Jumat, Oktober 31, 2008

Mengubah mindset otonomi daerah

Makna otonomi daerah hingga saat ini masih sering salah kaprah. Menurut pengamat otonomi daerah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Umbu Rauta, otonomi daerah dimaknai sebagai otonomi pemerintahan, bukan otonomi yang menyasar kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini memungkinkan timbulnya pelanggaran, seperti pembebanan pajak dan retribusi berlebih, maupun kerusakan lingkungan dan praktik korupsi.

Salah satu implikasi salah kaprah otonomi daerah terlihat dari upaya pemerintah kabupaten dan kota untuk menggali pendapatan asli daerah (PAD) yang justru memberi tambahan beban kepada masyarakat. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran otonomi daerah justru tertinggal karena mereka harus terbebani pajak dan retribusi yang bertambah banyak. Kondisi ini terutama banyak terjadi pada kurun waktu 1999-2004, sebelum terbit UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan dampak dan manfaat desentralisasi otonomi daerah hingga saat ini belum terlihat. Diperkirakan hal tersebut baru akan terasa dalam beberapa tahun mendatang. Belum terlihatnya dampak dan manfaat itu karena masih belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, maraknya pemekaran daerah yang lebih terkait persoalan politik, serta terbatasnya kemampuan pemerintah daerah. Padahal kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semakin mendorong kemajuan daerah. Hal itu karena daerah lebih kreatif dalam mengembangkan potensi dan kemampuan sumber daya alam.

Sementara itu Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto menilai pemberian kewenangan otonomi daerah masih setengah hati. Iini terjadi diperkirakan karena pemerintah pusat khawatir muncul raja-raja kecil di daerah. Akibat kewenangan yang setengah-setengah, tidak jarang kepala daerah menemui kendala untuk mengambil kebijakan terkait proses pembangunan di daerahnya. Dicontohkan dalam bidang perizinan, penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang akan berinvestasi di suatu daerah harus mengurus perizinan yang justru tidak melalui daerah tersebut, tetapi melalui badan yang dibentuk pemerintah pusat.

Hal senada diungkapkan Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi. Menurutnya pemerintah masih terkesan setengah-setengah dalam menerapkan otonomi daerah sehingga menciptakan sistem yang serba tanggung. Dicontohkan kasus Waduk Gajah Mungkur. Selama ini Kabupaten Wonogiri tidak punya kewenangan sama sekali dalam pengelolaan waduk itu. Saat terjadi banjir, pemkab Wonogiri yang disalahkan banyak daerah. Padahal Pemkab Wonogiri bisa berbuat apa-apa karena selama ini tidak punya kewenangan sedikit pun terhadap waduk dan sabuk hijaunya yang sepenuhnya berlokasi di Wonogiri. Setelah berupaya ke sana ke mari, sekarang sudah terbentuk tim yang melibatkan lima departemen dan delapan BUMN dengan koordinator Bupati Wonogiri untuk misi menyelamatkan Waduk Gajah Mungkur.

Otonomi daerah yang sebenarnya bertujuan untuk memaksimalkan kewenangan daerah dalam membangun kemandiriannya, bukan hanya dalam mengelola APBD dan roda pemerintahannya, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana setiap daerah mampu memaksimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimilikinya. Normalnya dengan otonomi, ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin lama semakin berkurang, bukan hanya dalam urusan birokrasi, tetapi juga dalam sumber daya ekonomi dan pengelolaan daerah itu sendiri.

Akan tetapi proyeksi yang berkembang dewasa ini, dalam pembentukan daerah otonomi adalah hanya terfokus bagaimana suatu daerah otonomi mampu mengelola pemerintahan, keuangan, dan kepentingan publik lainnya dengan baik. Bahkan lebih jauh, dengan dikeluarkannya UU No.33 Tahun 2004 yang penekanannya lebih kepada bagaimana daerah otonomi mengelola APBD-nya dengan baik. Hal itulah yang membuat setiap daerah merasa terbebani dan sibuk untuk mengimplementasikan UU tersebut.

Dekan FEUI Bambang PS Brojonegoro mengungkapkan, pemerintah perlu mengubah mindset tentang pengukuran keberhasilan kinerja pemerintah daerah. Perubahan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Ada tiga aspek yang harus ditekankan dalam mengukur keberhasilan daerah. Ketiganya adalah (i) penurunan kemiskinan, (ii) pengurangan kesenjangan, dan (iii) percepatan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Perubahan mindset pengukuran kinerja pemerintah daerah perlu dilakukan mengingat 65% belanja APBN dialokasikan ke daerah, terdiri dari 35% belanja daerah dan 30% belanja pusat di daerah.

Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya. Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan peran serta pelaku ekonomi lokal. Kedua, mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya, yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik.

Ketiga, menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Keempat, ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok. Kelima, memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional.

Yang tak kalah penting perubahan mindset bahwa otonomi daerah memang berpihak pada masyarakat lokal, berfungsi-guna dan efektif mendukung pembangunan pertanian, dan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Adanya krisis pangan mestinya membuka kesadaran semua pihak bahwa pertanian dan pangan adalah bidang yang sangat strategis dan sangat penting. Industri dan sektor lain akan lumpuh tatkala tidak ada jaminan pasokan dan ketersediaan pangan yang cukup.

Pelaksanaan otonomi daerah yang secara teori sangat berpotensi memberdayakan inisiatif lokal mestinya lebih berpihak pada petani dan warga pedesaan sehingga program-program pendukung kebangkitan petani perlu mendapat prioritas dan perlu segera diwujudkan. Pertanian yang telah terbukti memberikan lapangan kerja, menghasilkan pangan, mendatangkan devisa serta menjaga kelestarian lingkungan; perlu mendapat perhatian yang layak dan konsisten. (AI)


Industri manufaktur rentan terimbas krisis

Imbas krisis keuangan yang mengguncang AS tak hanya memukul pasar keuangan. Sektor usaha yang riil juga mulai terpengaruh. Yang sudah merasakannya adalah industri manufaktur dalam negeri yang penjualannya bermuara ke AS. Menurut Kepala Badan Pusat Pengembangan Industri Departemen Perindustrian (Depperin) Dedi Mulyadi, berdasarkan penelitian Depperin ada sejumlah produk yang akan paling terpukul imbas krisis tersebut, antara lain produk tekstil, kulit, kertas, keramik, elektronik, dan bahan nabati seperti minyak sawit mentah.

Para pengusahanya juga sudah melontarkan keluhan. Ketua Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Wijaya menyatakan ekspor keramik ke AS sudah terlebih dulu terganggu. Sejumlah pemesan keramik dari AS sudah menunda order, sekitar 20% dari total order. Menurut data asosiasi, setiap tahun ekspor keramik ke Amerika rata-rata mencapai 100 kontainer alias 100.000 m2. Itu mencakup sekitar 35% dari total ekspor keramik Indonesia yang nilainya mencapai USD350 juta.

Keluhan yang serupa juga datang dari pengusaha bubur kertas dan kertas. Ketua Asosiasi Pulp and Paper Indonesia Muhammad Mansur menegaskan, sejak Juli 2008 sudah terjadi penurunan konsumsi kertas di AS. Sementara Thomas Darmawan, Ketua Umum Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengatakan, dampak krisis di AS bisa berimbas pada ekspansi gerai makanan dan minuman yang bakal terus melambat. Bahkan, kemungkinan pada sisa tahun ini tak akan ada ekspansi sama sekali.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengaku ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah bisnis yang paling dominan terkena imbas krisis AS. Oleh karenanya, target kenaikan ekspor sebesar 10% pada tahun ini tampaknya sulit tercapai. Kemungkinan, pertumbuhannya hanya naik 6%-7% dari total nilai ekspor tahun 2007 yang tercatat sebanyak USD2,4 miliar.

Untuk tahap pertama pemerintah akan memfokuskan pada penanganan industri TPT karena dianggap rentan terkena ancaman. Pemerintah akan mendorong sektor ini untuk segera mengisi pasar dalam negeri dan mengurangi ekspor, serta akan menekan dan mengurangi langkah impor barang-barang konsumtif produk TPT, sebagai penyeimbang upaya pemerintah melindungi industri dalam negeri.

Ketua API Jateng Agung Wahono menyatakan, krisis global sangat berdampak pada industri tekstil di daerah karena selama ini pangsa pasar TPT adalah di ekspor ke luar negeri. Akibatnya, kalau situasi keuangan di luar negeri kacau maka ekspor produk tekstil juga terganggu. Pada saat yang sama, bahan baku yang selama ini didapat dari impor juga mengalamai kenaikan harga besar-besaran seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Bahan baku ini terutama kapas. Jumlah pabrik tekstil dan garmen di Jateng saat ini mencapai 200 pabrik dengan melibatkan jutaan pekerja.

Saat ini para pengusaha tekstil di Jateng sedang berpikir untuk mengalihkan pasar, dari semula didominasi AS dan Eropa untuk dialihkan ke pangsa pasar di Afrika dan negara-negara penghasil minyak. Namun, jika situasi krisis ini terus terjadi maka tidak ada pilihan lain kecuali para pengusaha tekstil melakukan efisiensi, salah satunya dengan cara melakukan PHK.

Departemen Perindustrian tetap mempertahankan target pertumbuhan industri sebesar 5% pada tahun 2008 ini meski hantaman krisis ekonomi global dikhawatirkan dapat mengguncang kinerja sektor manufaktur nasional. Menurut Menperin Fahmi Idris, kendati ada beberapa subsektor industri yang masih tumbuh negatif, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) dalam empat tahun belakangan tetap paling besar dibanding sektor usaha lain yakni berkisar 27% - 28,1%.

Nilai tambah industri terhadap pertumbuhan ekonomi berperan sangat dominan. Pada tshun 2005, total nilai tambah sektor manufaktur mencapai Rp621,92 triliun dari total ekonomi Rp2.774,28 triliun. Pada semester I/2008, nilai tambah sektor pengolahan nonmigas ini sudah mencapai Rp528,22 triliun dari total ekonomi Rp2.352,99 triliun.

Untuk mencapai target tersebut, Depperin dan berbagai instansi lain berupaya mereduksi berbagai persoalan utama dari sisi eksternal antara lain krisis keuangan global, keterbatasan infrastruktur, birokrasi yang belum probisnis, ketenagakerjaan, kepastian hukum, hingga impor ilegal. Dari sisi internal masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, antara lain beberapa cabang industri belum pulih 100% dari krisis 1998 seperti kayu dan TPT. Struktur industri yakni keterkaitan antara hulu, hilir, dan industri kecil dan menengah (IKM) belum kokoh, hingga keterbatasan penguasaan pasar domestik.

Untuk mereduksi berbagai persoalan eksternal dan internal, pemerintah telah memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk yang ditanggung pemerintah (BMDTP) kepada 11 sektor industri tertentu guna meningkatkan daya saing selama tiga bulan. Insentif tersebut diharapkan dapat mendongkrak kinerja industri nasional dan memperkuat struktur industri pada kuartal IV/2008 dalam mempermudah akses bahan baku dan barang yang belum dapat diproduksi oleh industri di dalam negeri.

Untuk mengurangi hambatan pencapaian target pertumbuhan industri, pemerintah telah menyelesaikan 21 masalah sektoral di industri manufaktur dan IKM nasional di antaranya industri gula, makanan dan minuman, semen, kayu, SNI industri logam, pupuk, tekstil, PLTU baru, serta pengadaan kompor dan tabung gas. Di samping itu, ada pula masalah-masalah di sektor IKM seperti penyaluran subsidi kedelai, pengembangan industri kreatif, masalah kredit usaha rakyat, problem pemanfaatan mesin modern di sektor pertanian, hingga pencemaran melamin pada susu formula yang merugikan konsumen.

Pemerintah juga menerapkan empat langkah strategis sebagai antisipasi dampak krisis finansial global dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, empat langkah yang dimaksud adalah pertama, memperkuat pasar domestik yang ada, apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar yakni mencapai 220 juta penduduk. Kedua, menyiapkan dan memelihara infrastruktur yang ada, termasuk sarana dan prasarana jalan, transportasi, dan lain-lain. Ketiga, mempertahankan devisa negara, saat sekarang ini pemerintah berusaha membatasi impor dari luar negeri, sangat dianjurkan membeli produk dalam negeri, dan keempat, melakukan pembenahan dalam regulasi yang ada di Indonesia. (AI)


Rabu, Oktober 29, 2008

Penerbangan haji

Penerbangan jamaah haji Indonesia pada musim haji 2008/2009 ini akan dimulai pada tanggal 5 November hingga 2 Desember 2008, sedangkan masa pemulangan akan berlangsung sejak tanggal 13 Desember 2008 hingga 9 Januari 2009. Pada pemberangkatan nanti, Garuda Indonesia - maskapai nasional yang ditunjuk untuk memfasilitasi - akan mengangkut 107.465 jamaah yang tergabung dalam 302 kelompok terbang (kloter) dari sembilan embarkasi.

Kesembilan embarkasi itu antara lain embarkasi Banda Aceh 3.669 jamaah (14 kloter), Padang 7.247 jamaah (27 kloter), Palembang 7.418 jamaah (28 kloter), Jakarta 22.152 jamaah (49 kloter), Solo 33.384 jamaah (83 kloter), Surabaya 10.021 jamaah (22 kloter), Banjarmasin 4.709 jamaah (17 kloter), Balikpapan 5.306 jamaah (20 kloter), dan Makassar 13.559 jamaah (42 kloter).

Menurut Kepala Komunikasi Perusahaan Garuda Pujobroto, untuk mengangkut jamaah haji musim ini Garuda mengoperasikan sedikitnya 14 pesawat berbadan lebar, terdiri dari empat pesawat jenis Boeing 747, tujuh pesawat Boeing 767, dan tiga pesawat Airbus A-330. Awak kabin yang akan ditugaskan untuk mengawal jamaah dalam penerbangan haji tahun 2008/2009 ini berjumlah 692 orang, terdiri dari 172 awak kabin reguler Garuda dan 520 awak kabin musiman yang direkrut dari daerah embarkasi. Banyaknya awak kabin musiman merupakan salah satu bagian strategi pelayanan Garuda untuk mengatasi kendala komunikasi, mengingat sebagian besar jamaah hanya mampu berbahasa daerah masing-masing.

Besaran Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) tahun 1429 H/2008 mengalami kenaikan dan besarannya telah disetujui oleh Presiden. BPIH tahun 2008 ini mengalami kenaikan yang disebabkan oleh naiknya tarif penerbangan sebagai akibat naiknya harga minyak dunia. Komponen BPIH 1429 H terdiri dari biaya penerbangan sebesar USD1,859 (54%), biaya operasional di Arab Saudi termasuk living cost USD1,528 (44,4%) dan biaya operasional dalam negeri Rp501.000 (1,6%).

Secara total biaya haji tahun 2008 ini mengalami kenaikan yang cukup signifikan, sekitar USD450 atau kurang lebih Rp4,4 juta pada setiap embarkasinya. Menurut Direktur Jenderal Penyelenggara Haji dan Umroh Departemen Agama Slamet Riyanto, angka tersebut merupakan hasil kesepakatan dengan pihak maskapai penerbangan yang akan mengangkut para jamaah haji pada tahun 2008 ini. Pemerintah telah melakukan perubahan besaran BPIH dari sistem zona ke sistem embarkasi yang lebih proporsional dengan mempertimbangkan jarak tempuh penerbangan dari setiap embarkasi ke Jeddah atau Madinah. Dengan demikian biaya penerbangan setiap embarkasi akan berbeda.

Misalnya, jika dari Banda Aceh dan Padang kenaikan biaya penerbangan haji mencapai USD422.55, dari USD1,307.50 menjadi USD1,730. Dari Medan dan Batam, kenaikan biaya penerbangannya mencapai USD456.5 atau menjadi USD1,764. Sementara dari Palembang dan Solo, kenaikannya mencapai USD440.5 yaitu dari USD1,410.50 menjadi USD1,851. Biaya tersebut sudah termasuk biaya airport tax.

Kenaikan harga tiket pesawat memang tidak dapat dihindari. Berdasarkan data asosiasi penerbangan internasional (International Air Transport Association/IATA), industri penerbangan internasional telah kehilangan pendapatan hingga USD5,2 miliar sepanjang tahun ini. Hal itu terutama disebabkan tingginya kenaikan harga minyak dunia dalam beberapa waktu terakhir. Di samping itu menurunnya jumlah permintaan penumpang pesawat juga menjadi faktor utama kehilangan pendapatan tersebut. Di Indonesia, perusahaan penerbangan yang merupakan anggota adalah Garuda Indonesia. Akibat tingginya harga avtur, sejumlah maskapai menaikkan harga fuel surcharge sehingga harga tiket yeng dibebankan kepada penumpang pun makin tinggi dari sebelumnya.

Menurut CEO/Director General IATA Giovanni Bisignani, harga avtur sejak melambungnya minyak dunia melampaui USD140/barel. Akibat kenaikan ini, industri penerbangan harus mengalokasikan dana sebesar USD186 miliar untuk belanja avtur tahun 2008 ini. Dampaknya, kebutuhan bahan bakar melonjak menjadi 36% dari total biaya operasional, atau naik 13% dibanding tahun 2002. Sementara itu, permintaan penumpang turun sekitar 1,9% dibanding tahun 2007. Dengan bertambahnya kapasitas hingga 3,8%, load factor atau tingkat isian penumpang justru turun menjadi hanya 79,9% dibanding tahun 2007.

Secara perlahan namun pasti, krisis finansial global juga mulai berdampak pada perusahaan penerbangan. Untuk menekan harga dan kapasitas usaha, beberapa perusahaan penerbangan melakukan revisi jadwal penerbangan. Salah satu korbannya adalah maskapai British Airways. Maskapai ini mengalami penurunan sekitar 8,6% di tarif premium dan 4,1% di tarif nonpremium dibanding bulan September 2008 lalu. Saat ini British Airways menjalankan 10 penerbangan setiap harinya dengan tujuan dua pusat finansial dunia, yakni London dan New York.

Asosiasi Penerbangan Asia Pasifik (The Association of Asia Pacific Airlines/AAPA) memaparkan, pelemahan jumlah penumpang merupakan tantangan terbesar di sektor usaha ini. Jangka waktu 12 hingga 18 bulan ke depan merupakan masa sulit bagi maskapai dan beberapa maskapai tidak akan bertahan. Untuk meningkatkan kembali permintaan, maskapai bisa memotong kapasitas melalui pengurangan jumlah penerbangan, menggunakan pesawat kecil, dan memotong harga tiket. Di AS, sejumlah maskapai menambah dan memotong kapasitas dan mencoba untuk mengatur hal-hal tersebut.

Di dalam negeri, kekhawatiran juga mulai menghinggapi perusahaan penerbangan lokal. Mandala Airlines mulai berhitung untuk menekan ongkos operasional. Salah satunya, dengan menerbangkan pesawat Airbus. Mandala berencana tidak akan mengoperasikan pesawat tipe Boeing B 737-400. Sementara itu, Batavia Air juga tengah mengkaji kegiatan operasional lantaran semuanya harus diongkosi dengan mata USD. Cara yang harus ditempuh oleh Batavia Air adalah dengan mengevaluasi pembelian pesawat.

Namun, kekhawatiran ini justru ditepis oleh Lion Air. Dari sisi penerbangan domestik belum ada perubahan baik dari jumlah penumpang sehingga Lion tidak perlu merasa khawatir dengan beban operasional yang dikeluarkan rutin untuk pemeliharaan pesawat. Sampai saat ini pasar penerbangan domestik dan luar negeri Lion Air masih dalam keadaan normal. Optimisme ini juga datang dari Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal yang mengatakan, maskapai penerbangan nasional sudah mempunyai pengalaman, sehingga tidak timbul kekhawatiran perusahaan maskapai penerbangan bakal kolaps. (AI)


Senin, Oktober 27, 2008

Mebel

Pelemahan ekonomi AS mulai menjalar ke sektor riil Tanah Air. Salah satunya ekspor mebel dan kerajinan Indonesia sudah merasakan imbasnya. Pada lima hari pameran yang berlangsung di Collon, AS awal Oktober 2008, penjualan mebel hanya Rp30 juta setiap harinya. Sebelumnya, pada event yang sama, dalam satu hari penjualan bisa mencapai Rp60 juta. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pengusaha mulai beralih ke pasar lain yakni Eropa dan Timur Tengah.

Sejumlah sentra kerajinan mebel di Sukoharjo, Jateng mulai mempersiapkan pasar baru menyusul krisis perekonomian di AS. Pasalnya, selama ini negara tersebut menjadi salah satu tujuan ekspor yang cukup diandalkan. Di samping harga yang cukup tinggi, permintaan dari negara adikuasa tersebut cukup besar. Hanya saja dampak secara nyata kemungkinan baru akan terasa dua bulan mendatang, saat kontrak pengiriman habis. Namun melonjaknya nilai dolar AS sedikit membantu mereka untuk memupuk modal.

Salah satu perajin rotan di sentra industri rotan Gatak, Sukoharjo mengatakan, tiap bulan secara rutin para perajin mengirimkan satu kontainer ke AS. Dampak yang dirasakan adalah berkurangnya uang muka yang dibayarkan oleh para pembeli di luar negeri. Jika sebelumnya uang muka mencapai 40%, kini menyusut menjadi 20%. Karena itu para perajin mulai merasa kesulitan permodalan setiap akan memulai produksinya.

Para perajin mebel di Bulakan, Sukoharjo juga tengah bersiap untuk mengantisipasi terhentinya permintaan mebel dari AS. Hingga Oktober 2008 ini belum ada konfirmasi permintaan dari AS, padahal kontrak purchase order akan habis November 2008. Menurut Sekretaris Sentra Industri Bulakan Widoto, biasanya konfirmasi untuk memperbaharui kontrak selalu dilakukan satu bulan menjelang kontrak habis. Tidak adanya konfirmasi tersebut membuat para perajin cemas.

Karena itu para perajin kini tengah mempersiapkan diri untuk mencari pasar baru di luar AS. Mereka melirik pasar Timur Tengah dan Australia. Hanya saja pasar ekspor mebel ke Australia tidaklah semanis pasar AS. Selain permintaan tidak begitu tinggi, biaya pengapalan ke Australia justru jauh lebih tinggi meskipun jaraknya relatif dekat. Di samping itu, prosedur di pelabuhan Australia sangat rumit dan memakan biaya.

Perajin di Cirebon, Jabar, juga mulai merasa dampak krisis ekonomi AS. Selama ini ekspor rotan ke AS sebagian besar dalam bentuk kursi, lemari, dan interior rumah. Sejak Maret 2008 tidak ada lagi pengiriman produk rotan ke AS karena permintaan terhenti. Menurut salah seorang perajin, krisis di AS sebenarnya sudah terjadi sekitar satu tahun, tapi dampaknya baru dirasakan di Indonesia beberapa bulan lalu. Sebelum krisis melanda AS, seorang perajin setiap bulannya bisa mengirim sekitar 25 ribu unit mebel. Tetapi kini hanya 3 ribu unit furnitur berbagai jenis. Dampak ikutan lainnya, pembeli di AS semakin sulit melunasi pembayaran, sehingga jika ada permintaan lagi, para eksportir kini mengasuransikan kirimannya sebagai langkah antisipasi gagal bayar.

Dari Trangsan, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, dikabarkan pesanan mebel rotan juga terhenti. Importir negara itu menghentikan pesanan dengan alasan tidak ada pembeli di negara mereka mengingat mebel bukan kebutuhan primer. Haryanto, eksportir mebel rotan di sentra industri mebel rotan di Trangsan mengungkapkan, tiga pembeli tetapnya dari AS menghentikan pesanan sejak akhir September 2008 lalu. Ia sudah menjalin hubungan dagang dengan pembeli dari AS sejak empat tahun lalu. Setiap minggu dia mengirim satu kontainer mebel rotan senilai USD9.000.

Meski masih ada pesanan dari Eropa hingga April 2009 sebanyak 30 kontainer, namun kehilangan pembeli dari AS cukup memukul usahanya. Pasalnya, selama ini pembeli dari AS membeli secara rutin, sedangkan pembeli dari Eropa hanya memesan musiman. Pembeli dari Australia juga sedang sulit karena nilai tukar AUD terhadap rupiah sedang lemah sehingga pembelian sangat dibatasi. Oleh karena itu, pasar penjualan akan diperluas ke Timur Tengah dan Afrika Selatan dengan cara mengikuti pameran produk ekspor (PPE) di Jakarta akhir Oktober 2008 ini.

Ekspor mebel berbahan baku jati daur ulang khas Blora, Jateng, ke Eropa dan AS juga menurun 35%. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Blora Edy Sabar, rata-rata pendapatan total pengusaha yang bergabung dalam Asmindo Rp124 miliar/tahun. Tahun ini pengusaha tak mungkin mencapai nilai itu karena permintaan dari Eropa dan AS turun. Menurunnya ekspor itu berdampak pada usaha lain pendukung sektor mebel, seperti usaha ukir dan bubut kayu. Mereka adalah perajin kecil yang tersebar di desa-desa. Sejumlah perajin di Kabupaten Magelang mengakui mulai sepi pesanan. Namun, mereka belum mengetahui secara pasti apakah hal itu dampak dari krisis ekonomi global atau bukan.

Sebelumnya, pada Juli 2008 disebutkan ekspor mebel selama Januari-Juni 2008 naik sebesar 9,78% dibanding periode yang sama tahun 2007, yakni dari USD346,8 juta menjadi USD380,7 juta. Menurut Asmindo, total nilai ekspor pada tahun 2008 ini diperkirakan mencapai USD2,6 miliar, terdiri dari mebel sekitar USD2 miliar dan USD600 juta untuk kerajinan. Sementara, pada tahun 2009 ekspor mebel diperkirakan naik 10% atau USD2,2 miliar. Selama ini AS masih menjadi pasar terbesar mebel Indonesia. Porsi pasar AS mencapai 32,6% dari total ekspor mebel kayu Indonesia. Setelah itu, Jepang (11%), Belanda (9%), Perancis (6,6%), dan Inggris (4,6%). Selain kayu, jenis ekspor mebel juga berasal dari bahan rotan, bambu, besi, dan plastik.

Untuk mendukung kenaikan ekspor, pemerintah diminta memberikan dukungan kepada pasokan bahan baku. Selama ini para pengrajin kesulitan bahan baku, khususnya rotan. Menurut Menperin Fahmi Idris, langkanya bahan baku rotan disebabkan kurangnya pembinaan terhadap petani rotan di luar Pulau Jawa. Selama ini, usaha rotan hanya dikelola di Jawa, sedangkan sumber rotan berada di luar Jawa. Akibatnya daerah penghasil rotan tidak mendapat perhatian dan petani menjual secara ilegal.

Pemerintah harus bergerak cepat menyiapkan berbagai kebijakan riil mengantisipasi dampak krisis global. Insentif pajak dan dukungan promosi yang optimal di pasar internasional untuk produk ekspor mutlak dibutuhkan agar neraca pembayaran Indonesia tetap surplus. Di samping itu, kondisi ekonomi saat ini juga mencemaskan perajin kecil yang mengerjakan pesanan dari eksportir berupa kenaikan harga bahan finishing yang kebanyakan adalah impor, seperti tiner, melamin, dan busa. Kenaikan bahan-bahan tersebut mencapai 60%. Penurunan tarif pajak impor bahan baku akan sangat membantu industri mebel dan kerajinan. (AI)


Jumat, Oktober 24, 2008

Apa kabar gerhan?

Departemen Kehutanan memastikan target penanaman program Gerakan Nasional Rehabilitasi Lahan (Gerhan) tahun 2007-2008 seluas 2,9 juta ha tidak akan tercapai. Menurut Dirjen Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial (RLPS) Dephut Sunaryo, dari Rp8,5 triliun anggaran yang diajukan untuk Gerhan 2008, hingga saat ini Dephut baru menerima Rp325 miliar dengan target penanaman tahun 2008 mencapai 1,7 juta ha.

Pada Juni 2008 lalu Dephut telah menyerahkan dana Gerhan 2007 kepada 32 provinsi di Indonesia senilai Rp5,7 triliun. Rincian pembagian dana yang bersistem multitahun tersebut dari tahap pembibitan (pada musim kemarau) dan penanaman (mulai Oktober), serta pemeliharaan hingga tahun 2009 di setiap daerah ditentukan dari kemampuan menanam, potensi penghasilan, dan nilai kerusakan pada daerah aliran sungai (DAS) di wilayah masing-masing. Saat ini terdapat 62 DAS Prioritas I yang mengalami kerusakan di seluruh Indonesia. Target pelimpahan dana anggaran yang diserahkan diperuntukkan bagi 900.000 ha.

Penanaman Gerhan 2008 maupun rencana 2009 tetap akan dilanjutkan. Pasalnya, kondisi lahan kritis di Indonesia semakin memprihatinkan. Laju degradasi lahan yang terus meningkat setiap tahun harus diimbangi dengan upaya rehabilitasi atau penanaman yang semakin gencar. Untuk menutup kekurangan anggaran penanaman tahun 2008, Dephut sudah mengajukan penggunaan sisa anggaran lebih (SAL) Dephut tahun sebelumnya sekitar Rp2,5 trliun rupiah. Selain itu, Dephut juga sudah mengajukan penggunaan dana cadangan DR (dana reboisasi) yang saat ini tersedia sebesar Rp5 triliun rupiah.

Pemerintah menargetkan penanaman Gerhan akan menjangkau lahan kritis di seluruh Indonesia seluas 5 juta ha selama tahun 2003-2009. Sampai saat ini Dephut bekerja sama dengan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) baru menyelesaikan audit untuk Gerhan periode 2003-2006. Dari hasil audit ditemukan keberhasilan penanaman mencapai 73%. Audit dilakukan di 300 satuan kerja (satker) Gerhan. BPKP melakukan audit di satker yang berada di wilayah pemerintah kabupaten dan provinsi. Audit yang dilakukan baru pada realisasi tanam, tidak sampai menyentuh manfaat keseluruhan pelaksanaan Gerhan.

Sementara itu rencana Dephut menambah target perluasan Gerhan seluas 1,9 juta ha pada tahun 2009 mendapat catatan kritis dari komisi IV DPR. Pasalnya, bertambahnya target luasan tersebut akan menyedot anggaran negara hingga Rp12 triliun. Kalangan DPR menilai, realisasi penanaman Gerhan 2008 saja masih belum tercapai. Menurut Menhut, realisasi Gerhan untuk tahun 2008 masih banyak terkendala oleh terlambatnya anggaran yang seharusnya dipakai untuk pengadaan bibit maupun penanaman. Dari tingkat keberhasilan, Dephut mengklaim lebih dari 70% kegiatan Gerhan rata-rata mencapai keberhasilan sebesar 80%.

Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Suswono, banyaknya permasalahan program Gerhan tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Disarankan agar dilakukan audit program Gerhan yang telah berjalan dari tahun 2003. Dephut menyatakan, keberhasilan Gerhan rata-rata 80%, sedangkan LSM memiliki penilaian sekitar 40% saja. Komisi IV juga meminta agar Dephut memprioritaskan penanaman di daerah tangkapan air (catchment area) agar wilayah tangkapan air dapat segera direhabilitasi dan nantinya dapat bermanfaat bagi irigasi pertanian.

Dari Sumut dikabarkan Proyek Gerhan di Samosir sistem multi years tahun 2007 sampai tahun 2008 ini diduga dikerjakan secara asal-asalan. Proyek multi years sistem itu terbagi atas beberapa blok di Samosir, di antaranya Sihotang tiga blok, Pusuk Buhit satu blok, dan Simanindo dua blok. Setiap blok pekerjaan itu berbiaya antara Rp1,3 miliar sampai Rp1,6 miliar. Menurut ketua relawan pejuang demokrasi Catur Sihotang, di sekitar blok Sihotang ada 3 blok berbiaya hampir Rp4 miliar yang bibit pohonnya tidak tumbuh. Padahal proses pembayaran dilakukan jika bibit dinilai sudah tumbuh.

Sementara itu Program Gerhan seluas 1.000 ha di Kabupaten Klungkung tak jelas. Hingga September 2008 belum ada kepastian pelaksanaan program tersebut. Bibit sebanyak 400 pohon yang dirancang untuk 1 ha lahan juga tak jelas kapan pengirimannya. Rencananya, Gerhan 2008 menyasar 1.000 ha lahan kering dan tandus di wilayah Nusa Penida. Jumlah bibit yang ditanam berupa mahoni, cempaka dan lainnya, mencapai 400 pohon/ha. Sekitar 400 ribu pohon dikirim dari pusat. Gerhan di Klungkung terakhir berjalan tahun 2007 dengan luas lahan yang disasar mencapai 115 ha.

Pelaksanaan Gerhan 2008 di NTT mengorbankan kawasan hutan. Proyek yang bertujuan untuk merehabilitasi lahan kritis itu justru menyebabkan hutan seluas 700 ha dibakar warga untuk ditanami kembali dengan pohon bernilai ekonomis. Hutan itu terletak di 3 desa, yaitu Desa Linamnutu, Miomafu dan Pollo yang tersebar di Kecamatan Batu Putih dan Amanuban Selatan, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT. Hutan bambu, pohon kayu putih, kusambi, jati hutan, dan berbagai jenis pohon yang tumbuh di areal seluas 700 ha habis dibakar. Untuk pelaksanaan Gerhan (termasuk membersihkan hutan, memasang patok, menggali lubang, dan menyemai bibit), masyarakat mendapat upah Rp15.000-Rp20.000/orang/hari. Dari tiap desa direkrut 30-50 orang untuk proyek ini.

Kabar gembira datang dari Kulon Proga, selama 3 tahun terakhir, lahan kristis di wilayah tersebut mengalami penurunan seluas 700 ha. Dari 7.396,2 ha pada tahun 2005, pada tahun 2007 berkurang menjadi 6.696,2 ha atau sekitar 9,4 %. Diperkirakan, setiap tahun lahan kritis akan mengalami penurunan sebagai hasil konsevasi dan rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat. Hal ini merupakan salah satu hasil dari pelaksanaan Gerhan yang dicanangkan sejak tahun 2003. Gerhan memiliki pengaruh cukup besar untuk memotivasi masyarakat dalam melakukan konservasi dan rehabilitasi lahan.

Saat ini, di Kulon Progo terdapat 44 kelompok tani (Klomtan) yang mengelola lahan seluas 1.100 ha. Seluruh areal berada di kawasan Pebukitan Menoreh meliputi 7 kecamatan, yakni Kecamatan Samigaluh, Kalibawang, Girimulyo, Nanggulan, Sentolo, Kokap, dan Pengasih. Luas areal yang tergarap itu masih relatif sedikit dibanding luas hutan rakyat di Kulon Progo yang mencapai 17.031 ha, dengan lahan potensi kritis seluas 8.864 ha. Keberhasilan pemeliharaan tanaman oleh masyarakat sangat bagus. Dari hasil monitoring tim Satgas Gerhan Provinsi DIY dinyatakan bahwa angka pertumbuhan tanaman di areal pelaksanaan Gerhan untuk jenis kayu-kayuan mencapai 87,28 % dan MPTS 84,19 %. (AI)


Senin, Oktober 20, 2008

Gas

PT Perusahaan Gas Negara (PGN) mulai tahun 2009 membutuhkan tambahan gas minimal 200 juta standar metrik kaki kubik per hari (million metric standard cubic foot per day/MMSCFD) untuk memenuhi bertambahnya konsumen gas di Jawa. Menurut Direktur Utama PT PGN Hendi Prio Santoso, sesuai komitmen dengan konsumen industri, PGN masih mampu memenuhi pasokan gas melalui proyek pemipaan Sumatera Selatan Jawa Barat (South Sumatera West Java/SSWJ). Tetapi untuk permintaan baru, PGN harus mencari gas lagi.

Untuk itu, PGN mengharapkan kewajiban memasok gas ke dalam negeri bisa dilaksanakan. PGN sebagai perusahaan transporter membeli gas dari produsen dan menyalurkannya ke konsumen melalui pipa. Sampai 30 Juni 2008, volume penjualan gas untuk pelanggan industri tercatat 544 MMSCFD atau 98,7% dari total volume penjualan PGN. Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas BP Migas menyebutkan, produksi gas pada September 2008 adalah 7,708 MMSCFD, atau 99,4% dari target yang ditetapkan. Kepala BP Migas Raden Priyono mengatakan, target yang ditetapkan untuk gas pada tahun 2008 ini adalah 7,757 MMSCFD.

Berdasarkan data PGN, pasokan dan permintaan gas sampai enam tahun ke depan semakin tidak berimbang. Permintaan gas terus naik, dari 1.306 MMSCFD tahun 2008 ini menjadi 2.216 MMSCFD pada tahun 2014. Sementara itu pasokan gas dari produsen sekitar 799 MMSCFD tahun 2008 ini dan 773 MMSCFD pada tahun 2014. Tahun 2009, dari rencana 650 juta MMSCFD gas yang bisa dipasok melalui proyek SSWJ, seluruhnya akan diserap oleh konsumen di Jawa Barat.

Peta penjualan gas melalui pipa diperkirakan akan berubah dengan meningkatnya penggunaan gas oleh PT PLN. PGN dan PLN telah mengikat jual beli gas sebesar 273,2 MMSCFD. Gas akan dialirkan bertahap mulai Agustus 2008 sampai tahun 2009 untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Muara Tawar, PLTGU Tanjung Priok, dan PLTGU Cilegon. Di samping itu, PGN dan PLN juga telah menandatangani perjanjian jual beli gas senilai Rp5,65 triliun untuk pasokan gas 30 MMSCFD selama 10 tahun ke PLTGU Cilegon.

PGN merevisi target volume penjualan gas pada tahun 2008 menjadi 600 MMSCFD. Perkiraan itu lebih rendah daripada target awal volume penjualan gas sebesar 716 MMSCFD. Penurunan penjualan gas itu disebabkan tertundanya penyerapan gas oleh pelanggan dan mundurnya penyelesaian beberapa paket proyek distribusi di Jawa Barat. Meski demikian, angka revisi tersebut menunjukkan kenaikan sebesar 42% dari volume pada 2007 yang mencapai 422 MMSCFD. Peningkatan tersebut seiring dengan naiknya volume penjualan gas yang dialirkan melalui pipa transmisi SSWJ.

Hingga saat ini PLN telah membangun 13 PLTGU, namun hanya empat pembangkit yang sepenuhnya mendapatkan pasokan gas setiap hari. Dari kebutuhan gas pada tahun 2009 untuk 13 PLTGU sebesar 1.500 billion british thermal unit (BBTU)/hari, hanya sebesar 889 BBTU yang mampu dipasok pada tahun 2009. Hal tersebut dikarenakan jaringan infrastruktur pipa gas ke pembangkit belum siap. Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, pemanfaatan gas alam tidak serta-merta, karena belum ada pembangunan infrastruktur pipa. Pembangunannya bisa membutuhkan waktu 10 tahun dari Sumatera ke seluruh Jawa.

Ketidaksiapan pasokan gas terlihat seperti pada PLTG Tambak Lorok, Semarang dengan kapasitas 1.000 megawatt (MW). Saat ini PLTGU Tambak Lorok baru mendapat pasokan dari lapangan Gundih milik Pertamina sebanyak 50 MMSCFD. Pasokan lain bisa diperoleh dari Blok Cepu, Bojonegoro. Untuk itu dibutuhkan infrastruktur pipa sepanjang 150 km dari Cepu ke Tambak Lorok. Akibatnya pasokan belum mencukup, PLTGU Tambak Lorok masih menggunakan bahan bakar solar dengan high speed diesel (HSD). Sementara itu PLTGU Gresik berkapasitas 1.500 MW membutuhkan gas sebesar 350 BBTU/hari, sedangkan yang mampu dipasok hanya 220 BBTU/hari.

Pemerintah, dalam hal ini Dirjen Migas Departemen ESDM mengusulkan produksi gas dalam asumsi RAPBN 2009 sebesar 7.526 ribu mmbtu/hari atau setara 1,384 juta barel setara minyak/hari. Sementara itu perkiraan produksi gas tahun 2008 adalah 6.402 ribu mmbtu/hari atau 1,117 juta barel setara minyak/hari. Dengan asumsi produksi minyak RAPBN 2009 sebesar 927-950 ribu barel/hari, maka gabungan produksi minyak dan gas mencapai 2,311-2,334 juta barel/hari.

Harga gas Indonesia (Indonesia Gas Price/IGP) dalam RAPBN 2009 diusulkan sebesar USD7,2/mmbtu. Asumsi tersebut merupakan gabungan harga ekspor USD9,8/mmbtu dan domestik USD4/mmbtu. Perhitungan harga gas itu berdasarkan 72 kontrak gas yang terdiri dari 54 kontrak dengan harga tetap, 10 kontrak dengan eskalasi, dan 8 sisanya memakai formula. Contoh harga gas tetap sepanjang kontrak adalah antara Santos Madura Offshore dan PGN Jatim pada USD2,41/mmbtu, sedangkan harga gas dengan eskalasi adalah JOB Pertamina HESS Jambi Merang dengan PLN pada 2,57/mmbtu dengan eskalasi 3%/tahun sampai tahun 2019.

Untuk mengatasi masalah penyaluran dan kelangkaan gas di masyarakat, distribusi gas yang saat ini masih dijual dengan menggunakan tabung, direncanakan akan diubah yaitu dengan menggunakan pipa-pipa yang dihubungkan langsung ke tiap-tiap rumah konsumen. Penyaluran gas melalui pipa ke rumah warga direncakan dilakukan di 4 kota di Kaltim, yaitu Balikpapan, Samarinda, Bontang, dan Tarakan.

Saat ini gas pipa yang siap dibangun ada di Kota Tarakan, Kaltim. Pemda Tarakan sangat mendukung dan pasokan gas pun sudah tersedia karena lapangan eksplorasinya terletak di sekitar kota. Pasokan gas di Kota Tarakan berasal dari perusahaan gas nasional, PT Medco Energi sebesar 1 MMSCFD. Gas itu akan memenuhi kebutuhan 36.000 rumah tangga, atau sekitar 180.000 penduduk Kota Tarakan.

Namun, untuk merealisasikannya dibutuhkan kajian mendalam khususnya dari segi keamanannya, karena gas merupakan bahan yang mudah terbakar sehingga bisa membahayakan masyarakat. Kontrak jual-beli gas akan dilakukan oleh Pemkot Tarakan. Pembangunannya dilaksanakan oleh BUMD. Vice President Relations PT Medco Energi Aditya Mandala menuturkan, gas alam yang rencananya akan memasok gas kota Tarakan sebesar 1 MMSCFD, berasal dari produksi lapangan gas Medco di Tarakan. Produksi lapangan Tarakan mendapat tambahan produksi sebesar 1 MMSCFD pada tahun 2009 nanti.
Produksi gas Medco di Tarakan pada tahun 2009 sekitar 21 MMSCFD. Sekitar 16 MMSCFD untuk Methanol Bunyu, 4 MMSCFD untuk PLN dan keperluan internal Medco. Kontrak jual-beli gas Methanol Bunyu hingga 31 Desember 2010. Sementara itu, kontrak jual-beli pasokan gas Medco ke PLN sampai dengan tahun 2013. (AI)


Jumat, Oktober 17, 2008

Peringkat turun, investasi daerah juga turun

Peringkat Indonesia dalam laporan International Finance Corporation (IFC) Doing Business 2009 menurun dua peringkat dari 127 menjadi 129 dari 181 negara. Tahun 2007 lalu, Indonesia berhasil mendongkrak peringkatnya dari 135 (dari total 175 negara) pada tahun 2006 menjadi 123 dari total 178 negara. Menurut Country Manager IFC Indonesia Adam Sack, penurunan peringkat Indonesia dalam Doing Business 2009 lebih disebabkan oleh kurang cepatnya reformasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal kemudahan bisnis dibanding negara lain, seperti Thailand, Kamboja, dan Malaysia. Ketiga negara itu berhasil mencatat lonjakan peringkat secara drastis. Thailand masuk ke posisi 13 dari 19, Kamboja 135 dari 150, dan Malaysia 20 dari 25.

Doing Business 2009 yang diluncurkan kemarin memasukkan 10 indikator penilaian, yaitu dalam memulai usaha, pengurusan izin, pengangkatan tenaga kerja, pendaftaran properti, mendapatkan kredit, perlindungan investor, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas negara, kontrak, dan menutup usaha. Dari hasil survei yang dilakukan pada periode Juni 2007-Juni 2008, IFC mencatat sejumlah keberhasilan yang dilakukan pemerintah antara lain indikator memulai usaha, mendapatkan kredit, pengurusan perolehan izin, pendaftaran properti, dan pengangkatan tenaga kerja. Kemudahan melakukan bisnis ini sangat berpengaruh pada daya tarik investasi di Indonesia.

Terkait dengan otonomi daerah, melemahnya tren investasi tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh melemahnya investasi di daerah, dan hal ini membuat pemerintah pusat prihatin. Setelah ditelusuri, ternyata salah satu penyebabnya adalah sikap aparat pemda yang tidak berpihak pada penanam modal. Akibatnya, investor sering berpikir dua kali sebelum menanamkan uangnya di daerah. Menurut Dirjen Bina Pembangunan Daerah Depdagri Samsul Riva'i, produktivitas aparat pemda untuk menggaet in¬vestor sangat rendah.

Hal ini mendorong pemerintah pusat merasa perlu membuat aturan khusus agar daerah menjadi lebih ramah investasi, yakni melalui PP 45/2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, yang mengatur pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah. Sesuai pasal 3, insentif bisa berbentuk pengurangan dan pembebasan pajak serta retribusi daerah, atau pemberian dana stimulan dan pemberian bantuan modal. Di samping itu, pemberian kemudahan bisa berbentuk penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal, termasuk pemberian bantuan teknis dan percepatan pemberian perizinan.

Kriteria umum pengusaha yang berhak diberi insentif, antara lain menyerap banyak tenaga kerja lokal. Lalu, berkontribusi pada bidang pelayanan publik, membangun infrastruktur, dan melakukan industri pionir. Industri yang berada di daerah terpencil, daerah perbatasan, atau daerah tertinggal juga mendapat prioritas. Semua insen¬tif dan kemudahan itu harus diatur dengan perda yang disahkan DPRD setempat. Bupati atau wali kota menyampaikan laporan tentang pemberian insentif tersebut kepada gubernur secara berkala. Yang terpenting adalah semua pengusaha harus mendapat insentif dan kemudahan yang sama. Kepala daerah tak boleh pilih-pilih, harus transparan.

Saat membacakan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR pada Agustus 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pimpinan daerah menghilangkan hambatan investasi untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja. Perbaikan iklim investasi juga harus didukung dengan pengawasan yang berkelanjutan terhadap berbagai peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Pemerintah telah membatalkan 1.012 perda dari 6.500 perda karena dianggap menghalangi masuknya investasi, memberatkan masyarakat, dan bertentangan dengan undang-undang. Menurut Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri Djiman Murdiman Saroso, masih banyak pemda menerbitkan perda-perda bermasalah yang menghalangi iklim kondusif bagi masuknya invetasi. Pemda lebih banyak menargetkan untuk mencari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan sebanyak mungkin perda restribusi.

Berdasarkan hasil penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), persoalan perda merupakan salah satu kendala daya tarik investasi daerah. Ada lima kendala menurut KPPOD, yakni kelembagaan (31%), sosial politik budaya (26%), tenaga kerja dan produktivitas (13%), ekonomi daerah (17%), dan infrastruktur fisik (13%). Masih sedikit pemda yang sadar terhadap pentingnya investasi sebagai penggerak roda perekonomian di daerah.

Sementara itu, pelaksanaan otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal, akan menghadapi ujian berat pada tahun 2009, seiring dengan rencana pemerintah pusat menerapkan konsep sharing the pain dalam dana alokasi umum (DAU). Presiden RI menyatakan pemerintah pusat merencanakan untuk memperhitungkan subsidi energi dan subsidi pupuk sebagai faktor pengurang penerimaan dalam negeri (PDN) neto, sebelum pembagian total pagu DAU sebesar 26% ke daerah. Sementara pada tahun yang sama, Indonesia juga melaksanakan perhelatan akbar pemilihan umum, di mana situasi politik akan memanas, baik di pusat maupun di daerah.

Hal ini akan berdampak pada penyerapan anggaran pemerintah pusat dan daerah pada tahun 2009 menjadi perhatian serius pemerintah. Belum lagi euforia otonomi daerah dalam menggenjot PAD sehingga presiden harus mengingatkan pemda agar tidak berlebihan dalam meningkatkan PAD. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, perubahan formulasi penerimaan domestik neto adalah upaya perbaikan mekanisme transfer anggaran ke daerah. Pada tahun 2009, pemerintah pusat mengalokasikan DAU sebesar Rp183,4 triliun.

Selain persoalan formula berbagi beban, pelaksanaan otda akan diuji saat Depkeu dan DPR mengkaji kemungkinan menghentikan penyaluran DAU bagi daerah pemekaran yang baru dibentuk karena dianggap memberatkan anggaran. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Agung Pambudi, tantangan terbesar bagi penyelenggaraan otonomi daerah pada tahun 2009 adalah peningkatan tren pemekaran daerah. Saat ini pemekaran daerah sudah berkembang menjadi 510 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Buruknya laporan keuangan daerah juga menjadi perhatian serius BPK, yang menyebutkan laporan keuangan pemda selama periode 2004-2007, dari sisi transparansi dan akuntabilitas semakin buruk. (AI)


Pariwisata perlu perbaikan infrastruktur

Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (Menbudpar) Jero Wacik mengatakan, perolehan kunjungan 2,902 juta wisatawan mancanegara (wisman) ke Indonesia selama semester I/2008 merupakan pertanda baik, mengingat pada semester II biasanya wisman akan meningkat tajam seiring dengan masuknya musim liburan, sehingga target 7 juta wisman pada akhir Desember 2008 bakal tercapai. Angka 2,902 juta wisman ini lebih tinggi 11,66% dibanding semester I/2007.

Untuk mencapai target 7 juta wisman tersebut, pemerintah melakukan sejumlah kegiatan promosi. Sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah yakni fokus pada sembilan negara yang dianggap sebagai pasar paling potensial. Negara-negara yang dimaksud adalah Singapura, Malaysia, Jepang, Korea Selatan, India, Jerman, China, Eropa, dan Timur Tengah. Di samping itu, Depbudbar juga akan melakukan intensifikasi pemasaran dan promosi melalui kerja sama dengan pihak lain seperti bank, asosiasi perjalanan, maskapai penerbangan dan lain-lain.

Pemerintah juga sedang dalam proses penambahan jaringan kantor perwakilan di lima negara sebagai bagian dari upaya peningkatan promosi dan pemasaran. Sebelumnya, kantor perwakilan pariwisata Indonesia hanya terdapat di tiga negara, yakni Jepang, China, dan Australia. Namun, dengan melihat kebutuhan di pasar, jumlah kantor perwakilan akan ditambah di Singapura, Malaysia, Korea Selatan, India, dan Eropa.

Direktur Promosi Luar Negeri Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) I.G. Pitana mengatakan, Depbudpar juga akan menggiatkan kembali cross border program dengan tujuan untuk menarik wisatawan dari negara-negara tetangga dengan memanfaatkan potensi di daerah perbatasan. Namun, pemerintah masih menghadapi sejumlah kendala utama yakni ketersediaan infrastruktur dasar, aksesibilitas, dan dana. Infrastruktur yang ada masih belum memadai sebagai pelengkap obyek wisata yang patut diandalkan.

Saat ini daerah yang menjadi favorit tujuan wisata adalah Bali. Oleh karena itu, pengembangan Bali ke depan akan memberikan kontribusi yang semakin besar terhadap pembangunan pariwisata nasional, dengan harapan mampu meningkatkan perolehan devisa negara. Gubernur Bali Drs Made Mangku Pastika mengatakan, pemerintah pusat seyogyanya lebih memerhatikan serta memelihara dan membangun insfrastruktur yang memadai di Bali. Untuk itu pemerintah pusat diharapkan lebih besar menyediakan dana alokasi khusus (DAK) untuk Bali dalam tahun 2009.

Keberadaan sumber pendapatan daerah dalam era otonomi daerah harus mendapat perhatian yang serius seperti halnya pendapatan asli daerah (PAD) yang bersumber dari perusahaan daerah dan sumber-sumber potensial lainnya. Gubernur Bali sependapat untuk melakukan restrukturisasi terhadap permodalan unit usaha maupun manajemen, sehingga perusahaan daerah yang ada mampu memberikan kontribusi yang lebih baik terhadap PAD.

Berkembangnya pariwisata Bali telah mendorong Pemkab Sumenep, Madura, Jawa Timur, ingin secepatnya mewujudkan rute penerbangan segitiga pariwisata, yakni Surabaya-Sumenep-Bali pulang pergi (pp), dengan harapan pariwisata Sumenep akan ikut terdorong. Salah satu keluhan yang sering diungkapkan wisman ketika berkunjung ke Sumenep adalah lamanya perjalanan dari Surabaya, yang memakan waktu sekitar enam jam.

Kendala infrastruktur juga terjadi di Provinsi Lampung. Fasilitas umum di obyek-obyek wisata belum memadai. Apalagi, promosi serta publikasi masih kurang gencar dan sangat minim. Di samping itu, pengemasan paket-paket wisata belum berjalan secara optimal dan pemasarannya sangat lemah juga kemitraan antara stakeholder pariwisata belum berjalan dengan baik.

Padahal menurut Kepala Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung Suryono SW, potensi pariwisata di Lampung sangat besar karena memiliki berbagai obyek wisata yang menarik dan layak jual ke wisatawan. Saat ini Lampung memiliki 153 obyek wisata alam, bahari, agro wisata, wisata sejarah, dan 26 obyek wisata budaya. Obyek wisata alam yang terkenal di antaranya Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yang memiliki kekayaan alam berupa satwa Badak Sumatera, Gajah Sumatera, dan aneka kupu-kupu endemik Sumatera. Juga Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) yang terkenal dengan obyek wisata selancar di Lampung Barat.

Juga ada Gunung Anak Krakatau yang masih aktif dan Gunung Krakatau Purba yang memiliki keindahan luar biasa. Bahkan di dasar laut gunung itu mengeluarkan gelembung-gelembung yang diduga berasal dari kawah di bawah laut, juga ada karang kipas serta biota laut yang masih alami. Data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Lampung menyebutkan, angka kunjungan wisnus setiap tahun terus meningkat. Pada tahun 2005 kunjungan wisnus ke Lampung sebanyak 689.112 orang, tahun 2006 sebanyak 843.768 orang, dan pada tahun 2007 sebanyak 1.176.581 orang. Adapun pada tahun 2009, Lampung yang sudah mencanangkan Visit Lampung 2009 menargetkan jumlah kunjungan wisnus dan wisman naik seratus persen.

Sementara itu, sektor pariwisata Indonesia selain menyumbangkan penerimaan negara yang tahun 2007 lalu mencapai USD5,3 miliar, industri jasa ini juga melibatkan jutaan tenaga kerja di bidang perhotelan, makanan, transportasi, pemandu wisata, sampai industri kerajinan. Namun, secara umum penyerapan tenaga kerja sektor pariwisata tahun 2008 masih stagnan dan belum menunjukkan tanda-tanda bergairah lagi. Meski sudah ada beberapa investor asing dari Arab Saudi, Malaysia, Singapura yang mau menanamkan modalnya di sektor pariwisata, namun hingga kini belum ada realisasi proyeknya.

Arab Saudi akan membangun hotel dan resort di NTB, Malaysia membangun proyek kawasan wisata terpadu eksklusif (KWTE) Treasure Bay Bintan di Pulau Bintan yang sampai kini mengalami hambatan birokrasi di daerah. Sementara pembangunan hotel baru di Jakarta belum ada, hanya ada rehabilitasi hotel lama. Dampaknya, penyerapan tenaga kerja di sektor pariwisata masih stagnan. Dan memang saat ini ada sekitar 8 juta tenaga kerja di sektor pariwisata ini dan sekitar 55% terserap di hotel dan restoran.

Di Jakarta saat ini ada sekitar 40.000 kamar hotel berbintang dan nonbintang. Sementara tingkat huniannya baru mencapai rata-rata 60%. Ini berarti sekitar 18.000 dari 20.000 kamar hotel berbintang dan nonbintang di Jakarta kosong setiap hari. Dengan tingkat hunian hotel yang rendah, pemilik hotel tidak mungkin menambah tenaga kerja. Karyawan tidak dikurangi, namun untuk menekan biaya operasional itu kini ada yang dialihtugaskan untuk menangani bidang food & beverage (F&B), mengingat pendapatan F&B lebih tinggi ketimbang menjual kamar hotel. (AI)

Rabu, Oktober 15, 2008

Berlomba-lomba menjadi KEK

Konsep kawasan ekonomi khusus atau KEK didesain untuk menggantikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) yang saat ini sudah diterapkan di empat daerah, yakni Sabang, Batam, Bintan, dan Karimun. Menurut Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian Bambang Susantono, desain untuk menarik investor asing jauh lebih lengkap dalam konsep KEK dibanding FTZ.

Salah satu keunggulan yang akan dikembangkan di KEK adalah adanya 7 zona eksklusif yang bisa dibangun sesuai dengan klasifikasinya. Tujuh zona itu adalah zona pengolahan ekspor, techno park, zona logistik, zona industri, serta zona ekonomi lainnya. Zona ekonomi lainnya yang dimaksud antara lain zona pariwisata, zona jasa keuangan, dan zona olahraga. Setiap zona akan mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan klasifikasinya. Misalnya, industri yang ada di zona pengolahan ekspor akan mendapatkan keringanan bea keluar yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.

Ada sekitar 17 provinsi mengajukan diri untuk menjadi KEK. Daerah-daerah tersebut berebut untuk menjadi KEK karena dengan begitu wilayahnya sudah bisa dipastikan memiliki keunggulan dalam menarik investor asing. Provinsi yang sudah menyampaikan surat permohonan resmi terdiri dari Sumut, Riau, Sumsel, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Sulteng, Kalbar, Kaltim, Sulut, Papua, Bengkulu, Jakarta, Maluku, dan Babel. Satu provinsi disarankan hanya mengajukan satu wilayah sebagai calon KEK.

Hingga sekarang, syarat legal penetapan kawasan khusus ini masih dalam tahap penyusunan RUU di DPR. RUU KEK secara resmi sudah masuk ke DPR sejak Mei 2008. Dalam pembahasannya nanti, pemerintah antara lain akan diwakili oleh Depdag dan Depkeu. Ketua Panitia Khusus Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DPR Harry Azhar Azis mengatakan, hingga saat ini DPR belum membentuk Panitia Khusus RUU KEK. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 September 2008 lalu telah diputuskan untuk mengembalikan pembahasan hal tersebut ke Badan Musyawarah DPR untuk dibicarakan lagi.

Konsep KEK berbeda dengan FTZ yang saat ini sudah ada, sebab FTZ justru terpisah dari kawasan pabean. Sementara KEK tetap ada di dalam wilayah pabean. Dalam draft naskah akademis RUU KEK yang disodorkan Pemerintah ke DPR disebutkan salah satu kemudahan KEK adalah diberikannya sejumlah insentif berinvestasi. Misalnya kemudahan di bidang perpajakan dengan skema perpajakan tertentu berupa pengurangan tarif pajak, pengecualian pajak/tax exempetion, depresiasi yang dipercepat sampai dengan pembebasan atau pengurangan pajak untuk jangka waktu tertentu. Kemudahan perpajakan juga diberikan kepada perusahaan yang memberikan pelatihan kepada pekerja, membangun perumahan pekerja atau menyediakan transportasi pekerja.

Di samping itu, cukai juga akan diberikan sebagai salah satu kemudahan dalam KEK. Di bidang cukai, kepada otoritas kawasan akan diberikan kewenangan dalam pengusulan tarif cukai atas barang- barang impor di kawasan KEK yang menyangkut berbagai kegiatan KEK seperti industri manufaktur, usaha pariwisata, pergudangan dan perdagangan.

Di wilayah KEK juga diberikan kemudahan keimigrasian. Penanam modal asing akan diberikan fasilitas bebas visa kunjungan singkat dalam bentuk VOA (Visa On Arrival) misalnya jangka waktu 30 hari dibanding semula yang hanya diberikan waktu 7 hari. Lainnya, kemudahan dalam pemberian ijin kunjungan bagi keperluan investasi dan atau jin tinggal terbatas dengan kemungkinan memperpanjang waktu berlakunya, termasuk kemudahan pemberian ijin masuk kembali beberapa kali perjalanan (multiple reentry) yang disesuaikan dengan masa berlaku mengingat banyaknya pengusaha mancanegara yang akan datang berkunjung ke KEK.

Secara umum insentif yang mendorong ke-17 provinsi itu berebut menjadi KEK adalah fasilitas fiskal yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan fasilitas fiskal di kawasan perdagangan FTZ. Di FTZ hanya ada pembebasan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan cukai. Sementara di KEK ada lima fasilitas fiskal. Pertama, impor barang ke KEK mendapatkan penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, dan tidak dipungut PPN serta PPnBM. Kedua, penyerahan barang dari daerah pabean Indonesia lainnya (DPIL) ke KEK memperoleh fasilitas PPN dan PPnBM. Ketiga, mendapatkan fasilitas pajak daerah dan retribusi daerah. Keempat, diberi tambahan fasilitas PPh sesuai karakteristik zona. Kelima, memperoleh pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Harry Azhar Azis melanjutkan, dalam pembentukan KEK sebaiknya tidak perlu ada penjatahan untuk setiap provinsi karena pembentukan KEK menyangkut kemampuan masing-masing daerah. KEK ditengarai bisa menjadi senjata daerah untuk menarik investor asing. Dengan demikian, daerah dibebaskan saja untuk memiliki KEK. Asalkan dalam perjalanannya tidak menuntut pemerintah pusat untuk ikut dalam pembiayaan, dan sebagainya. Pemerintah pusat cukup diminta untuk membuat peraturannya saja.

Menurut Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro, KEK bisa berhasil apabila memiliki keunggulan dalam jaring distribusi global. KEK yang disetujui pemerintah sebaiknya berada di kawasan strategis dalam jalur pelayaran internasional. KEK harus memiliki daerah pendukung yang kuat supaya memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor dan investasi nasional.

Pulau Jawa ternyata masih sangat favorit untuk tempat berinvestasi bagi pemodal asing dan dalam negeri. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, pemodal dalam negeri (PMDN) masih menyukai Jawa Barat sebagai urutan teratas lokasi berinvestasi, disusul Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Riau. Sementara Pemodal asing (PMA) juga menganggap Jawa sebagai lokasi berinvestasi. Bedanya PMA memfavoritkan DKI Jakarta di urutan pertama, disusul Jawa Barat, Riau, Banten, dan Jawa Timur.

Per Januari sampai Agustus 2008, realisasi investasi PMDN Rp12,89 triliun turun 59,9% dibanding periode yang sama tahun 2007 Rp32,15 triliun. Penurunan PMDN karena beberapa investor memilih menggunakan perusahaan asing, dengan pertimbangan pajak yang lebih rendah. Untuk PMA per Januari sampai Agustus 2008 mengalami pertumbuhan 41,7% atau Rp103,68 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2007 Rp73,17 triliun. Secara keseluruhan, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA, periode Januari-Agustus 2008 mencapai Rp116,57 triliun atau tumbuh 10,7% dibanding periode yang sama tahun 2007 Rp105,32 miliar. (AI)


Senin, Oktober 13, 2008

Minyak Kelapa Sawit

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, citra minyak kelapa sawit dengan sengaja dibuat negatif di Eropa karena disinyalir adanya persaingan bisnis sejenis dari sejumlah negara produsen minyak lainnya. Isu yang dihembuskan antara lain sawit dianggap bermasalah dengan lingkungan dan merusak hutan ketika awal membudidayakan. Hal tersebut terungkap dalam Pembicaraan Meja Bundar dengan anggota Parlemen Eropa di Brussel.

Dalam hal ini minyak sawit untuk pangan tidak dipermasalahkan. Namun UE melalui Ketentuan UE tentang Energi Terbarukan dan Kualitas Bahan Bakar (Directives on Renewable Energy and Fuel Quality/DREFQ) menempatkan minyak sawit untuk biodiesel sebagai kurang berkualitas dengan alasan tidak ramah lingkungan. Ketentuan DREFQ ini akan berdampak langsung pada kedua negara, yang saat ini merupakan pemasok 85% kebutuhan minyak sawit dunia. Tahun lalu Indonesia memproduksi 16,9 juta ton minyak sawit, sementara Malaysia 15,82 juta ton.

Dalam komunike bersama seusai pembicaraan, Indonesia dan Malaysia menyampaikan keprihatinannya atas usulan penghematan emisi untuk biodiesel dari minyak sawit yang akan ditetapkan UE melaui DREFQ, yakni di bawah batas nilai 35%. Hal ini akan mengucilkan minyak sawit dan meletakkan syarat-syarat berat untuk menyediakan data aktual untuk setiap pengiriman minyak sawit atau biodiesel yang diekspor ke UE. Ditambahkan bahwa nilai-nilai yang diatur UE itu didasarkan pada data sekunder, yang tidak mewakili skenario saat ini.

Pada tanggal implementasi di Januari 2008 lalu, kedua negara sebenarnya telah setuju bahwa DREFQ hendaknya efektif secara prospektif dan tidak retrospektif, karena hal itu tidak adil bagi pelaku ekonomi. Kedua negara juga mengusulkan agar diberi kelonggaran selama tiga tahun setelah DREFQ tersebut diberlakukan. Kedua negara juga menilai bahwa definisi 'hutan' dan 'penggundulan hutan' masih belum jelas dan muncul untuk mencegah penanaman kembali tanaman seperti karet ke kelapa sawit di mana kedua negara meyakini bahwa itu bukan intensi dari DREFQ.

Pada prinsipnya, keberatan UE itu karena persaingan dagang sehingga sengaja menjelekkan citra kelapa sawit dari Indonesia. Ada upaya bagi sejumlah negara di Eropa untuk menawarkan minyak kedelai dan biji bunga matahari sebagai pengganti minyak sawit. Padahal pembukaan lahan untuk kedelai dan bunga matahari akan lebih parah ketimbang sawit karena rentang waktu tanam hanya selama enam bulan. Setelah itu areal akan gundul kembali, sedangkan sawit mencapai 25 tahun.

Dalam akhir pertemuan, Indonesia dan Malaysia kembali menegaskan dan mendesak Parlemen Eropa untuk mau mendengar sikap Indonesia dan Malaysia. Nampaknya usaha bersama Indonesia dan Malaysia ini akan dapat mengubah citra kelapa sawit yang banyak digunakan berbagai keperluan, apalagi industri sawit antara kedua negara serumpun yang bermula dari Afrika dan ditanam di Taman Botani Bogor, Indonesia sejak tahun 1848 punya sejarah panjang. Di Indonesia saat ini terdapat 190 juta ha lahan sawit dan 133 ha areal hutan dan 86 juta ha diantaranya masih dalam kondisi utuh, sedangkan lahan pertanian hanya 36 juta ha.

Yang jelas ketentuan UE itu akan berdampak langsung terhadap Indonesia dan Malaysia yang saat ini sebagai pemasok minyak sawit terbesar di dunia, yakni 85% kebutuhan minyak sawit dunia. Bagi Indonesia, minyak sawit adalah industri sangat penting yang memberikan kehidupan kepada jutaan penduduk serta menopang program pemberantasan kemiskinan. Lebih dari lima juta tenaga kerja terlibat di perkebunan kelapa sawit mulai menanam, mengelola dan sampai memasyarakatkan. Bahkan bisa mencapai lebih dari 11 juta tenaga kerja yang dapat diserap, belum lagi devisa negara yang diperoleh dari minyak kelapa sawit.

Namun demikian, ketentuan UE terkait minyak sawit jelas akan menimbulkan banyak hambatan dan menghadapi kesulitan untuk ekspor ke Eropa. Namun posisi Indonesia meminta UE memperlakukan minyak sawit secara adil dengan minyak nabati lainnya dan meminta agar persepsi negatif tersebut harus berdasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Harga komoditas kelapa sawit terus merosot. Di sejumlah pedesaan di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, harga tandan buah segar (TBS) pada minggu terakhir September 2008 hanya Rp650/kg. Sebulan lalu, harganya masih Rp1.300/kg. Penurunan harga kelapa sawit seiring dengan penurunan harga minyak dunia. Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat Marsul mengatakan, di daerah yang masih terjangkau kendaraan, harga TBS sekitar Rp1.100-1.200/kg. Harga tertinggi TBS pernah mencapai Rp1.900/kg. Di daerah pelosok yang membutuhkan biaya angkut besar, harga TBS bisa jauh lebih rendah. Bahkan, permainan harga beli TBS masih sering ditemui di daerah yang sulit dijangkau ini.

Selain harga TBS merosot, pupuk urea untuk kebutuhan sawit juga sulit diperoleh petani. Kalaupun ada, harganya meningkat 15% dari harga normal. Harga pupuk yang biasanya Rp500.000/50 kg kini sudah mencapai Rp600.000. Kesulitan pupuk di Air Bangis sudah dirasakan sejak setengah tahun terakhir. Akibatnya, petani kerap mengurangi jatah pupuk untuk tanaman sawit mereka. Ini bisa menyebabkan buah sawit yang dihasilkan juga berkurang.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaludin Hasibuan mengatakan, krisis di pasar finansial yang melanda dunia membuat para spekulan kembali melirik sektor komoditas sebagai sarana investasi. Kehadiran dan ulah spekulan ternyata tak selamanya berdampak buruk bagi pasar CPO di Indonesia. Ada sisi positif kehadiran spekulan CPO. Mulai September hingga Desember 2008 ini bakal ada panen raya sawit. Volume produksi CPO pada masa panen raya kali ini diperkirakan akan mencapai 2,3 juta ton. Saat itu para spekulan biasanya akan memborong CPO yang ada di pasar sehingga CPO hasil panen bakal terserap. Aksi para spekulan akan menghilangkan ancaman over supply CPO.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga sependapat dengan Akmaluddin. Menurutnya, ulah para spekulan belum akan mengubah keadaan harga menjadi lebih baik. Instrumen yang paling efektif mengerek harga CPO adalah kewajiban pemakaian biodiesel di sektor industri. Kehadiran beleid ini sama halnya garansi bahwa seluruh produksi CPO bakal terserap pasar di dalam negeri. Jika pemerintah segera menerbitkan beleid itu, harga CPO bisa naik menjadi Rp8.000 - Rp9.000/kg, sedangkan harga dunia bisa mencapai USD800 sampai USD900/ton. (AI)


Jumat, Oktober 10, 2008

Sertifikasi UKM

Sebanyak 400 usaha kecil menengah (UKM) di kota dan kabupaten di Jabar mendapat sertifikasi halal dan lulus uji kesehatan sebagai produk industri rumah tangga (PIRT). Di samping itu, 400 UKM lainnya mendapat sertifikasi untuk produk usaha dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Jabar, serta 100 UKM mendapatkan hak merek produk sendiri. Sertifikasi yang diperoleh UKM tersebut sebagian besar bergerak di sektor produksi makanan, sisanya produk jasa dan barang.

Menurut Kepala Dinas KUKM Jabar Mustopa Djamaludin, aspek legal ini merupakan satu keharusan bagi UKM untuk memperpanjang masa usaha. Dengan adanya sertifikasi ini, lalu lintas produk makin panjang dan meluas. Sertifikat halal untuk kualitas produk juga akan meningkatkan daya saing setiap produk UKM di pasar terbuka. Selain itu, fasilitas tersebut diperlukan untuk memberi wawasan dan hak bagi KUKM. Pasalnya, masih ada KUKM yang tidak memedulikan adanya hak merek dan sertifikasi halal. Sehingga tak sedikit produk KUKM asal Jabar yang diklaim oleh provinsi lain bahkan oleh negara lain.

Untuk memperoleh sertifikasi hak merek memang memerlukan proses cukup lama, yakni 1 tahun 8 bulan. Termasuk di dalamnya ada penelitian dan pengumuman tentang merek tersebut selama 6 bulan. Bahkan jika sudah diumumkan, ketika ada klaim mempermasalahkan mereknya, tentu proses menjadi lebih panjang lagi. Demikian pula dengan terbitnya sertifikat halal dari MUI, perlu proses tersendiri. Semua proses ini meliputi penilaian dari bahan baku, proses pengadaan, proses pemasakan, pengemasan, dan lainnya. Biayanya sertifikasi tergolong mahal. Untuk sertifikasi halal butuh biaya Rp1 juta untuk satu produk.

Dari Sumsel diberitakan, sejak eksis di Sumsel pada Juli 2007 lalu pihak Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LP-POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel hingga Agustus 2008 baru mengeluarkan enam sertifikat halal bagi UKM yang melakukan kegiatan di sektor makanan jadi. Hal ini sungguh ironis bila melihat jumlah UKM yang memproduksi makanan jadi yang telah mengantongi izin dari Disperindag Sumsel mencapai 1.552 unit usaha yang terdaftar dan berada di 15 kabupaten dan kota yang ada di Sumsel.

LP-POM MUI Sumsel mengalami hambatan untuk melakukan sertifikasi izin, selain payung hukum yang menjadi kekuatan lembaga ini belum tersedia, juga belum adanya perda yang mengatur hal ini. Kendala lain, rendahnya kesadaran para pengusaha sendiri, dan minimnya biaya LP-POM MUI Sumsel untuk jemput bola. Pihak LP-POM MUI Sumsel berharap agar para pengusaha yang bergerak di sektor makanan jadi di Sumsel - baik dalam skala kecil, menengah dan besar - agar segera melakukan sertifikasi terhadap produk yang mereka hasilkan, mengingat banyaknya makanan yang beredar di pasaran, yang tidak memiliki label halal.

