Senin, Oktober 06, 2008

Kakao

Harga biji kakao kering di pasaran Palu, Sulteng pada awal September 2008 masih bertahan tinggi. Bagi para petani kakao di Kabupaten Donggala, masih tingginya harga kakao saat ini membuat petani gembira sebab tanaman kakao tetap berbuah walaupun hasilnya tidak sama dengan sewaktu panen raya berlangsung. Pembelian biji kakao kering oleh para pedagang pengumpul hasil bumi di Palu rata-rata Rp24.000-Rp24.100/kg. Kemudian pedagang pengumpul menjual kepada eksportir dengan harga Rp24.300/kg.

Namun demikian, petani kakao di Palu harus lebih waspada. Pasalnya, hama perusak kebun kakao semakin merajalela di Sulawesi Selatan yang menyerang ribuan hektar lahan perkebunan sehingga revitalisasi perkebunan kakao semakin mendesak. Sejak tahun 2004 hama penggerek buah kakao (PBK) dan hama vascular streak dieback atau VSD telah akrab dengan petani kakao di Sulsel, dan daerah lainnya yang merupakan sentra perkebunan kakao di Sulawesi. Hasil produksi anjlok dan kurang diminati eksportir, padahal harganya kian melambung.

Pemerintah Sulsel menyediakan Rp800 miliar dalam rangka revitalisasi salah satu produk andalan daerah ini selain beras, udang windu, dan jagung. Dana itu, untuk perbaikan pada periode 2008 hingga 2010 mendatang. Menurut Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo, dana tersebut disediakan pemprov untuk pembiayaan sambung samping seluas 2.000 ha perkebunan di daerah sentra produksi kakao. Pemprov Sulsel juga akan menyediakan 48 ribu ha lahan untuk ekstensifikasi kakao dan sebanyak 22.500 pohon akan diremajakan. Usaha untuk revitalisasi kakao ini akan terus dilakukan karena komoditas kakao di Sulsel sangat berpengaruh terhadap pendapatan daerah maupun nasional.

Kinerja industri kakao Indonesia terus mengalami penurunan karena produksi yang dihasilkan selama tiga tahun terakhir terus merosot. Ketua Umum DPP Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) Halim Razak sudah mengingatkan bahwa produksi kakao nasional pada tahun 2006 masih 590.000 ton, turun menjadi 530.000 ton pada tahun 2007 dan pada tahun 2008 ini diperkirakan tidak mencapai 500.000 ton. Hal ini disebabkan perkebunan kakao di Indonesia banyak diserang hama PBK serta VSD, dan tidak diikuti dengan upaya pemberantasan yang intensif. Hama PBK merusak bagian isi tanaman, tetapi hal tersebut masih dapat diatasi. Yang paling parah hama VSD karena bisa merusak buahnya.

Hama VSD telah menyerang hampir 40% lahan perkebunan kakao di Indonesia dan yang terbanyak adalah di Sulsel. VSD yang disebabkan jamur oncobasidium theobromae ini dapat menyebabkan kematian tanaman karena patogen berada di dalam saluran xylem sehingga menyumbat saluran makanan. Akibatnya, ranting akan menjadi mati dan tidak menghasilkan buah sehingga akan terjadi kemerosotan produksi secara drastis. Bila kondisi ini terus berlanjut, mungkin petani hanya dapat menghasilkan sekitar Rp100 juta/tahun dengan produktivitas 400 kg/ha.

Cocoa Association of Asia (CAA) siap membantu produksi kakao Indonesia agar kembali meningkat dan stabil. Saat ini Indonesia butuh sekitar 1.000 penyuluh kakao untuk luasan lahan lebih satu juta hektar yang akan disponsori CAA. CAA sangat berminat untuk bergabung dalam mengatasi permasalahan kakao di Indonesia yang terserang hama VSD seluas 30% dari total tanaman kakao di Indonesia.

Namun permasalahan menurunnya produksi kakao di Indonesia ada pada tingkat petani seperti kemalasan, tanaman sudah tua, petani yang tidak mau memupuk karena mahal, dan yang paling utama adalah hama. Agar petani termotivasi untuk mengembangkan dan merawat tanaman kakaonya, perlu ada penyuluh yang mendampingi. Masalahnya, jumlah penyuluh yang dinaungi asosiasi ini hanya 155 orang.

Pemerintah mengalokasikan dana rehabilitasi kebun kakao pada RAPBN 2009 sebesar Rp1 triliun. Dana itu untuk rehabilitasi 70 ribu ha lahan di Sulawesi. Menurut Deputi Menko Perekonomian Bidang Pertanian dan Kelautan Bayu Krisnamurthi, jika lahan kakao ini tidak dibenahi maka kerugian yang akan ditanggung sekitar Rp3,5 triliun/tahun. Namun, pemenuhan dana rehabilitasi tidak semuanya akan ditanggung pemerintah pusat. Ada tiga pola pembayaran beban tersebut, yakni (i) dana yang dikontribusikan dari APBN 2008-2009. (ii) menggunakan APBD 2008-2009, dan (iii) menggunakan dana perbankan.

Turunnya produksi kakao berakibat pada ekspor ke sejumlah negara antara lain AS, Brazil, Uni Eropa (UE), dan Malaysia. Pengusaha saat ini mulai kesulitan untuk memenuhi permintaan dari konsumen. Sekretaris Jenderal Askindo Zulhefi Sikumbang mengatakan, pengusaha saat ini hanya fokus untuk memenuhi permintaan dari konsumen. Sementara itu ekspansi pasar akan dilakukan setelah produksi mulai meningkat seperti tahun 2007. Askindo masih menunggu produksi kakao kembali normal, sehingga perluasan pasar dapat dijalankan.

Produk kakao Indonesia relatif kurang disukai di UE, dibandingkan produk dari Afrika. Bahan baku coklat Afrika memiliki keunggulan yang tidak dimiliki Indonesia. Kakao Afrika sudah difragmentasi dan sesuai dengan selera UE. Untuk negara UE, bea masuk (BM) terhadap biji kakao sudah 0%, tapi produk olahan kakao masih dikenakan BM cukup tinggi yakni 8-12%.

Saat ini Indonesia hanya mampu memasok biji kakao sebanyak 500 ribu ton/tahun ke pasar internasional. Kebutuhan kakao dunia saat ini mencapai 3 juta ton/tahun. Menurut Presiden Direktur PT Mars Symbioscience Indonesia Noel D Janetski, Indonesia memiliki produksi kakao dengan kualitas bagus. Namun, serangan hama menyebabkan produksi kakao nasional turun. Di samping itu, umur tanaman yang sudah tua juga menjadi penyebab menurunnya produksi.

Mars adalah salah satu anak perusahaan multinasioanal yang berpusat di AS. Perusahaan ini memproduksi beberapa produk permen, coklat, maupun makanan hewan. Perusahaan ini telah beroperasi di Indonesia sejak tahun 1996, dengan membuka pabrik pengolahan kakao pertama di Sulsel. Untuk meningkatkan produksi, Mars melakukan kerja sama dengan lembaga swadaya masyarakat dan instansi pemerintah, serta menjalankan konsep kemitraan. Pada Juni 2008 harga kakao yang dilaporkan oleh organisasi kakao internasional naik menjadi USD3.022/ton dari USD2.690/ton pada Mei 2008.

Investasi Mars di Indonesia diperkirakan sebesar USD17 juta, dengan rincian USD15 juta di Makassar dan lainnya ada di Sultra dan Flores. Omzet penjualan Mars di seluruh dunia diperkirakan USD22 triliun. Mars memasok 16% kebutuhan kakao dunia dari Indonesia. Kebutuhan kakao Mars Incorporated di dunia sebanyak 250 ribu ton. Perusahaan memiliki kapasitas pengolahan kakao 17 ribu ton. (AI)


Tidak ada komentar: