau Jawa, Indosat ingin meningkatkan kapasitas layanan, sedangkan fokus di luar Jawa adalah meningkatkan cakupan.

Untuk mengembangkan jangkauan layanan, PT XL Axiata Tbk. juga menyatakan mengalokasikan sebagian besar belanja modal alias yang sekitar USD400-450 juta untuk peningkatan kapasitas dan kualitas jaringan. Telkomsel juga tetap mengedepankan pengembangan infrastruktur untuk menjaga pelanggan. Pada tahun 2010, Telkomsel menyiapkan Rp13 triliun untuk memperluas coverage serta peningkatan kapasitas dan kualitas jaringan. Kini, Telkomsel punya 30.500 BTS dengan jangkauan lebih dari 95% Indonesia.

Terkait dengan menara, Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia meminta pemerintah menetapkan ketentuan tarif sewa menara telekomunikasi untuk menjaga keberlangsungan layanan telekomunikasi yang didukung keberadaan menara. Pasalnya, selama ini ada indikasi menara telekomunikasi menjadi “sapi perah” pihak tertentu. Menara adalah fasilitas dasar layanan telekomunikasi. Jadi wajar bila dilindungi dengan penetapan tarif.

Seperti tarif jalan tol, penetapan tarif sewa menara bisa diatur berdasarkan undang-undang. Kenaikan tarif bisa dilakukan tiap dua tahun sekali berdasarkan nilai inflasi. Namun, inflasi yang digunakan bukan inflasi nasional, tetapi per provinsi. Penetapan tarif oleh pemerintah pusat akan lebih adil. Jika diserahkan kepada pemda, ada kecenderungan pemda memupuk pendapatan asli daerah sehingga dikhawatirkan penetapan tarif akan terlalu tinggi. (AI)

Industri perikanan mencari peluang baru

Mulai 1 April 2010, pemerintah memberlakukan PPN sebesar 10% untuk produk perikanan, termasuk pakan dan penjualan ikan. Hal ini jelas membuat industri perikanan resah. Penerapan PPN ini akan berimbas banyak ke industri perikanan. Misalnya, biaya produksi akan naik lantaran harga pakan ikan juga melonjak. Imbasnya, harga jual ikan juga akan naik. Shrimp Club Indonesia (SCI) sudah mengajukan usulan penundaan pengenaan PPN untuk produk perikanan tersebut. Pengajuan itu ditujukan ke Ditjen Perikanan Budidaya, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Di samping itu, Pemerintah Indonesia akan terus melakukan negosiasi dengan Pemerintah Jepang untuk menekan tarif bea masuk (BM) produk tuna segar dan kalengan dari Indonesia. Saat ini, tarif BM produk tuna segar ke Jepang sebesar 3,5% dan tuna kalengan 9,5%. Penurunan tarif BM ini juga dilakukan untuk meningkatkan daya saing produk perikanan Indonesia. Hingga tahun 2009, total nilai ekspor hasil perikanan Indonesia mencapai USD2,4 miliar. Sebesar USD611 juta ekspor ke Jepang. Khusus tuna, ekspor pada tahun 2009 mencapai USD243 juta dan sebesar USD128 juta merupakan ekspor ke Jepang.

Menurut Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad, nilai ekspor produk hasil perikanan Indonesia ke AS, Jepang, dan Uni Emirate Arab (UEA) saat ini mencapai 70% dari total ekspor yang ada. Sementara 22% ke pasar prospektif Asia Tenggara dan Asia Timur, dan sisanya 8% ke pasar potensial Timteng, Afrika, dan eks Eropa Timur. KKP mendorong diversifikasi pasar ke Timteng dan Afrika. Selain nilai ekspor yang masih rendah, pasar Timteng dan Afrika dinilai sangat potensial.

Pada awal Januari 2010, KKP membuka upaya perluasan pasar ke Iran, UEA, dan Mozambik. Indonesia mendekati dan menjajaki ekpor produk perikanan ke Mozambik sebagai strategi untuk bisa memasuki pasar Afrika Selatan. Pasalnya, ekspor ke Mozambik memiliki aturan lebih longgar. Mozambik merupakan negara baru yang memiliki sekitar 25 juta penduduk dan sangat dekat dengan Afrika Selatan.

Untuk bisa mendorong ekspor hasil perikanan, tentunya terkait dengan kemampuan meningkatkan produksi perikanan, baik melalui budi daya maupun tangkap. Di samping itu juga pengembangan industri pengolahan hasil perikanan serta pemasarannya di hilir. Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus, Sumatera Barat, merupakan salah satu pelabuhan utama dalam melakukan ekspor tuna sejak tahun 2008. Dengan lokasi yang relatif dekat wilayah penangkapan ikan (fishing ground), Bungus dapat memberikan keuntungan penghematan biaya operasional armada penangkapan ikan, seperti BBM dan logistik.

Agar kualitas tuna ekspor dari Sumbar tetap segar diperlukan dukungan penerbangan ke Jepang.Volume ekspor tuna segar dari Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus ke Jepang rata-rata 3 ton/hari. Sementara volume ekspor rata-rata tuna beku ke AS hanya 1 ton/hari sejak tahun 2008. Dalam melakukan ekspor, Pelabuhan Perikanan Samudera Bungus bekerja sama dengan Cardig Air melalui Bandara Minangkabau. Sejak April 2009 hingga saat ini sudah dikirim sebanyak 14 ton/pekan.

Terkait dengan pelabuhan perikanan, Pemerintah Jepang akan membantu pembangunan beberapa pelabuhan perikanan di Indonesia, antara lain pelabuhan perikanan di Morotai, Papua, dan memperbaiki Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara Baru di Jakarta. Pemerintah Jepang akan membantu mulai dari pendanaan hingga menjadi konsultan dari proyek tersebut. Pembangunan pelabuhan perikanan tersebut sangat penting, namun sayangnya pemerintah tidak memiliki dana cukup untuk itu.

Rencana perbaikan Pelabuhan Perikanan Nusantara Muara Baru diperkirakan akan menghabiskan dana sebesar Rp90 miliar, dan saat ini sedang diajukan ke Bappenas. Nantinya pengerjaan proyek ini akan dikerjakan oleh KKP, Kementerian Pekerjaan Umum (PU), dan Pemprov DKI, dengan konsultan dan pendanaan dari Jepang.

Selain itu, Pemerintah Indonesia juga akan mengupayakan agar Pemerintah Jepang mau mendukung pengintegrasian pelabuhan di Muara Baru dengan pelabuhan perikanan di Muara Angke. Pelabuhan Muara Angke milik Pemda DKI, karena itu pembahasannya harus melibatkan Gubernur DKI. Pengintegrasian Muara Baru dengan Muara Angke akan menciptakan "show window" tentang bagaimana penanganan pasar ikan secara terintegrasi.

Di samping ekspor, KKP juga akan memperketat masuknya ikan impor ke Indonesia. Pasalnya, ditemukan ikan impor yang terindikasi melanggar aturan, yakni mengandung bahan pengawet berbahaya, seperti formalin. Harga ikan impor tersebut lebih murah dibandingkan harga ikan lokal. Jumlah impor ikan beku akhir-akhir ini meningkat hingga 120%. Namun tidak sebanyak impor ikan dalam bentuk tepung ikan yang digunakan untuk pakan ikan budidaya.

Selain masalah harga dan penggunaan bahan berbahaya, KKP juga menemukan adanya pelanggaran dalam pemberian label ikan. Pemberian label yang tidak sesuai dengan produk tersebut berpotensi menyesatkan konsumen. Misalnya KKP menemukan ikan jenis Dori yang memiliki daging berwarna putih dan dijual seharga Rp9.000/kg. Setelah diteliti, produk itu sebenarnya ikan jenis patin, namun labelnya menyatakan ikan Dori. Hal ini jelas masuk kategori penipuan dagang karena label tidak sesuai dengan produknya. Termasuk kandungan air pada produk tersebut juga tidak sesuai dengan persyaratan KKP. Standar toleransi kadar air pada ikan hanya 20%, namun pada temuan KKP kandungan airnya mencapai 35-40%.

Pengetatan impor ikan ini akan dituangkan dalam aturan yang akan terbit di KKP. Aturan tersebut akan membuat sistem jaminan mutu dan keamanan bahan konsumsi berbasis perikanan. Yang akan diatur ialah sejumlah persyaratan bagi importir, persyaratan produk dan kewajiban untuk uji mutu di pelabuhan pintu masuk. Aturan bagi importir itu diantaranya surat ijin usaha, NPWP, syarat teknis berupa unit pengolahan ikan, sertifikat kelayakan pengolahan (SKP), dan menerapkan sistem jaminan mutu. Untuk persyaratan produk, memiliki sertifikat kesehatan aman dikonsumsi dan bebas penyakit juga pelabelan yang sesuai (proper labelling) dan standar kadar air maksimal 20%.

Kalangan Nelayan Centre menyambut baik rencana pemerintah untuk memperketat pengawasan mutu terhadap ikan yang masuk ke Indonesia. Ikan yang masuk ke negeri ini harus aman dikonsumsi. Namun pemerintah sebaiknya tida melarang impor ikan, karena pada masa tertentu akan ada musim panceklik di dalam negeri. Ada sekitar 3 bulan musim angin barat dan pasokan ikan dari dalam negeri berkurang. Namun di sisi lain ada juga saat Indonesia kelebihan pasokan. (AI)

Senin, Maret 08, 2010

Teh

Tahun 2010 ini produsen teh patut bergembira. Pasalnya, harga komoditas ini kemungkinan akan naik. Menurut Asosiasi Teh Indonesia (ATI), harga membaik karena mutu dan standar teh Indonesia juga membaik. Peningkatan mutu teh Indonesia tidak lepas dari berhasilnya sejumlah perkebunan melakukan perbaikan dan mengantongi sertifikat yang disyaratkan lembaga standar mutu di negara tujuan ekspor, termasuk Eropa. Perbaikan standar mutu di sini tidak hanya mengacu pada standar lingkungan, melainkan juga pengelolaan kebun dan sosial tenaga kerja.

Faktor lain yang menyokong meningkatnya harga teh Indonesia adalah kenaikan permintaan dari negara tujuan ekspor utama seperti Eropa, dan dari negara lain. Harga teh Indonesia di pasar internasional tahun 2010 ini berpotensi menembus rata-rata USD2/kg, lebih tinggi dibanding dengan harganya tahun 2009. Pada transaksi selama Januari dan Februari 2010 harga teh sudah mendekati USD1,9-USD2/kg. Kenaikan harga teh juga dipengaruhi faktor cuaca. Misalnya, harga teh tahun 2009 naik karena produksi sejumlah negara terganggu akibat cuaca. India, Srilangka, dan Kenya sebagai produsen teh mengalami kekeringan. Ketiga negara itu adalah produsen terbesar teh dunia.

Setiap tahun produksi teh dunia mencapai 3,2 juta ton. Dari jumlah itu, India menyumbang 900.000 ton. Dari jumlah itu, 220.000-240.000 ton diantaranya diekspor. Sementara Indonesia hanya memproduksi teh 145.000 ton dengan volume ekspor 95.000-100.000 ton. Indonesia mengekspor sebagian besar teh itu ke Eropa, terutama Rusia.

Untungnya permintaan teh dari negara Timur Tengah seperti Pakistan terus meningkat. Tahun 2009 lalu, ekspor teh Indonesia ke Pakistan mencapai 14% dari total ekspor teh. Sebenarnya, total ekspor ke Pakistan ini bisa lebih tinggi jika bea masuk teh Indonesia diturunkan sehingga, teh Indonesia bisa bersaing dengan Srilangka yang mendapatkan bea masuk lebih rendah. Promosi teh ke pasar Timur Tengah yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak cukup kuat tanpa menjalin kerjasama bilateral. Dengan kerjasama bilateral, volume ekspor teh Indonesia bisa terus meningkat dan petani kembali bergairah.

Sejak tahun 2006, volume ekspor teh Indonesia menurun. Saat itu Indonesia hanya mengekspor 95.000 ton teh, lalu turun menjadi 83.000 ton pada tahun 2007. Tapi pada tahun 2008 ekspor teh kembali naik seiring membaiknya harga. Tahun 2009, India mengantisipasi penurunan harga teh dengan cara tidak menambah areal penanaman perkebunan. Akibatnya, produksi mereka pun merosot.

Produksi teh Indonesia juga siap menghadapi Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) karena mempunyai keunggulan dibanding produk China. Menurut Dewan Teh Indonesia, tingkat produksi teh Indonesia tahun 2009 mencapai 120.000 ton/tahun atau memenuhi sekitar 5,8% kebutuhan dunia dengan luas kebun 148.000 ha. Dari data ATI, teh menyumbangkan devisa USD110 juta/tahun.

Masih sedikitnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi dan mengembangkan industri teh dari hulu hingga hilir menjadi salah satu penyebab rendahnya harga jual teh. Padahal, industri teh sangat membutuhkan dukungan pemerintah dalam sektor revitalisasi perkebunan teh yang tidak bisa ditanggulangi langsung oleh petani karena membutuhkan dana yang besar. Revitalisasi perkebunan harus dilakukan untuk menggenjot hasil produksi yang selama ini terkendala lahan yang terbatas. Saat ini 50% lahan perkebunan adalah lahan perkebunan rakyat.

Industri teh harus didukung oleh semua komponen, mulai dari kalangan petani teh, pakar teh, akademisi, penyedia pupuk, peneliti dan tentu saja pemerintah. Apalagi, pasar teh masih cukup besar, sehingga peluang bisnisnya masih cukup terbuka lebar. Jika semua unsur dapat bekerja lebih keras, tak mustahil dalam waktu relatif singkat, Indonesia akan menduduki posisi ke-3 produsen teh dunia mengungguli Vietnam. Padahal, teknologi pengolahan teh Indonesia masih jauh lebih unggul.

Akhir-akhir ini teh tidak hanya sebagai minuman, namun teh juga dimanfaatkan untuk herbal dan kecantikan. Saat ini tingkat konsumsi teh perkapita masyarakat Indonesia berkisar 350 gram/tahun atau kurang dari 1 gram/hari setiap orangnya. Jumlah itu masih jauh di bawah Irlandia dan Inggris yang konsumsi perkapitanya di atas 3.500 gram/tahun. Perbandingan di atas memperlihatkan jika produksi teh dalam negeri seharusnya 120.000 ton dan tingkat konsumsi per kapita yang diharapkan adalah 500 gram/tahun (dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 200 juta jiwa) maka ada kelebihan stok sebesar 20.000 ton yang dapat diekspor.

Dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII berencana melakukan diversifikasi produk teh. Uniknya, PTPN VIII berniat untuk mengembangkan teh putih. Pengembangan produksi teh putih ini masih dalam skala kecil karena hanya berasal dari kebun-kebun tertentu. Saat ini, produksi teh putih tersebut baru berasal dari satu kebun yang terdapat di Cisaruni, Jawa Barat. Demi memperbanyak produksinya, PTPN VIII berencana mengembangkan lagi di empat kebun pada tahun 2010 ini. Meski produksinya masih sedikit, namun bisnis teh putih cukup menjanjikan. Pasalnya, harga jualnya cukup mahal berkisar Rp1,5 juta/kg.

Di samping mencoba mengembangkan produksi teh putih, PTPN VIII juga akan mengeluarkan produk baru. BUMN perkebunan tersebut akan memproduksi minuman teh siap saji alias ready to drink tea. Produk ini merupakan teh yang sudah dikemas dalam botol. Rencananya, produksi teh kemasan tersebut dimulai pada tahun 2010 sebanyak 1 juta botol. Jumlah produksi kemungkinan bisa bertambah jika permintaan cukup tinggi. Teh kemasan ini dijual seharga Rp3.500/botol dan untuk sementara dipasarkan di Jawa Barat.

Sayangnya, produk teh rakyat yang berasal dari Kabupaten Bandung Barat belum bisa menjadi primadona di wilayahnya sendiri. Selama ini, petani teh rakyat lebih memilih menjual bahan baku teh ke wilayah lain. Hal ini dikarenakan pasaran teh di wilayah lain sudah jelas, sementara pasaran teh lokal masih belum mumpuni.

Lahan kebun teh di daerah Ciwidey, Bandung Barat mencapai 120 ha. Dari lahan seluas itu, terdapat sekitar 160 orang petani teh. Produksi teh rakyat dari Ciwidey (sebelum terjadi bencana) bisa memasok kebutuhan produksi pabrik pengolah teh antara 5-6 ton dalam sekali petik. Selama ini, menjual pucuk teh basah yang dihargai Rp1.500/kg. Dari penjualan itu, biasanya yang diterima petani teh mencapai Rp1.300/kg. (AI)