Senin, Oktober 27, 2008

Mebel

Pelemahan ekonomi AS mulai menjalar ke sektor riil Tanah Air. Salah satunya ekspor mebel dan kerajinan Indonesia sudah merasakan imbasnya. Pada lima hari pameran yang berlangsung di Collon, AS awal Oktober 2008, penjualan mebel hanya Rp30 juta setiap harinya. Sebelumnya, pada event yang sama, dalam satu hari penjualan bisa mencapai Rp60 juta. Untuk mengantisipasi hal ini, maka pengusaha mulai beralih ke pasar lain yakni Eropa dan Timur Tengah.

Sejumlah sentra kerajinan mebel di Sukoharjo, Jateng mulai mempersiapkan pasar baru menyusul krisis perekonomian di AS. Pasalnya, selama ini negara tersebut menjadi salah satu tujuan ekspor yang cukup diandalkan. Di samping harga yang cukup tinggi, permintaan dari negara adikuasa tersebut cukup besar. Hanya saja dampak secara nyata kemungkinan baru akan terasa dua bulan mendatang, saat kontrak pengiriman habis. Namun melonjaknya nilai dolar AS sedikit membantu mereka untuk memupuk modal.

Salah satu perajin rotan di sentra industri rotan Gatak, Sukoharjo mengatakan, tiap bulan secara rutin para perajin mengirimkan satu kontainer ke AS. Dampak yang dirasakan adalah berkurangnya uang muka yang dibayarkan oleh para pembeli di luar negeri. Jika sebelumnya uang muka mencapai 40%, kini menyusut menjadi 20%. Karena itu para perajin mulai merasa kesulitan permodalan setiap akan memulai produksinya.

Para perajin mebel di Bulakan, Sukoharjo juga tengah bersiap untuk mengantisipasi terhentinya permintaan mebel dari AS. Hingga Oktober 2008 ini belum ada konfirmasi permintaan dari AS, padahal kontrak purchase order akan habis November 2008. Menurut Sekretaris Sentra Industri Bulakan Widoto, biasanya konfirmasi untuk memperbaharui kontrak selalu dilakukan satu bulan menjelang kontrak habis. Tidak adanya konfirmasi tersebut membuat para perajin cemas.

Karena itu para perajin kini tengah mempersiapkan diri untuk mencari pasar baru di luar AS. Mereka melirik pasar Timur Tengah dan Australia. Hanya saja pasar ekspor mebel ke Australia tidaklah semanis pasar AS. Selain permintaan tidak begitu tinggi, biaya pengapalan ke Australia justru jauh lebih tinggi meskipun jaraknya relatif dekat. Di samping itu, prosedur di pelabuhan Australia sangat rumit dan memakan biaya.

Perajin di Cirebon, Jabar, juga mulai merasa dampak krisis ekonomi AS. Selama ini ekspor rotan ke AS sebagian besar dalam bentuk kursi, lemari, dan interior rumah. Sejak Maret 2008 tidak ada lagi pengiriman produk rotan ke AS karena permintaan terhenti. Menurut salah seorang perajin, krisis di AS sebenarnya sudah terjadi sekitar satu tahun, tapi dampaknya baru dirasakan di Indonesia beberapa bulan lalu. Sebelum krisis melanda AS, seorang perajin setiap bulannya bisa mengirim sekitar 25 ribu unit mebel. Tetapi kini hanya 3 ribu unit furnitur berbagai jenis. Dampak ikutan lainnya, pembeli di AS semakin sulit melunasi pembayaran, sehingga jika ada permintaan lagi, para eksportir kini mengasuransikan kirimannya sebagai langkah antisipasi gagal bayar.

Dari Trangsan, Kabupaten Sukoharjo, Jateng, dikabarkan pesanan mebel rotan juga terhenti. Importir negara itu menghentikan pesanan dengan alasan tidak ada pembeli di negara mereka mengingat mebel bukan kebutuhan primer. Haryanto, eksportir mebel rotan di sentra industri mebel rotan di Trangsan mengungkapkan, tiga pembeli tetapnya dari AS menghentikan pesanan sejak akhir September 2008 lalu. Ia sudah menjalin hubungan dagang dengan pembeli dari AS sejak empat tahun lalu. Setiap minggu dia mengirim satu kontainer mebel rotan senilai USD9.000.

Meski masih ada pesanan dari Eropa hingga April 2009 sebanyak 30 kontainer, namun kehilangan pembeli dari AS cukup memukul usahanya. Pasalnya, selama ini pembeli dari AS membeli secara rutin, sedangkan pembeli dari Eropa hanya memesan musiman. Pembeli dari Australia juga sedang sulit karena nilai tukar AUD terhadap rupiah sedang lemah sehingga pembelian sangat dibatasi. Oleh karena itu, pasar penjualan akan diperluas ke Timur Tengah dan Afrika Selatan dengan cara mengikuti pameran produk ekspor (PPE) di Jakarta akhir Oktober 2008 ini.

Ekspor mebel berbahan baku jati daur ulang khas Blora, Jateng, ke Eropa dan AS juga menurun 35%. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Mebel Indonesia (Asmindo) Blora Edy Sabar, rata-rata pendapatan total pengusaha yang bergabung dalam Asmindo Rp124 miliar/tahun. Tahun ini pengusaha tak mungkin mencapai nilai itu karena permintaan dari Eropa dan AS turun. Menurunnya ekspor itu berdampak pada usaha lain pendukung sektor mebel, seperti usaha ukir dan bubut kayu. Mereka adalah perajin kecil yang tersebar di desa-desa. Sejumlah perajin di Kabupaten Magelang mengakui mulai sepi pesanan. Namun, mereka belum mengetahui secara pasti apakah hal itu dampak dari krisis ekonomi global atau bukan.

Sebelumnya, pada Juli 2008 disebutkan ekspor mebel selama Januari-Juni 2008 naik sebesar 9,78% dibanding periode yang sama tahun 2007, yakni dari USD346,8 juta menjadi USD380,7 juta. Menurut Asmindo, total nilai ekspor pada tahun 2008 ini diperkirakan mencapai USD2,6 miliar, terdiri dari mebel sekitar USD2 miliar dan USD600 juta untuk kerajinan. Sementara, pada tahun 2009 ekspor mebel diperkirakan naik 10% atau USD2,2 miliar. Selama ini AS masih menjadi pasar terbesar mebel Indonesia. Porsi pasar AS mencapai 32,6% dari total ekspor mebel kayu Indonesia. Setelah itu, Jepang (11%), Belanda (9%), Perancis (6,6%), dan Inggris (4,6%). Selain kayu, jenis ekspor mebel juga berasal dari bahan rotan, bambu, besi, dan plastik.

Untuk mendukung kenaikan ekspor, pemerintah diminta memberikan dukungan kepada pasokan bahan baku. Selama ini para pengrajin kesulitan bahan baku, khususnya rotan. Menurut Menperin Fahmi Idris, langkanya bahan baku rotan disebabkan kurangnya pembinaan terhadap petani rotan di luar Pulau Jawa. Selama ini, usaha rotan hanya dikelola di Jawa, sedangkan sumber rotan berada di luar Jawa. Akibatnya daerah penghasil rotan tidak mendapat perhatian dan petani menjual secara ilegal.

Pemerintah harus bergerak cepat menyiapkan berbagai kebijakan riil mengantisipasi dampak krisis global. Insentif pajak dan dukungan promosi yang optimal di pasar internasional untuk produk ekspor mutlak dibutuhkan agar neraca pembayaran Indonesia tetap surplus. Di samping itu, kondisi ekonomi saat ini juga mencemaskan perajin kecil yang mengerjakan pesanan dari eksportir berupa kenaikan harga bahan finishing yang kebanyakan adalah impor, seperti tiner, melamin, dan busa. Kenaikan bahan-bahan tersebut mencapai 60%. Penurunan tarif pajak impor bahan baku akan sangat membantu industri mebel dan kerajinan. (AI)


Tidak ada komentar: