Jumat, Oktober 10, 2008

Sertifikasi UKM

Sebanyak 400 usaha kecil menengah (UKM) di kota dan kabupaten di Jabar mendapat sertifikasi halal dan lulus uji kesehatan sebagai produk industri rumah tangga (PIRT). Di samping itu, 400 UKM lainnya mendapat sertifikasi untuk produk usaha dari Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (KUKM) Jabar, serta 100 UKM mendapatkan hak merek produk sendiri. Sertifikasi yang diperoleh UKM tersebut sebagian besar bergerak di sektor produksi makanan, sisanya produk jasa dan barang.

Menurut Kepala Dinas KUKM Jabar Mustopa Djamaludin, aspek legal ini merupakan satu keharusan bagi UKM untuk memperpanjang masa usaha. Dengan adanya sertifikasi ini, lalu lintas produk makin panjang dan meluas. Sertifikat halal untuk kualitas produk juga akan meningkatkan daya saing setiap produk UKM di pasar terbuka. Selain itu, fasilitas tersebut diperlukan untuk memberi wawasan dan hak bagi KUKM. Pasalnya, masih ada KUKM yang tidak memedulikan adanya hak merek dan sertifikasi halal. Sehingga tak sedikit produk KUKM asal Jabar yang diklaim oleh provinsi lain bahkan oleh negara lain.

Untuk memperoleh sertifikasi hak merek memang memerlukan proses cukup lama, yakni 1 tahun 8 bulan. Termasuk di dalamnya ada penelitian dan pengumuman tentang merek tersebut selama 6 bulan. Bahkan jika sudah diumumkan, ketika ada klaim mempermasalahkan mereknya, tentu proses menjadi lebih panjang lagi. Demikian pula dengan terbitnya sertifikat halal dari MUI, perlu proses tersendiri. Semua proses ini meliputi penilaian dari bahan baku, proses pengadaan, proses pemasakan, pengemasan, dan lainnya. Biayanya sertifikasi tergolong mahal. Untuk sertifikasi halal butuh biaya Rp1 juta untuk satu produk.

Dari Sumsel diberitakan, sejak eksis di Sumsel pada Juli 2007 lalu pihak Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetik (LP-POM) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel hingga Agustus 2008 baru mengeluarkan enam sertifikat halal bagi UKM yang melakukan kegiatan di sektor makanan jadi. Hal ini sungguh ironis bila melihat jumlah UKM yang memproduksi makanan jadi yang telah mengantongi izin dari Disperindag Sumsel mencapai 1.552 unit usaha yang terdaftar dan berada di 15 kabupaten dan kota yang ada di Sumsel.

LP-POM MUI Sumsel mengalami hambatan untuk melakukan sertifikasi izin, selain payung hukum yang menjadi kekuatan lembaga ini belum tersedia, juga belum adanya perda yang mengatur hal ini. Kendala lain, rendahnya kesadaran para pengusaha sendiri, dan minimnya biaya LP-POM MUI Sumsel untuk jemput bola. Pihak LP-POM MUI Sumsel berharap agar para pengusaha yang bergerak di sektor makanan jadi di Sumsel - baik dalam skala kecil, menengah dan besar - agar segera melakukan sertifikasi terhadap produk yang mereka hasilkan, mengingat banyaknya makanan yang beredar di pasaran, yang tidak memiliki label halal.

Untuk memperoleh label halal, satu item makanan dipungut biaya sekitar Rp720.ribu dan label halal yang dikeluarkan LP-POM MUI hanya berlaku selama 6 bulan, setelah itu kadaluarsa dan pengusaha harus melakukan perpanjangan enam bulan berikutnya. Bagi pengusaha yang melanggarnya akan dikenakan denda Rp1 miliar dan/atau kurungan 5 tahun penjara. LP-POM MUI Sumsel juga berharap agar Pemprov Sumsel segera menerbitkan perda sebagai payung hukum agar LP-POM MUI nyaman bekerja.

Sementara itu produsen perikanan skala kecil hingga kini kesulitan untuk memenuhi sertifikasi produk perikanan akibat minimnya informasi dan biaya yang mahal. Padahal, pasar perikanan dunia semakin menuntut sertifikasi produk guna menjamin keamanan pangan dan kelestarian lingkungan. Ketua Masyarakat Perikanan Nusantara Shidiq Moeslim mengemukakan, tuntutan sertifikasi produk di pasar dunia semakin tinggi. Namun, sebagian besar pelaku usaha skala kecil hingga kini belum memperoleh sosialisasi dan pelatihan yang memadai guna memenuhi persyaratan sertifikasi.

Biaya yang dibutuhkan untuk mengurus sertifikasi produk perikanan cenderung tinggi, sehingga tidak terjangkau oleh pelaku usaha kecil. Kendala itu menyebabkan produsen perikanan skala kecil sulit bersaing dan memperluas akses pasar. Misalnya biaya untuk pemeriksaan sampel produk di laboratorium dan pembuatan sertifikat kualitas produk (certificate of quality/COQ) mencapai Rp3 juta untuk satu kontainer udang berkapasitas 11 ton. Menurut Direktur Pemasaran Luar Negeri Departemen Kelautan dan Perikanan Saut Hutagalung, sertifikasi produk di Indonesia saat ini hanya diwajibkan pada usaha-usaha skala menengah dan besar. Namun, kemampuan usaha kecil untuk memenuhi sertifikasi harus disiapkan guna membuka akses pasar yang lebih luas.

Biaya yang dikeluarkan oleh pengusaha menengah antara lain pre assessment sekitar USD10 ribu dan full assessment USD20 ribu-USD100 ribu selama lima tahun. Beberapa sertifikasi yang disyaratkan pemerintah saat ini meliputi sertifikasi budidaya, sertifikasi pembenihan ikan yang baik (good hatchery practises/GHP), sertifikasi manajemen mutu dan keamanan pangan (Hazard Analysis and Critical Control Points/HACCP), dan sertifikat keterangan asal (certificate of origin/COO) produk. Jumlah produsen perikanan skala kecil, meliputi pembudidaya dan nelayan mencapai 6,1 juta orang atau 80% dari total pelaku usaha perikanan.

Sebelumnya pada Juni 2008 Komisi VI DPR mengesahkan UU tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah sebagai jaminan kepastian usaha bagi usaha kecil. Inti dari UU No.20 Tahun 2008 ini adalah memberikan kepastian hukum, mengatur kemitraan usaha antara pengusaha besar dan kecil, ketentuan tentang UKM, lembaga, perizinan usaha, sarana, informasi usaha, aspek promosi dagang dan fasilitasi pengembangan usaha dari pemerintah dan pemda, pembiayaan, kriteria UKM, penciptaan iklim usaha. Menneg Koperasi dan UKM Suryadharma Ali mengatakan UU ini sebagai landasan hukum bagi para UKM.

Sesuai dengan UU tersebut, kemitraan adalah kerja sama dalam keterkaitan usaha, baik langsung maupun tidak langsung, atas dasar prinsip saling memerlukan, memercayai, memperkuat, dan menguntungkan, yang melibatkan usaha mikro, kecil, dan menengah dengan usaha besar. Dalam kemitraan itu, bagi UMKM berprestasi diberi kesempatan ikut memiliki saham usaha besar. Tapi diatur juga agar usaha besar dilarang memiliki atau menguasai UMKM mitranya.

Menyusul disahkannya UU itu, pemerintah segera menerbitkan sedikitnya lima peraturan pelaksanaan (PP), termasuk soal kemitraan. Empat peraturan pemerintah lainnya adalah mengenai ketentuan perizinan UMKM; tata cara pemerintah dalam pengembangan, prioritas, intensitas dan jangka waktu program UMKM; penyelenggaraan koordinasi pemberdayaan UMKM; serta peraturan sanksi administratif dan pidana terkait dengan UMKM. (AI)


Tidak ada komentar: