Jumat, Januari 23, 2009

Kinerja penjualan alat berat

Pasar alat berat nasional pada tahun 2009 diperkirakan turun 40%, seiring dengan pelemahan permintaan akibat krisis likuiditas dan kenaikan suku bunga kredit. Menurut Direktur Utama PT United Tractors Tbk Djoko Pranoto, krisis likuiditas akan membuat permintaan alat berat turun dari 10.000 unit pada tahun 2008 menjadi hanya 6.000 unit pada 2009. Kendati kondisi pasar diperkirakan melemah, distributor alat berat merek Komatsu ini berupaya menaikkan pangsa dari target tahun 2008 yang ditetapkan sebesar 45% dari total pasar nasional.

Hingga September 2008, total penjualan alat berat Komatsu mencapai 3.823 unit atau naik 46% dibandingkan dengan periode sama tahun 2007 yang mencapai 2.621 unit. Dengan pencapaian itu, perseroan memperkirakan penjualan alat berat Komatsu sampai akhir tahun 2008 akan membukukan angka 4.500 unit. Namun, untuk tahun 2009 diprediksi hanya dapat menjual sekitar 2.700 unit. Pada tahun 2009 perseroan akan mengandalkan sektor pertambangan, konstruksi, dan infrastruktur dalam memasarkan unit Komatsu, mengingat permintaan dari sektor perkebunan sedang melemah akibat koreksi harga komoditas primer.

Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) Pratjojo Dewo mengatakan, seiring dengan prediksi kemerosotan pasar hingga 40%, industri alat berat akan mengantisipasinya dengan memangkas produksi dan mengurangi jam kerja. Pelemahan pasar alat berat diperkirakan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2009. Produsen mulai mengantasipasi kondisi ini dengan menurunkan produksi dan mengurangi waktu kerja. Sampai akhir tahun 2008 ini, produksi alat berat nasional diperkirakan sebanyak 5.500 unit atau lebih rendah dari target semula 6.500 unit.

Turunnya harga komoditas pertambangan dan perkebunan berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan alat-alat berat alias leasing. Tetapi ternyata, banyak faktor yang menyebabkan penurunan tersebut. Data statistik pembiayaan leasing alat-alat berat Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya penurunan. Posisi outstanding kredit leasing per Juni 2008 sebesar Rp40,38 triliun. Kemudian pada akhir Juli 2008, terjadi penurunan sekitar Rp1,48 triliun menjadi Rp38,9 triliun.

Menurut Dirut PT Buana Finance Eko Santoso Budianto, penurunan terjadi karena bunga leasing dari perusahaan multifinance mengalami kenaikan. Jika sebelum Juni 2008 suku bunga leasing masih bertahan di 17%, maka pada September 2008 mulai naik ke 19%-19,5%. Akibatnya, perusahaan eksplorasi pertambangan dan perkebunan mencari sumber pendanaan lain untuk kegiatan modal kerja dan investasinya, termasuk perbankan.

Sementara itu Presdir PT Surya Artha Nusantara Finance (SAN Finance) Susilo Sudjono menilai penurunan harga komoditas saat ini belum berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan leasing. Hal ini terjadi karena pengusaha pertambangan dan perkebunan sudah meneken komitmen perdagangan dengan harga kontrak. Jadi meski harga komoditas turun, tidak berpengaruh dengan penyaluran leasing. Namun, jika memang harga komoditas terus turun, pengaruh tersebut baru akan terasa pada akhir tahun.

Sekjen Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Dennis Firmansjah juga menampik harga komoditas ikut mempengaruhi pertumbuhan pengucuran kredit untuk leasing. Pertimbangannya, barang tambang adalah sumber daya yang sangat diperlukan, sehingga eksplorasi tidak akan berhenti. Dampak dari penurunan harga komoditas hanya akan berdampak kepada semakin tipisnya margin keuntungan. Oleh karena itu, pertumbuhan kredit leasing tahun ini diperkirakan masih bisa mencapai minimal 10% sampai 15% dari outstanding tahun 2007 yang mencapai Rp 36,5 triliun.

Melihat kondisi perekonomian saat ini, pemerintah diminta memberikan insentif dalam bentuk penundaan pungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) atas alat berat, sehingga pertumbuhan sektor riil industri dan pertambangan bisa berjalan. Pasalnya, sekitar 70–80% sektor riil industri, pertambangan, dan perkebunan digerakkan oleh jasa alat berat. Penundaan pungutan tersebut akan sangat membantu pertumbuhan pabrikasi dan investasi alat berat dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Tjahyono Imawan mengungkapkan, sektor jasa alat berat industri dan pertambangan adalah pihak yang tidak secara langsung merasakan dampak dari resesi ekonomi global. Namun, akibat turunnya permintaan luar negeri terhadap komoditas galian dan produk industri dalam negeri, pengusaha pertambangan, industri, dan perkebunan membatasi penyewaan jasa alat berat. Di lain pihak, pengusaha alat berat akan memperketat proyek yang terfokus pada margin penyewaan yang lebih menguntungkan.

Saat ini yang memberatkan pengusaha alat berat adalah pungutan PKB yang mulai ditagih pihak pemda. Penurunan investasi menyebabkan pengadaan alat berat baru akan tertunda. Pengusaha alat berat lebih memilih memperpanjang pemeliharaan (maintenance) alat untuk mempertahankan kualitas dan usia alat berat. Sebelumnya, asosiasi jasa alat berat industri dan pertambangan sepakat membayar pajak dan bea balik nama (PKB/BBNKB) kendaraan bermotor atas alat berat terhitung mulai tahun 2008. Namun, asosiasi masih keberatan dengan pengenaan pajak alat berat sekitar 3,5% yang berlaku surut sejak tahun 2002. Pungutan pajak yang berlaku surut tersebut dikawatirkan menyebabkan krisis finansial, yang berdampak pada berhentinya operasional perusahaan penyedia jasa alat berat tersebut.

Ketua Tim Asosiasi Jasa Alat Berat Industri dan Pertambangan Joseph Susanto mengungkapkan, krisis ekonomi global dan ketatnya likuiditas menyeret investasi jasa alat berat. Pengenaan pajak yang direncanakan berlaku surut itu akan sangat memberatkan finansial perusahaan alat berat. Total investasi alat berat di Indonesia sekitar USD1 miliar. Jika dibebankan sekitar 3,5% untuk pajak dan bea balik nama, setiap tahun pemda bisa mengumpulkan dana sekitar USD300 miliar, karena investasi alat berat setiap perusahaan jasa alat berat bisa mencapai Rp70 juta - Rp1 miliar/alat.

Di sisi lain, Indonesia berpeluang menjadi pusat produksi alat berat dengan merek Jepang pada tahun 2012 dengan produksi sekitar 10 ribu unit/tahun. Menurut staf ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri Achdiat Atmawinata, berdasarkan data Hinabi, sekitar tahun 2011 atau 2012 produksi alat berat bisa mencapai 10 ribu unit, dan Indonesia dijadikan basis produksi industri yang kebanyakan dari Jepang, seperti Komatsu dan Hitachi. Nilai ekspor yang bisa diperoleh sekitar USD2 miliar. (AI)


Senin, Januari 19, 2009

Rumput laut

Provinsi Bali memiliki perairan yang sangat potensial untuk pengembangan rumput laut, namun lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal akibat kendala modal dan pemasaran. Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Ir Gusti Putu Nuriartha, perairan Bali memiliki potensi untuk pengembangan rumput laut seluas 9,6 km2 dengan produksi rumput laut sebesar 152,2 ton/tahun, yang tersebar di sejumlah perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, perairan wilayah Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar.

Rumput laut diharapkan menjadi salah satu dari sepuluh besar produksi komoditi perikanan Bali, di samping udang putih, karper, nila, udang galah, lele gurami, bandeng dan kerapu. Budidaya rumput laut menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan. Sasaran pengentasan kemiskinan bagi nelayan dan pembudi daya rumput laut tahun 2009 sebanyak 3.850 rumah tangga miskin. Rumput laut memiliki banyak keunggulan, antara lain peluang ekspor masih terbuka luas, harga relatif stabil, belum dikenakan kuota oleh berbagai negara, serta teknologi pengolahannya cukup sederhana dan mudah dikuasai.

Sementara itu rumput laut asal Kabupaten Bekasi kurang diminati di pasaran. Penyebabnya, kualitas rumput laut menurun karena dipanen lebih awal. Menurut beberapa petani rumput laut di Kampung Sembilangan, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, jumlah produsen yang memesan rumput laut untuk diolah menjadi bahan kue dan makanan terus menurun. Saat ini, produksi rumput laut di pesisir pantai utara Bekasi itu hanya dijual ke Medan, Sumatra Utara. Padahal, jumlah produksi rumput laut saat ini melimpah. Satu hektar tambak, bisa memproduksi 1,5-2 ton untuk sekali panen yang dilakukan setiap tiga hari. Namun hasil produksi memang di bawah standar ideal. Ukuran panjang rumput laut kurang dari 10 cm, semestinya 10-15 cm.

Pengembangan budi daya rumput laut nasional pada tahun 2009 membutuhkan investasi Rp1,78 triliun untuk menambah areal 25.000 ha, sehingga meningkatkan produksi sebesar 1,9 juta ton. DKP menawarkan 16 daerah, antara lain Lampung, Banten, Jabar, NTB, NTT, Kalsel, Sulsel, Maluku dan Papua, kepada investor asing dan nasional untuk dijadikan sentra budi daya komoditas tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan, rumput laut merupakan sumber pangan dan usaha padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja optimal.

Oleh karena itu, komoditas ini menjadi salah satu produk unggulan yang diprioritaskan pengembangannya pada tahun 2009. Menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) DKP Martani Huseini, pengembangan sentra budi daya rumput laut membutuhkan investasi yang besar. Tahun 2008 ini target pengembangan budi daya rumput laut ditujukan memperluas areal hingga 25.000 ha dengan 10.000 ha di antara untuk lahan budi daya jenis Gracillaria sp. dan 15.000 ha untuk Euchema Sp. Kebutuhan dana untuk pengembangan budi daya itu diperkirakan Rp70,9 juta/ha sehingga total kebutuhan modal usaha mencapai Rp1,78 triliun.

Pemerintah akan membentuk sembilan klaster pengembangan rumput laut di sejumlah daerah pesisir pada tahun 2009 setelah uji coba program tersebut tahun ini dinilai cukup sukses. Persoalan rumput laut selama ini adalah inkonsistensi kualitas, kurang bernilai tambah, harga terlalu fluktuatif, dan minim modal perbankan. Pemerintah tidak mengucurkan dana khusus untuk program klaster dan hanya bertindak sebagai fasilitator dengan menggandeng pihak pabrik pembeli rumput laut. Sudah tiga pabrik pengolahan yang siap menjadi mitra klaster. Lokasi sembilan klaster itu a.l. di Banten, Kutai Timur, Dompu, Raja Ampat, dan beberapa kabupaten lain di Sulawesi.

Berdasarkan hasil penelitian, rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif baru, yaitu sebagai bahan biofuel. Mikro alga sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibanding komoditas lain seperti jagung dan kelapa sawit. Pasalnya satu hektar lahan mikro alga bisa menghasilkan 58.700 liter atau sekitar 30% minyak/tahun. Jauh lebih besar dibanding jagung yang hanya menghasilkan 172 liter/tahun atau kelapa sawit yang mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 5.900 liter/tahun.

Pemerintah Indonesia melalui DKP melakukan kerjasama dengan Korea melalui Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) untuk mengembangkan bahan bakar nabati atau biofuel dari rumput laut. Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi DKP Soen`an Hadi Poernomo, alasan Indonesia menggandeng negara tersebut karena Korsel memiliki teknologi untuk memanfaatkan rumput laut sebagai sumber energi, lengkap dengan grand strategy, road map, model dan kegiatannya.

Pemanfaatan alga sebagai biodiesel merupakan jawaban atas pertentangan dua kutub yang memanfaatkan biodiesel sebagai bahan baku yang berasal dari tanaman daratan, yakni berorientasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan yang cenderung mengonversi lahan untuk bahan baku biodiesel dari tanaman energi terbarukan. Pemanfaatan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan lahan daratan.

Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 1.110.900 ha. Namun, hingga kini pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha, atau hanya 20% dari luas areal potensial. Produksi rumput laut secara nasional tahun 2005 mencapai 910.636 ton. Tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 1.079.850 ton. Sasaran produksi rumput laut tahun 2009 adalah 1.900.000 ton.

Jenis rumput laut yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan biodiesel yakni varietas Geladine yang saat ini telah dibudidayakan di Maluku seluas 20 ribu ha, Belitung Timur 10 ribu ha serta Lombok. Harga biodiesel saat ini masih tinggi yakni sekitar USD2/liter. Akan tetapi pada tiga tahun ke depan dengan adanya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku bahan bakar nabati tersebut, maka harganya diharapkan menjadi USD1/liter.

Sulsel sebagai provinsi penghasil rumput laut terbanyak di Indonesia, ke depan diharapkan mampu menjadi kawasan percontohan pengembangan rumput laut. Dengan potensi bahan baku yang cukup melimpah, Sulsel bisa menggalakkan industri penghasil biofuel yang maksimal. Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Aziz Husein menilai harus ada payung hukum berupa peraturan daerah agar kawasan pesisir rumput laut tidak dirambah dengan komoditas lain yang mengganggu produksi. Sulsel sudah punya Perda No.6 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, dan daerah lain sebaiknya mencontoh Sulsel. (AI)


Jumat, Januari 09, 2009

Tren belanja iklan

Presiden Asosiasi Periklanan Dunia atau International Advertising Association (IAA) Indra Abidin mengatakan, belanja iklan di tahun 2009 tidak akan ada peningkatan. Pertumbuhan belanja iklan dengan kondisi global saat ini akan semakin parah. Belanja iklan di Indonesia akan terpuruk, meski masih lebih baik dibanding belanja iklan di Jepang, AS dan Eropa atau negara lainnya.

Mengenai jumlah penurunannya belum bisa dihitung, namun dipastikan akan terjadi penurunan untuk belanja iklan di sektor perbankan, properti, otomotif, makanan dan minuman. Misalnya saja, sektor perbankan dan properti yang biasanya berkontribusi 15% terhadap total belanja iklan akan turun hingga 8%. Untuk tahun 2008 ini, belanja iklan nasional diperkirakan hanya mencapai Rp86 triliun atau naik 6%, yang terdiri dari Rp40 triliun untuk sektor media konvensional dan sisanya media berbasis web atau online.

Belanja iklan sektor korporasi diperkirakan tertekan sebagai imbas krisis finansial global. Namun industri media di Indonesia tetap bisa lega, pasalnya belanja iklan politik tahun depan akan naik tajam. Menurut Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) Narga Shakri Habib, omzet periklanan secara nasional setiap tahun meningkat antara 20 – 30%. Tahun 2007 lalu omzet iklan mencapai Rp40 triliun, tahun 2008 ini diprediksi bakal mencapai Rp48 triliun. Sedangkan tahun 2009 diprediksi tak akan setinggi tahun-tahun sebelumnya. Padahal target omzet periklanan tahun 2009 sebesar Rp60 triliun.

Hal senada disampaikan Ketua Badan Pengawas Periklanan pada PPPI Pusat F.X. Ridwan Handoyo. Ancaman krisis global akan menyebabkan sebagian perusahaan mulai berhati-hati dalam menghitung pengeluarannya untuk beriklan. Sikap kehati-hatian tersebut akan menggerus belanja iklan nasional secara keseluruhan. Kalangan perusahaan periklanan sebelumnya telah memprediksi belanja iklan pada tahun 2009 tumbuh 30% dibandingkan dengan proyeksi pencapaian tahun ini sebesar Rp60 triliun.

Proyeksi yang cukup tinggi ini didorong oleh jenis iklan bertemakan politik menjelang pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden. Tetapi melihat ancaman krisis global, target yang semula telah dipatok akan sedikit meleset. Angka 30% terlalu optimistis, pergerakannya paling berada di kisaran 15%-20%. Sementara itu, sampai akhir tahun 2008 ini, belanja iklan nasional masih akan terus tumbuh, tetapi tidak akan berjalan sesuai dengan target yang telah ditetapkan, yakni Rp60 triliun.

Apabila dilihat berdasarkan jenis iklan, iklan otomotif atau kendaraan bermotor merupakan jenis iklan yang paling terkena dampak dari krisis global. Sementara iklan barang-barang konsumen masih berada dalam batas aman atau hanya berpengaruh tipis oleh krisis tersebut.

Kendati demikian, dia cukup optimistis akan pertumbuhan iklan tahun depan akibat maraknya iklan politik menjelang pilpres. Dari segi industri, jenis iklan tersebut akan menyumbang belanja yang cukup tinggi, sehingga dapat menggantikan penurunan jenis iklan lainnya.

AC Nielsen mencatat belanja iklan di media massa Indonesia pada semester I/2008 naik 24% dibanding periode yang sama tahun 2007 senilai Rp19,56 triliun. Sementara total belanja iklan pada periode yang sama tahun 2007 hanya mencapai Rp15,82 triliun. Pertumbuhan belanja iklan itu disokong oleh tiga jenis iklan yakni layanan dan peralatan telekomunikasi, kendaraan bermotor, pemerintah dan organisasi politik. Kenaikan terbesar terjadi pada iklan pemerintahan dan partai politik, yakni sekitar 79%. Kenaikan belanja iklan berbau politik dapat terlihat pada ramainya iklan calon kepala daerah hingga meningkat enam kali lipat dibanding biasanya.

Belanja iklan tertinggi masih dipegang oleh sektor komunikasi, yang pada semester I/2008 meningkat 57% dibanding periode sama tahun 2007, atau sekitar Rp1,96 triliun. Kemudian secara berturut-turut diikuti oleh iklan kendaraan bermotor yang meningkat 20%, iklan pemerintah dan politik meningkat 79%, dan iklan perusahaan dan layanan sosial yang meningkat 44%. Dari sektor komunikasi, Excelcomindo (XL) merupakan yang tertinggi, diikuti Esia, sedangkan Telkomsel yang tahun 2007 lalu masuk top 10, tahun 2008 ini tidak lagi. Sepertinya tahun 2008 Telkomsel slowing down.

XL menghabiskan belanja iklan hingga Rp139 miliar atau mengalami peningkatan 219% dibanding semester I-2007, yakni dari Rp44 miliar menjadi Rp139 miliar. Sementara Esia belanja iklannya mengalami kenaikan 57% atau Rp131 miliar dari Rp83 miliar. Untuk posisi keenam dan ketujuh diduduki oleh produk Indosat M3 naik 209%, atau dari Rp38 miliar menjadi Rp119 miliar, sedangkan untuk produk Indosat Mentari naik 104%, atau dari Rp58 miliar menjadi Rp118,6 miliar.

Sementara itu, belanja iklan politik partai politik dan pemerintah untuk Pemilu 2009 hingga saat ini sudah mencapai Rp800 miliar. Angka itu diperkirakan akan terus bertambah hingga menjelang hari H, yakni tanggal 9 April 2009. Sesuai jadwal, masa kampanye terbuka pemilihan umum legislatif sudah berlangsung sejak Juli 2008 lalu. Namun, puncaknya diperkirakan mulai bulan kedua tahun 2009. Iklan politik lebih banyak disedot oleh media elektronik dalam hal ini TV, radio, media cetak, dan media online. Iklan outdoor politisi dinilai lebih banyak disedot kalangan pengusaha percetakan dan merambah hingga ke kabupaten, dan kecamatan.

Belanja iklan semester II/2008 diprediksi akan mengalami kenaikan sebesar 22% menjadi Rp23,86 triliun dibandingkan dengan semester I/2008. Pertumbuhan belanja iklan yang terbilang cukup signifikan itu masih disokong oleh iklan telekomunikasi, kendaraan bermotor, dan iklan pemerintah dan organisasi politik sebagai kontributor terbesar.

Indeks Media Nielsen, yang dihasilkan lewat survei tahunan di sembilan kota, menunjukkan pembaca media cetak (koran, majalah, dan tabloid) pada tahun 2008 menurun dibandingkan tahun 2007. Namun, belanja iklan pada media cetak (khususnya koran) hingga kuartal III/2008 tumbuh 34% dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2007.

Sementara itu, gencarnya kampanye antirokok oleh berbagai kalangan turut mempengaruhi menurunnya porsi belanja iklan produk rokok. Iklan rokok di seluruh media turun 7% dari semester I/2007 yang mencapai Rp748 miliar menjadi hanya Rp699 miliar pada semester I/2008. Kecenderungan penurunan iklan rokok ini baru terjadi pada tahun 2008. Pasalnya, berbagai media mulai memberlakukan pembatasan terhadap iklan rokok. Seperti halnya batasan jam tayang iklan rokok di televisi harus di atas pukul 21.00. Sekarang produk rokok lebih fokus ke sponsorship. (AI)


Senin, Januari 05, 2009

Plastik

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) Budi Susanto Sadiman, iklim bisnis di seluruh cabang industri petrokimia hingga akhir tahun 2008 diperkirakan semakin lesu. Indikasi kelesuan tersebut terlihat dari tingginya stok bahan baku dan produk plastik yang tidak terserap pasar akibat pelemahan daya beli pasar sebagai akibat berantai dari krisis keuangan dunia. Penumpukan stok produk dari plastik berpotensi merugikan industri tersebut Rp1 triliun-Rp2 triliun.

Volume penumpukan stok di industri hulu petrokimia berupa polietilena (PE) dan polipropilena (PP) terus meningkat karena tidak dapat terserap oleh industri petrokimia hilir (produsen plastik). PE dan PP merupakan bahan baku pembuatan plastik. Apabila sampai Desember 2008 stok tersebut tidak terjual, sedikitnya empat perusahaan petrokimia besar di Indonesia kemungkinan akan berhenti beroperasi sementara waktu untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Saat ini penumpukan bahan baku plastik hasil produksi empat perusahaan petrokimia di sektor antara (intermediate) diperkirakan mencapai 100.000 ton.

Keempat produsen PE dan PP (bahan baku plastik) tersebut adalah PT Chandra Asri, PT Titan Petrochemical (dahulu bernama PT Peni), PT Tri Polyta, dan PT Politama. Penumpukan stok bahan plastik di gudang milik empat perusahaan mulai terjadi pasca-Lebaran menyusul pelemahan harga minyak mentah seiring dengan adanya ancaman resesi global yang membuat harga PE dan PP anjlok. Ketika harga bahan plastik masih bergerak naik pada semester I/2008 hingga Agustus 2008, keempat perusahaan tersebut terus memacu produksi untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga PE dan PP di pasar dunia.

Berdasarkan catatan INAplas, pada periode tersebut harga PE dan PP bergerak naik dari rerata USD900/ton pada April 2008 menjadi USD1.200/ton pada Mei 2008 dan terus melejit hingga menembus USD2.200/ton pada Agustus 2008. Tetapi, sekarang harga PE dan PP malah anjlok drastis ke kisaran USD700/ton pada akhir Oktober 2008 dan hanya bergerak tipis menjadi USD800/ton pada November dan Desember 2008 mengikuti anjloknya harga nafta, etilena, dan propilena. Harga nafta (minyak bumi olahan untuk bahan baku etilena dan propilena) pada awal November 2008 menurun drastis dari posisi tertinggi pada Agustus 2008 sebesar USD950 - USD1.000/ton menjadi USD350/ton.

Sebanyak 85 perusahaan plastik yang bergerak di sektor aneka tenun plastik, saat ini mengalami penyusutan nilai aset berupa inventori hingga 50% dari USD191,25 juta menjadi USD95,625 juta akibat anjloknya harga bahan plastik khususnya polietilena (PE). Nilai inventori itu dihitung berdasarkan jumlah bahan baku yang disimpan seluruh perusahaan plastik. Pada November 2008, penurunan harga PE tercatat hampir 50% dari USD1.500/ton pada Oktober 2008 menjadi USD760/ton. Produsen petrokimia rugi karena harga bahan baku tinggi tetapi harga jual turun. Keadaan tersebut menyebabkan industri hilir petrokimia kesulitan memasarkan produk.

Saat ini PT Polytama Propindo - produsen bahan baku plastik/polipropilena (PP) - hingga saat ini masih melakukan perawatan rutin (overhaul/turn around) pada lini produksi PP. Perawatan rutin tersebut dilakukan bersamaan dengan jadwal proses overhaul sejumlah unit refinary di PT Pertamina di UP-VI (kilang Balongan). Direktur Utama Tuban Petro-induk usaha PT Polytama Propindo-Amir Sambodo menjelaskan perbaikan rutin yang dilakukan Pertamina menyebabkan lini produksi PP Polytama tidak bisa beroperasi mengingat bahan baku perseroan dipasok Pertamina.

Overhaul Pertamina dilakukan setiap 5 tahun sekali. Khusus untuk saat ini, perbaikan rutin di Polytama sekaligus untuk meningkatkan kemampuan kapasitas produksi. Perawatan rutin ini diperkirakan selesai dan bisa beroperasi kembali pada akhir Desember 2008. Saat ini Polytama hanya memiliki satu lini produksi PP.

Penumpukan stok dan penurunan produksi akibat terimbas krisis keuangan global, tidak hanya dialami industri petrokimia nasional, tetapi juga terjadi di seluruh dunia. Saat ini sedikitnya terdapat empat perusahaan petrokimia antara di Timur Tengah dan satu perusahaan lain di Singapura telah berhenti produksi.

BASF, produsen petrokimia terbesar di dunia, juga akan menutup sementara sekitar 80 pabriknya yang tersebar di seluruh dunia. Sekitar 20.000 tenaga kerja dari total 95.000 pekerja di perusahaan raksasa kimia asal Jerman itu terpaksa akan dirumahkan. Dari jumlah itu, separuhnya bekerja di pabrik yang berada di Jerman. Beberapa pabrik dan fasilitas produksi BASF yang akan ditutup sementara, antara lain di Ludwigshafen (Jerman), Antwerpen (Belgia), Nanjing (China), dan Kuantan, Pahang (Malaysia ). BASF merupakan perusahaan petrokimia skala global yang berasal dari Jerman dan memiliki lebih dari 150 kantor perwakilan di berbagai negara.

Selain 80 pabrik milik BASF berhenti produksi sementara, Dow Chemical-perusahaan petrokimia terbesar di AS yang memproduksi PE, botol plastik dan kemasan juga menutup kegiatan operasi 20 pabrik dan mem-PHK sekitar 5.000 orang. DuPont, perusahaan petrokimia terbesar ketiga di AS, pada minggu lalu juga telah menutup kegiatan operasi 10 pabrik dan menghentikan sementara operasi 100 pabrik lainnya.

Sementara itu, Kaltim memiliki potensi besar sebagai wilayah pengembangan industri petrokimia sistem klaster dan tidak salah jika wilayah itu menjadi salah satu daerah yang direncanakan untuk pengembangan industri petrokima. Sistem klaster merupakan pengelompokan industri inti yang saling berhubungan, baik untuk industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait.

Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kaltim Irianto Lambrie, upaya itu dilakukan untuk mendukung cita-cita nasional menjadikan sektor industri petrokimia sebagai tulang punggung industri manufaktur, sesuai dengan kebijakan nasional melalui sitem klasterisasi industri. Melalui program tersebut pertumbuhan ekonomi nasional diharapkan dapat mencapai target rata-rata 8,6% setiap tahun hingga tahun 2009 dan selanjutnya terus meningkat di atas 10% mulai tahun 2010 hingga 2020.

Untuk jangka panjang, sistem klaster ini diharapkan mampu mendorong pengembangan industri petrokimia berbasis methane, olefin dan aromatic. Dengan program tersebut, maka industri petrokimia digolongkan pada tiga kelompok, yakni industri olefin (ethylena propylene, C4), industri aromatic (benzene, toluene, xylene, N-paraffine), dan industri C1 (synthetic gas dan methanol). (AI)