Jumat, Mei 21, 2010

Sensus dan perumahan

Pemerintah memperkirakan kebutuhan rumah masyarakat saat ini masih kekurangan sekitar 7,4 juta unit. Pertambahan kebutuhan rumah per tahun diperkirakan mencapai 710.000 unit. Kebutuhan perumahan selama ini didasarkan pada hasil Sensus Penduduk tahun 2000 dan data Susenas. Padahal, kebutuhan rumah masyarakat terus meningkat setiap tahunnya. Oleh karena itu, hasil sensus penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2010 ini diharapkan dapat membantu pemerintah untuk membuat data profil perumahan.

Adanya sensus penduduk yang dilaksanakan secara rutin dapat menjadi bahan koreksi sehingga diperoleh data yang lebih valid. Hasil sensus sangat penting untuk memastikan berapa sebenarnya jumlah penduduk yang belum memiliki rumah. Dalam hal ini, pemerintah melihat masih banyak masyarakat yang tinggal di rumah tidak layak huni serta sanitasi lingkungan yang tidak memadai.

Untuk membantu masyarakat memiliki rumah, khususnya masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) akan mengganti subsidi selisih suku bunga dengan fasilitas likuiditas perumahan pada semester II/2010 ini, yakni pada 1 Juli 2010 mendatang. Saat ini, Kemenpera masih menunggu perubahan Permenkeu Nomor 73 untuk melaksanakan program reformasi di bidang pembiayaan perumahan tersebut. Dengan adanya fasilitas likuiditas ini diharapkan daya beli masyarakat akan sesuai dengan besaran angsuran.

Dalam aturan sebelumnya, pemerintah memberikan subsidi selisih suku bunga KPR agar pembeli bisa mengangsur kewajiban kredit pemilikan rumah (KPR). Sekarang pola tersebut diubah, yakni masyarakat didekatkan antara daya belinya dengan kewajiban mengangsurnya. Dengan kata lain KPR-nya yang diberikan fasilitas likuiditas, sehingga masyarakat bisa mendapatkan dana murah dan dengan dana murah itu bank bisa memberikan KPR untuk masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah.

Menpera mencontohkan, apabila harga rumah sederhana saat ini sekitar Rp55 juta, maka uang muka yang harus dibayar oleh calon pembeli sekitar Rp5 juta. Jika seorang pegawai negeri sipil ingin membeli rumah, maka dia boleh meminta pinjaman dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS) sekitar Rp15 juta. Dan jika fasilitas likuiditas telah terlaksana, maka pemerintah akan memberi bantuan KPR Rp15 juta. Dengan demikian, calon pembeli mengangsur KPR dari bank sebesar kekurangannya sekitar Rp20 juta. Tentunya hal itu sangat membantu masyarakat dalam mengangsur KPR.

Persyaratan mengajukan KPR dengan bantuan fasilitas likuiditas ini diberikan kepada masyarakat yang berpenghasilan di bawah Rp4,5 juta. Untuk menghindari pemberian KPR kepada masyarakat berpenghasilan di atas itu maka pengajuan KPR yang diberi bantuan likuiditas harus menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak (SPT).

Kalangan pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) menyambut baik kebijakan fasilitas likuiditas perumahan yang akan diluncurkan pada 1 Juli 2010 mendatang. Kebijakan ini dinilai menguntungkan pengembang dan pembeli dibandingkan dengan subsidi selisih suku bunga yang selama ini digunakan. Bagi pengusaha, kebijakan ini menjamin ketersediaan uang dalam jangka panjang.

Hal ini dimungkinkan karena fasilitas likuiditas ini akan langsung dialokasikan ke pengembang, sehingga biaya produksi bisa ditekan serendah mungkin. Sementara itu bagi pembeli, uang muka KPR bisa ditekan hingga 10%, dibanding saat ini yang sekitar 20%-30% dari harga rumah, sedangkan suku bunga KPR juga bisa ditekan, dari rata-rata 11-12% menjadi lebih murah sekitar 3% atau menjadi 8%.

Namun, REI meminta pemerintah memberikan masa transisi sekitar enam bulan sebelum kebijakan itu dikeluarkan, masyarakat masih tetap bisa membeli dengan subsidi selisih bunga. Pertimbangannya, pembeli yang melakukan akad bulan Mei 2010 ini, baru bisa menerima penyerahan rumah beberapa bulan setelahnya. Artinya setelah fasilitas likuiditas diberikan.

Kemenpera menyatakan masyarakat dan pengembang tidak usah kuatir. Sebab, secara prinsip pemerintah menyetujui masa transisi tersebut. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan dana sekitar Rp 400 miliar dalam masa transisi itu. Jadi bank tetap bisa memberikan KPR sebelum fasilitas likuiditas diluncurkan.

Pada masa mendatang, Kemenpera akan lebih mendorong para pengembang untuk membangun perumahan tipe 36. Pasalnya, rumah tipe 21 dan 27 sudah tidak lagi sesuai dengan konsep hidup layak. Jika demikian, tidak tertutup kemungkinan pada masa mendatang tipe minimal rumah yang diperjualbelikan adalah tipe 36, bukan lagi tipe 21 dan 27. Di samping itu, Kemenpera pun menetapkan kalangan yang dapat mengajukan KPR adalah yang memiliki gaji maksimal Rp5,5 juta/bulan dan minimal Rp1,8 juta/bulan.

Sementara itu, Kemenpera akan memberikan penghargaan Adiupaya Puritama tahun 2010 kepada sejumlah pemda pada Agustus 2010 mendatang. Pemberian penghargaan ini diharapkan dapat memotivasi pemda untuk senantiasa meningkatkan upaya penyelenggaraan pengembangan program perumahan dan permukiman di daerahnya masing-masing. Pemda diminta menyiapkan cadangan lahan untuk perumahan sebagai antisipasi atas terbatasnya lahan perumahan untuk masyarakat.

Selain itu Kemenpera juga akan mengaitkan pemberian Adiupaya Puritama ini dengan penyaluran Dana AlokasiKhusus (DAK) bidang perumahan pada tahun 2011. Pemda tidak bisa menggunakan DAK untuk membeli tanah. Akan tetapi pemda hanya diminta untuk mencadangkan tanah untuk pembangunan sekitar 1.000 hingga 2.000 unit rumah. Lahan itu bisa terpisah di beberapa lokasi atau dalam satu lokasi. Oleh karena itu diharapkan tiap-tiap provinsi mengusulkan daerah-daerah mana saja yang bisa mendapatkan DAK tersebut. Setidaknya sekitar 80 kabupaten/kota akan menerima DAK tersebut. Adapun jumlah DAK yang akan disalurkan sebesar Rp6,6 miliar untuk setiap kabupaten/kota.

Namun, ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi pemda terlebih dahulu, antara lain harus memiliki perda yang mengatur tentang tata ruang dan zonasi perumahan. Pemda ke depannya juga harus menunjukkan kontribusi terhadap pengembangan perumahan di daerah. Salah satunya memberikan pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya sanitasi dan kebersihan dalam rumah yang dihuni. (AI)

Industri perkapalan menggeliat

Pada tahun 2010 ini Indonesia membutuhkan tambahan 654 kapal baru sehingga industri pembuatan kapal di tanah air membutuhkan investasi baru kurang lebih Rp5,7 triliun untuk meningkatkan kapasitasnya. Sebanyak 654 kapal baru tersebut berupa kapal coal carrier (390), tanker (225), general cargo (25), dan container (14), dengan berbagai ukuran mulai dari 1.500 dwt hingga 60.000 dead weight ton (DWT). Hal ini tentu sangat menggembirakan karena berarti bisnis pembuatan kapal di tanah air mulai membaik.

Berdasarkan data Iperindo (Ikatan Perusahaan Industri Kapal dan Lepas Pantai Indonesia), kapasitas terpasang industri perkapalan nasional baru mencapai 225.000 gross ton (GT) per tahun. Hasil proyeksi Iperindo menunjukkan adanya kebutuhan bangunan baru mencapai 500.00 GT per tahun. Namun masalahnya, peluang tersebut belum tentu dapat dimanfaatkan secara optimal oleh industri perkapalan di tanah air. Pasalnya, hingga kini industri perkapalan masih belum memiliki industri perkapalan yang memadai.

Iperindo menyatakan industri galangan kapal nasional hingga kuartal II/2010 mendapatkan tambahan order kapal baru di atas USD100 juta. Order itu datang dari beberapa perusahaan seperti PT Pertamina dan PT Intenational Nickel Indonesia Tbk (Inco). Selain itu, galangan kapal domestik juga mendapat order dari Ditjen Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan dan PT Pelindo II.

PT Pelindo II memesan 7 unit tug boat dengan harga per unit sekitar USD3 juta. Order ini dikerjakan oleh PT Daya Radar Utama yang berbasis di Jakarta, PT Sanur Marindo di Tegal, dan PT Meranti Nusa Bahari di Banjarmasin. Sementara Kemenhub sedang melakukan tender pembuatan 5 unit kapal perintis, dan Inco memesan dua kapal. Pertamina juga segera menyelesaikan tender pengadaan kapal tanker.

Pertamina akan segera menggelar tender enam kapal tanker, dari 10 kebutuhan kapal, dalam waktu dekat. Total nilai pengadaan sebanyak 10 unit tanker tersebut mencapai USD200 juta. Dari enam kapal itu, Pertamina memesan tiga unit kapal tanker berkapasitas 3.500 DWT, satu unit berkapasitas 6.500 DWT, dan dua unit berkapasitas 17.500 DWT, dengan lama waktu pengerjaannya sekitar 14–18 bulan.

Menurut Iperindo, pembangunan kapal tanker Pertamina itu dapat mendongkrak utilisasi galangan untuk pembangunan kapal baru hingga 15%. Iperindo memperkirakan pada tahun 2010 ini utilisasi galangan untuk pembangunan kapal baru di Indonesia bisa mencapai 60%, atau naik dibandingkan dengan tahun lalu yang sekitar 35% - 40% dari total kapasitas terpasang.

Meski permintaan kapal masih tumbuh, namun industri galangan kapal di dalam negeri hingga saat ini masih kesulitan menyerap fasilitas fiskal berupa bea masuk ditanggung pemerintah (BM-DTP) pada tahun 2010. BM ini seharusnya dibayar oleh importir namun dibayar oleh pemerintah. Kebijakan ini dilakukan dalam rangka mendorong daya saing industri nasional. Selain itu, barang yang diimpor adalah barang yang belum diproduksi di Indonesia, atau secara QCD (quality, cost, dan delivery) belum memenuhi.

BM-DTP merupakan fasilitas cukup penting dalam menopang pertumbuhan produksi kapal mengingat sebagian besar komponen kapal masih diimpor dengan bea masuk (BM) sekitar 5%-10%. Rendahnya daya serap BM-DTP di industri galangan pada tahun 2010 ini sama dengan kondisi pada tahun 2009. Akibatnya, struktur biaya produksi kapal tetap tidak kompetitif.

Pelaku industri galangan kapal juga menuntut pemerintah memberikan fasilitas Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP). Pasalnya, pajak sebesar 10% itu dianggap memberatkan dalam realisasi pembuatan kapal baru yang membutuhkan dana besar. Misalnya, biaya pembuatan satu kapal paling murah saja USD8,3 juta atau sekitar Rp75 miliaran. Kalau biaya tersebut masih harus ditambahkan pajak sebesar 10% dalam komponen biaya maka hal ini memberatkan. Saat ini tidak banyak galangan yang punya modal besar, di sisi lain harga jual kapal nantinya juga menjadi tinggi dan tidak kompetitif.

Iperindo berharap PPN DTP tersebut sudah mulai dapat dijalankan mulai triwulan III/2010 mendatang. Pemberlakuan secepatnya sangat dibutuhkan mengingat di sektor pelayaran sejak 1 Januari 2010 lalu telah diberlakukan azas cabotage, yakni seluruh kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus berbendera Indonesia. Dengan pemberlakuan azas cabotage, kebutuhan kapal buatan galangan lokal menjadi meningkat signifikan.

Sementara itu, kerusuhan yang terjadi di industri galangan Batam beberapa waktu lalu ternyata tak berpengaruh terhadap iklim investasi. Beberapa perusahaan galangan kapal asing justru tetap melanjutkan rencana investasi di Batam. Perusahaan galangan kapal asal Korea Selatan, Daewoo Shipbuilding Marine Engineering Co Ltd, dikabarkan akan membangun galangan kapal di Batam mulai tahun 2010 ini. Daewoo akan menjalin usaha patungan (joint venture) dengan BUMN industri galangan kapal, PT Dok Koja Bahari.

Pemerintah Finlandia juga menawarkan kerja sama di bidang industri perkapalan untuk mendukung sistem kalancaran logistik Indonesia yang memiliki karakteristik negara kepulauan. Karakteristik ini hampir sama dengan Finlandia yang memiliki penduduk hanya 5,5 juta orang tapi luas wilayahnya hampir dua kali luas Pulau Jawa. Karena wilayahnya terdiri dari kepulauan maka 90% distribusi logistik di negara itu dilakukan melalui jalur laut dan udara, sedangkan 10% lainnya dilakukan melalui darat, khususnya untuk produk dagang. Hal inilah yang membuat Finlandia kuat dalam pengembangan industri galangan kapal.

Industri kapal masih kesulitan mendapat modal untuk mengembangkan bisnisnya. Hingga kini keberpihakan perbankan nasional kepada industri perkapalan dinilai masih kurang. Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan kredit perbankan untuk industri perkapalan baru Rp9,8 triliun atau sekitar 1% dari total kredit perbankan yang sudah mencapai Rp1.000 triliun. Selain itu, industri perkapalan juga membutuhkan insentif perpajakan berupa pembebasan PPN karena PPN dinilai memperlemah daya saing dan kompetisi industri perkapalan nasional karena berakibat pada penambahan biaya produksi. (AI)

Senin, Mei 17, 2010

Semen

Penjualan semen dalam negeri sepanjang kuartal I/2010 naik 17,72% menjadi 9,74 juta ton dibandingkan dengan pencapaian pada periode yang sama tahun 2009 sebesar 8,27 juta ton. Secara umum, peningkatan pasar semen di dalam negeri pada kuartal I/2010 tersebut disebabkan pemulihan daya beli konsumen domestik yang sempat dihantam dampak krisis ekonomi dunia. Krisis membuat permintaan merosot tajam pada kuartal I/2009. Hal ini disebabkan seluruh perusahaan di sektor properti, infrastruktur, dan industri mengurangi kegiatan pembangunan. Kondisi ini juga membuat sejumlah proyek yang didanai pemerintah tersendat.

Namun melihat kinerja kuartal I/2010, Asosiasi Semen Indonesia (ASI) optimistis penjualan semen pada kuartal berikutnya akan lebih besar. Banyaknya proyek infrastruktur dan properti yang sempat tertunda pada akhir tahun 2009 akan dituntaskan pada tahun 2010 ini. Atas dasar itu, target pertumbuhan penjualan semen sebesar 6% menjadi 40,28 juta ton pada tahun 2010 diperkirakan dapat dicapai. Di samping itu, sejak akhir tahun 2009, industri semen domestik mulai merealisasikan sejumlah proyek senilai USD1,94 miliar untuk menambah kapasitas terpasang 14,5 juta ton, dari 44,89 juta ton pada tahun 2009 menjadi 59,39 juta ton pada tahun 2015, termasuk meningkatkan daya listrik 200 megawatt (MW).

Kecukupan listrik di industri semen menjadi faktor penting. Misalnya pasokan kelistrikan Sulawesi Selatan yang sering padam membuat PT Semen Bosowa merugi. Pemadaman listrik oleh PLN membuat 60% kegiatan produksi pabrik semen Bosowa tidak berjalan. Pasalnya, PT Semen Bosowa hanya memiliki generator listrik dengan kapasitas 13 MW, padahal untuk dapat berproduksi optimal listri yang dibutuhkan sebesar 32 MW, sedangkan PLN hanya memasok listrik ke Bosowa sebesar 20 - 22 MW.

Produksi normal Bosowa sesuai dengan kapasitas terpasang untuk clinker mencapai 6 ribu ton/hari dan semen 6.200 ton/hari. Akibat krisis listrik, produksi tersebut menurun untuk semen hanya 2.000 ton/hari dan clinker 4.000 ton/hari. Pada Januari 2010 Bosowa harus menghentikan produksi selama 86 jam. Pada Februari 2010 aktivitas terhenti selama 162 jam, dan pada Maret 2010, pabrik terhenti selama 111 jam. Sehingga total kerugian potensial sepanjang kuartal I/2010 sebanyak 420 jam dengan total produksi yang hilang 90 ribu ton semen. Terkait hal itu, sepanjang Januari - April 2010 pendapatan penjualan Bosowa berkurang Rp58,5 miliar.

Berdasarkan matriks pembangunan megaproyek semen Kemenperin, sejak tahun 2008 sejumlah perusahaan semen telah merealisasikan penambahan kapasitas, di antaranya pabrik baru PT Semen Andalas lndonesia berkapasitas 1,8 juta ton/tahun. Proyek ini akan beroperasi mulai tahun 2010. Selain itu, PT Semen Bosowa Maros dan PT Indocement Tunggal Prakarsa akan mengoptimalkan pengembangan pabrik untuk menambah kapasitas masing-masing 1 juta ton/tahun.

PT Semen Gresik Tbk (SMGR) akan membangun empat pabrik pengantongan (packing plant) pada tahun 2010 ini. Nilai investasi packing plant diperkirakan mencapai Rp600 miliar. Pabrik packing plant akan tersebar di Pulau Jawa, Kalimantan, dan Papua. Total kapasitas packing plant mencapai 600 ribu ton/tahun. Dengan adanya packing plant, maka distribusi semen menjadi lancar karena memiliki fasilitas sandar khusus kapal dan dapat mengoperasikan kapal curah semen serta pembongkaran semen secara cepat dan efisien. Di samping itu, dengan adanya packing plant tersebut, ongkos transpor dan distribusi bisa lebih dihemat.

Peningkatan kapasitas yang dilakukan industri semen bertujuan untuk mendongkrak permintaan domestik yang tumbuh 7%-8%/ tahun dan perluasan pasar ekspor. Pada tahun 2015, konsumsi semen di dalam negeri diprediksi mencapai 56 juta-58 juta ton, meningkat dari konsumsi pada tahun 2009 sebanyak 38,5 juta ton.

Sementara itu, pelaku industri semen keberatan dengan rencana komoditi semen akan dimasukan sebagai produk atau barang penting dalam draft RUU Perdagangan dan Revisi UU Perindustrian. Dalam draft RUU Perdagangan pasal 4 ayat 2, disebutkan penetapan barang kebutuhan pokok dan atau barang penting sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh menteri setelah berkoordinasi dengan menteri terkait. Definisi barang penting dalam draft RUU itu adalah barang yang bukan kebutuhan pokok, tetapi mempunyai peranan penting dan strategis bagi negara serta menguasai hajat hidup orang banyak, seperti BBM, obat-obatan, pupuk, dan semen.

Menurut Direktur Utama PT Semen Gresik Tbk Dwi Soetjipto, alasan keberatan itu karena selama ini semen bukanlah kebutuhan sehari-hari yang selalu digunakan secara rutin oleh masyarakat. Selain itu, semen tidak memperoleh subsidi dari pemerintah. Semen industri padat modal yang membutuhkan dana besar untuk investasi pada pabrik semen, sehingga jika terjadi penetapan harga oleh pemerintah akan mempengaruhi iklim investasi yang bisa menghambat pembangunan.

ASI mengusulkan sebaiknya harga semen diserahkan ke mekanisme pasar. Pasalnya, apabila diatur oleh pemerintah dapat memicu terjadinya persengkongkolan. Memang dalam dua hingga tiga tahun sebelumnya, produsen semen di Indonesia tidak dalam kondisi menggenjot investasi dan ekspansi, sehingga produksi semen cenderung terlambat dan mempengaruhi pasokan dan permintaan yang tidak seimbang. Di sisi lain, konsumsi semen di Indonesia masih rendah.

Pemerintah meminta kepada para produsen semen tidak perlu khawatir mengenai rencana pemerintah untuk memasukkan komoditi semen sebagai barang strategis atau penting. Pasokan semen dan harga semen yang relatif stabil tidak memungkinkan pemerintah melakukan intervensi pasar bagi produk semen. Rencana dimasukannya semen sebagai barang strategis karena komoditi semen sangat penting dan diperlukan untuk pembangunan ekonomi, sehingga ketersediaannya harus terus mencukupi.

Menurut Kemendag, saat ini pasokan semen di dalam negeri sangat mencukupi sehingga tidak ada kekhawatiran kelangkaan pasokan. Dengan demikian pemerintah tak akan melakukan intervensi harga kepada komoditi ini. Di kemudian hari jika terjadi sesuatu yang menggangu pasokan semen, maka langkah-langkah intervensi bisa dilakukan jika komoditi ini sudah masuk katagori barang penting atau strategis. Saat ini yang biasa terjadi di beberapa daerah adalah distribusi semen sedikit mengalami keterlambatan waktu pasokan (time lag), namun pasokannya sangat cukup. (AI)

Jumat, Mei 14, 2010

KUR jaminannya ditanggung pemerintah

Belum maksimalnya ekspansi KUR disiasati pemerintah dengan menambah realisasi KUR sebesar Rp2 triliun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2010. Dengan penambahan tersebut, maka total anggaran yang disediakan pemerintah menjadi Rp20 triliun dari sebelumnya Rp18 triliun. Penambahan anggaran KUR itu, diharapkan bisa membuat ekspansinya menjadi lebih luas.

Akan tetapi, Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop dan UKM) menilai target penyaluran kredit usaha rakyat (KUR) hingga kuartal I/2010 masih belum maksimal. KUR yang disalurkan oleh enam bank pelaksana seharusnya mencapai Rp5 triliun, tetapi yang sudah tersalur kepada pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) baru sekitar Rp1,4 triliun. Pada tahun 2010 ini KUR ditargetkan mampu tersalurkan pada masyarakat sebesar Rp20 triliun.

Kemenkop dan UKM sebagai instansi yang ditugaskan pemerintah pusat sebagai koordinator program KUR, akan segera melakukan evaluasi. Melalui evaluasi tersebut diharapkan penyaluran bisa pulih sehingga mampu mengejar kelambanan pada kuartal pertama. Salah satu kendala yang menghambat target penyaluran KUR ini adalah keterlambatan dimulainya penyaluran. Dari seharusnya Januari 2010, tapi baru dimulai pada pertengahan Februari 2010.

KUR sampai saat ini ditangani oleh enam bank, yakni Bank BTN, BNI, Bank BRI, Bank Mandiri, Bank Syariah Mandiri, dan Bank Bukopin. Saat ini baru Bank BRI saja yang mempunyai jaringan terluas dibandingkan dengan bank penyalur lainnya. Hingga Februari 2010, BRI telah mengucurkan KUR sebesar Rp13,4 triliun atau 74,97% dari total KUR nasional sebesar Rp17,88 triliun dengan jumlah debitur sebanyak 2.505.246 orang sehingga rata-rata kredit per debitur sebesar Rp7,14 juta.

Bank lain yang melakukan penyaluran KUR berturut-turut adalah BNI Rp1,553 triliun (8,69%), Bank Mandiri sebesar Rp1,509 triliun (8,44%), dan sisanya terbagi kepada BTN, Bukopin, dan Bank Syariah Mandiri. Sementara itu, rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) program KUR saat ini telah mencapai 5,7%. Namun pemerintah menilai angka itu masih sangat kecil dibanding manfaat besar yang bisa diperoleh para pengusaha mikro.

Sejumlah 13 perbankan dari kelompok Bank Pembangunan Daerah (BPD) juga berpartisipasi dalam penyaluran KUR. Tetapi target penyaluran ke-13 BPD tersebut masih terlalu rendah, sehingga kurang signifikan mencapai target penyaluran oleh pemerintah sebesar Rp20 triliun per tahun. Ke-13 BPD itu adalah Bank Papua, Bank Maluku, Bank Sulut, Bank Kalteng, Bank Kalsel, Bank Kalbar, Bank NTB, BankJatim, Bank DIY, Bank Jateng, Bank Jabar Banten, Bank Nagari, dan Bank DKI. Ke-13 bank ini hanya menargetkan penyaluran sebesar Rp2 triliun pada periode 2010 yang dimulai awal Maret 2010.

Kemenkop dan UKM meminta agar perbankan tidak langsung “tiarap” ketika menerima permintaan kredit dari pelaku UMKM. Akibat tindakan perbankan tersebut, program pemberdayaan untuk sektor UMKM menjadi kurang optimal. Pasalnya, sampai saat ini sektor perdagangan umum dan jasa masih mendominasi penyaluran KUR. Namun ketika perbankan diberi proposal dari usaha bidang pertanian, perbankan lamban memprosesnya. Apalagi jika yang mengajukan UMKM dari bidang perikanan tangkap, perbankan langsung menolak.

Masalah lain yang terjadi dalam penyaluran KUR ini adalah sebaran KUR yang masih terkonsentrasi di Pulau Jawa saja. Oleh karena itu, Kemenkop dan UKM pada periode penyaluran berikut akan melakukan verifikasi, terutama terhadap infrastruktur yang dimiliki perbankan penyalur KUR.

Misalnya penyaluran KUR di Provinsi Kalteng masih kurang sosialisasi. Selain itu, KUR juga memberatkan peminjam karena masih ada permintaan jaminan dari bank penyalur KUR. Padahal penerima KUR itu tidak dibebani jaminan lagi karena jaminan itu sudah ditanggung pemerintah. Jadi tidak ada alasan bagi bank untuk mempersulit para penerima KUR. Berdasarkan data dari Kemenkop dan UKM, pada tahun 2009 Kalteng mendapat alokasi dana KUR sebesar Rp371 miliar, namun daya serapnya hanya sekitar Rp8 miliar atau sekitar 2%.

Pemerintah juga menurunkan bunga KUR menjadi 22%, atau turun 2% dari semula 24% untuk kredit di bawah Rp 5 juta, dan 14% dari semula 16% untuk kredit di atas Rp5 juta. Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No.22/PMK.05/2010 tentang Perubahan Kedua Atas PMK No.135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha Rakyat. Hal ini dilakukan untuk mendukung pelaksanaan Nota Kesepahaman Bersama tentang Penjaminan Kredit atau Pembiayaan kepada Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi (UMKM-K).

KUR yang disalurkan kepada setiap UMKM-K dapat digunakan untuk kredit modal kerja maupun kredit investasi. Di samping itu, ada penambahan ayat dalam pasal 4 yang menyatakan, bank pelaksana dapat menyalurkan KUR secara langsung kepada UMKM-K dan/atau tidak langsung melalui lembaga linkage dengan pola executing atau pola channeling. PMK ini mulai berlaku sejak 12 Februari 2010, yaitu satu bulan sejak addendum II Nota Kesepahaman Bersama ditandatangani.

Menurut Kemenkop dan UKM, bunga KUR sebenarnya tidak tinggi jika dibandingkan dengan bunga yang dikenakan para rentenir. Pasalnya, rentenir bisa mematok bunga hingga di atas 30%. Dengan kemudahan akses dari perbankan, rakyat akan lebih memilih KUR. Salahnya, banyak orang yang membandingkan bunga KUR dengan bunga pinjaman lain seperti PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan) atau Kredit Program Dana Bergulir dari Kementerian yang bunganya di bawah 10%. Padahal KUR dan kedua pinjaman tersebut berbeda. Untuk mendapatkan pinjaman itu persyaratannya cukup sulit. Salah satunya adalah harus memiliki agunan.

Rendahnya daya serap KUR disebabkan ketidaktahuan masyarakat bahwa ada dana kredit yang tidak perlu jaminan. Hal itu yang perlu disosialisasikan agar ke depan mereka bisa menambah usaha mereka dengan dana KUR. Apabila mereka tidak bisa mengembalikan, pemerintah yang akan menutupi pinjaman itu dan bank tidak perlu takut menyalurkan KUR pada mereka. Yang dibutuhkan para pengusaha mikro itu sebenarnya bukan berapa bunga yang diberikan pihak perbankan, tetapi apakah kredit itu mudah didapatkan atau tidak. Dengan begitu, meskipun bunga KUR cukup tinggi mereka tidak akan memperdulikan. (AI)

Jumat, Mei 07, 2010

Program restrukturisasi TPT masih berjalan

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat Pertumbuhan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama lima tahun terakhir cenderung melambat. Melambatnya industri tekstil ini disebabkan munculnya banyak negara pesaing, seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan China, yang menggunakan teknologi baru. Di samping itu, juga masih kurangnya optimalisasi utilisasi kapasitas terpasang dan terbatasnya kemampuan mesin dalam proses produksi. Sekitar 80% mesin-mesin di industri TPT telah berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini mengakibatkan inefisiensi produksi dan terbatasnya kemampuan melakukan diversifikasi produk dan peningkatan kualitas.

Kemenperin mempertahankan program restrukturisasi pemesinan industri TPT pada tahun 2010 ini dengan nilai anggaran Rp140 miliar. Bantuan pendanaan restrukturisasi mesin TPT sudah dirintis oleh Kemeperin sejak tahun 2007. Selama periode 2007-2009 pemerintah telah menyalurkan bantuan sebesar Rp506,3 miliar yang mendorong investasi pembelian mesin dan peralatan industri TPT senilai Rp4,833 triliun oleh 300 industri TPT nasional.

Selama program tersebut berlangsung sejak tahun 2007, daya saing industri TPT nasional meningkat yang terlihat dari sejumlah indikator. Indikator tersebut, antara lain berupa peningkatan produksi industri TPT nasional sebesar 17% - 28%, penghematan energi sebesar 6% - 18%, dan peningkatan produktivitas sebesar 7% - 17%, sehingga proses produksi lebih cepat. Program itu juga dinilainya mampu menyerap tenaga kerja baru sekitar 42 ribu orang.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2010 ini pemerintah hanya menerapkan satu skema dalam penyaluran bantuan restrukturisasi permesinan yaitu skema I. Skema I ini berupa pemotongan harga terhadap sejumlah pembelian mesin oleh perusahaan industri TPT. Sementara itu skema II yang memberi bantuan pemberian kredit dengan suku bunga rendah yaitu 7%, penyerapannya rendah dan memiliki kendala dalam pengembalian kredit. Padahal, Kemenperin harus melaporkan pengembalian kredit atas dana APBN yang digunakan itu secara tepat waktu kepada Menkeu sebagai bendahara negara.

Ada 81 perusahaan TPT yang berhasil dalam program restrukturisasi permesinan dengan melakukan peremajaaan mesin dan peralatan di atas Rp10 miliar. Sebagian besar industri TPT itu berasal dari Jabar (50 perusahaan) dengan total investasi Rp2,5 triliun dan jumlah bantuan program senilai Rp223,8 miliar. Sisanya, berasal dari Jateng (14 perusahaan) dengan investasi Rp924 miliar dan jumlah bantuan Rp70,9 miliar, Banten (10 perusahaan) dengan investasi Rp483,5 miliar dan jumlah bantuan Rp36,1 miliar, Jatim (5 perusahaan) dengan total investasi Rp163,4 miliar dengan jumlah bantuan Rp15,7 miliar, dan DKI Jakarta (10 perusahaan) dengan investasi Rp32 miliar dengan jumlah bantuan Rp3,1 miliar.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan program restrukturisasi permesinan TPT harus terus dilanjutkan guna meningkatkan daya saing mengingat teknologi mesin pertekstilan berubah setiap lima tahun sekali. Keberadaan industri TPT harus dipertahankan karena menyerap tenaga kerja yang besar yaitu sekitar 15%, atau sebanyak 1.841.520 orang. Industri ini juga mampu memberi surplus perdagangan sebesar 24,33% pada tahun 2007. Bahkan di tengah krisis keuangan dunia tahun 2008, industri TPT nasional masih mampu meraih surplus sebesar USD8 miliar.

Menurut API Jatim, ekspansi para pelaku usaha industri TPT masih terhadang sedikitnya tujuh kendala di tengah persaingan ketat pasca-perjanjian perdagangan bebas Asean dan China (ACFTA). Pertama, terbatasnya sumber daya manusia yang mempunyai keahlian teknik tekstil. Kedua, soal upah buruh. Pada tahun 2011, gubernur akan memberlakukan kenaikan upah 5%. Hal ini tentu memberatkan pelaku usaha. Ketiga, masalah pembiayaan. Saat ini perbankan masih menilai industri TPT sebagai sunset industry. Padahal, kinerja industri TPT terus meningkat, sehingga semestinya tak lagi dikategorikan sebagai industri yang berprospek kurang cerah.

Keempat, banyaknya bahan baku yang masih harus diimpor, seperti kapas, serat sintetis, maupun bahan baku lainnya. Problem bahan baku ini menunjukkan bahwa urusan peningkatan kinerja industri TPT bukan hanya urusan para pelaku usaha saja, namun pemerintah seharusnya juga harus ikut mendorong, antara lain budi daya kapas. Kelima, permasalahan energi, terutama pasokan listrk yang terbatas. Keenam, restrukturisasi mesin yang masih harus dioptimalkan. Ketujuh, fasilitas pelabuhan yang tidak memadai.

Terkait dengan pasokan energi, dalam hal ini listrik, rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) diperkirakan akan mengganggu kinerja industri TPT. Apabila pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan energi industri TPT, maka sepanjang tahun 2010 tampaknya akan menjadi momen suram bagi industri TPT Tanah Air. Pembatasan alokasi gas dan listrik ini menyebabkan iklim usaha semakin tidak kondusif.

Keterbatasan listrik akan mempersulit realisasi investasi baru di sektor spinning (pemintalan) dan mengancam terhentinya pabrik-pabrik TPT yang sudah eksis. Saat ini industri TPT berencana meningkatkan investasi hingga USD200 juta, terutama di subsektor pemintalan seiring dengan upaya peremajaan mesin-mesin TPT yang sudah tua. Akibatnya, diperkirakan permintaan benang tahun 2010 ini akan meningkat sehingga dibutuhkan modal baru untuk meremajakan mesin-mesin produksi dan menambah kapasitas.

Di sisi lain, setelah perdagangan bebas dengan China, Indonesia juga akan menghadapi pasar bebas dengan India. Perjanjian perdagangan bebas itu sudah diteken dalam KTT Pemimpin ASEAN tahun 2009 lalu. API menganggap ancaman perdagangan bebas ASEAN dengan India atau AIFTA (ASEAN-India Free Trade Area) tidak sebesar ACFTA. Produk Indonesia memiliki peluang masuk ke pasar TPT di India. Komoditas tekstil semacam polyester, serat, dan benang katun dari India akan banyak menyerbu Indonesia setelah AIFTA resmi berlaku. Namun lonjakan impor TPT dari India tidak sebesar dari China.

Kinerja ekspor TPT dari tahun 2000 sampai tahun 2009 meningkat 11,59%, atau rata-rata 3,41% per tahun, atau setara dengan nilai ekspor USD9,26 miliar. Meski cenderung stagnan, bila dibanding nilai impor, industri tekstil masih menunjukkan surplus. Selama 10 tahun terakhir surplus perdagangan selalu di atas USD5 miliar, dan pada tahun 2009 lalu mencapai USD5,09 miliar. (AI)

Obat (masih) mahal

Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, industri farmasi di Indonesia masih tetap terjangkit penyakit rent seeking. Pernyataaan ini menanggapi masih mahalnya harga obat di Indonesia. Saat ini 80% bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, tapi setelah diproduksi menjadi obat-obatan generik bermerk oleh industri farmasi di Indonesia, harganya menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga obat-obat yang sama di India dan China.

Di samping itu, mahalnya harga obat generik bermerek di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India dan China, disebabkan tidak adanya pengaturan harga jual obat generik bermerek yang jelas dari pemerintah. Alhasil, harga obat tersebut menjadi tidak terkendali. Sementara di sisi lain, obat generik yang harganya terjangkau sangat sedikit ditemukan di sarana pelayanan kesehatan swasta di Indonesia, baik di rumah sakit maupun apotek.

Menurut GP Farmasi, rendahnya perhatian pemerintah terhadap manufaktur obat disebabkan karena produk obat hanya dianggap sebagai komoditas biasa, sama seperti produk konsumtif lain seperti alat elektronik, dan sebagainya. Padahal, produk obat seyogianya menjadi produk kebutuhan pokok seperti sembilan bahan pokok. Obat seharusnya menjadi dasar pembangunan dan bagian dari strategi besar negara.

Dalam struktur kelembagaan negara, industri farmasi berada di bawah binaan Kementrian Kesehatan, namun kementrian tersebut lebih banyak mengurus masalah pelayanan kesehatan, misalnya mengelola orang sakit agar menjadi sehat atau mengelola orang sehat agar tidak sakit. Sementara industri manufaktur obatnya nyaris tidak tersentuh. Padahal pasar obat di Indonesia sangat potensial. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 25% hingga 30% per tahun, maka pada tahun 2010 ini pasar farmasi nasional diproyeksikan mencapai Rp37 triliun.

Sekalipun telah menyadari begitu bervariasinya harga obat, nyatanya pemerintah belum mampu sepenuhnya mengendalikan harga obat, khususnya obat generik bermerek dagang. Sejauh ini terdapat 13.000 macam obat yang beredar di Indonesia. Obat generik bermerek dagang di pasaran harganya dapat mencapai 12 kali lipat dari harga obat generik dengan nama International Nonproprietary Name (INN) untuk jenis obat yang sama.

Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan, pemerintah tidak dapat mengatur harga obat generik bermerek dagang di pasar karena tidak ada landasan hukum yang kuat. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pengaturan harga obat, tetapi baru sebatas obat generik dengan INN.

Pada tahun 2006, ada 385 item obat yang harga eceran tertinggi atau HET-nya ditetapkan. Jumlah ini terus bertambah hingga menjadi 453 item pada tahun 2010. Khusus obat generik bermerek dagang, pemerintah sebatas mengendalikan hanya di fasilitas kesehatan pemerintah. Jika obat generik tidak tersedia, fasilitas kesehatan pemerintah dapat menggunakan obat generik merek dagang dengan harga maksimal tiga kali lipat harga obat generik dengan INN.

Sebenarnya upaya menekan harga obat yang makin mahal saat ini bisa ditempuh melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial. Asuransi kesehatan ini harus diprioritaskan pada masyarakat menengah bawah yang umumnya tidak mampu membeli obat. Pemerintah harus menganggarkan dana melalui APBN untuk membiayai asuransi bagi penduduk miskin. Untuk masyarakat mampu dan karyawan, asuransi kesehatannya bisa dibiayai sendiri atau ditanggung oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Penerapan model asuransi kesehatan juga harus dibarengi dengan penerapan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter yang baik. Perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter sangat penting. Hal itu guna mengikis praktik kolusi yang tidak sehat antara dokter dan industri farmasi, yang ditengarai mempengaruhi besaran harga obat di pasaran. Saat ini masih banyak dokter lebih suka menuliskan resep obat-obat bermerek, yang harganya bisa 10-15 kali lebih mahal dibandingkan obat generik.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai ada kecurangan di perusahaan farmasi dalam menentukan harga obat. Ada temuan tidak wajar dalam struktur pembentuk harga beberapa obat yang beredar di pasaran. Ketidakwajaran tersebut, terletak pada persentase biaya distribusi dan promosi yang berkisar 50%-90% dari total biaya produksi. Persentase tersebut sangat tidak wajar dalam sebuah draft komponen harga sebuah komoditi.

Sementara itu, komponen biaya bahan baku yang harusnya mendominasi, justru hanya berkontribusi sekitar 10%-30% saja dalam pembentukan harga jual eceran. Misalnya, biaya produksi untuk jenis obat A total Rp5.000. Ternyata biaya distribusi dan promosi untuk obat ini bisa mencapai Rp4.000, sedangkan biaya bahan bakunya hanya Rp1.000. Bahkan dalam temuan KPPU di lapangan ada jenis obat yang biaya bahan bakunya tidak sampai 8% dari biaya produksi.

GP Farmasi sontak menolak tudingan KPPU ini. Menurutnya kewenangan perusahaan farmasi hanyalah memproduksi obat dan menjualnya melalui kerja sama dengan dokter dan apotek sesuai dengan harga yang telah ditentukan, dan penentuannya adalah Menteri Kesahatan. GP Farmasi merasa persentase komponen biaya yang ada tidak perlu lagi dipertanyakan karena telah melalui otoritas tertinggi di bidang kesehatan tanah air.

Di sisi lain, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) akan mereformasi apoteker dan berupaya mengubah pola pikir mereka. Reformasi di tubuh apoteker harus dilaksanakan seiring terbitnya PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang mengatur tentang etika dan profesionalisme pekerjaan apoteker. Jadi kalau pasien merasa keberatan terhadap harga obat yang diresepkan dokter, maka apoteker harus menyarankan pasien untuk membeli obat generik.

IAI juga menegaskan bahwa apoteker jangan hanya melayani resep dokter atau hanya berada di dalam apotek saja. Apoteker harus senantiasa berinteraksi dan mau memberikan arahan dan konsultasi kepada pasien saat mereka membeli obat. Selama ini disinyalir banyak apoteker yang tidak berinteraksi dengan pasien, bahkan ada apoteker yang jarang datang ke apotek. (AI)