Untuk memperoleh label halal, satu item makanan dipungut biaya sekitar Rp720.ribu dan label halal yang dikeluarkan LP-POM MUI hanya berlaku selama 6 bulan, setelah itu kadaluarsa dan pengusaha harus melakukan perpanjangan enam bulan berikutnya. Bagi pengusaha yang melanggarnya akan dikenakan denda Rp1 miliar dan/atau kurungan 5 tahun penjara. LP-POM MUI Sumsel juga berharap agar Pemprov Sumsel segera menerbitkan perda sebagai payung hukum agar LP-POM MUI nyaman bekerja.

Sementara itu produsen perikanan skala kecil hingga kini kesulitan untuk memenuhi sertifikasi produk perikanan akibat minimnya informasi dan biaya yang mahal. Padahal, pasar perikanan dunia semakin menuntut sertifikasi produk guna menjamin keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara Shidiq Moeslim mengemukakan, tuntutan sertifikasi produk di pasar dunia semakin tinggi. Namun, sebagian besar pelaku usaha skala kecil hingga kini belum memperoleh sosialisasi dan pelatihan yang memadai guna memenuhi persyaratan sertifikasi.

Biaya yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikasi produk perikanan cenderung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh pelaku usaha kecil. Kendala itu menyebabkan produsen perikanan skala kecil sulit bersaing dan memperluas akses pasar. Misalnya biaya untuk pemeriksaan sampel produk di laboratorium dan pembuatan sertifikat kualitas produk (certificate of quality/COQ) mencapai Rp3 juta untuk satu kontainer udang berkapasitas 11 ton. Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, sertifikasi produk di Indonesia saat ini hanya diwajibkan pada usaha-usaha skala menengah dan besar. Namun, kemampuan usaha kecil untuk memenuhi sertifikasi harus disiapkan guna membuka akses pasar yang lebih luas.

Biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha menengah antara lain pre assessment sekitar USD10 ribu dan full assessment USD20 ribu-USD100 ribu selama lima tahun. Beberapa sertifikasi yang disyaratkan pemerintah saat ini meliputi sertifikasi budidaya, sertifikasi pembenihan ikan yang baik (good hatchery practises/GHP), sertifikasi manajemen mutu dan keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Points/HACCP), dan sertifikat keterangan asal (certificate of origin/COO) produk. Jumlah produsen perikanan skala kecil, meliputi pembudidaya dan nelayan mencapai 6,1 juta orang atau 80% dari total pelaku usaha perikanan.

Sebelumnya pada Juni 2008 Komisi VI DPR mengesahkan UU tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai jaminan kepastian usaha bagi usaha kecil. Inti dari UU No.20 Tahun 2008 ini adalah memberikan kepastian hukum, mengatur kemitraan usaha antara pengusaha besar dan kecil, ketentuan tentang UKM, lembaga, perizinan usaha, sarana, informasi usaha, aspek promosi dagang dan fasilitasi pengembangan usaha dari pemerintah dan pemda, pembiayaan, kriteria UKM, penciptaan iklim usaha. Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengatakan UU ini sebagai landasan hukum bagi para UKM.

Sesuai dengan UU tersebut, kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan, yang melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar. Dalam kemitraan itu, bagi UMKM berprestasi diberi kesempatan ikut memiliki saham usaha besar. Tapi diatur juga agar usaha besar dilarang memiliki atau menguasai UMKM mitranya.

Menyusul disahkannya UU itu, pemerintah segera menerbitkan sedikitnya lima peraturan pelaksanaan (PP), termasuk soal kemitraan. Empat peraturan pemerintah lainnya adalah mengenai ketentuan perizinan UMKM; tata cara pemerintah dalam pengembangan, prioritas, intensitas dan jangka waktu program UMKM; penyelenggaraan koordinasi pemberdayaan UMKM; serta peraturan sanksi administratif dan pidana terkait dengan UMKM. (AI)


Industri benih, industri kepercayaan

Menurut Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) Elda D Adiningrat, kasus padi Super Toy HL-2 memukul kalangan industri benih nasional. Kepercayaan publik yang dibangun bertahun-tahun dengan investasi miliaran rupiah nyaris hancur akibat Super Toy. Upaya politisasi benih yang berujung pada kekecewaan rakyat sangat merugikan industri benih nasional maupun para pemulia tanaman.

Selama ini untuk bisa melepas satu jenis benih bersertifikat ke pasar Asbenindo menyeleksi 2.500 benih awal yang ditempuh dalam waktu lebih dari tujuh tahun. Setiap produsen benih di Indonesia berinvestasi sedikitnya USD5 juta dan semua proses penemuan benih unggul itu dilakukan dengan melibatkan petani sebagai mitra. Saat ini terdapat sekitar 10 produsen benih padi dan 8 produsen benih jagung. Dari total produksi benih padi nasional sekitar 350.000 ton, sekitar 35% dihasilkan oleh produsen benih swasta dan BUMN. Selebihnya diproduksi oleh Deptan dan petani pemulia.

Selanjutnya, untuk mengantisipasi beredarnya benih yang tidak berkualitas ke petani, Asbenindo akan memperketat distribusi benih. Di samping itu, upaya tersebut juga untuk mengantisipasi pemanfaatan benih sebagai politik praktis menjelang Pemilu 2009 sehingga jangan sampai petani yang nantinya dirugikan. Benih adalah benih. Kalau kualitasnya jelek, dipromosikan apapun tetap akan jelek hasilnya, begitu juga sebaliknya kalau baik hasilnya tetap akan baik.

Sebenarnya, untuk memasuki dunia komersialisasi benih diperlukan sebuah tahapan yang sudah baku. Mulai dari pemuliaan benih, pengujian di lapangan, sidang pelepasan varietas. Setelah teruji, baru dikeluarkan surat keputusan dari Menteri Pertanian. Sesudah itu benih baru bisa masuk ke pasar untuk tahap komersial. Untuk memproduksi secara stabil dan massal membutuhkan waktu rata-rata di atas lima tahun.

Tahapan-tahapan itu sudah diatur dalam UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman maupun PP No.44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman. Selain itu juga diatur dalam Permentan No.37 Tahun 2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Semua stakeholder petanian mesti taat pada ketentuan-ketentuan tersebut.

Hal ini perlu dilakukan karena industri benih adalah industri kepercayaan. Tanpa kepercayaan dari petani, industri itu tidak bisa berdiri. Sekali industri pernah melakukan kebohongan, industri itu tidak akan mendapat kepercayaan lagi karena dampak sosialnya besar sekali. Di samping itu, industri pertanian memerlukan waktu, dana, maupun moral yang sangat besar. Pada pasal 60 UU 12/1992 berbunyi mengedarkan benih tidak sesuai dengan label dan belum dilepas ada hukuman kurungan paling lama lima bulan atau denda paling banyak Rp250 juta.

Dalam hal pertanian, kinerja Indonesia beda jauh dengan India, China, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Pertanian di negara-negara tersebut tumbuh pesat karena keberhasilan mereka mengembangkan industri benih. Industri benih memiliki posisi vital dalam usaha pertanian. Dalam benih terkandung potensi genetik produksi yang akan memberikan hasil dalam usaha pertanian. Sebaik apapun faktor lingkungan disediakan, seperti ketersediaan unsur hara dan yang lainnya, ketika potensi benihnya rendah maka rendah pula produksi yang dihasilkan. Sehingga persoalan benih harus mendapatkan perhatian lebih besar dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian.

Subsidi benih petani pada tahun 2009 akan lebih rendah dibanding tahun 2008. Jika pada APBN Perubahan 2008 pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp1,35 triliun, maka pada tahun 2009 pemerintah mungkin hanya akan mengalokasikan dana sekitar Rp904 miliar. Dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), subsidi benih akan dipakai untuk pengadaan benih petani. Selain itu dana subsidi juga akan dipakai untuk mengisi cadangan benih nasional (CBN) dan bantuan langsung benih unggul.

Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Wahyuningsih Darajati membenarkan akan adanya penurunan anggaran subsidi tersebut. Dalam APBN Perubahan 2008, alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi benih mulanya hanya Rp951 miliar. Tapi di tengah jalan ada tambahan dana bantuan tugas kabupaten/kota, melalui dana sektoral Deptan sebesar Rp394,5 miliar. Sehingga total tahun 2008 mencapai Rp1,34 triliun. Hingga September 2008 penyaluran bantuan langsung benih unggul telah mencapai Rp364,815 miliar, untuk padi non-hibrida Rp96,333 miliar, padi hibrida Rp87,422 miliar, jagung hibrida Rp27,571, dan Rp53,489 miliar untuk kedelai.

Sementara itu menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, subsidi untuk benih pada tahun 2009 justru akan mengalami peningkatan cukup besar. Subsidi benih akan naik 10,5% dari Rp1,5 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009. Selain benih, subsidi pupuk juga akan naik sebesar 34,4% dari Rp15,2 triliun menjadi Rp18,6 triliun. Pemerintah akan konsisten melanjutkan penggunaan instrumen fiskal untuk mendorong peningkatan produksi dan stabilitas harga makanan dalam negeri.

Pelaksanaan subsidi benih dilatarbelakangi oleh masih rendahnya produktivitas tanaman pangan. Lahan tidak produktif karena belum banyak penggunaan benih varietas unggul bermutu di beberapa daerah. Dengan subsidi, pemerintah berharap daya beli dan kesadaran petani dalam menggunakan benih varietas unggul bisa ditingkatkan. Tapi Pengamat Ekonomi Pertanian Khudori menduga penurunan pagu subsidi didasari penilaian kurang optimalnya penyerapan benih bersubsidi. Penyerapan yang rendah bukan akibat tidak dibutuhkannya benih bersubsidi, melainkan mekanisme distribusi yang tidak tepat waktu, sesuai musim tanam petani.

Memroduksi benih, baik padi atau jagung hibrida, hanya butuh biaya produksi Rp15.000 - Rp 20.000/kg. Padahal harga benih padi maupun jagung hibrida di pasaran, Rp40.000 - Rp50.000/kg. Dengan luas tanaman padi 12,5 juta ha dan rata-rata kebutuhan benih per hektar 25 kg, total kebutuhan benih padi hibrida di Indonesia mencapai 312.500 ton. Dengan menghitung harga benih padi hibrida rata-rata Rp50.000/kg, potensi pendapatan industri benih padi hibrida setahun Rp15,62 triliun. Bila biaya produksi benih padi hibrida 40% dari harga jual, maka pendapatan bersihnya Rp9,37 triliun/tahun.

Petani akan selalu tergantung pada industri benih hibrida, karena mereka tidak dapat mengembangkan sendiri benih itu. Bagi produsen, keuntungan akan terus mengalir sepanjang ketergantungan bisa terus dijaga. Keuntungan industri benih semakin berlipat karena komersialisasi benih hibrida biasanya satu paket dengan penjualan pestisidanya. (AI)


Rabu, Oktober 08, 2008

Melalui penelitian, obat herbal bisa berjaya

Sedikitnya 1.650 spesies dari 30.000 spesies tumbuhan berbunga yang terdapat di hutan Indonesia memiliki khasiat untuk dijadikan obat. Menurut Drs. M. Yamin, M.Si dari Lembaga Penelitian Universitas Mataram (Unram), di Nusa Tenggara Barat (NTB) sejumlah pengobatan tradisonal Suku Sasak, Lombok terlihat efektif daripada yang lazim digunakan dokter. Pengetahuan masyarakat Sasak tentang obat-obatan itu diperoleh dari naskah daun Lontar Usada Lombok yang telah berusia ratusan tahun dan dari pengalaman nenek moyang yang diwarisi turun temurun.

Tradisi penanganan kesehatan yang bersifat tradisional dengan menggunakan obat tradisional spesies tumbuhan atau hewan yang diketahui secara turun temurun masih populer di masyarakat Sasak. Ada sekitar 263 jenis penyakit dan 163 jenis obat-obatan tradisional Sasak. Khasiat obat sasak tradisional meskipun telah terbukti, namun sejauh ini belum dilakukan penelitian secara mendalam.

Memang obat herbal atau obat tradisional sudah beberapa waktu ini dilirik masyarakat sebagai penyembuh alternatif. Pengelola Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati memfokuskan diri meneliti hal ini. Walaupun obat herbal membudaya di China sejak berabad-abad lalu, namun Indonesia bisa bersaing dengan China. Pasalnya Indonesia kaya tanaman obat, tapi masih kalah dalam pengolahannya dengan China.

Obat herbal memang jauh lebih aman dibanding obat sintetik. Obat herbal bukannya tidak ada efek sampingnya, tetapi relatif lebih kecil. Senyawa-senyawa di dalamnya memiliki side effect eliminating system, sistem yang bisa mengurangi atau mengeleminisasi efek komponen lain. Pada obat sintetik hanya single compound, terdiri atas senyawa. Efek obat herbal tidak secepat obat sintetik. Obat herbal dipakai dalam jangka waktu lama, misalnya jamu, lebih untuk preventif bukan terapi dalam waktu cepat.

Potensi obat herbal semula hanya empirik, pengalaman dari mulut ke mulut. Padahal, pengalaman bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Karena itulah perlu penelitian supaya terbukti secara ilmiah. Sekarang sudah ada tren menggunakan obat-obat dari alam sebagai pengganti obat sintetik yang efek sampingnya jauh lebih besar. Sudah banyak beredar obat berbahan alam. Obat kanker, misalnya, banyak berasal dari bahan alam. Setelah dipastikan efeknya ternyata konstan, akhirnya dikembangkan jadi obat.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia dinilai sudah cukup intensif. Pemerintah sudah mengakomodasi penelitian yang berbasis alam ini untuk dikembangkan. Penelitian ini memerlukan waktu lama. Penelitian obat herbal diawali dengan uji pra klinis kepada hewan atau sel tertentu. Kadang pada praklinis terbukti efeknya, tetapi ketika diujikan kepada manusia tidak terbukti. Pada praklinis ada uji toksisitas untuk memastikan aman dipakai manusia. Caranya diujikan kepada hewan terlebih dahulu dengan dosis paling tinggi. Kemudian dilihat ada tidaknya gejala toksik secara makro maupun mikro. Kalau tidak toksik, baru boleh diujikan kepada manusia.

Pengembangan obat tradisional dalam negeri telah memberikan harapan baru dalam penyediaan obat. Saat ini pengembangan obat herbal di dunia sudah cukup berkembang pesat, pasar herbal dunia tahun 2000 mencapai USD43 miliar, namun kontribusi Indonesia masih kurang, yaitu masih sekitar USD100 juta atau sekitar 0,23%. Penyediaan obat dalam negeri yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia ini belum sepenuhnya mendapatkan dukungan beberapa pihak.

Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam litbang iptek obat herbal, yaitu (i) penelitian yang dilakukan oleh institusi penelitian masih terfragmentasi, hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi antarlembaga penelitian yang melakukan penelitian obat herbal sehingga terjadi tumpang tindih penelitian, (ii) dokter harus berpegang pada prinsip evidence base sehingga belum meresepkan obat herbal (kecuali fitofarmaka) kepada pasien, (iii) masih lemahnya regulasi dan pengawasan, dan (iv) kurangnya ketersediaan standar dan metode sebagai instrumen evaluasi mutu.

Dari beberapa permasalahan tersebut, regulator diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dengan memberikan pemetaan permasalahan yang ada mulai dari hulu sampai dengan hilir. Dengan demikian kebijakan riset memrioritaskan bidang yang berdaya ungkit tingi. Di samping itu, regulator juga diharapkan mempunyai inisiasi untuk melakukan sinergi dengan pihak akademisi dan pebisnis, serta diperlukannya standarisasi untuk pelaksanaan litbang iptek obat herbal.

Di sisi lain, pihak peneliti perlu melakukan konsultasi dengan Badan POM sebelum melakukan uji preklikis dan klinis terhadap obat herbal. Setelah itu diperlukan validasi informasi ilmiah tanaman dan obat herbal untuk mengidentifikasi prioritas riset dan pengembangannya di Indonesia. Diperlukan juga koordinasi antara peneliti obat herbal dan industri untuk menentukan prioritas riset berdasarkan kebutuhan teknologi dan pasar.

Guru besar pensiun Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. Wahyuning Ramelan, Sp.And. mengatakan, produk obat herbal di Indonesia kini sudah mencapai puluhan ribu dan dikenal luas sebagai jamu oleh sebagian masyarakat. Persoalannya, obat tersebut penggunaannya berdasarkan pendekatan medik berbasis bukti-bukti ilmiah (evidence based medicine). Oleh karena itu emerintah dituntut lebih berperan dalam penelitian obat tradisional dan mengembangkan kerjasama dengan stakeholder lainnya.

Pemerintah seharusnya mendorong lomba penelitian khusus jamu atau obat herbal, mendorong pihak swasta untuk ikut berperan mendanai penelitian bidang ini. Selain itu, pemerintah juga perlu memberi peralatan untuk penelitian obat tradisional pada lembaga pendidikan tinggi atau lembaga penelitian, mengingat peran lembaga pendidikan tinggi juga signifikan untuk mendorong fakultas meneliti efek farmakologik obat tradisional.

Obat herbal ini bisa menjadi potensi besar bagi bangsa Indonesia bila diketahui secara akademik ilmiah semua efek farmakologiknya, efek sampingnya dan berbagai cara masuk yang efektif ke tubuh. Penelitian obat herbal sangat penting dan hasil penelitian itu juga dapat dikemas menjadi produk berorientasi paten dan pasar. Namun hal ini tidak mudah karena dibutuhkan kerjasama lintas disiplin, antara dokter yang akan menyarankan penggunaan obat herbal, peneliti dan industri obat. Tidak adanya kerjasama dan integrasi antara peneliti (universitas), industri dan pemerintah itulah yang masih menjadi kendala obat herbal dapat diterima secara medis. (AI)


Senin, Oktober 06, 2008

Kakao

Harga biji kakao kering di pasaran Palu, Sulteng pada awal September 2008 masih bertahan tinggi. Bagi para petani kakao di Kabupaten Donggala, masih tingginya harga kakao saat ini membuat petani gembira sebab tanaman kakao tetap berbuah walaupun hasilnya tidak sama dengan sewaktu panen raya berlangsung. Pembelian biji kakao kering oleh para pedagang pengumpul hasil bumi di Palu rata-rata Rp24.000-Rp24.100/kg. Kemudian pedagang pengumpul menjual kepada eksportir dengan harga Rp24.300/kg.

Namun demikian, petani kakao di Palu harus lebih waspada. Pasalnya, hama perusak kebun kakao semakin merajalela di Sulawesi Selatan yang menyerang ribuan hektar lahan perkebunan sehingga revitalisasi perkebunan kakao semakin mendesak. Sejak tahun 2004 hama penggerek buah kakao (PBK) dan hama vascular streak dieback atau VSD telah akrab dengan petani kakao di Sulsel, dan daerah lainnya yang merupakan sentra perkebunan kakao di Sulawesi. Hasil produksi anjlok dan kurang diminati eksportir, padahal harganya kian melambung.

Pemerintah Sulsel menyediakan Rp800 miliar dalam rangka revitalisasi salah satu produk andalan daerah ini selain beras, udang windu, dan jagung. Dana itu, untuk perbaikan pada periode 2008 hingga 2010 mendatang. Menurut Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dana tersebut disediakan pemprov untuk pembiayaan sambung samping seluas 2.000 ha perkebunan di daerah sentra produksi kakao. Pemprov Sulsel juga akan menyediakan 48 ribu ha lahan untuk ekstensifikasi kakao dan sebanyak 22.500 pohon akan diremajakan. Usaha untuk revitalisasi kakao ini akan terus dilakukan karena komoditas kakao di Sulsel sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah maupun nasional.

Kinerja industri kakao Indonesia terus mengalami penurunan karena produksi yang dihasilkan selama tiga tahun terakhir terus merosot. Ketua Umum DPP Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Halim Razak sudah mengingatkan bahwa produksi kakao nasional pada tahun 2006 masih 590.000 ton, turun menjadi 530.000 ton pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 ini diperkirakan tidak mencapai 500.000 ton. Hal ini disebabkan perkebunan kakao di Indonesia banyak diserang hama PBK serta VSD, dan tidak diikuti dengan upaya pemberantasan yang intensif. Hama PBK merusak bagian isi tanaman, tetapi hal tersebut masih dapat diatasi. Yang paling parah hama VSD karena bisa merusak buahnya.

Hama VSD telah menyerang hampir 40% lahan perkebunan kakao di Indonesia dan yang terbanyak adalah di Sulsel. VSD yang disebabkan jamur oncobasidium theobromae ini dapat menyebabkan kematian tanaman karena patogen berada di dalam saluran xylem sehingga menyumbat saluran makanan. Akibatnya, ranting akan menjadi mati dan tidak menghasilkan buah sehingga akan terjadi kemerosotan produksi secara drastis. Bila kondisi ini terus berlanjut, mungkin petani hanya dapat menghasilkan sekitar Rp100 juta/tahun dengan produktivitas 400 kg/ha.

Cocoa Association of Asia (CAA) siap membantu produksi kakao Indonesia agar kembali meningkat dan stabil. Saat ini Indonesia butuh sekitar 1.000 penyuluh kakao untuk luasan lahan lebih satu juta hektar yang akan disponsori CAA. CAA sangat berminat untuk bergabung dalam mengatasi permasalahan kakao di Indonesia yang terserang hama VSD seluas 30% dari total tanaman kakao di Indonesia.

Namun permasalahan menurunnya produksi kakao di Indonesia ada pada tingkat petani seperti kemalasan, tanaman sudah tua, petani yang tidak mau memupuk karena mahal, dan yang paling utama adalah hama. Agar petani termotivasi untuk mengembangkan dan merawat tanaman kakaonya, perlu ada penyuluh yang mendampingi. Masalahnya, jumlah penyuluh yang dinaungi asosiasi ini hanya 155 orang.

Pemerintah mengalokasikan dana rehabilitasi kebun kakao pada RAPBN 2009 sebesar Rp1 triliun. Dana itu untuk rehabilitasi 70 ribu ha lahan di Sulawesi. Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, jika lahan kakao ini tidak dibenahi maka kerugian yang akan ditanggung sekitar Rp3,5 triliun/tahun. Namun, pemenuhan dana rehabilitasi tidak semuanya akan ditanggung pemerintah pusat. Ada tiga pola pembayaran beban tersebut, yakni (i) dana yang dikontribusikan dari APBN 2008-2009. (ii) menggunakan APBD 2008-2009, dan (iii) menggunakan dana perbankan.

Turunnya produksi kakao berakibat pada ekspor ke sejumlah negara antara lain AS, Brazil, Uni Eropa (UE), dan Malaysia. Pengusaha saat ini mulai kesulitan untuk memenuhi permintaan dari konsumen. Sekretaris Jenderal Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan, pengusaha saat ini hanya fokus untuk memenuhi permintaan dari konsumen. Sementara itu ekspansi pasar akan dilakukan setelah produksi mulai meningkat seperti tahun 2007. Askindo masih menunggu produksi kakao kembali normal, sehingga perluasan pasar dapat dijalankan.

Produk kakao Indonesia relatif kurang disukai di UE, dibandingkan produk dari Afrika. Bahan baku coklat Afrika memiliki keunggulan yang tidak dimiliki Indonesia. Kakao Afrika sudah difragmentasi dan sesuai dengan selera UE. Untuk negara UE, bea masuk (BM) terhadap biji kakao sudah 0%, tapi produk olahan kakao masih dikenakan BM cukup tinggi yakni 8-12%.

Saat ini Indonesia hanya mampu memasok biji kakao sebanyak 500 ribu ton/tahun ke pasar internasional. Kebutuhan kakao dunia saat ini mencapai 3 juta ton/tahun. Menurut Presiden Direktur PT Mars Symbioscience Indonesia Noel D Janetski, Indonesia memiliki produksi kakao dengan kualitas bagus. Namun, serangan hama menyebabkan produksi kakao nasional turun. Di samping itu, umur tanaman yang sudah tua juga menjadi penyebab menurunnya produksi.

Mars adalah salah satu anak perusahaan multinasioanal yang berpusat di AS. Perusahaan ini memproduksi beberapa produk permen, coklat, maupun makanan hewan. Perusahaan ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1996, dengan membuka pabrik pengolahan kakao pertama di Sulsel. Untuk meningkatkan produksi, Mars melakukan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan instansi pemerintah, serta menjalankan konsep kemitraan. Pada Juni 2008 harga kakao yang dilaporkan oleh organisasi kakao internasional naik menjadi USD3.022/ton dari USD2.690/ton pada Mei 2008.

Investasi Mars di Indonesia diperkirakan sebesar USD17 juta, dengan rincian USD15 juta di Makassar dan lainnya ada di Sultra dan Flores. Omzet penjualan Mars di seluruh dunia diperkirakan USD22 triliun. Mars memasok 16% kebutuhan kakao dunia dari Indonesia. Kebutuhan kakao Mars Incorporated di dunia sebanyak 250 ribu ton. Perusahaan memiliki kapasitas pengolahan kakao 17 ribu ton. (AI)