Senin, Februari 22, 2010

Baja

Menghadapi pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China lewat ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), ternyata industri baja dalam negeri belum sanggup menyaingi baja dari China. Pasalnya, industri baja di China sudah memiliki kapasitas produksi yang tinggi dibandingkan industri baja dalam negeri. Dengan berlakunya ACFTA, tarif bea masuk (BM) baja di Indonesia akan turun dari 5%-12,5% yang berlaku sekarang menjadi 0% sampai sekitar 5%.

Untuk menghadapi persoalan perdagangan bebas ACFTA di industri baja, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki sejumlah rekomendasi. Pertama, perlu adanya penerapan SNI secara konsisten; sehingga produk baja berasal dari China maupun negara-negara ASEAN lain harus mengantongi SNI untuk dapat masuk ke pasar Indonesia. Data Kementrian BUMN menunjukkan 95% produk baja impor yang masuk ke Indonesia belum memiliki SNI wajib.

Kedua, Kementerian BUMN mengharapkan adanya koordinasi yang baik antar-kementerian dan instansi yang terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementrian BUMN. Ketiga, adanya dukungan pembiayaan ekspor dari lembaga keuangan maupun perbankan dalam negeri seperti Lembaga Penjamin Ekspor Indonesia maupun bank BUMN lainnya. Pasalnya, sekitar 70% industri baja nasional default di perbankan nasional maupun asing.

Menurut Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), terdapat kekuatan dan kelemahan dalam industri baja saat ini. Kekuatannya yaitu adanya pemulihan atas krisis ekonomi global, kondisi sosial ekonomi yang relatif stabil, meningkatnya pelaksanaan good corporate governance, reformasi peraturan dan perundang-undangan yang berpihak pada dunia bisnis, new investment law, UU Minerba, dan penerapan SNI. Di sisi lain, masih banyak kelemahan yang melebihi kekuatannya, seperti ketergantungan terhadap impor bahan baku utama, keterbatasan pasokan listrik dan natural gas, tingginya produk baja impor ilegal.

Berdasarkan perkiraan para pelaku usaha baja, tampaknya konsumsi baja nasional tahun 2010 ini akan turun cukup besar. IISIA menduga konsumsi baja tahun 2010 akan anjlok 35% dibanding tahun 2009, yakni dari 9 juta ton menjadi 5,85 juta ton. Penyebab penurunan konsumsi tak lain karena dampak krisis ekonomi global. Berbagai sektor penyerap baja seperti proyek infrastruktur, galangan kapal, dan kendaraan bermotor mengurangi pembelian baja. Pasalnya, permintaan terhadap produk mereka juga menurun. Penurunan konsumsi menyebabkan utilisasi kapasitas produksi pabrik baja di dalam negeri sepanjang tahun 2009 hanya sekitar 65% atau 4 juta - 5 juta ton. Dari konsumsi baja nasional yang mencapai 5,85 juta ton itu, baja lokal hanya memasok 4 juta ton. Sisanya, sebanyak 1,9 juta ton dipasok oleh produk impor.

Untuk 10 tahun ke depan atau tahun 2020, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 21 juta ton dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% per tahun sehingga konsumsi per kapita menjadi 80 kg. Sementara itu kebutuhan baja tahun 2015 diproyeksikan mencapai 14 juta ton. Berdasarkan data tersebut, proyeksi ini juga dengan mempertimbangkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan naik secara cukup signifikan menjadi USD1.050 per kapita pada tahun 2020 dari USD650 per kapita pada tahun 2009.

Saat ini industri baja nasional mendesak pemerintah menegosiasikan kembali 535 pos tarif besi baja dalam ACFTA dengan memundurkan jadwal penurunan BM mulai tahun 2018. Percepatan renegosiasi pos tarif adalah salah satu upaya eksternal perusahaan baja dalam negeri dalam menghadapi ACFTA. Upaya-upaya lainnya adalah melakukan tindakan perdagangan antidumping, safeguard, dan antisubsisi secara agresif, termasuk aktif dalam penyusunann RUU Perdagangan yang melindungi produksi dalam negeri, dan melakukan aliansi strategis dengan perusahaan dalam negeri dan luar negeri.

Sementara dari sisi internal adalah efisiensi di semua lini, meningkatkan hubungan dengan pelanggan, program cash and carry, penjualan langsung dan penjualan ke proyek-proyek serta memperbaiki masa waktu penyerahan produk kepada konsumen dengan membangun stok penyangga. Ada empat poin pokok yang dihadapi industri baja nasional, yaitu ketergantungan pada impor bahan baku (scrap dan bijih besi), ketersediaan modal, energi berupa gas alam dan listrik, dan struktur industri hilir yang belum lengkap.

Produsen baja nasional dapat bernapas lega. Pasalnya pelan tapi pasti harga baja di pasar dunia terus merangkak naik. Para produsen baja nasional yang tergabung dalam IISIA memperkirakan, harga baja akan tumbuh 30%-40% hingga akhir April 2010 dari harga tahun 2009. Membaiknya harga baja dunia karena beberapa sebab, mulai dari antisipasi industri akan terjadinya kenaikan harga bahan baku. Industri-industri kembali berbondong-bondong membuka pesanan baja untuk memenuhi kebutuhannya.

Faktor lainnya adalah dampak pemulihan ekonomi secara global, terutama kondisi perekonomian di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Geliat industri di negara-negara maju kembali bangkit dari keterpurukan dampak krisis ekonomi global. Perkiraan membaiknya harga baja tersebut tak hanya untuk produk bahan baku semata, namun juga termasuk harga jadi produk baja. Harga bahan baku baja seperti iron ore yang diperkirakan naik pada tahun 2010. Kemudian scrap harganya juga akan naik, akibat dari kenaikan semi finishing product dan raw material baja.

Sementara itu, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mulai menyelidiki lonjakan impor produk tali kawat baja yang diduga menyebabkan kerugian serius bagi industri serupa di dalam negeri. Pihak KPPI telah meneliti dan menemukan bukti awal hubungan kausal antara kenaikan volume impor produk tali kawat baja dengan kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri. Penyelidikan dilakukan berkenaan dengan permohonan dari PT Wonosari Jaya atas nama industri dalam negeri Kawat Baja Indonesia.

Selama ini, impor kawat baja sebagian besar didatangkan dari China (90,67%), Singapura, Jerman, Jepang, Belgia, AS, Australia.KPPI mencatat, tren importasi produk tali kawat baja periode 2006 sampai 2008 mengalami lonjakan yang signifikan, yaitu sebesar 162,93%. Berdasarkan data KPPI, volume impor produk tali kawat baja pada tahun 2006 sebesar 1.118.488 ton, pada tahun 2007 importasinya melonjak menjadi 2.152.678 ton, dan semakin banyak pada tahun 2008 mencapai 7.732.181 ton. (AI)


Jumat, Februari 12, 2010

Sektor manufaktur ditargetkan tumbuh 4,6%

Pengusaha lebih tertarik untuk masuk ke dalam sektor sumber daya alam (natural resources) dibandingkan masuk ke dalam industri manufaktur. Akibatnya, pasar lokal diisi produk manaufaktur asal China. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), industri manufaktur sulit untuk menghadapi produk sejenis asal China karena sangat murah. Pasalnya, industri manufaktur China didorong pemerintah melalui suku bunga bank yang rendah. Apindo menengarai selain suku bunga, industri manufaktur Indonesia juga terkendala oleh infrastruktur, termasuk listrik dan logistik juga menyebabkan produk lokal menjadi tidak bersaing.

Pertumbuhan kredit ke industri manufaktur hingga akhir tahun 2009 mengalami penurunan. Sementara kredit untuk sektor lainnya tetap tumbuh positif. Berdasarkan data Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia, hingga akhir Desember 2009, total outstanding kredit sektor manufaktur tercatat Rp246,19 triliun. Jumlah ini turun sebesar 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2008 yang sebesar Rp269,58 triliun. Penurunan kredit terbesar di sektor industri manufaktur terjadi pada bank asing dan campuran. Per Desember 2009, total kredit untuk sektor manufaktur di perbankan asing mencapai Rp59,31 triliun, turun 20,3% dibandingkan tahun 2008.

Bank BUMN dan bank swasta sama-sama mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,4%. Hingga akhir tahun 2009, pengucuran kredit bank pelat merah untuk manufaktur mencapai Rp533,9 triliun sementara bank swasta mencapai Rp92,74 triliun. Sementara kredit BPR untuk sektor tersebut tercatat sebesar Rp505 miliar, naik 18,5% dibanding tahun sebelumnya. Sejak tahun 2002, total kredit ke sektor manufaktur terus mengalami penurunan. Jika pada tahun 2002 kredit ke sektor ini mencapai 37,6% dari total kredit perbankan, maka pada akhir tahun 2009 angka itu terus menyusut hingga tinggal 17,2%.

Industri manufaktur tahun 2010 ini ditargetkan tumbuh 4,6% atau lebih tinggi dari tahun 2009 yang diperkirakan tumbuh 1,84%, setelah seluruh subsektor industri mulai tumbuh positif. Pertumbuhan terbesar subsektor industri masih disumbang oleh industri makanan, minuman dan tembakau yang dipoyeksikan tumbuh 6,64%. Angka itu lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2009 yang mencapai 13,31%.

Subsektor lainnya adalah industri barang lain yang diharapkan menyumbang 5,25%, serta industri pupuk, kimia dan barang karet sebesar 5%. Sedangkan industri kertas dan barang cetakan menyumbang 4,2%. Alat angkut, mesin dan peralatannya diproyeksikan tumbuh 4%, lalu semen dan barang galian bukan logam 3,25%, logam dasar, besi dan baja sebesar 2,75%. Untuk tekstil, barang kulit dan alas kaki diperkirakan tumbuh 2,15%, kemudian industri barang kayu dan hasil hutan 1,75%. Jika dibandingkan tahun 2009, proyeksi itu sebagian besar membaik, misalnya untuk tekstil, barang kulit dan alas kaki (0,76%), barang kayu dan hasil hutan (1,98%), semen dan barang galian bukan logam (2,88%), serta logam dasar besi dan baja (7,19%).

Untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif fiskal selama tahun 2010. Insentif tersebut meliputi insentif perpajakan, insentif bidang energi, bidang infrastruktur, sektor industri dan perdagangan, dan sektor lainnya yang diberikan terkait daerah. Insentif perpajakan antara lain diberikan dengan adanya penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 3%, dari 28% menjadi 25%. Di samping itu, juga akan diberikan penurunan tarif PPh bagi perusahaan yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh publik atau tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Insentif lainnya berupa penghapusan PPnBM untuk mendorong berkembangnya industri manufaktur, dan fasilitas PPh untuk sektor industri tertentu di daerah tertentu.

Insentif sektor industri dan perdagangan lainnya meliputi pemberlakuan National Single Window atau NSW termasuk pelayanan kepabeanan dan pelabuhan 24 jam 7 hari, BMDTP untuk industri tertentu, BM 0% untuk barang modal, dana revitalisasi perkebunan dan industri gula. Termasuk, dimasukkannya produk pertanian primer sebagai non-barang kena pajak.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian, para pemangku kepentingan (stakeholders), dan Bank Dunia akhirnya telah memutuskan 35 klaster industri berbasis daya saing dan potensi pengembangan industri ke depan. Pemilihan ke-32 klaster tersebut telah melalui serangkaian studi berbasis daya saing dan potensi pengembangan industri ke depan. Parameter untuk penentuan klaster cukup banyak. Yang mencakup kekuatan supply sebagai modal dasar ada 15 parameter, sedangkan demand ada delapan parameter. Dua hal itu menentukan kekuatan daya saing dan potensi industri pada masa depan untuk dikembangkan.

Ke-35 klaster itu terdiri dari tujuh kelompok utama yakni basis industri manufaktur yang terdiri dari delapan klaster industri, kelompok industri agro (12 klaster), industri alat angkut (4 klaster), industri elektronika dan telematika (6 klaster), kelompok industri kreatif (3 klaster), dan IKM (5 klaster). Dari ke-35 klaster tersebut, Kemenperin menetapkan 10 klaster industri prioritas yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan manufaktur nasional. Sepuluh klaster itu antara lain klaster industri CPO dan turunannya di Dumai, klaster tekstil di Jawa Barat, klaster industri petrokimia berbasis minyak dan gas di Tuban.

Kemenperin juga berkomitmen mempercepat pemberlakuan regulasi wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk 43 produk manufaktur selambat-lambatnya pada akhir semester I/2010. Perpercepatan pemberlakuan SNI ini wajib untuk semua produk manufaktur yang terancam terkena dampak serbuan produk China. Beberapa SNI wajib tersebut ditetapkan untuk produk baja canai dingin (cold rolled coils/CRC), baja profil, kaca lembaran, seterika listrik, pompa air listrik, audio video Selain itu terdapat produk motor bakar, korek api gas, kabel listrik, baja lembaran tipis lapis timah, pelek kendaraan bermotor, sepeda roda dua, tangki air, dan meteran air.

Saat ini, pemberlakuan SNI wajib untuk produk manufaktur masih minim. Dari sekitar 400 produk manufaktur, hanya 43 SNI yang diterapkan pemerintah. Penerapan SNI wajib untuk seluruh produk manufaktur merupakan salah satu solusi guna melindungi industri nasional. Sejumlah pelaku industri sejak tiga tahun terakhir sudah mengusulkan hal itu. Penerapan regulasi wajib SNI mampu melindungi konsumen serta menciptakan persaingan yang sehat. Di sisi lain, instrumen itu diyakini mampu mempertahankan daya saing industri dalam negeri. (AI)


Senin, Februari 08, 2010

Gula

Indonesia diperkirakan baru akan swasembada gula pada tahun 2014. Saat itu seluruh kebutuhan nasional gula, baik gula konsumsi dan industri bisa dipenuhi oleh produksi dari dalam negeri. Berdasarkan data Kementerian Perindustrian, pada tahun 2009 kebutuhan gula kristal rafinasi mencapai 2,15 juta ton, sedangkan pada tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 2,74 juta ton, atau tumbuh 5% setahun. Produksi gula kristal rafinasi mencapai 1,9 juta ton pada tahun 2009 dan diperkirakan pada tahun 2014 akan mencapai 2,74 juta ton yang sama artinya dengan swasembada gula.

Untuk mendukung pengembangan pabrik gula, pemerintah akan mewajibkan investor menggunakan mesin-mesin produksi dalam negeri. Hal itu dimungkinkan karena industri permesinan dalam negeri akan direvitalisasi dan siap mendukung pengadaan mesin dan peralatan pabrik gula tersebut. Saat ini industri dalam negeri telah mampu membuatnya dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) sebesar 75%, termasuk rancang bangun dan perekayasaannya.

Pemerintah telah mengantongi 32 calon investor yang bersedia membuka perkebunan tebu sekaligus membangun pabrik gula baru. Bila tak ada kendala, pembangunan pabrik tebu bakal membutuhkan waktu selama dua tahun dengan total kebutuhan investasi Rp24,3 triliun. Pemerintah akan menyeleksi keseriusan dan kemampuan para calon investor. Pasalnya, target swasembada gula harus selesai pada tahun 2014, jadi harus dimulai tahun 2010 ini.

Revitalisasi pabrik gula akan meliputi perluasan perkebunan tebu dan pabrik gula baru yang tersebar di beberapa wilayah. Wilayah tersebut antara lain Riau, Jambi, Sumsel, Lampung, Jateng, Jabar, Jatim, NTB, NTT, Kalbar, Sulsel, Sultra, dan Papua. Lahan yang diperlukan 500 ribu ha, yang penyediaannya akan dikoordinasikan bersama Kementerian Pertanian dan Kementerian Kehutanan.

Menurut Kementerian Kehutanan, pihaknya memastikan akan menyediakan lahan yang dibutuhkan untuk pengembangan perkebunan tebu antara 400.000 ha hingga 500.000 ha. Lahan tersebut diperkirakan akan diambil dari lahan-lahan terlantar, termasuk pada lahan terlantar yang masuk dalam kawasan hutan nonkonversi atau hutan lindung.

Pembangunan pabrik gula tersebut akan diarahkan memproduksi raw sugar (gula kasar) untuk memenuhi kebutuhan industri gula rafinasi dalam negeri. Dengan demikian secara bertahap ketergantungan impor raw sugar yang selama ini terjadi dapat digantikan dengan pasokan dari produksi dalam negeri. Saat ini sekitar 95% raw sugar merupakan produk impor. Tahun 2009 lalu, kebutuhan gula kristal rafinasi mencapai 2,15 juta ton dan hanya dipenuhi produksi nasional sebesar 1,9 juta ton yang dihasilkan 51 pabrik gula saat ini.

Secara total, produksi tahun 2009 masih berkisar 2,6 juta ton dengan kebutuhan nasional yang sebanyak 4,85 juta ton. Karena itu, nilai dan volume impor gula masih cukup tinggi dan menempatkan Indonesia sebagai importir gula terbesar ketiga di dunia setelah Rusia dan India. Penambahan 500 ribu ha lahan tersebut setara dengan penambahan kapasitas giling pabrik gula sebanyak 163 ribu ton cane per day (TCD). Produksi tersebut sebanding dengan pembangunan 11 buah pabrik gula baru masing-masing berkapasitas 15 ribu TCD atau 16 pabrik gula berkapasitas 10 ribu TCD, atau 20 pabrik gula dengan kapasitas 8 ribu TCD.

Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesiea (Gapmmi) menyatakan mendukung sepenuhnya program pembangunan pabrik gula baru. Dengan pembangunan pabrik gula tersebut, Gapmmi menargetkan industri makanan dan minuman akan tumbuh positif dan menjadi Rp600 triliun pada tahun 2010, dari sebelumnya sebesar Rp530 triliun pada tahun 2009. Hal ini penting, mengingat gula memiliki cakupan yang luas. Dari industri susu, permen, makanan ringan, untuk pengeras, pengawet, dan masih banyak lagi.

Sumut baru akan menerima gula impor mulai Februari 2010 ini. Sumut mendapat alokasi gula impor sebanyak 30.000 ton, baik yang dipasok oleh Bulog maupun perusahaan pemasok. Jumlah sebesar itu bisa untuk satu bulan lebih mengingat kebutuhan Sumut berkisar 23.000 ton/bulan. Meski gula impor belum masuk tetapi harga jual gula di pasar sudah mulai turun. Sementara itu, pedagang gula di Sumut belum melakukan permintaan antarpulau karena masih wait and see menunggau masuknya gula impor. Pedagang khawatir rugi kalau gula dari Lampung dan Jatim didatangkan, lalu tiba-tiba ada masuk gula impor dengan harga lebih murah.

Dari Bali dikabarkan, dari stok 5.000 ton kebutuhan gula pasir dalam sebulan, kini yang tersedia hanya tinggal 290 ton. Pasokan gula pasir dari PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI terhenti akibat kekurangan bahan baku. Padahal, Bali selama ini sangat tergantung dengan pasokan gula dari Jatim. Setiap bulan Bali mendatangkan 8-10 ton gula dari Jatim. Akibatnya, harga gula naik dari harga sebelumnya Rp9.000/kg menjadi Rp11.000/kg.

Selain terhentinya pasokan dari PTPN XI, kondisi ini diperparah dengan adanya imbauan dari Pemerintah Provinsi Jatim untuk tidak menjual gula pasir keluar Jatim. Bahkan, di Pelabuhan Ketapang, Jatim, ditempatkan petugas pengawas gula. Setiap kendaraan pengangkut gula disuruh kembali sebelum menyeberang ke Pelabuhan Gilimanuk, Bali.

Di Palembang, sebanyak 4.450 ton gula pasir impor dalam waktu dekat akan diedarkan di sejumlah pasar tradisional di Sumsel. Masuknya gula impor ini karena produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat di provinsi tersebut. Akibat tidak tercukupinya kebutuhan masyarakat, harga gula pasir pada minggu terakhir Januari 2010 terus naik sehingga perlu mendatangkan gula dari luar negeri. Masuknya gula impor tersebut merupakan upaya pemerintah daerah menstabilkan harga di pasaran yang terus bergerak naik. Di samping mendatangkan gula impor, pemprov juga melakukan operasi pasar bekerja sama PTPN VII dengan harga setelah disubsidi pemerintah hanya Rp8.500/kg.

Saat ini harga gula pasir yang diperdagangkan di sejumlah pasar tradisional Palembang terus bergerak naik dari semula kisaran Rp7.800/kg hingga mencapai tertinggi Rp11.000/kg. Dengan masuknya gula impor tersebut diharapkan harga di pasaran berangsur turun, karena kalau tidak dipasok dari luar produksi pabrik Cinta Manis di Kabupaten Ogan Ilir belum mampu mencukupi kebutuhan gula rakyat sumsel yang rata-rata mencapai 0,99 kg/jiwa/bulan. Dengan penduduk sekitar 7,4 juta jiwa, Sumsel membutuhkan gula pasir sedikitnya 73 ribu ton/bulan. (AI)

Jumat, Februari 05, 2010

Semangat Baru BKPPM

Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal Gita Wirjawan optimistis nilai investasi di Indonesia meningkat 10 hingga 15% tahun 2010 ini. Dengan perkiraan kenaikan 10-15%, investasi tahun 2010 akan bertambah Rp13-17 triliun. Keyakinan tersebut muncul salah satunya karena pemberlakuan Pelayanan Terpadu Satu Pintu dengan menyederhanakan proses penanaman modal melalui jaringan internet untuk masing-masing wilayah. Saat ini, elektronisasi proses investasi sudah dilaksanakan di Jakarta dan Batam. Rencananya tahun ini juga diharapkan bisa dilakukan di seluruh Tanah Air.

Tahun 2009 lalu, investasi di Indonesia mencapai Rp135 triliun, terdiri atas Rp100 triliun modal asing, dan Rp35 triliun modal dalam negeri. Jumlah ini lebih rendah dibanding realisasi investasi tahun 2008 sebesar Rp154,19 triliun. Penurunan realisasi dipicu dampak krisis global yang mempengaruhi minat investasi di dalam negeri. Sepanjang tahun 2009, investor domestik berminat di sektor telekomunikasi, transportasi, industri kimia dan farmasi, pertambangan, makanan, proyek listrik, gas, dan konstruksi. Sementara minat investasi PMA didominasi jasa pengangkutan, gudang, komunikasi, industri kimia dan farmasi, dan manufaktur, industri logam dan elektronika.

Realisasi PMA berdasarkan negara investor selama tahun 2009 adalah negara-negara ASEAN yang mencapai 50% dari total investasi PMA yang berminat di sektor infrastruktur, transportasi, agribisnis, dan manufaktur. Investor lainnya adalah dari Jepang, Korea, Taiwan yang mencapai 20%, dan selebihnya investor asal India, dan sejumlah negara Timur Tengah dan Eropa seperti Inggris, dan Belanda.

BKPM juga mencatat daerah yang paling favorit untuk tujuan investasi adalah DKI Jakarta, Jawa Barat, dan hanya sedikit di luar pulau Jawa. Para investor umumnya terkonsentrasi di Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa karena kaya sumber daya alam dan ketersediaan sarana dan prasana. Untuk itu, BKPM akan melakukan identifikasi terhadap 17 daerah guna memetakan wilayah-wilayah investasi agar bisa dipromosikan, dan selanjutnya diperoleh tujuh provinsi unggulan.

Salah satu langkah konkrit yang diterapkan BKPM untuk meningkatkan investasi adalah penerapan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) pada Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP). SPIPISE dan PTSP yang baru diaplikasikan di Batam ini adalah sistem pelayanan perizinan dan nonperizinan yang terintegrasi secara nasional antara BKPM sebagai pusat database dan sistemnya dengan berbagai kementerian/ lembaga pemerintahan dalam negeri yang memiliki kewenangan perizinan. Layanan terpadu satu pintu ini untuk mempercepat layanan perizinan dari 70 hari menjadi 40 hari, bahkan 17 hari seperti yang ditargetkan Menteri Dalam Negeri.

Setelah Batam, SPIPISE juga akan diimplementasikan DKI Jakarta sebagai barometer ease of doing business di Indonesia, kemudian menyusul Bandung, Denpasar, Yogyakarta, Surabaya, Semarang, Surakarta, Balikpapan, Banda Aceh, Makassar, Manado, Palangka Raya, Palembang, dan Pekanbaru.

BKPM juga menjanjikan revisi Peraturan Presiden tentang Daftar Negatif Investasi (DNI) akan tuntas paling lambat Maret 2010. Dalam waktu dekat akan disikapi secara tegas untuk sejumlah sektor yang selama ini belum menemukan kesepahaman, antara lain kesehatan, pendidikan, industri kreatif, jasa kurir, menara telekomunikasi, dan pertanian.

Saat ini BKPM masih melakukan sinkronisasi aturan investasi asing dengan aturan sektoral sehingga tidak terjadi kesalahpahaman. Di bidang kesehatan misalnya, pemerintah akan membuka pintu bagi masuknya rumah sakit asing untuk berkompetisi dengan rumah sakit nasional. Jika dulu rumah sakit asing hanya boleh dibuka di Medan dan Surabaya, nantinya boleh dibuka di seluruh Indonesia. Dengan dibukanya rumah sakit asing di Indonesia, diharapkan devisa yang keluar akibat adanya warga negara Indonesia (WNI) yang berobat ke luar negeri akan berkurang dan kemudian memilih berobat di dalam negeri. Namun, pemerintah hanya mengizinkan batas kepemilikan asing sebesar 67%, baik di rumah sakit maupun untuk fasilitas pendukung lain.

Sementara itu, untuk sektor industri kreatif terutama film, pemerintah masih belum memperbolehkan kepemilikan dominan asing sehingga kepemilikan sahamnya akan dibatasi sebesar 49%. Pada sektor jasa logistik misalnya, sebelumnya dalam DNI diberlakukan investasi asing boleh memiliki saham hingga 49%, namun selanjutnya ditetapkan hanya 35%. Dalam hal ini, perizinan perusahaan asing yang keluar sebelum ketentuan DNI berlaku, masih diperbolehkan memiliki saham lebih besar.

BKPM menilai, pelaksanaan perdagangan bebas menjadi momentum untuk menggenjot investasi agar dapat mengambil alih dominasi peran konsumsi dalam perekonomian Indonesia. Dalam era perdagangan bebas, konsumsi masyarakat yang selama ini menjadi penggerak utama perekonomian harus diambil alih oleh investasi. Guna mengembangkan iklim investasi di Tanah Air, BKPM menyiapkan empat fase yang harus dilakukan. Pertama, menjadikan buah-buahan yang mudah ditanam dan dipetik (low hanging fruit) sebagai komoditas primer jangka pendek. Kedua, reinvestasi dana di fase pertama untuk infrastruktur lunak. Ketiga, industrialisasi skala besar, melalui investasi yang cukup untuk pendidikan, infrastruktur, atau fasilitas fiskal dan nonfiskal. Keempat, menjadikan investasi di Indonesia sebagai bagian dari pengetahuan ekonomi (knowledge economy).

BKPM juga optimistis dalam 18 sampai 28 bulan lagi Indonesia bisa masuk dalam kategori negara dengan peringkat investasi (investment grade). Optimisme tersebut muncul setelah pada akhir Januari 2010, Fitch Ratings - lembaga pemeringkat internasional - menaikkan peringkat utang jangka panjang Indonesia dalam valuta asing dan lokal, masing-masing menjadi BB+ dari posisi sebelumnya BB. Fitch Ratings memberi outlook stabil atas peringkat baru tersebut. Perbaikan juga terjadi untuk country ceiling (batas atas) peringkat menjadi BBB- dari posisi BB+.

Bila Indonesia naik peringkat menjadi investment grade, arus modal asing akan masuk ke Indonesia secara besar-besaran. Pasalnya, kecenderungan para fund manager di seluruh dunia hanya akan menginvestasikan uangnya di negara-negara yang sudah masuk kategori investment grade. Berdasarkan aturan, para fund manager dilarang menaruh uangnya di negara yang peringkatnya di bawah investment grade. (AI)