Senin, Januari 19, 2009

Rumput laut

Provinsi Bali memiliki perairan yang sangat potensial untuk pengembangan rumput laut, namun lahan tersebut belum dimanfaatkan secara optimal akibat kendala modal dan pemasaran. Menurut Kepala Dinas Perikanan dan Kelautan Provinsi Bali Ir Gusti Putu Nuriartha, perairan Bali memiliki potensi untuk pengembangan rumput laut seluas 9,6 km2 dengan produksi rumput laut sebesar 152,2 ton/tahun, yang tersebar di sejumlah perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung, perairan wilayah Kabupaten Badung, dan Kota Denpasar.

Rumput laut diharapkan menjadi salah satu dari sepuluh besar produksi komoditi perikanan Bali, di samping udang putih, karper, nila, udang galah, lele gurami, bandeng dan kerapu. Budidaya rumput laut menjadi komoditas utama dalam program revitalisasi perikanan dalam meningkatkan kesejahteraan petani dan nelayan. Sasaran pengentasan kemiskinan bagi nelayan dan pembudi daya rumput laut tahun 2009 sebanyak 3.850 rumah tangga miskin. Rumput laut memiliki banyak keunggulan, antara lain peluang ekspor masih terbuka luas, harga relatif stabil, belum dikenakan kuota oleh berbagai negara, serta teknologi pengolahannya cukup sederhana dan mudah dikuasai.

Sementara itu rumput laut asal Kabupaten Bekasi kurang diminati di pasaran. Penyebabnya, kualitas rumput laut menurun karena dipanen lebih awal. Menurut beberapa petani rumput laut di Kampung Sembilangan, Kecamatan Babelan, Kabupaten Bekasi, jumlah produsen yang memesan rumput laut untuk diolah menjadi bahan kue dan makanan terus menurun. Saat ini, produksi rumput laut di pesisir pantai utara Bekasi itu hanya dijual ke Medan, Sumatra Utara. Padahal, jumlah produksi rumput laut saat ini melimpah. Satu hektar tambak, bisa memproduksi 1,5-2 ton untuk sekali panen yang dilakukan setiap tiga hari. Namun hasil produksi memang di bawah standar ideal. Ukuran panjang rumput laut kurang dari 10 cm, semestinya 10-15 cm.

Pengembangan budi daya rumput laut nasional pada tahun 2009 membutuhkan investasi Rp1,78 triliun untuk menambah areal 25.000 ha, sehingga meningkatkan produksi sebesar 1,9 juta ton. DKP menawarkan 16 daerah, antara lain Lampung, Banten, Jabar, NTB, NTT, Kalsel, Sulsel, Maluku dan Papua, kepada investor asing dan nasional untuk dijadikan sentra budi daya komoditas tersebut. Menteri Kelautan dan Perikanan Freddy Numberi menyatakan, rumput laut merupakan sumber pangan dan usaha padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja optimal.

Oleh karena itu, komoditas ini menjadi salah satu produk unggulan yang diprioritaskan pengembangannya pada tahun 2009. Menurut Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) DKP Martani Huseini, pengembangan sentra budi daya rumput laut membutuhkan investasi yang besar. Tahun 2008 ini target pengembangan budi daya rumput laut ditujukan memperluas areal hingga 25.000 ha dengan 10.000 ha di antara untuk lahan budi daya jenis Gracillaria sp. dan 15.000 ha untuk Euchema Sp. Kebutuhan dana untuk pengembangan budi daya itu diperkirakan Rp70,9 juta/ha sehingga total kebutuhan modal usaha mencapai Rp1,78 triliun.

Pemerintah akan membentuk sembilan klaster pengembangan rumput laut di sejumlah daerah pesisir pada tahun 2009 setelah uji coba program tersebut tahun ini dinilai cukup sukses. Persoalan rumput laut selama ini adalah inkonsistensi kualitas, kurang bernilai tambah, harga terlalu fluktuatif, dan minim modal perbankan. Pemerintah tidak mengucurkan dana khusus untuk program klaster dan hanya bertindak sebagai fasilitator dengan menggandeng pihak pabrik pembeli rumput laut. Sudah tiga pabrik pengolahan yang siap menjadi mitra klaster. Lokasi sembilan klaster itu a.l. di Banten, Kutai Timur, Dompu, Raja Ampat, dan beberapa kabupaten lain di Sulawesi.

Berdasarkan hasil penelitian, rumput laut juga bisa dimanfaatkan sebagai sumber energi alternatif baru, yaitu sebagai bahan biofuel. Mikro alga sebagai biodiesel dinilai lebih kompetitif dibanding komoditas lain seperti jagung dan kelapa sawit. Pasalnya satu hektar lahan mikro alga bisa menghasilkan 58.700 liter atau sekitar 30% minyak/tahun. Jauh lebih besar dibanding jagung yang hanya menghasilkan 172 liter/tahun atau kelapa sawit yang mampu menghasilkan biodiesel sebanyak 5.900 liter/tahun.

Pemerintah Indonesia melalui DKP melakukan kerjasama dengan Korea melalui Korea Institute of Industrial Technology (KITECH) untuk mengembangkan bahan bakar nabati atau biofuel dari rumput laut. Menurut Kepala Pusat Data Statistik dan Informasi DKP Soen`an Hadi Poernomo, alasan Indonesia menggandeng negara tersebut karena Korsel memiliki teknologi untuk memanfaatkan rumput laut sebagai sumber energi, lengkap dengan grand strategy, road map, model dan kegiatannya.

Pemanfaatan alga sebagai biodiesel merupakan jawaban atas pertentangan dua kutub yang memanfaatkan biodiesel sebagai bahan baku yang berasal dari tanaman daratan, yakni berorientasi pada penggunaan lahan untuk pangan dan yang cenderung mengonversi lahan untuk bahan baku biodiesel dari tanaman energi terbarukan. Pemanfaatan rumput laut sebagai sumber energi alternatif tidak akan mengganggu pemanfaatan lahan daratan.

Indonesia memiliki luas area untuk kegiatan budi daya rumput laut seluas 1.110.900 ha. Namun, hingga kini pengembangan budidaya rumput laut baru memanfaatkan lahan seluas 222.180 ha, atau hanya 20% dari luas areal potensial. Produksi rumput laut secara nasional tahun 2005 mencapai 910.636 ton. Tahun 2006 mengalami peningkatan menjadi 1.079.850 ton. Sasaran produksi rumput laut tahun 2009 adalah 1.900.000 ton.

Jenis rumput laut yang akan dimanfaatkan untuk pengembangan biodiesel yakni varietas Geladine yang saat ini telah dibudidayakan di Maluku seluas 20 ribu ha, Belitung Timur 10 ribu ha serta Lombok. Harga biodiesel saat ini masih tinggi yakni sekitar USD2/liter. Akan tetapi pada tiga tahun ke depan dengan adanya pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku bahan bakar nabati tersebut, maka harganya diharapkan menjadi USD1/liter.

Sulsel sebagai provinsi penghasil rumput laut terbanyak di Indonesia, ke depan diharapkan mampu menjadi kawasan percontohan pengembangan rumput laut. Dengan potensi bahan baku yang cukup melimpah, Sulsel bisa menggalakkan industri penghasil biofuel yang maksimal. Ketua Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) Safari Aziz Husein menilai harus ada payung hukum berupa peraturan daerah agar kawasan pesisir rumput laut tidak dirambah dengan komoditas lain yang mengganggu produksi. Sulsel sudah punya Perda No.6 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, dan daerah lain sebaiknya mencontoh Sulsel. (AI)


Tidak ada komentar: