Jumat, Oktober 17, 2008

Peringkat turun, investasi daerah juga turun

Peringkat Indonesia dalam laporan International Finance Corporation (IFC) Doing Business 2009 menurun dua peringkat dari 127 menjadi 129 dari 181 negara. Tahun 2007 lalu, Indonesia berhasil mendongkrak peringkatnya dari 135 (dari total 175 negara) pada tahun 2006 menjadi 123 dari total 178 negara. Menurut Country Manager IFC Indonesia Adam Sack, penurunan peringkat Indonesia dalam Doing Business 2009 lebih disebabkan oleh kurang cepatnya reformasi yang dilakukan pemerintah, dalam hal kemudahan bisnis dibanding negara lain, seperti Thailand, Kamboja, dan Malaysia. Ketiga negara itu berhasil mencatat lonjakan peringkat secara drastis. Thailand masuk ke posisi 13 dari 19, Kamboja 135 dari 150, dan Malaysia 20 dari 25.

Doing Business 2009 yang diluncurkan kemarin memasukkan 10 indikator penilaian, yaitu dalam memulai usaha, pengurusan izin, pengangkatan tenaga kerja, pendaftaran properti, mendapatkan kredit, perlindungan investor, pembayaran pajak, perdagangan lintas batas negara, kontrak, dan menutup usaha. Dari hasil survei yang dilakukan pada periode Juni 2007-Juni 2008, IFC mencatat sejumlah keberhasilan yang dilakukan pemerintah antara lain indikator memulai usaha, mendapatkan kredit, pengurusan perolehan izin, pendaftaran properti, dan pengangkatan tenaga kerja. Kemudahan melakukan bisnis ini sangat berpengaruh pada daya tarik investasi di Indonesia.

Terkait dengan otonomi daerah, melemahnya tren investasi tersebut sedikit banyak dipengaruhi oleh melemahnya investasi di daerah, dan hal ini membuat pemerintah pusat prihatin. Setelah ditelusuri, ternyata salah satu penyebabnya adalah sikap aparat pemda yang tidak berpihak pada penanam modal. Akibatnya, investor sering berpikir dua kali sebelum menanamkan uangnya di daerah. Menurut Dirjen Bina Pembangunan Daerah Depdagri Samsul Riva'i, produktivitas aparat pemda untuk menggaet in¬vestor sangat rendah.

Hal ini mendorong pemerintah pusat merasa perlu membuat aturan khusus agar daerah menjadi lebih ramah investasi, yakni melalui PP 45/2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah, yang mengatur pemberian insentif dan kemudahan penanaman modal di daerah. Sesuai pasal 3, insentif bisa berbentuk pengurangan dan pembebasan pajak serta retribusi daerah, atau pemberian dana stimulan dan pemberian bantuan modal. Di samping itu, pemberian kemudahan bisa berbentuk penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal, termasuk pemberian bantuan teknis dan percepatan pemberian perizinan.

Kriteria umum pengusaha yang berhak diberi insentif, antara lain menyerap banyak tenaga kerja lokal. Lalu, berkontribusi pada bidang pelayanan publik, membangun infrastruktur, dan melakukan industri pionir. Industri yang berada di daerah terpencil, daerah perbatasan, atau daerah tertinggal juga mendapat prioritas. Semua insen¬tif dan kemudahan itu harus diatur dengan perda yang disahkan DPRD setempat. Bupati atau wali kota menyampaikan laporan tentang pemberian insentif tersebut kepada gubernur secara berkala. Yang terpenting adalah semua pengusaha harus mendapat insentif dan kemudahan yang sama. Kepala daerah tak boleh pilih-pilih, harus transparan.

Saat membacakan keterangan pemerintah tentang Kebijakan Pembangunan Daerah pada Sidang Paripurna DPD-RI, di Gedung MPR/DPR pada Agustus 2008 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta pimpinan daerah menghilangkan hambatan investasi untuk dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja. Perbaikan iklim investasi juga harus didukung dengan pengawasan yang berkelanjutan terhadap berbagai peraturan daerah provinsi, kabupaten dan kota yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi.

Pemerintah telah membatalkan 1.012 perda dari 6.500 perda karena dianggap menghalangi masuknya investasi, memberatkan masyarakat, dan bertentangan dengan undang-undang. Menurut Direktur Pengembangan Ekonomi Daerah Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri Djiman Murdiman Saroso, masih banyak pemda menerbitkan perda-perda bermasalah yang menghalangi iklim kondusif bagi masuknya invetasi. Pemda lebih banyak menargetkan untuk mencari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan menerbitkan sebanyak mungkin perda restribusi.

Berdasarkan hasil penelitian Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD), persoalan perda merupakan salah satu kendala daya tarik investasi daerah. Ada lima kendala menurut KPPOD, yakni kelembagaan (31%), sosial politik budaya (26%), tenaga kerja dan produktivitas (13%), ekonomi daerah (17%), dan infrastruktur fisik (13%). Masih sedikit pemda yang sadar terhadap pentingnya investasi sebagai penggerak roda perekonomian di daerah.

Sementara itu, pelaksanaan otonomi daerah terutama desentralisasi fiskal, akan menghadapi ujian berat pada tahun 2009, seiring dengan rencana pemerintah pusat menerapkan konsep sharing the pain dalam dana alokasi umum (DAU). Presiden RI menyatakan pemerintah pusat merencanakan untuk memperhitungkan subsidi energi dan subsidi pupuk sebagai faktor pengurang penerimaan dalam negeri (PDN) neto, sebelum pembagian total pagu DAU sebesar 26% ke daerah. Sementara pada tahun yang sama, Indonesia juga melaksanakan perhelatan akbar pemilihan umum, di mana situasi politik akan memanas, baik di pusat maupun di daerah.

Hal ini akan berdampak pada penyerapan anggaran pemerintah pusat dan daerah pada tahun 2009 menjadi perhatian serius pemerintah. Belum lagi euforia otonomi daerah dalam menggenjot PAD sehingga presiden harus mengingatkan pemda agar tidak berlebihan dalam meningkatkan PAD. Menkeu Sri Mulyani mengatakan, perubahan formulasi penerimaan domestik neto adalah upaya perbaikan mekanisme transfer anggaran ke daerah. Pada tahun 2009, pemerintah pusat mengalokasikan DAU sebesar Rp183,4 triliun.

Selain persoalan formula berbagi beban, pelaksanaan otda akan diuji saat Depkeu dan DPR mengkaji kemungkinan menghentikan penyaluran DAU bagi daerah pemekaran yang baru dibentuk karena dianggap memberatkan anggaran. Menurut Direktur Eksekutif KPPOD Agung Pambudi, tantangan terbesar bagi penyelenggaraan otonomi daerah pada tahun 2009 adalah peningkatan tren pemekaran daerah. Saat ini pemekaran daerah sudah berkembang menjadi 510 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Buruknya laporan keuangan daerah juga menjadi perhatian serius BPK, yang menyebutkan laporan keuangan pemda selama periode 2004-2007, dari sisi transparansi dan akuntabilitas semakin buruk. (AI)


Tidak ada komentar: