Senin, Oktober 13, 2008

Minyak Kelapa Sawit

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, citra minyak kelapa sawit dengan sengaja dibuat negatif di Eropa karena disinyalir adanya persaingan bisnis sejenis dari sejumlah negara produsen minyak lainnya. Isu yang dihembuskan antara lain sawit dianggap bermasalah dengan lingkungan dan merusak hutan ketika awal membudidayakan. Hal tersebut terungkap dalam Pembicaraan Meja Bundar dengan anggota Parlemen Eropa di Brussel.

Dalam hal ini minyak sawit untuk pangan tidak dipermasalahkan. Namun UE melalui Ketentuan UE tentang Energi Terbarukan dan Kualitas Bahan Bakar (Directives on Renewable Energy and Fuel Quality/DREFQ) menempatkan minyak sawit untuk biodiesel sebagai kurang berkualitas dengan alasan tidak ramah lingkungan. Ketentuan DREFQ ini akan berdampak langsung pada kedua negara, yang saat ini merupakan pemasok 85% kebutuhan minyak sawit dunia. Tahun lalu Indonesia memproduksi 16,9 juta ton minyak sawit, sementara Malaysia 15,82 juta ton.

Dalam komunike bersama seusai pembicaraan, Indonesia dan Malaysia menyampaikan keprihatinannya atas usulan penghematan emisi untuk biodiesel dari minyak sawit yang akan ditetapkan UE melaui DREFQ, yakni di bawah batas nilai 35%. Hal ini akan mengucilkan minyak sawit dan meletakkan syarat-syarat berat untuk menyediakan data aktual untuk setiap pengiriman minyak sawit atau biodiesel yang diekspor ke UE. Ditambahkan bahwa nilai-nilai yang diatur UE itu didasarkan pada data sekunder, yang tidak mewakili skenario saat ini.

Pada tanggal implementasi di Januari 2008 lalu, kedua negara sebenarnya telah setuju bahwa DREFQ hendaknya efektif secara prospektif dan tidak retrospektif, karena hal itu tidak adil bagi pelaku ekonomi. Kedua negara juga mengusulkan agar diberi kelonggaran selama tiga tahun setelah DREFQ tersebut diberlakukan. Kedua negara juga menilai bahwa definisi 'hutan' dan 'penggundulan hutan' masih belum jelas dan muncul untuk mencegah penanaman kembali tanaman seperti karet ke kelapa sawit di mana kedua negara meyakini bahwa itu bukan intensi dari DREFQ.

Pada prinsipnya, keberatan UE itu karena persaingan dagang sehingga sengaja menjelekkan citra kelapa sawit dari Indonesia. Ada upaya bagi sejumlah negara di Eropa untuk menawarkan minyak kedelai dan biji bunga matahari sebagai pengganti minyak sawit. Padahal pembukaan lahan untuk kedelai dan bunga matahari akan lebih parah ketimbang sawit karena rentang waktu tanam hanya selama enam bulan. Setelah itu areal akan gundul kembali, sedangkan sawit mencapai 25 tahun.

Dalam akhir pertemuan, Indonesia dan Malaysia kembali menegaskan dan mendesak Parlemen Eropa untuk mau mendengar sikap Indonesia dan Malaysia. Nampaknya usaha bersama Indonesia dan Malaysia ini akan dapat mengubah citra kelapa sawit yang banyak digunakan berbagai keperluan, apalagi industri sawit antara kedua negara serumpun yang bermula dari Afrika dan ditanam di Taman Botani Bogor, Indonesia sejak tahun 1848 punya sejarah panjang. Di Indonesia saat ini terdapat 190 juta ha lahan sawit dan 133 ha areal hutan dan 86 juta ha diantaranya masih dalam kondisi utuh, sedangkan lahan pertanian hanya 36 juta ha.

Yang jelas ketentuan UE itu akan berdampak langsung terhadap Indonesia dan Malaysia yang saat ini sebagai pemasok minyak sawit terbesar di dunia, yakni 85% kebutuhan minyak sawit dunia. Bagi Indonesia, minyak sawit adalah industri sangat penting yang memberikan kehidupan kepada jutaan penduduk serta menopang program pemberantasan kemiskinan. Lebih dari lima juta tenaga kerja terlibat di perkebunan kelapa sawit mulai menanam, mengelola dan sampai memasyarakatkan. Bahkan bisa mencapai lebih dari 11 juta tenaga kerja yang dapat diserap, belum lagi devisa negara yang diperoleh dari minyak kelapa sawit.

Namun demikian, ketentuan UE terkait minyak sawit jelas akan menimbulkan banyak hambatan dan menghadapi kesulitan untuk ekspor ke Eropa. Namun posisi Indonesia meminta UE memperlakukan minyak sawit secara adil dengan minyak nabati lainnya dan meminta agar persepsi negatif tersebut harus berdasarkan data ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Harga komoditas kelapa sawit terus merosot. Di sejumlah pedesaan di Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, harga tandan buah segar (TBS) pada minggu terakhir September 2008 hanya Rp650/kg. Sebulan lalu, harganya masih Rp1.300/kg. Penurunan harga kelapa sawit seiring dengan penurunan harga minyak dunia. Kepala Dinas Perkebunan Sumatera Barat Marsul mengatakan, di daerah yang masih terjangkau kendaraan, harga TBS sekitar Rp1.100-1.200/kg. Harga tertinggi TBS pernah mencapai Rp1.900/kg. Di daerah pelosok yang membutuhkan biaya angkut besar, harga TBS bisa jauh lebih rendah. Bahkan, permainan harga beli TBS masih sering ditemui di daerah yang sulit dijangkau ini.

Selain harga TBS merosot, pupuk urea untuk kebutuhan sawit juga sulit diperoleh petani. Kalaupun ada, harganya meningkat 15% dari harga normal. Harga pupuk yang biasanya Rp500.000/50 kg kini sudah mencapai Rp600.000. Kesulitan pupuk di Air Bangis sudah dirasakan sejak setengah tahun terakhir. Akibatnya, petani kerap mengurangi jatah pupuk untuk tanaman sawit mereka. Ini bisa menyebabkan buah sawit yang dihasilkan juga berkurang.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Akmaludin Hasibuan mengatakan, krisis di pasar finansial yang melanda dunia membuat para spekulan kembali melirik sektor komoditas sebagai sarana investasi. Kehadiran dan ulah spekulan ternyata tak selamanya berdampak buruk bagi pasar CPO di Indonesia. Ada sisi positif kehadiran spekulan CPO. Mulai September hingga Desember 2008 ini bakal ada panen raya sawit. Volume produksi CPO pada masa panen raya kali ini diperkirakan akan mencapai 2,3 juta ton. Saat itu para spekulan biasanya akan memborong CPO yang ada di pasar sehingga CPO hasil panen bakal terserap. Aksi para spekulan akan menghilangkan ancaman over supply CPO.

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) Sahat Sinaga sependapat dengan Akmaluddin. Menurutnya, ulah para spekulan belum akan mengubah keadaan harga menjadi lebih baik. Instrumen yang paling efektif mengerek harga CPO adalah kewajiban pemakaian biodiesel di sektor industri. Kehadiran beleid ini sama halnya garansi bahwa seluruh produksi CPO bakal terserap pasar di dalam negeri. Jika pemerintah segera menerbitkan beleid itu, harga CPO bisa naik menjadi Rp8.000 - Rp9.000/kg, sedangkan harga dunia bisa mencapai USD800 sampai USD900/ton. (AI)


Tidak ada komentar: