Jumat, Juni 25, 2010

Harga RSh menjelang tanggal 1 Juli 2010

Kementerian Perumahan Rakyat (Kemenpera) memperkirakan Indonesia mengalami kekurangan pasokan rumah hunian hingga sembilan juta unit. Kekurangan pasokan rumah ini disebabkan karena tidak seimbangnya antara pembangunan perumahan dengan kebutuhan masyarakat. Kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal saat ini cukup tinggi karena selain memang tingginya kebutuhan rumah, juga didorong oleh banyaknya rumah yang rusak akibat bencana alam sehingga mengurangi jumlah rumah.

Pemerintah mengakui hingga saat ini belum memiliki instrumen untuk memproduksi rumah. Akibatnya, pasokan rumah masih bergantung pada kesediaan pengembang dalam membangun perumahan. Dengan adanya instrumen produksi rumah, diharapkan pemerintah bisa menyediakan rumah murah bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
Masalah itupun belum bisa diatasi karena pengembang perumahan selama ini hanya mampu memenuhi sebagian kecil dari kebutuhan yang ada. Setiap tahun pertumbuhan kebutuhan rumah sederhana sehat (RSh) sebanyak 800 ribu unit, sedangkan industri properti hanya sanggup membangun 200-300 ribu unit.

Untuk menjangkau seluruh masyarakat agar mendapatkan rumah, pemerintah telah mengubah pola subsidi. Saat ini diperkenalkan pola subsidi baru berupa fasilitas likuiditas yang merupakan terobosan untuk mengganti pola subsidi perumahan yang lama, yakni subsidi selisih bunga atau subsidi uang muka yang sebelumnya berjalan. Penerapan pola subsidi baru ini berlaku mulai 1 Juli 2010. Karena itu, selama masa transisi sebelum pelaksanaan konsep fasilitas likuiditas, pemerintah masih menganggarkan dana untuk menyelesaikan tunggakan subsidi selisih bunga atau uang muka yang sebelumnya diterapkan.

Kedua pola tersebut, baik fasilitas likuiditas maupun subsidi selisih bunga, mendapatkan alokasi anggaran pada APBNP 2010 sebesar Rp3,1 triliun. Untuk fasilitas subsidi bunga mendapat Rp416 miliar, sisanya untuk fasilitas likuiditas. Fasilitas likuiditas mendapat dana dari pos pembiayaan, sedangkan subsidi selisih bunga pada pos belanja. Anggaran Rp416 miliar yang dialokasikan untuk subsidi selisih bunga itu akan digunakan untuk membayar tunggakan subsidi yang belum dibayarkan pada tahun 2008, 2009, dan 2010 karena masalah verifikasi.

Berdasarkan simulasi Kemenpera, menjelang penerapan fasilitas likuiditas pembiayaan RSh bersubsidi pada tanggal 1 Juli 2010, harga maksimum RSh bersubsidi bagi masyarakat berpenghasilan Rp2,5 juta/bulan akan naik menjadi maksimal Rp94 juta/unit, sedangkan harga maksimal RSh yang berlaku saat ini adalah Rp55 juta/unit. Sementara harga satuan rusunami bagi masyarakat berpenghasilan Rp4,5 juta/bulan diusulkan menjadi maksimal Rp190,4 juta/unit, sedangkan pagu maksimal yang berlaku saat ini Rp144 juta/unit. Namun patokan harga maksimal tersebut belum final karena masih menunggu persetujuan bersama dengan Kementerian Keuangan.

Meski harga hunian menjadi lebih mahal, namun masyarakat tak perlu cemas. Besarnya angsuran RSh dan rusunami tetap terjangkau. Pasalnya, sebagian cicilan bakal ditanggung negara. Bentuknya berupa subsidi pembayaran bunga sepanjang tenor atau masa angsuran. Dengan bunga rendah sepanjang tenor, jaminan keberlanjutan pembayaran kredit menjadi lebih terjaga.

Menpera menjamin perubahan skema subsidi kepemilikan RSh akan lebih menguntungkan bagi masyarakat karena subsidi yang dialihkan pada fasilitas likuiditas ini tidak menguap seperti subsidi yang sebelumnya, tetapi mengendap menjadi investasi untuk pembangunan perumahan murah pada masa datang. Dengan pola baru, suku bunga KPR bisa dipatok 7%-9% selama masa angsuran sehingga beban konsumen stabil. Sementara dengan pola lama berupa selisih bunga, subsidi hanya diberikan selama 4 -6 tahun.

Akan tetapi, rencana penerapan fasilitas likuiditas per 1 Juli 2010 nanti untuk subsidi RSh disangsikan pengembang. Bahkan, simulasi harga menjadi Rp94 juta/unit menurut Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) memicu potential lost hingga 20% dari saat ini. Masyarakat yang telah memiliki dana sebesar Rp55 juta akan berpikir ulang untuk membeli rumah.

Terkait simulasi skema baru pemerintah yang menyatakan harga RSh akan naik hampir dua kali lipat menjadi Rp94 juta dari sebelumnya Rp55 juta/unit, pengembang juga menyangsikannya. Penerapan fasilitas likuiditas tidak serta-merta akan menaikkan harga jual RSh, namun justru berpotensi menurunkan biaya produksi yang ditanggung pengembang. Hal lini disebabkan penerapan fasilitas likuiditas akan menurunkan bunga bank termasuk kredit properti modal kerja bagi pengembang.

Sebagian pengembang yang tergabung dalam Real Estat Indonesia (REI) dan Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi) masih ragu menjual dan membangun RSh bersubsidi akibat belum ada kepastian perubahan pola subsidi yang akan diterapkan mulai 1 Juli tahun 2010. Akibatnya, penjualan RSh hingga awal semester I/2010 oleh anggota asosiasi itu tidak sesuai target awal. Atas perubahan kebijakan ini, pengembang mulai mengkaji ulang target-target pembangunan RSh.

Kalangan pengembang mengusulkan kepada Kemenpera dan perbankan agar mengurangi besaran uang muka untuk pembelian RSh bersubsidi dari 10% menjadi 3%-5%. Menurut Apersi, perubahan pola penyaluran subsidi rumah dari selisih bunga menjadi fasilitas likuiditas perlu diikuti dengan kebijakan pengurangan uang muka agar program baru Kemenpera itu berjalan efektif. Pasalnya, selama ini masalah di lapangan adalah uang muka. Banyak konsumen yang kesulitan menyediakan uang muka sehingga menunda pembelian.

Sementara itu, untuk meningkatkan jumlah pembangunan rumah, Kemenpera akan membebaskan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) untuk RSh, baik yang dilakukan pengembang maupun masyarakat. Selain pembebasan IMB, pemerintah juga akan memberikan insentif khusus kepada masyarakat yang memiliki rumah. Salah satunya adalah dengan memberikan diskon khusus dalam pembayaran pajak bumi dan bangunan (PBB), yakni masyarakat yang memiliki rumah tidak perlu membayar PBB sebesar 100% jika rumah yang dibeli tidak dijual dulu selama tiga hingga lima tahun ke depan. (AI)

Senin, Juni 21, 2010

Kakao

Menurut Kementerian Pertanian, komoditas kakao memberikan sumbangan devisa nasional sebesar USD1,4 miliar/tahun. Nilai tersebut diperoleh dari total lahan seluas 1,4 juta ha. Produksi tahun 2009 mencapai 800 ribu ton dan sekitar 93% berasal dari perkebunan rakyat. Angka tersebut menempatkan kakao sebagai komoditas unggulan ketiga terbesar setelah kelapa sawit dan karet.

Permasalahan yang masih dihadapi dalam pengembangan kakao adalah penurunan tingkat produktivitas akibat tanaman tua, penyakit, hama, dan rendahnya mutu biji kakao. Langkah-langkah yang dilakukan untuk kembali meningkatkan produksi kakao adalah dengan meningkatkan kapasitas petani, penyediaan bibit unggul, revitalisasi perkebunan kakao melalui kredit perbankan dengan bunga yang disubsidi pemerintah.

Peremajaan tanaman yang dilakukan sepanjang tahun 2009 mencapai 80,27% dari 20 juta pohon yang ditargetkan, kemudian rehabilitasi 19%, dan intensifikasi 100%. Serangan hama pada 450 ribu ha menyebabkan menurunnya produksi secara bertahap, mulai dari 600 kg/ha/tahun hingga 400 kg/ha/tahun. Padahal sejak tahun 2003 produksi kakao nasional mencapai 1,1 juta ton.

Sementara itu, pemerintah akan mengevaluasi kebijakan bea keluar (BK) kakao setelah berjalan enam bulan atau pada Oktober 2010, untuk mengetahui efektivitas dari penerapannya. Jika ternyata penjualan ekspor produk kakao terus menurun dan industri pengolahan tidak berkembang, kebijakan itu akan direvisi.

Sebelumnya, pemerintah menerapkan BK biji kakao mulai April 2010 lalu. Untuk itu, setiap pengapalan biji kakao dikenakan BK sebesar 10%. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, disebutkan apabila harga biji kakao di pasar dunia kurang dari USD2,000/ton, maka tidak akan dikenakan BK. Pada saat harga kakao mencapai USD2.000-USD2,750/ton, akan dikenakan BK 5%. Saat harga biji kakao mencapai USD2,750 hingga USD3,500/ton, akan dikenakan BK 10%, dan harga di atas USD3,500/ton akan dikenakan BK 15%.

Dasar penerapan kebijakan BK tersebut, karena pemerintah melihat Malaysia dan Singapura memiliki kapasitas pabrik pengolahan kakao sebesar 480.000 ton/tahun. Kedua negara itu mengimpor biji kakao asal Indonesia. Singapura dan Malaysia menerapkan bea masuk (BM) biji kakao 0% dan menerapkan harga kakao olahan sangat tinggi. Untuk “membalas” kebijakan negara tersebut, maka Indonesia mengenakan BK untuk mengerem pengapalan biji kakao, sehingga produk itu akan menjadi lebih mahal di luar negeri.

Berdasarkan data Kementerian Perdagangan, volume ekspor kakao pada April 2010 turun 67,79%, dari sekitar 50.090 ton menjadi 16.133 ton. Penurunan volume ini juga berdampak pada total nilai ekspor kakao, dari USD148 juta menjadi USD53,6 juta, sehingga terjadi penurunan sebesar 63,79%. Sepanjang Januari-April 2010, nilai ekspor kakao tercatat mencapai USD455 juta, sedangkan pada periode yang sama tahun 2009, nilai ekspor USD338 juta. Dari segi volume, ekspor kakao sepanjang Januari-April 2010 tercatat sebesar 148.711 ton, sedangkan pada periode yang sama tahun 2009 mencapai 135.786 ton.

Menurut Forum Kakao Aceh (FKA), harga biji kakao kualitas ekspor di tingkat petani di provinsi Aceh turun hingga 10,40%, menyusul diberlakukannya BK terhadap komoditas tersebut. Harga biji kakao turun, dari Rp24.000/kg menjadi Rp21.500/kg. Kebijakan tersebut merugikan para petani kakao, karena secara langsung ikut berpengaruh terhadap harga sehingga mengurangi pendapatan petani. Para pengusaha tidak mungkin menanggung sendiri BK, sehingga dengan terpaksa mereka membebankan kepada para petani dengan menurunkan harga.

Namun demikian, adanya kebijakan tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap animo masyarakat Aceh untuk mengembangkan tanaman kakao. Masyarakat Aceh masih bergairah untuk merawat dan mengembangkan tanaman kakao, karena harganya dinilai masih layak. Diharapkan ke depannya, kakao akan menjadi komoditi ekspor andalan daerah. Hanya saja, pemda diharapkan membantu petani, misalnya dengan menyediakan subsidi pupuk dan bibit, sehingga menghasilkan biji kakao berkualitas ekspor.

Sementara itu, belum genap tiga bulan kebijakan BK kakao diberlakukan, imbas positif terhadap kebijakan ini sudah mulai terlihat. Kementerian Perindustrian telah mendapatkan indikasi investasi baru di bidang pengolahan industri kakao yang sebelumnya lesu karena sulitnya bahan baku kakao. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) mencatat selama kurang lebih dua bulan terakhir telah ada enam pabrik kakao yang kembali berproduksi yang sebelumnya mati suri. Saat ini hanya 11 pabrik yang beroperasi termasuk enam pabrik tadi dari total 15 pabrik pengolahan kakao yang ada di Indonesia.

Di sisi lain, Pemprov Sulawesi Barat akan membangun pabrik pengolahan kakao di daerah Kelurahan Rangas, Kecamatan Simboro, sekitar 5 km dari kota Mamuju. Pemprov Sulbar telah menyiapkan lahan pembangunan pabrik pengolahan kakao seluas kurang lebih dua hektare. pembangunan pabrik pengelolaan kakao tahap pertama tersebut menggunakan pos pembiayaan dari pemerintah pusat melalui APBN tahun anggaran 2010 sebesar, Rp1,3 miliar. Saat ini proses lelang proyek pembangunan pabrik kakao sudah mulai berjalan, dan rekanan yang memenangkan proses lelang itu akan memulai pekerjaan pada tahun 2010 ini.

Setelah pembangunan selesai, pemprov Sulbar akan mendatangkan mesin pengolahan kakao dari kota Surabaya, Jawa Timur. Kapasitas mesin tersebut akan mampu mengolah kakao sedikitnya satu ton per jam. Pabrik ini sangat dibutuhkan rakyat, apalagi sekitar 60% penduduk di Sulbar menggantungkan hidupnya dari kakao. Pembangunan pabrik pengolahan kakao ini sebagai bagian dari implementasi dari program gerakan peningkatan produksi dan mutu kakao (Gernas Kakao).

Pada tahun 2010, Kementan menargetkan Gernas Kakao mencapai 145.000 ha. Gernas Kakao ini akan ditunjang dengan perluasan area perkebunan yang secara keseluruhan mencapai 6,3% atau menjadi 20.791,78 juta ha pada tahun 2010. Dari total tersebut, luas kakao yang pada tahun 2009 sebesar 1.592,98 juta ha akan meningkat menjadi 1.655,13 juta ha atau naik sebesar 3,9%. (AI)

Tarif angkutan penyeberangan naik

Indonesia Ferry Companies Association (IFA) meminta pemerintah untuk membatasi jumlah operator angkutan penyeberangan milik asing yang beroperasi di lintasan antarnegara. Pemerintah, melalui revisi Perpres No.111/2007 yang memuat daftar negatif investasi (DNI), berencana melonggarkan kepemilikan saham asing di perusahaan angkutan penyeberangan yang khusus melayani rute antarnegara, dari maksimal 49% menjadi maksimal 60%. Saat ini lintasan antarnegara ada di rute Medan-Penang (Malaysia), Pontianak-Kuching (Malaysia), Gorontalo-Filipina, Dumai-Singapura, dan Batam-Singapura.

Draf revisi Perpres No.111/2007 tersebut melonggarkan batasan penguasaan investor dari asing hingga 60% untuk delapan bidang usaha, (1) yaitu angkutan laut internasional umum liner (berjadwal) untuk penumpang; (2) angkutan laut internasional umum tramper (tak berjadwal) untuk penumpang; (3) angkutan laut internasional umum liner untuk barang; (4) angkutan laut internasional umum tramper untuk barang; (5) angkutan laut internasional khusus untuk wisata; (6) angkutan laut internasional khusus untuk barang; (7) angkutan penyeberangan antara negara; dan (8) bongkar muat.

Menanggapi hal ini Gabungan Pengusaha Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (Gapasdap) menilai pengusaha asing tidak akan tertarik berinvestasi di bisnis angkutan penyeberangan antarpulau karena dibutuhkan waktu lama untuk balik modal. Bisnis angkutan penyeberangan sampai saat ini masih sangat bergantung pada keputusan regulator.

Menurut Gapasdap pula, jika pemerintah membuka keran investasi asing di operator penyeberangan hingga kepemilikan saham asing mencapai 60%, hal itu bertentangan dengan UU No.17/2008 tentang Pelayaran. Pada Pasal 21 angka (1) UU tersebut menyatakan kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal, serta diawaki oleh awak kapal berkewarganegaraan Indonesia.

Kemenhub menjamin penguasaan hingga 60% oleh investor asing dalam usaha patungan angkutan laut internasional tidak melanggar asas cabotage. Jaminan itu dibuktikan melalui pembatasan pemberian izin perusahaan pelayaran patungan lokal dan investor asing, yang hanya berlaku untuk rute internasional. Yang dilarang adalah jika perusahaan pelayaran patungan itu menggarap rute dalam negeri.

Kemenhub juga akan segera menaikkan tarif angkutan penyeberangan lintas antarprovinsi mengakomodasi usulan Gapasdap. Sebelumnya Gapasdap telah mengajukan usulan kenaikan tarif penyeberangan di sejumlah lintas rata-rata sebesar 72%. Berdasarkan perhitungan tim tarif Gapasdap, tarif penyeberangan di lintasan Merak-Bakauheni diusulkan naik 72%, Ketapang-Gilimanuk naik 51,67%, Bajoe-Kolaka 82,36%, Padangbai-Lembar 42,48%, dan Palembang-Muntok 82,84%.

Menurut Kemenhub, tarif baru angkutan penyeberangan sudah waktunya disesuaikan dengan alasan kenaikan harga suku cadang dan tingginya biaya perawatan kapal atau docking kapal. Saat ini jumlah kapal yang melayani jasa angkutan penyeberangan di Indonesia sebanyak 197 unit, tersebar di tujuh pelintasan penyeberangan yang ada di Indonesia. Dari jumlah tersebut, sebanyak 121 unit merupakan kapal komersil. Sementara 76 unit sisanya merupakan kapal perintis yang dioperasikan dengan bantuan subsidi pemerintah.

Berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur, PT Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (ASDP) Cabang Tanjung Perak memutuskan terhitung mulai April 2010 lalu, tarif penyeberangan feri dari Ujung Surabaya - Kamal Bangkalan diturunkan 50%. Penurunan tarif penyeberangan ini hanya diberlakukan pada kendaraan roda empat atau lebih. Sebelumnya tarif untuk kendaraan roda empat Rp65.000, turun menjadi Rp35.000, untuk bus dari Rp96.000 turun menjadi Rp45.000, sedangkan kendaraan besar yang semula Rp130.000 menjadi Rp50.000.

Kebijakan ini merupakan penyesuaian tarif terhadap mekanisme pasar. Pasalnya, sejak dioperasikannya jembatan Suramadu yang menghubungkan Surabaya - Madura, praktis pendapatan armada feri perlahan-lahan merosot. Volume penumpang rata-rata turun 30% dan kendaraan menurun 50% per harinya. Kebijakan memangkas tarif ini dilandasi Kepmenhub No.73 tahun 2004 yang telah diubah dengan KM No. 58 tahun 2007 tentang Penyelenggaran Angkutan Sungai dan Danau. Artinya, PT ASDP tidak harus terlebih dahulu mengantongi surat keputusan Gubernur Jatim selaku pemangku di daerah.

Kesepakatan menurunkan tarif penyeberangan Surabaya - Madura hingga 50% oleh PT ASDP dan beberapa pengusaha feri yang tergabung dalam Gapasdap Jatim, agaknya diikuti dengan beberapa harapan. Diantaranya, para pengusaha kapal feri ini berharap agar pemerintah provinsi mengalokasikan dana untuk fasilitas public services obligation (PSO) atau subsidi sebesar Rp20 juta-Rp25 juta/unit kapal atau sekitar Rp54 miliar selama setahun. PSO ini dibutuhkan untuk mengatasi kerugian operasional imbas dari semakin menurunnya volume penumpang dan kendaraan bermotor yang diangkut feri. Sayangnya, Gubernur Jatim menolak usulan ini.

Sementara itu, sistem penarifan feri yang tidak tepat membuat operator swasta tidak tertarik melayani lintas penyeberangan di Indonesia timur. Padahal, jumlah armada kapal milik BUMN dan pemda sangat terbatas. Hal itu menjadi salah satu penghambat pertumbuhan ekonomi di pulau-pulau yang mengandalkan penyeberangan. Tarif lintas penyeberangan komersial tak beda jauh dengan lintas penyeberangan subsidi. Saat ini armada penyeberangan lebih banyak beroperasi di Indonesia barat, karena selain soal penarifan, volume penumpang di Indonesia Timur lebih sedikit, sementara gelombang relatif tinggi dan sulit mendapatkan galangan kapal.

Menurut PT ASDP, penetapan tarif di suatu lintas penyeberangan sebaiknya tidak hanya didasarkan pada harga pokok penjualan, tetapi juga menyurvei kemampuan masyarakat untuk membayar. Saat ini tarif feri di Indonesia termasuk terendah dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Di Indonesia tarif penyeberangan Rp 490/mil, sedangkan di Filipina Rp1.500-Rp2.000/mil. Saat ini di Indonesia ada lebih dari 200 lintas, tetapi baru 115 yang dilayari, dan 81 di antaranya tarifnya disubsidi. (AI)

Jumat, Juni 18, 2010

SNI sebagai modal untuk pasar global

Indonesia diperkirakan akan menghadapi tantangan utama tentang standardisasi produk dalam menuju kesepakatan kawasan perdagangan bebas ASEAN (ASEAN Economic Community/AEC) pada tahun 2015. Hal ini dapat dilihat dari ketertinggalan Indonesia dalam memenuhi Harmonisasi Standar Produk Elektronika dan Listrik ASEAN atau ASEAN Harmonized Electrical and Electronic Equipment Regulatory Regime (AHEEERR) yang mulai diterapkan mulai tahun 2011. Saat ini waktu yang tersisa menuju implementasi AHEEERR tinggal 10 bulan.

Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan dari 199 standar elektronika dan listrik yang disepakati untuk diharmonisasikan di tingkat ASEAN, Indonesia baru memenuhi 19 standar, sedangkan 10 standar lagi menyusul dinotifikasikan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Harmonisasi standar ini secara ekonomi dapat merugikan Indonesia. Pasalnya, dilihat dari besarnya pasar, Indonesia memiliki pasar yang besar dibanding negara-negara ASEAN lainnya, sehingga produk-produk dari negara lain berupaya masuk ke Indonesia tanpa hambatan nontarif seperti standar. Bandingkan dengan pemenuhan harmonisasi standar di Malaysia yang mencapai 156 produk, Thailand sebanyak 56 produk, Singapura 34 produk, dan Vietnam mengungguli Indonesia dengan 20 produk. Sementara Filipina, Brunei, dan Kamboja masing-masing sembilan, tujuh, dan tiga produk.

Saat ini semua transaksi perdagangan menggunakan standar sebagai salah satu faktor utamanya sehingga menjadi bahasa kedua setelah harga. Standar sangat dibutuhkan dalam setiap transaksi karena dengan standar para pelaku perdagangan dapat secara cepat mengetahui kualitas dan mutu produk tersebut. Indonesia terus berupaya untuk memperbanyak Standar Nasional Indonesia (SNI) yang harmonis dengan standar internasional sehingga kedepan semua produk yang memiliki tanda SNI akan diterima oleh pasar global.

Dalam menghadapi pasar bebas ASEAN China (ACFTA) Badan Standardisasi Nasional (BSN) akan memfokuskan SNI untuk sepuluh sektor industri yang perdagangan dengan China tinggi. SNI merupakan senjata untuk menahan laju impor produk-produk dari China yang kebanyakan kualitasnya di bawah standar. Sektor industri yang dipilih dinilai memiliki nilai ekspor atau impor minimal USD100 juta. Kesepuluh sektor industri ini adalah baja, aliuminium, elektronik dan kelistrikan, petrokimia, mesin dan perkakas, hasil pertanian, makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, dan mainan anak. Saat ini jumlah SNI untuk kesepuluh industri tersebut tercatat 1491 SNI. Dari jumlah itu, SNI untuk sektor makanan dan minuman paling banyak, yaitu sebanyak 440 SNI dan sektor TPT sebanyak 266 SNI.

Selain itu, untuk menyesuaikan standar kualitas produk dalam negeri dengan produk ASEAN, BSN juga bekerja sama dengan negara ASEAN terkait dengan standardisasi produk. Saat ini sudah ada 8 sektor industri yang akan dilakukan harmonisasi standar dengan negara ASEAN, yaitu sektor elektronik, otomotif, makanan olahan, peralatan medis, produk karet, dan produk perikanan. Untuk tahun 2011, BSN menargetkan 250 SNI baru terhadap produk dengan mengajukan anggaran Rp82,5 miliar. Anggaran tersebut akan digunakan ke dalam tiga kelompok yakni untuk dukungan manajemen tugas teknis, peningkatan sarana dan prasarana aparatur BSN, serta pengembangan standardisasi nasional.

Kendala Indonesia memenuhi harmonisasi standar itu adalah keterbatasan infrastruktur yakni laboratorium penguji standar yang sanggup memenuhi standar. Untuk mewajibkan suatu standar dibutuhkan ketersediaan infrastruktur laboratorium. Saat ini, lembaga sertifikasi atau balai pengujian yang masih terkonsentrasi di pulau Jawa. Padahal produk industri tidak hanya berada di Pulau Jawa.

Pemerintah terus mendorong penyesuaian standar suatu produk nasional terhadap standar internasional untuk menghadapi perubahan perilaku barang dan pola konsumsi dunia saat ini. Standardisasi semakin penting dalam menghadapi persaingan global karena permintaan terhadap suatu produk cenderung mengacu pada standar produk itu.

Langkah penyesuaian standar mutlak dilakukan guna mendukung upaya perluasan dan diversifikasi produk di pasar global. Pasalnya, tanpa penyesuaian standar, target peningkatan ekspor melalui perluasan dan diversifikasi produk justru akan terhambat. Dalam memenuhi permintaan konsumen global, harmonisasi standar yang dilakukan tetap harus memperhatikan karakter konsumen dan pengguna produk di masing-masing negara. Masalah standar ini justru sering terabaikan dalam perdagangan antarnegara. Namun, tidak sedikit pihak yang justru menggunakan isu standar tersebut untuk melakukan hambatan dagang terhadap suatu negara.

Menurut Kadin Indonesia, ada proses-proses yang harus dilalui menuju kepada pemenuhan standar internasional, yakni bagaimana memenuhi standar nasional di dalam negeri sendiri dan kesiapan industri domestik. Dan yang harus dilakukan saat ini adalah upaya memenuhi standar nasional terlebih dahulu, baru kemudian mengarah ke standar internasional. Jika Indonesia hendak membuat suatu standar tetap harus mengacu pada kesepakatan yang diteken dalam Mutual Recognition Arrangements (MRAs) dan berbagai standar itu tidak boleh bertentangan dengan WTO.

Dari dalam negeri, pemerintah didesak untuk mempublikasikan daftar merek produk yang tidak sesuai SNI. Dengan adanya daftar tersebut, dapat memudahkan pengusaha ritel melakukan pengawasan. Selama ini informasi yang disampaikan pemerintah hanya berupa data dari produk-produk yang sudah memiliki SNI. Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) sudah meminta kepada anggotanya agar tidak mengedarkan produk-produk yang diduga tak sesuai standar. Menanggapi hal tersebut, Direktorat Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag akan menindaklanjuti permintaan tersebut, yakni dengan menyampaikan merek-merek yang tidak sesuai SNI melalui media. Namun di samping itu, pengusaha ritel juga harus memperhatikan pemasok dan tanda SNI pada produknya. (AI)

Rabu, Juni 09, 2010

PAD dan kinerja daerah

Pada acara peringatan Hari Otonomi Daerah ke-14 (29/04), Mendagri Gamawan Fauzi menyebut sejumlah daerah telah berhasil mengembangkan inovasi dan kreativitas dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang tujuannya untuk peningkatan pelayanan publik. Daerah-daerah tersebut antara lain Provinsi Sulawesi Utara yang menggelar World Ocean Conference dan Sail Bunaken beberapa waktu lalu dan menghasilkan Coral Triangle Initiative (CTI) serta menghasilkan multiplier effect dalam meningkatkan perekonomian dan memulihkan kepercayaan dunia terhadap Indonesia.

Selanjutnya Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, menjalankan kebijakan yang kreatif di sektor program ketahanan pangan. Hal ini langsung meningkatkan pendapatan petani, menciptakan lapangan kerja, dan menyediakan stok beras di wilayah Kalbar, termasuk menerapkan sistem Grameen Bank dalam pengentasan kemiskinan di Kubu Raya.

Selain itu untuk Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan, dengan manajemen ilahiyah dalam akses pelayanan publik bagi masyarakat miskin atau desa marjinal. Kota Batam dengan percepatan proses perijinan memulai usaha melalui e-government. Kabupaten Serdang Bedagai (Sergai), Sumatera Utara, dengan pelayanan dasar melalui pengembangan infrastruktur dan SDM, dengan menggalang partisipasi masyarakat.

Kemudian Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara, dengan mengembangkan potensi wisata bahari di empat pulau. Kota Sawahlunto, Sumatera Barat, dengan preservasi eks kawasan tambang menjadi area pariwisata yang mempunyai dampak kepada masyarakat. Terakhir, Kabupaten Wondama, Papua, dengan pengembangan kawasan konservasi di wilayahnya untuk mendukung pengembangan ekonomi masyarakat tanpa mengganggu kawasan konservasi.

Kebijakan otda yang diterapkan pada 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota hingga saat ini belum dapat berjalan optimal. Tidak semua daerah otonom baru memperlihatkan kemajuan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, sebagian besar daerah tersebut masih menggantungkan sumber pembiayaannya dari pemerintah pusat. Melihat kegagalan yang terjadi pada beberapa daerah otonom baru itu, maka sudah seharusnya pemerintah membuat mekanisme penggabungan atau penghapusan bagi daerah yang berkinerja buruk.

Menurut Pusat Penelitian Politik P2P LIPI, selama ini peran gubernur dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah masih sangat terbatas. Dalam UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah juga belum mengatur secara jelas peran ganda gubernur sebagai kepala daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah yang memiliki tanggung jawab kepada presiden. Hal ini menimbulkan persepsi yang berbeda-beda mengenai kedudukan gubernur, apakah dia sebagai kepala daerah atau wakil pemerintah pusat. Bahkan dengan ketidakjelasan tersebut menimbulkan konflik peran, terutama ketika kepentingan provinsi bertentangan dengan kepentingan pemerintah pusat.

Mendagri menegaskan, kepala daerah diberikan kebebasan untuk membuat inovasi di daerahnya masing-masing, dengan tujuan untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) demi kesejahteraan masyarakatnya. Salah satu inovasi yang sering digunakan pemerintah daerah adalah pembuatan peraturan daerah (perda). Sebagai bagian inovasi untuk memajukan pembangunan di daerah, perda dibolehkan asalkan tidak bertentangan dengan UU, serta tak mengganggu iklim investasi di daerah. Untuk itu, kepala daerah dituntut untuk memiliki jiwa inovatif dalam membangun dan memajukan daerah.

Kebijakan otda telah terbukti mampu mendorong kreativitas dan inovasi daerah dalam mengumpulkan PAD. Sebelum kebijakan otonomi diterapkan, rata-rata kemampuan daerah dalam meraup PAD hanya 5% dari total APBD-nya. Namun, setelah diterapkan kebijakan otda mulai tahun 1999, PAD naik menjadi 15%. Saat ini, total APBD di seluruh daerah sudah mencapai Rp400 triliun. Jumlah itu belum termasuk dana-dana dekonsentrasi yang dikucurkan dari pusat.

Bali misalnya, selama ini hanya mengandalkan pajak kendaraan bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Mulai tahun 2014, Provinsi Bali akan memiliki sumber PAD baru yang berasal cukai rokok. APBD Bali tahun 2010 sebesar Rp2 triliun, dan separuhnya berasal dari dari PKB dan BBNKB. Separuh sisanya lagi berasal dari kucuran dana pemerintah pusat dalam bentuk dana alokasi khusus (DAK) maupun dana alokasi umum (DAU).

Akan tetapi upaya pemda untuk meningkatkan PAD dengan mengeluarkan perda sering menimbulkan masalah. Kementerian Dalam Negeri, hingga saat ini telah membatalkan 1.800 perda bermasalah. Pembatalan dilakukan pada perda yang menghambat investasi serta menimbulkan beban bagi masyarakat, dan dilakukan merata di seluruh Indonesia. Contoh Perda bermasalah misalnya pembangunan hotel harus memiliki izin mendirikan bangunan (IMB), namun ada pemda yang menerbitkan juga izin perhotelan. Lalu, untuk industri kelapa sawit sudah dikenakan pungutan terhadap ekspor dan produksi, tapi dikenakan lagi pungutan untuk tandan buah segar. Bahkan, tiang listrik dan tiang telpon dikenakan pajak termasuk pipa yang melintas di bawah tanah juga dikenakan pajak.

Padahal ekonomi bisa bergerak dan bergairah apabila semakin sedikit beban terhadap kegiatan dunia usaha. Oleh karena itu, pemerintah telah melarang kepada seluruh daerah untuk tidak lagi mengatur materi yang tercantum pada perda yang sudah dibatalkan itu. Tidak boleh lagi mengeluarkan kebijakan dengan alasan demi meningkatkan PAD namun kenyataannya di lapangan justru menghambat.

Sebanyak 101 perda di Pemprov DKI Jakarta yang dianggap bermasalah diusulkan untuk diubah. Revisi itu akan dimasukkan Program Legislasi Daerah (Prolegda) 2010-2014. Dari 101 perda yang akan direvisi tersebut, 47 perda usulan pemprov. Sisanya, 54 perda, usulan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta.

Perda yang harus direvisi atas usulan DPRD, di antaranya Perda No.8 Tahun 2007 tentang Ketertiban Umum, Perda No.4 Tahun 2007 tentang Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas, Perda No.7 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Reklame, dan Perda No.6 Tahun 1993 tentang Pembinaan Kesejahteraan di DKI Jakarta. Sementara revisi perda atas usulan Pemprov antara lain Perda No.4 Tahun 2004 tentang Pendaftaran dan Pencatatan Sipil, Perda No.7 Tahun 2001 tentang Dewan Kota/Kabupaten, dan Perda No.5 Tahun 1999 tentang Perparkiran. (AI)

Senin, Juni 07, 2010

Rotan

Perusahaan produsen rotan kini terus menyusut. Menurut Asoasiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), pada tahun 2008 ada sekitar 500 perusahaan yang memproduksi mebel rotan. Saat ini jumlahnya menyusut hingga hanya sekitar 150 perusahaan yang masih aktif berproduksi. Keterpurukan industri rotan ini diperparah dengan semakin sempitnya pangsa pasar ekspor rotan. Jika dulu pangsa pasar ekspor rotan ke Eropa, AS, dan Asia hampir 85% dikuasai oleh Indonesia, kini pangsa pasar Indonesia makin menyusut tinggal 50%, karena harus berebut pasar dengan Vietnam dan China.

Tahun 2010 ini ekspor produk rotan diperkirakan sama dengan tahun 2009, yaitu sekitar USD300 juta. Turunnya ekspor produk rotan ini karena saat ini tren furnitur dengan bahan rotan sedang turun. Selera konsumen lebih ke minimalis, jadi mereka menjauhi mebel rotan yang bergaya klasik. Beralihnya selera konsumen ini juga berakibat pada turunnya utilisasi industri produk rotan. Saat ini, dari kapasitas produksi terpasang industri rotan yang bisa menghasilkan sekitar USD1,5 miliar/tahun hanya terpakai sekitar 10%-20%. Artinya, dalam satu tahun, total produksi mebel rotan hanya sekitar USD150 juta-USD300 juta.

Tidak hanya industri rotan yang bermasalah pada penjualan produknya. Para petani rotan pun menghadapi masalah yang sama. Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag No.36/2009 tentang Ketentuan Ekspor Rotan. Permendag tersebut adalah untuk mengatur larangan ekspor rotan dalam bentuk asalan, baik taman/sega dan irit (TSI) maupun nontaman/sega dan irit (NTSI). Rotan hanya boleh diekspor oleh eksportir terdaftar rotan (ETR), dengan jenis rotan TSI yang telah melalui proses pencucian dan belerang (natural washed & sulphured atau W/S), dan sistemnya kuota.

Ekspor jenis rotan NTSI dapat dilaksanakan setelah ETR melaksanakan wajib pasok terhadap kebutuhan bahan baku dalam negeri. Adapun rotan yang tak dapat digunakan di dalam negeri bisa diekspor setelah mendapat rekomendasi dari Kementerian Kehutanan. Sementara ETR hanya diberikan kepada perusahaan yang berdomisili di daerah penghasil rotan. Terhadap ekspor rotan, pemberitahuan ekspor barang (PEB) disampaikan kepada Kantor Pabean di daerah penghasil rotan. Alhasil, Surabaya yang selama ini menjadi daerah pengekspor rotan terkena getahnya.

Menurut Yayasan Rotan Indonesia (YRI), biasanya Surabaya mampu mengekspor 23.000 ton tiap tahunnya. Total ekspor itu berasal dari rotan jenis polish NTSI sebanyak 8.000 ton dan W/S TSI sebanyak 15.000 ton. Setiap ton rotan polish NTSI harga free on board (FOB) berkisar USD1.300, sedangkan untuk W/S TSI USD1.100. Dengan harga itu, diperkirakan devisa yang hilang sebesar USD27 juta/tahun, padahal kebijakan ini sudah dua tahun berlangsung, artinya devisa hilang diperkirakan mencapai USD54 juta. Rotan sebanyak 23.000 ton itu merupakan hasil pengumpulan 76.000 orang petani pemungut rotan yang menghidupi 380 ribu sampai 500 ribu masyarakat yang hidup di tepi hutan di Kalimantan, Sulawesi maupun Nusa Tenggara.

Dalam bisnis rotan, eksportir adalah lokomotif penarik gerbong, sedangkan pedagang perantara dan pemroses berada di gerbong tengah, dan petani pemungut rotan berada di ujung gerbong. Artinya, bila lokomotif berhenti berjalan, semua kegiatan akan berhenti total. Petani pencari rotan menjadi pihak yang paling telak terkena imbas larangan rotan. Tidak heran bila kemudian petani rotan yang dulu melakukan budi daya rotan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, kini mengkonversi kebun rotannya menjadi kebun sawit atau bahkan ada yang berubah menjadi tambang batubara.

Tak berharganya rotan juga membuat para pencari rotan di Desa Tamesandi, Kecamatan Uepai, Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, menggantungkan hidup sebagai petani kakao dan padi. Padahal, sebelumnya mencari rotan menjadi pekerjaan utama karena hasilnya bisa mengganjal kebutuhan ekonomi pada masa paceklik. Modal awal yang diberikan oleh pedagang pengumpul biasanya Rp1 juta. Separuh untuk kebutuhan rumah yang ditinggalkan, sisanya untuk bekal mencari rotan di hutan.

Petani pencari rotan di Desa Keppe, Kecamatan Mambi mengatakan, dua tahun lalu kecamatan kecil ini masih menjadi salah satu bandar pemasok rotan untuk pasaran Eropa. Pada hari-hari tertentu, ratusan petani pencari rotan turun dari gunung memikul rotan untuk dijual di kecamatan. Rotan yang terkumpul sebanyak 30-40 ton menggunung di gudang-gudang. Setiap hari pula truk-truk pengangkut rotan berdatangan untuk membawa komoditas hutan itu ke Polewali Mandar guna diolah. Namun, dua tahun terakhir aktivitas itu berangsur sepi, bahkan kini mati, sejak permintaan rotan mentah tidak ada lagi.

Di Kota Palu, dari 30 usaha rotan setengah jadi, kini hanya delapan yang bertahan. Jika dulu produksi mencapai 60.000 ton rotan setengah jadi per tahun, kini hanya 6.000 ton per tahun. Sekitar 500.000 petani rotan terancam kehilangan pekerjaan. Itu belum termasuk pekerja penggoreng rotan, pekerja poles, pengemudi truk pengangkut rotan, hingga petugas keamanan perusahaan. Misalnya, industri rotan dibangun di Makassar atau Palu, tetap saja akan berbiaya tinggi. Pasalnya, biaya pengiriman dan pengapalan mebel dari Palu lebih mahal USD750-1.000 per kontainer dibandingkan dari Jakarta. Hal ini disebabkan pelabuhan di Palu tak laik disinggahi kapal kontainer tujuan luar negeri.

Menurut data APRI Kabupaten Konawe, dari 33 usaha penggorengan (proses perebusan dengan minyak tanah), saat ini hanya tersisa enam. Di Sulawesi Tenggara, salah satu sentra penghasil bahan baku rotan, tidak ditemukan industri mebel rotan untuk kelas ekspor. Yang ada adalah industri setengah jadi dan itu pun kini gulung tikar. Industri mebel rotan ekspor juga tak berkembang di Sulawesi Barat. Di Desa Keppe, Kecamatan Mambi, Kabupaten Mamasa, produk kerajinan rotan hanya sebatas tikar. Industri mebel rotannya hanya mengandalkan pasar lokal, dan itu pun menunggu pesanan.

Gagasan membangun industri mebel rotan di Sulawesi dilontarkan Departemen Perindustrian pada tahun 2008. Tujuannya, memberdayakan masyarakat di daerah penghasil bahan baku serta menambah nilai produk rotan di pasaran ekspor. Namun, gagasan itu tak didukung penyediaan tenaga terampil di bidang kerajinan rotan. Akibatnya, investor harus mendidik sendiri atau mendatangkan perajin rotan dari Jawa dengan ongkos tinggi. Pertimbangan itu mendorong pengusaha mebel rotan memilih mendirikan pabrik di Jawa, terutama di Cirebon, Jawa Barat. (AI)


Jumat, Juni 04, 2010

Mewaspadai serbuan obat China

Prof. Dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH dari Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) mengatakan, industri farmasi di Indonesia masih tetap terjangkit penyakit rent seeking. Pernyataaan ini menanggapi masih mahalnya harga obat di Indonesia. Saat ini 80% bahan baku obat-obatan di Indonesia diimpor dari India dan China. Anehnya, walaupun harga bahan baku impor ini murah, tapi setelah diproduksi menjadi obat-obatan generik bermerk oleh industri farmasi di Indonesia, harganya menjadi berkali-kali lipat lebih mahal dibandingkan dengan harga obat-obat yang sama di India dan China.

Di samping itu, mahalnya harga obat generik bermerek di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain seperti India dan China, disebabkan tidak adanya pengaturan harga jual obat generik bermerek yang jelas dari pemerintah. Alhasil, harga obat tersebut menjadi tidak terkendali. Sementara di sisi lain, obat generik yang harganya terjangkau sangat sedikit ditemukan di sarana pelayanan kesehatan swasta di Indonesia, baik di rumah sakit maupun apotek.

Menurut GP Farmasi, rendahnya perhatian pemerintah terhadap manufaktur obat disebabkan karena produk obat hanya dianggap sebagai komoditas biasa, sama seperti produk konsumtif lain seperti alat elektronik, dan sebagainya. Padahal, produk obat seyogianya menjadi produk kebutuhan pokok seperti sembilan bahan pokok. Obat seharusnya menjadi dasar pembangunan dan bagian dari strategi besar negara.

Dalam struktur kelembagaan negara, industri farmasi berada di bawah binaan Kementrian Kesehatan, namun kementrian tersebut lebih banyak mengurus masalah pelayanan kesehatan, misalnya mengelola orang sakit agar menjadi sehat atau mengelola orang sehat agar tidak sakit. Sementara industri manufaktur obatnya nyaris tidak tersentuh. Padahal pasar obat di Indonesia sangat potensial. Dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 25% hingga 30% per tahun, maka pada tahun 2010 ini pasar farmasi nasional diproyeksikan mencapai Rp37 triliun.

Sekalipun telah menyadari begitu bervariasinya harga obat, nyatanya pemerintah belum mampu sepenuhnya mengendalikan harga obat, khususnya obat generik bermerek dagang. Sejauh ini terdapat 13.000 macam obat yang beredar di Indonesia. Obat generik bermerek dagang di pasaran harganya dapat mencapai 12 kali lipat dari harga obat generik dengan nama International Nonproprietary Name (INN) untuk jenis obat yang sama.

Pemerintah dalam hal ini Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementerian Kesehatan menyatakan, pemerintah tidak dapat mengatur harga obat generik bermerek dagang di pasar karena tidak ada landasan hukum yang kuat. UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan mengamanatkan pengaturan harga obat, tetapi baru sebatas obat generik dengan INN.

Pada tahun 2006, ada 385 item obat yang harga eceran tertinggi atau HET-nya ditetapkan. Jumlah ini terus bertambah hingga menjadi 453 item pada tahun 2010. Khusus obat generik bermerek dagang, pemerintah sebatas mengendalikan hanya di fasilitas kesehatan pemerintah. Jika obat generik tidak tersedia, fasilitas kesehatan pemerintah dapat menggunakan obat generik merek dagang dengan harga maksimal tiga kali lipat harga obat generik dengan INN.

Sebenarnya upaya menekan harga obat yang makin mahal saat ini bisa ditempuh melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial. Asuransi kesehatan ini harus diprioritaskan pada masyarakat menengah bawah yang umumnya tidak mampu membeli obat. Pemerintah harus menganggarkan dana melalui APBN untuk membiayai asuransi bagi penduduk miskin. Untuk masyarakat mampu dan karyawan, asuransi kesehatannya bisa dibiayai sendiri atau ditanggung oleh perusahaan tempat mereka bekerja.

Penerapan model asuransi kesehatan juga harus dibarengi dengan penerapan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter yang baik. Perbaikan sistem pelayanan kesehatan dan penggajian dokter sangat penting. Hal itu guna mengikis praktik kolusi yang tidak sehat antara dokter dan industri farmasi, yang ditengarai mempengaruhi besaran harga obat di pasaran. Saat ini masih banyak dokter lebih suka menuliskan resep obat-obat bermerek, yang harganya bisa 10-15 kali lebih mahal dibandingkan obat generik.

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mencurigai ada kecurangan di perusahaan farmasi dalam menentukan harga obat. Ada temuan tidak wajar dalam struktur pembentuk harga beberapa obat yang beredar di pasaran. Ketidakwajaran tersebut, terletak pada persentase biaya distribusi dan promosi yang berkisar 50%-90% dari total biaya produksi. Persentase tersebut sangat tidak wajar dalam sebuah draft komponen harga sebuah komoditi.

Sementara itu, komponen biaya bahan baku yang harusnya mendominasi, justru hanya berkontribusi sekitar 10%-30% saja dalam pembentukan harga jual eceran. Misalnya, biaya produksi untuk jenis obat A total Rp5.000. Ternyata biaya distribusi dan promosi untuk obat ini bisa mencapai Rp4.000, sedangkan biaya bahan bakunya hanya Rp1.000. Bahkan dalam temuan KPPU di lapangan ada jenis obat yang biaya bahan bakunya tidak sampai 8% dari biaya produksi.

GP Farmasi sontak menolak tudingan KPPU ini. Menurutnya kewenangan perusahaan farmasi hanyalah memproduksi obat dan menjualnya melalui kerja sama dengan dokter dan apotek sesuai dengan harga yang telah ditentukan, dan penentuannya adalah Menteri Kesahatan. GP Farmasi merasa persentase komponen biaya yang ada tidak perlu lagi dipertanyakan karena telah melalui otoritas tertinggi di bidang kesehatan tanah air.

Di sisi lain, Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) akan mereformasi apoteker dan berupaya mengubah pola pikir mereka. Reformasi di tubuh apoteker harus dilaksanakan seiring terbitnya PP No.51/2009 tentang pekerjaan kefarmasian, yang mengatur tentang etika dan profesionalisme pekerjaan apoteker. Jadi kalau pasien merasa keberatan terhadap harga obat yang diresepkan dokter, maka apoteker harus menyarankan pasien untuk membeli obat generik.

IAI juga menegaskan bahwa apoteker jangan hanya melayani resep dokter atau hanya berada di dalam apotek saja. Apoteker harus senantiasa berinteraksi dan mau memberikan arahan dan konsultasi kepada pasien saat mereka membeli obat. Selama ini disinyalir banyak apoteker yang tidak berinteraksi dengan pasien, bahkan ada apoteker yang jarang datang ke apotek. (AI)

Berlindung dari serbuan baja impor

Realisasi impor besi dan baja (kelompok pos tarif/HS No.72) sepanjang kuartal I/2010 ternyata melonjak hingga 73,1% dibanding kuartal I/2009, dari USD838,8 juta menjadi USD1,45 miliar. Jika dipatok dengan menggunakan harga rata-rata USD600 per ton, maka nilai tersebut setara dengan 2,42 juta ton bahan baku baja, termasuk produk hulu baja seperti bijih besi (iron ore), slab, billet, pelat baja, baja canai panas (HRC/hot-rolled-coils), dan baja canai dingin (CRC/cold-rolled-coils).

Menurut Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA), tingginya impor baja disebabkan oleh dua hal. Pertama, lonjakan impor khusus untuk kelompok pos tarif No.72 mengindikasikan adanya gairah pasar baja di dalam negeri seiring dengan melemahnya dampak resesi global yang memacu daya beli. Sebagian dari produk baja impor yang berada dalam pos tarif tersebut merupakan bahan baku untuk industri hilir baja.

Kedua, sebagai imbas dari implementasi liberalisasi pasar Asean – China (ACFTA). Di sektor baja, perjanjian ACFTA telah membebaskan bea masuk (BM) sebanyak 144 pos tarif baja. Dengan adanya penghapusan BM, impor baja asal China menjadi sangat dominan. Apalagi, dalam pos tarif besi baja yang masuk dalam kelompok 72 ini juga terdapat sejumlah produk baja setengah jadi seperti HRC (HS No.7208) dan CRC (HS No.7208 – 7212).

Berdasarkan data IISIA, di Indonesia sekitar 70% atau sebanyak 218 perusahaan menggeluti usaha di subsektor baja hilir (finished product) di antaranya berbasis heavy profile, rel kereta api, pipa seamless, PC-wire, dan wire rope, kawat dan paku, baja profil, galvanized iron sheet (baja lapis seng/BjLS), pelat, hingga baja lembaran tahan karat (stainless steel sheet).

Kemenperin tengah mempersiapkan hambatan nontarif industri baja untuk menghindari baja impor terutama dari China yang mutunya di bawah standar. Dalam hal ini Kemenperin melakukan dua pendekatan, yaitu pendekatan dengan membuat standar regulasi dari bawah, dan membuat standar dengan regulasi teknis. Regulasi teknis bisa sebagian berupa Standar Nasional Indonesia (SNI) dan tidak SNI.

Dengan metode standar teknis, yang akan dinilai adalah mesin untuk pembuatan produknya, bukan produk hasil jadinya. Cara ini cukup efektif untuk menghambat barang dari luar masuk ke Indonesia. Selain SNI dan standar teknis yang dibuat, baja sudah memiliki instrumen lain yang menjaga peredaran dan distribusi baja, yaitu tata niaga baja yang mengatur mengenai fisik seperti pasar, gudang, dan transportasinya.

Kemenperin juga mengusulkan kepada Komite Antidumping Indonesia (Kadi) untuk menerapkan antidumping produk baja. Produk baja yang diusulkan ke Kadi untuk dikenakan antidumping di antaranya adalah, I section dan H section (sejenis baja) dari China, alumunium meal dish dari Malaysia, dan plat baja panas atau hot rolled plate (HRP) dari China, Taiwan, dan Malaysia.

Usulan pengajuan antidumping produk ini dikarenakan harga jual produk tersebut jauh lebih rendah di Indonesia ketimbang di negaranya masing-masing. Selain mengajukan petisi antidumping untuk beberapa produk baja tersebut, pemerintah juga sedang menyiapkan penerapan safeguard untuk kawat bendrat, kawat seng, dan wire rope.

Harga baja diproyeksikan akan terus mengalami kenaikan hingga akhir tahun 2010 ini. Pada kuartal III/2010, harga HRC akan berada di kisaran Rp9.200/ton, dan CRC akan berada di kisaran Rp9.650 per ton. Harga tersebut akan mulai berlaku sejak Mei 2010, dan akan dievaluasi setiap tiga bulan sekali. Harga baja akan terus naik karena harga bijih besi di dunia mengalami kenaikan hingga 103%.

Berdasarkan data PT Krakatau Steel, harga bahan baku baja seperti bijih besi, naik dari USD96,99/dmtu (dry metric ton unit) pada tahun 2009 menjadi USD196,77/dmtu pada kuartal I/2010 dan naik menjadi USD200/dmtu pada kuartal II/2010. Sementara harga scrap juga mengalami kenaikan dari tahun 2009 sebesar USD243/ton menjadi USD458/ton pada kuartal II/2010, dan USD500/ton pada kuartal III/2010. Hal sama juga terjadi pada slab dari USD340/ton pada tahun 2009 menjadi USD735/ton pada kuartal I/2010, dan USD750/ton pada kuartal II/2010.

Industri baja dalam negeri memang masih menjanjikan prospek yang cukup baik. Beberapa perusahaan baja asing bersiap-siap melakukan investasi di Indonesia. Produsen baja terbesar di dunia ArcelorMittal berencana mendirikan pabrik baja di Indonesia. Mittal akan mendirikan pabrik baja di Serang, Banten dengan kapasitas 2,5 juta ton/tahun. Nilai investasi yang akan digelontorkan untuk proyek ini sekitar USD5 miliar.

Dalam investasi ini, Mittal akan menggandeng perusahaan milik pemerintah daerah Banten yaitu Banten Global Development (BGD) sebagai mitranya. Dalam perusahaan patungan antara Mittal dan BDG ini, nantinya Mittal akan menguasai saham sekitar 80% - 90%. Sedangkan BDG memiliki porsi saham sekitar 10% - 20%. Rencananya, pembangunan pabrik baja Mittal akan dimulai paling lambat akhir tahun 2011. Pembangunan pabrik tersebut memerlukan waktu dua tahun sehingga baru mulai beroperasi tahun 2013.

Sementara itu, perusahaan baja terbesar di China PT Wuhan Iron Stell Corporation, berencana membangun pabrik baja di Kotabaru, Kalsel. Dipilihnya Kotabaru karena kabupaten ini dinilai memiliki banyak kelebihan dibanding daerah lain, antara lain memiliki sumber daya alam melimpah terutama bahan baku yang diperlukan untuk memproduksi baja, kondisi laut cukup dalam, dan kelancaran transportasi. Kotabaru terdiri atas 110 pulau-pulau besar dan kecil itu memiliki banyak potensi sumber daya alam dengan deposit batu bara mencapai 2.820,5 juta ton, nikel 42.534 juta ton, migas terindikasi sebesar 179,89 juta barel, emas 8,785 juta gram, biji besi 86 juta ton, batu gamping 300 juta ton, dan marmer 24 juta ton.

Rencananya pabrik yang akan dibangun akan memiliki kapasitas 5 juta metrik ton/tahun. Yang jelas, keberadaan PT Wuhan Iron Stell ini diperkirakan tidak akan mengganggu pasar baja nasional dan menjadi pesaing perusahaan baja lokal. Pasalnya, perusahaan ini akan menyediakan produk-produk yang hingga kini masih diimpor oleh Indonesia dari Australia, China, dan negara lain. Produk utama PT Wuhan Iron Stell Corporation antara lain berupa plat untuk bahan otomotif dan kapal, plat kontruksi dan plat untuk berbagai kepentingan industri yang lain. (AI)