Jumat, Oktober 10, 2008

Industri benih, industri kepercayaan

Menurut Ketua Asosiasi Perbenihan Indonesia (Asbenindo) Elda D Adiningrat, kasus padi Super Toy HL-2 memukul kalangan industri benih nasional. Kepercayaan publik yang dibangun bertahun-tahun dengan investasi miliaran rupiah nyaris hancur akibat Super Toy. Upaya politisasi benih yang berujung pada kekecewaan rakyat sangat merugikan industri benih nasional maupun para pemulia tanaman.

Selama ini untuk bisa melepas satu jenis benih bersertifikat ke pasar Asbenindo menyeleksi 2.500 benih awal yang ditempuh dalam waktu lebih dari tujuh tahun. Setiap produsen benih di Indonesia berinvestasi sedikitnya USD5 juta dan semua proses penemuan benih unggul itu dilakukan dengan melibatkan petani sebagai mitra. Saat ini terdapat sekitar 10 produsen benih padi dan 8 produsen benih jagung. Dari total produksi benih padi nasional sekitar 350.000 ton, sekitar 35% dihasilkan oleh produsen benih swasta dan BUMN. Selebihnya diproduksi oleh Deptan dan petani pemulia.

Selanjutnya, untuk mengantisipasi beredarnya benih yang tidak berkualitas ke petani, Asbenindo akan memperketat distribusi benih. Di samping itu, upaya tersebut juga untuk mengantisipasi pemanfaatan benih sebagai politik praktis menjelang Pemilu 2009 sehingga jangan sampai petani yang nantinya dirugikan. Benih adalah benih. Kalau kualitasnya jelek, dipromosikan apapun tetap akan jelek hasilnya, begitu juga sebaliknya kalau baik hasilnya tetap akan baik.

Sebenarnya, untuk memasuki dunia komersialisasi benih diperlukan sebuah tahapan yang sudah baku. Mulai dari pemuliaan benih, pengujian di lapangan, sidang pelepasan varietas. Setelah teruji, baru dikeluarkan surat keputusan dari Menteri Pertanian. Sesudah itu benih baru bisa masuk ke pasar untuk tahap komersial. Untuk memproduksi secara stabil dan massal membutuhkan waktu rata-rata di atas lima tahun.

Tahapan-tahapan itu sudah diatur dalam UU No.12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman maupun PP No.44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman. Selain itu juga diatur dalam Permentan No.37 Tahun 2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Semua stakeholder petanian mesti taat pada ketentuan-ketentuan tersebut.

Hal ini perlu dilakukan karena industri benih adalah industri kepercayaan. Tanpa kepercayaan dari petani, industri itu tidak bisa berdiri. Sekali industri pernah melakukan kebohongan, industri itu tidak akan mendapat kepercayaan lagi karena dampak sosialnya besar sekali. Di samping itu, industri pertanian memerlukan waktu, dana, maupun moral yang sangat besar. Pada pasal 60 UU 12/1992 berbunyi mengedarkan benih tidak sesuai dengan label dan belum dilepas ada hukuman kurungan paling lama lima bulan atau denda paling banyak Rp250 juta.

Dalam hal pertanian, kinerja Indonesia beda jauh dengan India, China, Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Pertanian di negara-negara tersebut tumbuh pesat karena keberhasilan mereka mengembangkan industri benih. Industri benih memiliki posisi vital dalam usaha pertanian. Dalam benih terkandung potensi genetik produksi yang akan memberikan hasil dalam usaha pertanian. Sebaik apapun faktor lingkungan disediakan, seperti ketersediaan unsur hara dan yang lainnya, ketika potensi benihnya rendah maka rendah pula produksi yang dihasilkan. Sehingga persoalan benih harus mendapatkan perhatian lebih besar dalam upaya meningkatkan produktivitas pertanian.

Subsidi benih petani pada tahun 2009 akan lebih rendah dibanding tahun 2008. Jika pada APBN Perubahan 2008 pemerintah memberikan subsidi sebesar Rp1,35 triliun, maka pada tahun 2009 pemerintah mungkin hanya akan mengalokasikan dana sekitar Rp904 miliar. Dari data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), subsidi benih akan dipakai untuk pengadaan benih petani. Selain itu dana subsidi juga akan dipakai untuk mengisi cadangan benih nasional (CBN) dan bantuan langsung benih unggul.

Direktur Pangan dan Pertanian Bappenas Wahyuningsih Darajati membenarkan akan adanya penurunan anggaran subsidi tersebut. Dalam APBN Perubahan 2008, alokasi anggaran pemerintah untuk subsidi benih mulanya hanya Rp951 miliar. Tapi di tengah jalan ada tambahan dana bantuan tugas kabupaten/kota, melalui dana sektoral Deptan sebesar Rp394,5 miliar. Sehingga total tahun 2008 mencapai Rp1,34 triliun. Hingga September 2008 penyaluran bantuan langsung benih unggul telah mencapai Rp364,815 miliar, untuk padi non-hibrida Rp96,333 miliar, padi hibrida Rp87,422 miliar, jagung hibrida Rp27,571, dan Rp53,489 miliar untuk kedelai.

Sementara itu menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, subsidi untuk benih pada tahun 2009 justru akan mengalami peningkatan cukup besar. Subsidi benih akan naik 10,5% dari Rp1,5 triliun pada tahun 2008 menjadi Rp1,7 triliun pada tahun 2009. Selain benih, subsidi pupuk juga akan naik sebesar 34,4% dari Rp15,2 triliun menjadi Rp18,6 triliun. Pemerintah akan konsisten melanjutkan penggunaan instrumen fiskal untuk mendorong peningkatan produksi dan stabilitas harga makanan dalam negeri.

Pelaksanaan subsidi benih dilatarbelakangi oleh masih rendahnya produktivitas tanaman pangan. Lahan tidak produktif karena belum banyak penggunaan benih varietas unggul bermutu di beberapa daerah. Dengan subsidi, pemerintah berharap daya beli dan kesadaran petani dalam menggunakan benih varietas unggul bisa ditingkatkan. Tapi Pengamat Ekonomi Pertanian Khudori menduga penurunan pagu subsidi didasari penilaian kurang optimalnya penyerapan benih bersubsidi. Penyerapan yang rendah bukan akibat tidak dibutuhkannya benih bersubsidi, melainkan mekanisme distribusi yang tidak tepat waktu, sesuai musim tanam petani.

Memroduksi benih, baik padi atau jagung hibrida, hanya butuh biaya produksi Rp15.000 - Rp 20.000/kg. Padahal harga benih padi maupun jagung hibrida di pasaran, Rp40.000 - Rp50.000/kg. Dengan luas tanaman padi 12,5 juta ha dan rata-rata kebutuhan benih per hektar 25 kg, total kebutuhan benih padi hibrida di Indonesia mencapai 312.500 ton. Dengan menghitung harga benih padi hibrida rata-rata Rp50.000/kg, potensi pendapatan industri benih padi hibrida setahun Rp15,62 triliun. Bila biaya produksi benih padi hibrida 40% dari harga jual, maka pendapatan bersihnya Rp9,37 triliun/tahun.

Petani akan selalu tergantung pada industri benih hibrida, karena mereka tidak dapat mengembangkan sendiri benih itu. Bagi produsen, keuntungan akan terus mengalir sepanjang ketergantungan bisa terus dijaga. Keuntungan industri benih semakin berlipat karena komersialisasi benih hibrida biasanya satu paket dengan penjualan pestisidanya. (AI)


Tidak ada komentar: