Jumat, April 30, 2010

Ada mafia di pertambangan

Satuan tugas (satgas) pemberantasan mafia hukum punya tugas baru. Rencananya satgas tersebut akan membongkar mafia pertambangan dan energi, khususnya pertambangan batubara di Kalimantan Selatan. Satgas telah mendapatkan beberapa laporan dugaan mafia pertambangan batubara di wilayah Kalimantan Selatan. Ironisnya, Kalimantan Selatan adalah penghasil batubara namun masih saja mengalami kekurangan pasokan listrik.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) mendukung satgas pemberantasan mafia hukum dalam melakukan pemberantasan mafia tambang. Pasalnya, keberadaan mafia tambang dinilai telah merusak citra sektor pertambangan di Indonesia. Dengan diberantasnya mafia tambang dan illegal mining (pertambangan liar) maka citra sektor pertambangan akan membaik.

Menurut APBI, carut marut dunia pertambangan di tanah air salah satunya disebabkan karena semua orang bisa dengan mudah mendapatkan izin kuasa pertambangan (KP) jika memiliki kedekatan dengan pihak pemberi izin KP, dalam hal ini pemerintah provinsi dan pemerintah daerah. Dampaknya, orang yang mendapat izin KP namun tidak memiliki pengalaman di pertambangan akan bekerja sama dengan pihak ketiga atau kontraktor lain. Kemudian pemilik KP akan mendapatkan royalti. Sementara kontraktor karena harus membayar royalti, maka yang dipikirkan hanyalah keuntungan, tanpa memikirkan kelestarian lingkungan.

Contohnya, pertambangan emas tanpa izin makin marak di Kabupaten Landak, Kalimantan Barat. Kondisi ini terjadi karena warga setempat terus mendapat pasokan modal dari cukong-cukong luar daerah untuk menambang emas. Dalam beberapa kali razia, warga mengaku dibiayai oleh para cukong. Namun keberadaan cukong sulit dilacak karena warga mengaku tidak tahu. Pertambangan ilegal ini menyebabkan kerusakan lingkungan tak hanya di tempat penambangan, tetapi di sepanjang aliran sungai. Banyak daerah pertambangan sepanjang sungai yang airnya tak bisa lagi digunakan karena tercemar merkuri. Jika air tersebut digunakan untuk mandi menyebabkan gatal-gatal di kulit.

Masyarakat penambang selalu menggunakan kondisi ekonomi sebagai alasan melakukan penambangan. Alasan tersebut pula yang menyebabkan penambang berani melawan penertiban yang dilakukan pemerintah dan polisi. Sesungguhnya seluruh kabupaten Landak dalam peta pertambangan nasional masuk ke wilayah pertambangan. Konsekuensinya, di seluruh wilayah Landak bisa diterbitkan izin wilayah usaha pertambangan.

Jenis mineral yang terkandung di wilayah landak antara lain bauksit, emas sekunder, galena, dan batubara. Bauksit ada di seluruh wilayah, sementara batu bara ada di wilayah Bentiang. Namun, mineral batu bara di Landak agaknya sulit dieksploitasi karena sangat dalam, yakni 100-200 m di bawah permukaan tanah. Sementara itu, depositnya tidak terlalu banyak, umumnya hanya memanjang sekitar 50 m.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) juga mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk mengusut kasus besar korupsi di sektor pertambangan terkait dengan potensi kerugian negara hingga kerusakan lingkungan. Walhi mensinyalir korupsi sumber daya alam diduga melibatkan banyak aktor di level daerah hingga pejabat tinggi di Jakarta. Di sektor pertambangan, modus dugaan korupsi dapat bermulai dari pemberian izin hingga masalah persyaratan mengenai AMDAL.

Berdasarkan pengamatan Walhi, sejumlah kasus dugaan korupsi sektor pertambangan berada di tiga provinsi penghasil batubara terbesar di Indonesia, seperti Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan. Kasus dugaan korupsi sektor pertambangan juga melibatkan masalah pembayaran pajak perusahaan. Selama ini tidak ada pihak yang mengontrol tentang penjualan batubara terkait kalori komoditas tersebut sehingga berpengaruh pada pajak yang dibayarkan.

Tidak dapat dipungkiri, sektor pertambangan masih sangat menarik bagi para investor dalam maupun luar negeri. Era konsesi izin pertambangan Indonesia yang sejak tahun 1967 berbasiskan kontrak karya (KK) beralih hanya mengakui izin usaha pertambangan (IUP) dengan terbitnya UU Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Perubahan regulasi ini tidak mengurangi minat investasi para pemodal Australia di sektor pertambangan Indonesia.

Rio Tinto Indonesia misalnya, per 25 Februari 2010 lalu telah mendapatkan IUP baru untuk proyek penambangan nikel di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, dan Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah. Perusahaan tambang asal Australia itu mendapatkan IUP baru karena telah bersedia menaati UU Pertambangan yang baru. Hal itu menunjukan gairah Australia minat investasinya untuk masuk ke indonesia di sektor pertambangan tidak terganggu dengan adanya perubahan regulasi pertambangan.

Ke depannya sudah banyak perusahaan asing yang mengantre ingin masuk. Namun saat ini, mereka sedang dalam posisi wait and see untuk mendapatkan kepastian hukum terkait peraturan-peraturan baru yang akan menyusul. Pasalnya, dalam era otonomi daerah saat ini perizinan investasi tak lagi hanya ditentukan pemerintah pusat. Tetapi, ada kerja sama antara pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota yang menjadi lokasi usaha. Pemerintah berharap para investor bisa mendapatkan kepastian hukum sehingga merasa nyaman untuk masuk dan berinvestasi di Indonesia.

Hingga tahun 2009, total investasi dari 400 perusahaan Australia yang beroperasi di Indonesia di semua sektor senilai AUD4 miliar. Nantinya, diperkirakan akan terjadi peningkatan nilai investasi terkait ekspansi perusahaan-perusahaan pertambangan Australia di Indonesia. Eureka Mining Company misalnya, saat ini tengah mengembangkan fasilitas baru untuk produksi bahan peledak industri pertambangan. Nilai investasi perseroan diperkirakan sekitar AUD500 juta.

Dalam APBN 2010 Kementerian Keuangan memutuskan menaikkan besaran penerimaan negara sektor Pertambangan Umum dari sekitar Rp14,9 triliun (menggunakan kurs Rp9.200/USD)menjadi Rp15,2 triliun (menggunakan kurs Rp10.000/USD). Menurut Kementerian ESDM, kenaikan penerimaan sektor pertambangan tersebut masih realistis. Pasalnya, ada dua faktor penentu besaran PNBP antara lain pertama, faktor kenaikkan produksi, dan kedua, faktor kenaikan harga. Dan Kementerian ESDM sudah menetapkan faktor kenaikan produksi sebagai dasar sehingga faktor yang berpengaruh adalah perkembangan harga yang fluktiatif di pasar internasional. (AI)

Jumat, April 23, 2010

Harga rumah akan naik?

Tren pasar properti saat ini adalah hunian ataupun gedung yang ramah lingkungan. Tren itu juga menghinggapi properti di Tanah Air. Saat ini semakin banyak pembangunan properti dengan konsep hijau dan mendapat respons positif dari masyarakat. Properti ramah lingkungan di antaranya tecermin dalam desain bangunan, kemampuan mengurangi eksploitasi sumber daya alam, emisi gas karbon, dan penghematan listrik. Properti yang ramah lingkungan juga memberikan imbal balik nilai jual yang lebih tinggi.

Namun, menurut Real Estat Indonesia (REI), pemerintah belum memiliki aturan mengenai standardisasi properti yang ramah lingkungan. Padahal aturan tersebut diperlukan sebagai acuan bagi para pengembang properti, misalnya pola insentif bagi pengembang proyek yang ramah lingkungan dengan memberikan keringanan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) sebesar 30-50% bagi proyek ramah lingkungan. Selain itu, koefisien luas bangunan (KLB) lebih tinggi sebagai kompensasi perluasan ruang terbuka hijau dan prioritas infrastruktur. Patut disadari bahwa peran industri properti sangat penting dalam membangun kawasan ramah lingkungan yang berkelanjutan.

Saat ini industri properti di Indonesia cenderung masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga. Ketertinggalan industri properti Tanah Air juga terlihat dari aturan yang mempersulit kepemilikan properti oleh warga asing. Sebenarnya, jika WNA telah diperbolehkan memiliki hak properti, diperkirakan dana investasi berupa Foreign Direct Investment (FDI) akan mengalir lebih deras ke Indonesia. Para ekspatriat yang memiliki properti akan memikirkan untuk membangun bisnis mereka di Indonesia. Jika ada investasi di industri properti sebesar Rp1 miliar, efek berantai yang dirasakan industri lainnya bisa mencapai 12 kali lipat. Sebab permintaan properti akan menumbuhkan industri turunannya seperti jasa konstruksi, marmer, semen, dan industri lain yang padat karya.

Di samping itu, REI mengusulkan kepada pemerintah agar menerapkan pajak khusus bagi pembelian properti oleh orang asing guna memastikan tersedianya dana bagi pembangunan properti. Penerapan pajak atas pembelian properti oleh orang asing akan menjamin dana yang diambilkan dari proses jual beli properti masuk ke kas negara yang dikhususkan bagi pembangunan rusunami, bukan untuk keperluan lain.

Penerapan pajak itu adalah tambahan atas pajak-pajak yang jenisnya sudah tersedia saat ini yang juga tetap dapat diterapkan dalam penjualan properti bagi orang asing. Pembelian properti untuk orang asing merupakan bahasa sederhana dari perpanjangan hak pakai oleh orang asing dari yang kini dibatasi hanya 25 tahun - berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia - menjadi sedikitnya 70 tahun.

Berbeda dengan REI, Indonesia Property Watch mengusulkan agar pemerintah sebaiknya menerapkan pola subsidi silang yang merupakan modifikasi kebijakan 1 : 3 : 6 yang diberlakukan bagi landed houses, yakni setiap pengembang yang membangun rumah mewah, diwajibkan pula membangun tiga unit hunian untuk kelas menengah dan enam unit rumah sederhana sehat (RSh). Jadi, kalau orang asing diizinkan membeli apartemen mewah, ketentuan itu perlu dimodifikasi untuk hunian vertikal dengan menetapkan pengembang yang menjual satu unit apartemen wajib menyiapkan tiga unit rusunami. Namun, REI menilai penerapan kewajiban seperti justru tidak akan efektif. Pasalnya, hingga saat ini pelaksanaan konsep 1 : 3 : 6 pada landed house tidak berjalan dengan baik.

Di sisi lain, adanya rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% pada April 2010 ini mengakibatkan REI meminta pemerintah untuk menaikkan harga RSh. Menurut Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), kenaikan TDL untuk industri akan berdampak pada harga bahan baku pembuatan rumah. Pasalnya biaya produksi industri bahan baku rumah akan meningkat. Harga bahan baku rumah yang diperkirakan akan naik antara lain semen, besi, dan komponen listrik seperti kabel. Untuk membangun RSh bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta/bulan, pemerintah mematok harga tertinggi RSh Rp55 juta/unit.

Namun demikian, kenaikan harga RSh dibarengi dengan penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Mayoritas konsumen properti masih menggunakan fasilitas KPR untuk membeli produk properti. Survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI) di tiga kota Provinsi Jatim, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik pada triwulan IV/2009 menunjukkan rata-rata konsumen menggunakan sumber pembiayaan dari KPR dengan nilai rata-rata lebih dari 70% dari total pembiayaan pembelian properti residensial.

Tambahan anggaran subsidi untuk KPR di APBNP 2010 tetap sebesar Rp2,6 triliun. Subsidi ini hanya mampu membangun 60 ribu unit RSh dan 10 ribu unit rumah susun sederhana milik (rusunami). Itu berarti masih ada 90 ribu unit RSh dan 20 ribu unit rusunami tidak bisa dibangun tahun ini. Sebelumnya, pada tahun 2010 telah ditargetkan akan dibangun 150 ribu unit RSh dan 30 ribu unit rusunami.

Subsidi KPR dalam APBNP-2010 mengalami perubahan. Yang tadinya dimasukkan sebagai anggaran belanja, kini masuk ke pembiayaan. Artinya, polanya jadi fasilitas likuiditas dan bukan subsidi langsung. Dari pola fasilitas likuiditas ini, 70% sumber dananya dari APBN dan 30% dari bank. Cara ini akan meningkatkan jumlah masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapatkan rumah.

Ironisnya, sebanyak 100 ribu RSh di seluruh Indonesia belum teraliri listrik akibat keterbatasan kemampuan sambungan dari PLN. Kondisi tersebut merugikan pengembang, konsumen, dan juga perbankan. Bagi konsumen, jelas tidak bisa menghuni rumah itu tanpa listrik. Sementara pengembang khawatir pasar RSh anjlok akibat masih banyaknya yang tak teraliri listrik dan imbasnya juga dirasakan perbankan sebagai penyalur KPR akibat meningkatnya tunggakan cicilan.

Terlambatnya penyambungan listrik menjadi salah satu penghambat pemasaran RSh. Bahkan, target pemasaran 160 ribu RSh pada tahun 2010 diperkirakan akan sulit tercapai. Saat ini pengembang harus mengeluarkan dana sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta untuk membangun instalasi ke perumahan karena PLN hanya melayani penyambungan dari tiang terdekat ke konsumen. Selain itu, pengembang juga harus membayar biaya penyambungan baru Rp300 ribu per unit rumah baru. (AI)

Senin, April 19, 2010

Pupuk

Pemerintah secara resmi menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi antara 25,68% hingga 40% yang berlaku mulai tanggal 8 April 2010. Kebijakan kenaikan ini tertuang dalam Permentan No.32/2010 tentang Penetapan Perubahan Permentan No.50/2009 yang mengatur tentang Kebutuhan dan HET Pupuk Bersubsidi. Untuk jenis pupuk urea yang semula Rp1.200/kg menjadi Rp1.600/kg atau mengalami kenaikan 33,3%.

Jenis pupuk SP-36 dari Rp1.550/kg menjadi Rp2.000/kg atau mengalami kenaikan 29,03%. Untuk jenis pupuk ZA yang semula Rp1.050/kg naik menjadi Rp1.400/kg (33,3%), pupuk organik yang semula Rp500/kg menjadi Rp700/kg (40%). Sementara itu untuk semua jenis pupuk NPK, yakni NPK Ponska, NPK Kujang, maupun NPK Pelangi, yang tadinya harganya bervariasi antara Rp1.586-Rp1.830/kg, kini harganya sama menjadi Rp2.300/kg atau mengalami kenaikan 25,68% hingga 45%.

Menurut Mentan Suswono, meski pupuk mengalami kenaikan harga namun tidak akan memberatkan petani. Bahkan Mentan meyakini petani masih tetap untung. Pasalnya sebelum dilakukan kenaikan HET pupuk, pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras sebesar 10%. Untuk gabah kering panen (GKP) misalnya, HPP naik dari kisaran Rp2.400/kg menjadi Rp2.640/kg. Berdasarkan hasil analisis usaha tani padi, petani justru mengalami kenaikan keuntungan menjadi sekitar Rp8,134 juta untuk setiap ha. Padahal sebelumnya hanya sekitar Rp7,304 juta/ha.

Menurut Kelompok Tani Sriharjo, Bantul, Yogyakarta, saat menanam padi ongkos pupuk sebenarnya tak terlalu besar. Namun, harga tenaga kerja dan membajak sawah terus meningkat sehingga kenaikan harga pupuk menambah beban petani. Kenaikan harga pupuk kimia akan mendorong pemakaian pupuk organik pada skala lebih luas. Meski demikian, petani masih membutuhkan pupuk kimia untuk perangsang tanaman. Di samping itu, seiring kenaikan harga pupuk, petani juga berharap pembelian pupuk dipermudah.

Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan, peningkatan HET pupuk kimia bersubsidi berpengaruh nyata terhadap meningkatnya biaya produksi para petani, meski telah menaikan HPP gabah sebesar 10%. Kenaikan HET hanya mengalihkan keuntungan penjualan gabah untuk menambah biaya pembelian pupuk. Kenaikan HPP hanya berlaku bagi petani padi, sementara kenaikan HET pupuk tentu akan dirasakan oleh semua petani.

Selain harga, ketersediaan pupuk juga merupakan masalahan yang tak kunjung selesai dialami para petani Indonesia. Setiap memasuki musim tanam kerap terjadi kelangkaan pupuk di berbagai wilayah di Indonesia. Mekanisme pendistribusian dan subsidi pupuk pun telah beberapa kali mengalami perubahan penerapan sistem, tetapi tidak menjawab permasalahan yang terjadi. Seperti yang umum terjadi, hampir setiap peningkatan HET dikhawatirkan akan didahului dengan kelangkaan pupuk di tingkat distributor. Petani yang kesulitan pupuk akan bersedia membayar pupuk dengan harga tinggi.

Menurut pemerintah, kenaikan HET pupuk kimia ini untuk mempercepat proses peralihan ke organik. Namun, peningkatan HET ini tidak bisa mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia, justru akan menambah beban produksi petani. Perlu ada persiapan bagi para petani yang sudah sangat lama bergantung pada pupuk kimiawi untuk bisa beralih ke organik. Akan tetapi untuk mengubah kebiasaan petani juga diperlukan kerja nyata dari pemerintah melalui pelatihan dan dukungan dalam proses transisi menuju organik.

Bagi petani sayur-mayur, kenaikan HET pupuk kimia dan organik bersubsidi diperkirakan akan mendongkrak harga sayur-mayur di pasar domestik sebesar 5-10%. Menurut Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), untuk petani tanaman pangan dan perkebunan, kenaikan HET pupuk bersubsidi memang tidak akan terlalu membebani. Pasalnya, petani pangan sudah mendapat kenaikan pendapatan karena telah menikmati kenaikan HPP 10%. Sementara petani hortikultura terutama komoditas sayur-mayur, seperti cabai, bawang, dan kacang panjang, yang akan paling terbebani kenaikan HET pupuk.

Jika dibandingkan tanaman pangan, kegiatan budi daya hortikultura memang lebih sedikit menggunakan pupuk organik ketimbang tanaman pangan. Untuk menjaga kesegaran produk, petani hortikultura menggunakan porsi pupuk organik yang lebih besar. Pupuk berkontribusi hingga 35% untuk biaya produksi tanaman pangan, sedangkan pada hortikultura hanya 10%. Terkait hal itu, pihak KTNA meminta pemerintah untuk mau menempuh kebijakan yang melindungi petani hortikultura, terutama pemberian jaminan pembelian bagi petani.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan menyatakan, kenaikan harga eceran pupuk bersubsidi sudah terjadi di sejumlah pengecer kabupaten setempat dengan kenaikan rata-rata 30%. Kenaikan harga pupuk ini tidak akan mengurangi keuntungan petani asalkan penggunaannya dilakukan seefisien mungkin, atau disesuaikan kebutuhan lahan di setiap hektarenya. Upaya lain yang dapat ditempuh, antara lain dengan cara mencampurkan dengan pupuk organik dari kotoran ternak yang banyak tersedia di sentra peternakan wilayah setempat sehingga kebutuhan pupuk dapat ditekan seminimal mungkin.

Sementara itu petani di Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, mengeluhkan harga pupuk urea bersubsidi, karena melebihi HET yang ditetapkan pemerintah, dari seharusnya Rp1.600/kg menjadi Rp2.500/kg. Setiap petani di Lempuing rata-rata memerlukan pupuk dalam jumlah besar, karena untuk 1 ha sawah minimal membutuhkan lebih kurang 100 karung pupuk dengan isi 50 kg setiap karungnya.

Para produsen pupuk mengaku tidak diuntungkan dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi. Menurut Direktur Utama PT Pusri Holding Dadang Heru Kodri, kenaikan HET pupuk tersebut tidak berpengaruh terhadap pendapatan lima BUMN pupuk yang ada di bawah naungan Pusri Holding. Yang terpengaruh hanya jumlah subsidi pemerintah menjadi turun. Kenaikan HET merupakan wewenang pemerintah dan para produsen pupuk hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bagi Pusri Holding, yang terpenting adalah menjaga agar stok pupuk bisa aman hingga akhir tahun. (AI)

Industri penerbangan membaik pada tahun 2010

Asosiasi Lalu Lintas Udara Internasional (International Air Transport Association/IATA) menyatakan industri penerbangan mulai bangkit pada tahun 2010 ini, meski masih akan mengalami kerugian. Namun, jumlah kerugiannya tidak sebesar perkiraan IATA sebelumnya. Sebelumnya, pada Desember 2009, IATA meramalkan bahwa industri penerbangan akan menderita kerugian sebesar USD5,6 miliar pada tahun 2010. Perkembangan akhir-akhir ini telah mendorong IATA mengoreksi perkiraan tersebut. Kini IATA meramalkan kerugian yang akan diderita industri penerbangan pada tahun 2010 hanya separuhnya atau sekitar USD2,8 miliar.

IATA meramalkan jumlah penumpang pesawat tahun 2010 akan tumbuh sebesar 5,6%. Sebelumnya, IATA hanya meramalkan pertumbuhan sebesar 4,5%. Sementara untuk kargo, IATA memperkirakan akan meningkat 12% tahun 2010, setelah turun 11% pada tahun 2009. Sebelumnya, IATA memperkirakan sewa kargo hanya tumbuh 7% pada tahun 2010 ini. Namun, IATA mengingatkan, peta pertumbuhan industri penerbangan secara global belum merata. Pertumbuhan pasar di Amerika Utara dan Eropa masih lambat dibandingkan negara berkembang.

Data IATA menyebutkan penumpang angkutan udara naik 6,4% per Januari 2010, dibandingkan periode sama tahun 2009. Jumlah itu dipicu kenaikan permintaan angkutan udara di kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Timur Tengah. Di Timur Tengah, permintaan meningkat 23,6% per Januari 2010 dibandingkan Januari 2009. Sementara Amerika Latin mencatatkan pertumbuhan 11%. Amerika Utara dan Eropa hanya mencatatkan sedikit kenaikan, yakni masing-masing 2,1% dan 3,1%.

Permintaan kargo juga menunjukkan hasil yang menggembirakan. Ada peningkatan 28,3% pada Januari 2010 dibanding Januari 2009, serta naik 3% dibanding Desember 2009. Pemulihan paling terlihat di pengangkut untuk kawasan Asia Pasifik, yang membukukan peningkatan 6,5% year on year. Jika dibandingkan data tahun 2009, kenaikan carriers mencapai 31%.

Terkait dengan membaiknya industri penerbangan global, ternyata Indonesia saat ini masih mengalami defisit pilot lokal terdidik, termasuk untuk FO (flight officer) atau co-pilot. Karena itu, pemerintah mengizinkan penggunaan pilot asing karena kurangnya lulusan pilot untuk industri penerbangan domestik. Namun dalam prosesnya, pemerintah, dalam hal ini Ditjen Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, akan mengawasinya dengan ketat.

Pada awalnya Indonesia hanya mengizinkan tenaga asing sebagai instruktur. Tapi, kini pilot pun sudah diizinkan karena pasokan domestik tidak mampu mencukupi tuntutan pasar. Saat ini cukup mudah bagi lulusan sekolah pilot untuk bekerja di maskapai nasional karena minimnya pesaing. Di Indonesia saat ini baru ada tujuh sekolah pilot dengan lulusan sebanyak 100-120 orang per tahun. Padahal, kebutuhannya 400-500 pilot per tahun.

PT Garuda Indonesia tahun ini memerlukan 100-120 pilot baru dan berlangsung hingga tahun 2014. Hingga tahun 2014 proyeksi total pesawat Garuda mencapai 116 unit dari 67 unit. Untuk memenuhi kebutuhan pilot, Garuda bekerja sama dengan sejumlah sekolah pilot seperti STIP Curug, Malaysia, dan Cebu Filipina. Dari Curug, tahun 2010 ini Garuda mendapat tambahan 41 lulusan pilot baru, dan sekitar 20-an dari Malaysia.

Untuk kerja sama dengan sekolah pilot tersebut, Garuda sebenarnya tidak mengeluarkan biaya langsung. Biaya pendidikan ditanggung bank yang diajak bekerja sama memberikan kredit. Kredit tersebut akan dibayar siswa setelah mereka lulus dan bekerja di Garuda Indonesia. Garuda hanya menjamin lulusan sekolah akan langsung bekerja di perusahaannya. Selanjutnya, para pilot yang telah mengantongi lisensi pilot komersial (commercial pilot license/CPL) dididik tipe rating berdasar jenis pesawat yang dimiliki Garuda.

Maskapai penerbangan Garuda Indonesia, melalui program Citilink, akan membuka rute penerbangan Jakarta-Medan pp yang ditinggalkan maskapai Adam Air. Hal ini juga sejalan dengan rencana Citilink untuk melakukan ekspansi usaha ke wilayah Indonesia bagian barat. Penerbangan Citilink rute Jakarta-Medan ini merupakan bagian dari upaya Garuda Indonesia meluaskan segemen pasarnya. Selama ini penerbangan jenis low cost carrier (LCC) atau penerbangan tarif murah dalam negeri masih dikuasai oleh maskapai penerbangan swasta.

Citilink merupakan program Garuda Indonesia untuk memasuki pasar kelas menengah ke bawah. Karena itu, standar tarif yang diberlakukan pun relatif lebih murah ketimbang tarif normal Garuda Indonesia. Sepanjang tahun 2009, pangsa pasar rute Jakarta-Medan pada industri penerbangan dalam negeri hanya mengalami pertumbuhan 1,6% dibandingkan kondisi tahun 2007. Hal ini dikarenakan kurangnya ketersediaan penerbangan menuju Jakarta-Medan selepas tragedi yang menimpa Adam Air, termasuk juga akibat tergerus krisis keuangan global pada tahun 2008.

Mandala Airlines tak mau kalah. Perusahaan itu telah menunjuk Adrian Hamilton-Manns sebagai Chief Commercial Officer (CCO) yang akan bertanggung jawab menangani seluruh aktivitas komersial dan memegang peran kunci dalam menentukan arah perkembangan maskapai ini pada masa depan. Mandala telah menunjukkan kinerja operasional yang mengagumkan termasuk kinerja ketepatan waktu (on-time performance) yang sangat baik. Capaian prestasi operasional lainnya juga telah ditunjukkan oleh Mandala, terutama di sisi keselamatan penerbangan dengan diperbolehkannya Mandala terbang ke Eropa oleh Uni Eropa pada Juli 2009 lalu.

Sementara itu, Indonesia National Air Carriers Association (INACA) meminta pemerintah menunda pengenaan pajak sewa pesawat sebesar 20% karena membebani maskapai penerbangan. Maskapai penerbangan akan menanggung pajak sewa pesawat sebesar 20% dari total harga sewa yang berlaku 1 Januari 2010 padahal sebelumnya tak dibayar. Pengenaan pajak sewa pesawat akan memaksa maskapai membebankan biaya itu ke penumpang angkutan udara. Permintaan itu setelah Dirjen Pajak tetap memberlakukan Peraturan Direktorat Jenderal Pajak No.61 dan 62/2009 tentang Penghindaran Pajak Berganda.

Untuk mengatasi hal ini, sebenarnya pemerintah telah meminta maskapai menyewa pesawat dari negara yang memiliki ikatan perjanjian pajak dengan Indonesia. Penyewaan ke negara yang memiliki hubungan dengan Indonesia memungkinkan penurunan tarif pajak hingga 0% sesuai kesepakatan dengan negara lain. Saat ini, Indonesia memiliki kesepakatan pajak dengan 57 negara, antara lain AS dan Jepang. (AI)


Jumat, April 16, 2010

Industri petrokimia menunggu investor

Indonesia hingga saat ini masih mengimpor komponen bahan baku industri petrokimia, yakni nafta. Padahal industri petrokimia diprediksi menjadi salah satu industri yang akan bertumbuh. Untuk itu, pemerintah akan mengambil langkah antisipasi untuk menekan impor komponen bahan baku dengan strategi membuat industri nafta di Indonesia. Indonesia belum memiliki industri refinery yang solid untuk petrokimia karena kilang mililk PT Pertamina hanya untuk produksi BBM.

Menurut Kemenperin, sejak dasawarsa terakhir, struktur industri petrokimia tak terintegrasi optimal. Pasalnya, nafta yang menjadi bahan baku dasar petrokimia tak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Akibatnya, industri strategis ini mengimpor nafta bertahun-tahun dengan harga yang semakin tak kompetitif. Pada saat bersamaan, industri petrokimia Malaysia, Thailand, Singapura berkembang sangat pesat dengan total kapasitas melebihi Indonesia yang hanya 1,1 juta/tahun.

Kemenperin menyatakan industri petrokimia membutuhkan tambahan tiga kilang minyak (refinery) baru dengan total investasi USD12 miliar-USD15 miliar dalam lima tahun ke depan. Kilang tersebut digunakan untuk memasok nafta bagi industri petrokimia yang diolah dari minyak bumi. Total kapasitas masing-masing kilang diperkirakan mencapai 300.000 barel minyak mentah (crude oil) per hari. Nafta merupakan bahan baku primer yang diolah dari minyak bumi untuk produksi propilena dan etilena. Dalam rantai industri petrokimia, kedua komoditas tersebut digunakan sebagai bahan baku polipropilena (PP) dan polietilena (PE). Sementara PP dan PE merupakan bahan dasar untuk produk hilir plastik seperti kemasan, kantong plastik, komponen elektronik, hingga pipa plastik.

Tiga kilang minyak yan akan dibangun untuk menopang industri petrokimia terletak di Tuban (Jatim), Cilegon (Banten), dan Bontang (Kaltim). Namun, lokasi yang paling siap adalah di Cilegon. Lahannya sudah siap, pelabuhan sudah ada, tinggal diperluas. Untuk refinery di Cilegon ini, pemerintah akan melobi Iran untuk membangun kilang baru tahap I senilai USD5 miliar.

Untuk membangun satu kilang minyak berkapasitas 300 ribu barel/hari dibutuhkan investasi antara USD4-5 miliar. Proyek ini sudah memasuki tahap prastudi kelayakan. Namun saat ini masalah utamanya adalah ketersediaan minyak mentah sebagai bahan baku utama. Pasokan minyak mentah dari dalam negeri tidak dimungkinkan. Pasalnya, Pertamina sendiri juga masih mengimpor minyak mentah. Untuk itu, minyak mentah akan diperoleh dari kerja sama dengan Iran, Nigeria, dan negara G8 lainnya.

Pendanaan keseluruhan proyek, selain berasal dari asing juga akan menggunakan dana perbankan dalam negeri, serta ekuitas perusahaan-perusahaan petrokimia. Di samping itu, bisa juga menggandeng BUMN di sektor energi, seperti PT Pertamina. Namun untuk kepemilikan saham mayoritas di proyek itu, pemerintah masih memprioritaskan investor dalam negeri dengan komposisi bisa 51-49, atau bisa 70-30, tergantung pada kesepakatan bisnis. Untuk investor Petrokimia yang sudah siap, antara lain PT Chandra Asri, PT Titan Petrochemical (PMA Malaysia), PT Trans Pacific Petrochemical Industry (TPPI), PT Tri Polyta, dan PT Polytama Propindo.

Struktur industri petrokimia berbasis gas di dalam negeri masih dinilai lemah, karena sekitar 70% produksi gas dalam negeri diekspor ke negara-negara maju. Konsumsi gas terus bertambah setiap tahun, antara lain di sektor pembangkit listrik, keramik, kertas, dan logam, tetapi pasokan gas dari tahun ke tahun menipis. Secara umum struktur industri petrokimia baik berbasis gas maupun minyak bumi di dalam negeri sejak 8 tahun terakhir ini masih rapuh.

Kondisi itu akibat tidak adanya tambahan investasi besar-besaran dan minimnya kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan rantai produksi baru. Di samping itu, bahan baku vital berupa minyak bumi dan gas sebagian besar produksinya diekspor sehingga mengganggu penguatan daya saing. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi produk petrokimia berbasis minyak bumi untuk kelompok olefin (plastik) dan aromatik (bahan kimia) di pasar domestik tumbuh 5%-7% per tahun, sementara produksinya selalu stagnan.

Keadaan tersebut membuat sektor industri hulu, antara, dan hilir petrokimia sampai saat ini belum mampu terintegrasi secara optimal. Jika sektor hulu petrokimia hulu tidak berkembang optimal, industri di bawahnya (hilir) akan sulit bersaing karena tidak mendapat kepastian pasok bahan baku. Akibatnya, impor akan terus meningkat. Hingga kuartal I/2010, perkembangan industri ini praktis masih sangat lambat. Tahun 2010 bahan baku ditargetkan bisa tumbuh menjadi sebesar 1,9 juta - 2 juta ton.

Kenaikan harga minyak mentah juga berimbas ke industri petrokimia. Umumnya kalau harga minyak mentah naik biasanya permintaannya juga naik, karena produsen mengantisipasi kenaikan harga lebih lanjut. Meski belum sampai menurunkan target pertumbuhan produksi, tapi permintaan produk petrokimia dalam tiga bulan pertama tahun 2010 ini belum setinggi yang diharapkan, atau hanya tumbuh sekitar 3%. Sebelumnya, tahun 2010 ini Asosiasi Industri Olefin dan Plastik Indonesia (INAPlas) menargetkan pertumbuhan permintaan plastik sekitar 5%-7%. Tingkat konsumsi plastik tahun 2010 akan meningkat seiring meningkatnya daya beli masyarakat dan meningkatnya investasi industri di berbagai bidang. Sehingga kebutuhan plastik sekitar 22,65 juta ton/tahun.

Dari sekitar 20 rantai industri petrokimia berbasis gas, Indonesia baru mampu mengembangkan sekitar 50% atau 10 rantai produksi. Di dalam rantai industri tersebut, bahan baku gas biasanya diolah menjadi beberapa produk petrokimia dasar yang sangat penting, seperti metanol dan amoniak. Kedua bahan baku tersebut dapat menghasilkan pupuk urea, bahan peledak, dan bahan penunjang (adesif) di industri perkayuan. Berdasarkan catatan INAplas, Indonesia sejauh ini hanya mampu memproduksi metanol dan amoniak dengan jumlah yang relatif memadai, sedangkan produksi ethylene glycol, acrylonitrile, formic acid, hexamine, melamin, hingga UF resin, masih disesuaikan dengan permintaan pasar. (AI)

Rabu, April 14, 2010

Hutan dan otonomi daerah

Komisi II DPR-RI mengatakan, kerusakan hutan di Indonesia terutama terjadi dalam 10 tahun terakhir setelah pemerintah pusat memberlakukan kebijakan otonomi daerah yang menyerahkan sebagian kewenangannya ke daerah. Dalam 10 tahun terakhir kerusakan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1,2 juta ha/tahun. Meningkatnya kerusakan hutan pada era otonomi daerah karena pemda berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memberikan kemudahan kepada pihak ketiga menebang pohon di hutan tidak secara selektif sehingga hutan menjadi gundul.

Soal otonomi daerah dan kerusakan hutan, terjadi setelah pemerintah pusat memberlakukan kebijakan otonomi daerah dan menyerahkan kewenangan pengeloaan hutan pada pemerintah daerah, terjadi peningkatan kerusakan hutan yang signifikan. Guna memperbaiki kerusakan hutan, sebaiknya dilakukan pendataan kondisi hutan saat ini mana yang masih asli dan mana yang telah rusak dan gundul dan kemudian dilakukan tindakan penghijauan secara kongkrit dan terukur.

Berdasarkan informasi Ditjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan, deforestasi atau penurunan mutu lahan hutan di Indonesia setiap tahunnya mencapai 1 juta ha. Untuk tahun 2010 ini saja terdapat 50 juta ha yang rusak. Tetapi tidak semua rusak total. Ada yang bekas hutan dan bisa dikelola melalui restorasi sistem, HTH, HTI dengan tebang jalur. Tren kerusakan hutan di Indonesia tujuh tahun ke belakang cenderung menurun. Dulu waktu pertama kali dilaksanakan otonomi daerah pada tahun 1999-2003, deforestasi hutan bisa mencapai 2,3 juta ha/tahun.

Saat ini, Kementerian Kehutanan mencatat terdapat 60 juta ha hutan produksi. Hutan tersebut digunakan untuk produksi kayu dan nonkayu. Seperti rotan, getah, dan daun. Sekarang jasa lingkungan, tata air, dan ecowisata. Ke depannya, akan diterapkan hutan produksi untuk jual beli karbon di Indonesia. Saat ini sedang dilaksanakan percobaan untuk pelestarian hutan untuk mengurangi emisi karbon di Sumsel untuk donor dari Jerman, serta Kalteng dan Jambi untuk Australia.

Luasan hutan lindung di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diusulkan bertambah satu juta hektar. Penambahan luas hutan lindung tersebut diupayakan termaktub dalam rancangan rencana tata ruang dan tata wilayah provinsi yang sedang disusun. Menurut Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh (TPRSPHA ), penambahan luas ini didasarkan pada penilaian tingkat kerawanan bencana di tiap-tiap wilayah. Hasilnya, hampir seluruh wilayah provinsi rawan bencana.

Saat ini luas hutan lindung di Aceh mencapai 1,482 juta ha. Berdasarkan usulan TPRSPHA, luas hutan lindung yang tercantum dalam peraturan daerah atau kanun Pemprov NAD akan mencapai luas 2,856 juta ha. Beberapa kabupaten/kota yang akan bertambah luasan hutan lindungnya akibat usulan tersebut antara lain Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Aceh Jaya. Penambahan luas hutan lindung terbesar berada di Kabupaten Aceh Jaya.

Sementara itu, Pemprov NTT telah mengusulkan pembentukan 17 kesatuan pengelola hutan (KPH) kepada Menhut untuk ditetapkan menjadi KPH. KPH yang diusulkan Pemprov NTT akan ditempatkan di 21 kabupaten/kota. Mereka akan bertugas antara lain mengawasi kawasan hutan agar bisa terhindar dari penyerobotan dan penebangan secara liar. Usulan pembentukan KPH ini sebagai solusi untuk menyelamatkan kawasan hutan yang terus terkikis karena ulah manusia. Luas kawasan hutan di NTT saat ini tercatat 108.990 ha atau 8,20% dari luas daratan sekitar 4,7 juta ha.

Setelah otonomi daerah, banyak muncul masalah yang berhubungan dengan kawasan hutan karena tidak ada lagi petugas khusus yang menjaga dan mengawasi kawasan hutan.Sebelum otonomi daerah, ada petugas khusus yang dikenal dengan sebutan resort polisi hutan (RPH). Petugas ini, sangat menguasai masalah kehutanan bahkan sampai menghafal batas-batas hutan secara baik. RPH ini juga sangat disegani masyarakat sehingga praktis tidak ada masalah kawasan hutan yang serius di wilayah NTT. Masalah mulai bermunculan setelah otonomi daerah dan petugas RPH sudah tidak ada lagi dalam struktur organisasi pada dinas kehutanan.

Dari Sulawesi Barat, penebangan hutan mangrove yang sudah berusia setengah abad di Lingkungan Bua-bua Barat, Kelurahan Benteng Utara, Kecamatan Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat. Pasalnya, mulai timbul sejumlah bencana pasca pemusnahan hutan mangrove yang selama ini menjadi pelindung dan penahan dampak abrasi pantai. Bencana tersebut diantaranya, berupa rendaman luapan drainase yang tidak lagi dapat mengalir optimal yang juga menyebabkan terjadinya longsor pada sejumlah bagian drainase di sepanjang ruas Pasar Senggol dan Jalan Veteran Utara.

Kemenhut akan mengejar 543 perusahaan dan perorangan penunggak iuran kehutanan yang mencapai Rp348,6 miliar. Tunggakan sebesar itu terdiri dari iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) senilai Rp113,28 miliar dan iuran Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp235,36 miliar. Dari 543 penunggak iuran, sebanyak 36 di antaranya adalah perusahaan pemegang konsesi pengelolaan hutan alam (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam/IUPHHK-HA dulu HPH). Sementara itu, 508 sisanya adalah para pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK) pada kegiatan landclearing untuk perkebunan dan pemegang izin HPH skala kecil yang diterbitkan oleh Bupati. Soal banyaknya penunggak DR pada kegiatan IPK dan izin HPH skala kecil, itu adalah ekses negatif dari otonomi daerah.

Euforia desentralisasi kekuasaan saat itu menghasilkan kebijakan pemerintah daerah berupa pemberian IPK dan izin HPH dengan koordinasi yang minim dengan pemerintah pusat, sehingga banyaknya pekerjaan rumah untuk dibenahi, termasuk tunggakan DR. Namun, ekses negatif itu kini dibenahi. Di sisi lain, era otonomi daerah juga menghasilkan sisi positif yaitu pemerintah pusat kini tak lagi semena-mena dalam pemberian izin pengelolaan hutan.

Pemerintah akan terus menagih tunggakan yang sudah dilimpahkan ke KPKNL. Jumlah tunggakan iuran kehutanan yang sudah dilimpahkan ke KPKNL terdiri dari iuran PSDH sebesar Rp85,03 miliar dan iuran DR sebesar Rp19,1 miliar dan USD18,4 juta. Tunggakan tersebut ditanggung oleh 299 perusahaan dan perorangan. Akan tetapi, upaya memburu penunggak iuran kehutanan yang dimiliki pemegang izin IPK dan HPH skala kecil akan menghadapi tantangan karena umumnya keberadaan pemegang izin kini sulit dideteksi keberadaannya. (AI)

Senin, April 05, 2010

Kelapa sawit

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pasar minyak kelapa sawit mentah atau CPO semakin menjanjikan, seiring dengan pemulihan ekonomi global. Oleh karena itu produsen CPO nasional berpeluang meningkatkan ekspor. Namun demikian, Gapki juga menyatakan penerapan bea keluar ekspor CPO akan menurunkan volume ekspor CPO pada April 2010. Perkiraan volume ekspor pada Maret 2010 sebesar 1,3 juta ton hingga 1,4 juta ton. Dengan perkiraan penurunan ekspor sebesar 100 ribu ton, maka volume ekspor CPO pada April 2010 diperkirakan hanya 1,2 juta ton.

Sebelumnya, pada Maret 2010 pemerintah menetapkan bea keluar CPO sebesar 3%. Harga CPO selama bulan itu mengalami kenaikan dan berkisar antara USD800/ton. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan bea keluarnya menjadi 4,5% untuk ekspor selama April 2010. Persentase itu didapat berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 15 tahun 2010 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, yang menetapkan harga referensi CPO sebesar USD826,86/ton dan Harga Patokan Ekspornya sebesar USD755/ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, saat harga rata-rata CPO USD800 – 850/ton, maka dikenakan bea keluar sebesar 4,5%. Pungutan ekspor CPO dihitung dari perkalian antara bea keluar CPO dengan HPE-nya. Gapki juga mengusulkan penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) CPO dari 10% menjadi 8% untuk mendorong berkembangnya bursa berjangka komoditas tersebut di Indonesia.

Untuk merealisasikan total produksi minyak sawit mentah Indonesia pada tahun 2020 menjadi 40 juta ton, harus ada perluasan tanaman kelapa sawit minimal 500.000 ha/tahun. Pemerintah sudah membuat desain besar bahwa produksi minyak sawit mentah Indonesia pada tahun 2020 sudah mencapai 40 juta ton, sehingga kebutuhan minyak nabati dunia bakal direbut dari bahan kelapa sawit. Sampai kini total areal perkebunan kelapa sawit Indonesia baru mencapai 7,5 juta ha yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tahun 2010 ini total produksi minyak kelapa sawit nasional diperkirakan mencapai 23 juta ton yang dihasilkan dari luasan areal perkebunan 7,5 juta ha.

Empat lokasi di tiga pusat klaster industri sawit di dalam negeri yakni Sei Mangke Sumatra Utara, Kuala Enok dan Dumai Riau, dan Malowi Kalimantan Timur diperkirakan akan menyerap produksi CPO sebanyak 4 juta ton per tahun. Salah satu pusat klaster industri sawit per tahunnya membutuhkan pasokan CPO lebih kurang satu juta ton. Setiap kawasan memiliki industri hilir yang khusus untuk pengolahan CPO menjadi biodiesel yang berkapasitas 400.000 ton, dan sisanya untuk produksi bahan-bahan turunan CPO lainnya.

Dengan demikian maka penyerapan produk CPO di dalam negeri yang hanya 6 juta ton dapat ditambah. Pada cetak biru sawit 2020 ditergetkan produksi komoditas primadona ini di dalam negeri mencapai 40 juta ton. Meski demikian, mesti ada keseimbangan antara peningkatan produksi dengan serapan. Pemerintah mengupayakan agar sebagian besar produk CPO dapat diserap dalam negeri, dibandingkan dengan volume ekspor.

Pada tahun 2009, pertumbuhan areal sawit nasional hanya sekitar 150.000 ha dari seharusnya bisa 500.000 ha. Terjadinya pelambatan pertumbuhan areal akan berdampak pada produksi, lapangan pekerjaan, dan termasuk pendapatan daerah serta devisa negara. Gangguan di sektor persawitan Indonesia juga bisa menjadi ancaman global mengingat Indonesia menjadi pengekspor utama CPO dunia.

Kenaikan produksi CPO diperkirakan terus bertambah 2,6 juta ton setiap tahun. Data Oil World melaporkan konsumsi minyak dan lemak dunia akan mencapai 169 juta ton. Dari total kebutuhan tersebut, minyak sawit dapat memenuhi konsumsi mencapai 27,2% atau 45,9 juta ton, sedangkan minyak kedelai menyuplai 37,8 juta ton. Secara global, pertambahan jumlah penduduk dunia setiap tahun sudah semestinya diimbangi pemenuhan kebutuhan pangan. Seandainya, moratorium ini diterapkan kepada perkebunan kelapa sawit Indonesia, maka dapat menekan suplai CPO kepada industri pangan dan biofuel dunia.

Pemerintah dan para pengusaha sawit nasional akan menyatukan pandangan terkait pembangunan sawit nasional. Kampanye negatif yang dilancarkan Greenpeace tak akan melemahkan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi sawit. Dalam kampanye itu, Greenpeace menyeru negara-negara Eropa untuk tidak membeli produk sawit Indonesia lantaran proses produksinya tidak memerhatikan masalah konservasi lingkungan.

Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengumpulkan 18 perusahaan sawit skala besar guna menyamakan pandangan. Perusahaan sawit yang diundang dalam pertemuan itu adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart), PT Astra Agro Lestari, PT London Sumatera, PT Bakrie Plantation, Wilmar Group, PT Musim Mas, PT Mina Mas, PT Permata Hijau Sawit, PT Agro Indonesia, dan PT Sampoerna Agro.

Hasil pertemuan itu akan menjadi bahan rekomendasi kepada kementerian-kementerian terkait industri sawit nasional. Sasarannya adalah proteksi produksi sawit dan peningkatan produksi yang menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Kampanye Greenpeace terhadap produksi sawit nasional telah berdampak pada perdagangan sawit antara PT Nestle Indonesia dan PT Smart. Nestle mensyaratkan PT Smart untuk memenuhi sertifikat Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) guna melanjutkan kontrak perdagangan.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan harga produk sawit yang telah mendapatkan sertifikat RSPO ternyata tidak berbeda dengan produk sejenis yang belum mendapatkan sertifikasi. Padahal, dijanjikan ada perbedaan harga sawit yang telah bersertifikat RSPO sekitar USD5-USD10/ton, tetapi ternyata tidak. Hal itu yang membuat petani enggan mengurus sertifikat itu, selain biayanya yang sangat mahal. Di Indonesia baru ada tiga perusahaan sawit yang telah mendapatkan sertifikat RSPO yaitu PT London Sumatera (Lonsum), PT Hindoli, dan PT Musim Mas.

Sebelumnya Sucofindo menyatakan, pengusaha industri sawit harus mulai memperhatikan ini, karena harga CPO yang memiliki sertifikat RSPO lebih mahal 5% dibandingkan komoditas yang tidak memiliki sertifikat. Sertifikat RSPO merupakan jawaban bagi industri kelapa sawit yang ramah lingkungan. (AI)