Rabu, Oktober 08, 2008

Melalui penelitian, obat herbal bisa berjaya

Sedikitnya 1.650 spesies dari 30.000 spesies tumbuhan berbunga yang terdapat di hutan Indonesia memiliki khasiat untuk dijadikan obat. Menurut Drs. M. Yamin, M.Si dari Lembaga Penelitian Universitas Mataram (Unram), di Nusa Tenggara Barat (NTB) sejumlah pengobatan tradisonal Suku Sasak, Lombok terlihat efektif daripada yang lazim digunakan dokter. Pengetahuan masyarakat Sasak tentang obat-obatan itu diperoleh dari naskah daun Lontar Usada Lombok yang telah berusia ratusan tahun dan dari pengalaman nenek moyang yang diwarisi turun temurun.

Tradisi penanganan kesehatan yang bersifat tradisional dengan menggunakan obat tradisional spesies tumbuhan atau hewan yang diketahui secara turun temurun masih populer di masyarakat Sasak. Ada sekitar 263 jenis penyakit dan 163 jenis obat-obatan tradisional Sasak. Khasiat obat sasak tradisional meskipun telah terbukti, namun sejauh ini belum dilakukan penelitian secara mendalam.

Memang obat herbal atau obat tradisional sudah beberapa waktu ini dilirik masyarakat sebagai penyembuh alternatif. Pengelola Magister Farmasi Klinik Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada (UGM) Zullies Ikawati memfokuskan diri meneliti hal ini. Walaupun obat herbal membudaya di China sejak berabad-abad lalu, namun Indonesia bisa bersaing dengan China. Pasalnya Indonesia kaya tanaman obat, tapi masih kalah dalam pengolahannya dengan China.

Obat herbal memang jauh lebih aman dibanding obat sintetik. Obat herbal bukannya tidak ada efek sampingnya, tetapi relatif lebih kecil. Senyawa-senyawa di dalamnya memiliki side effect eliminating system, sistem yang bisa mengurangi atau mengeleminisasi efek komponen lain. Pada obat sintetik hanya single compound, terdiri atas senyawa. Efek obat herbal tidak secepat obat sintetik. Obat herbal dipakai dalam jangka waktu lama, misalnya jamu, lebih untuk preventif bukan terapi dalam waktu cepat.

Potensi obat herbal semula hanya empirik, pengalaman dari mulut ke mulut. Padahal, pengalaman bisa berbeda antara satu dengan lainnya. Karena itulah perlu penelitian supaya terbukti secara ilmiah. Sekarang sudah ada tren menggunakan obat-obat dari alam sebagai pengganti obat sintetik yang efek sampingnya jauh lebih besar. Sudah banyak beredar obat berbahan alam. Obat kanker, misalnya, banyak berasal dari bahan alam. Setelah dipastikan efeknya ternyata konstan, akhirnya dikembangkan jadi obat.

Penelitian yang dilakukan di Indonesia dinilai sudah cukup intensif. Pemerintah sudah mengakomodasi penelitian yang berbasis alam ini untuk dikembangkan. Penelitian ini memerlukan waktu lama. Penelitian obat herbal diawali dengan uji pra klinis kepada hewan atau sel tertentu. Kadang pada praklinis terbukti efeknya, tetapi ketika diujikan kepada manusia tidak terbukti. Pada praklinis ada uji toksisitas untuk memastikan aman dipakai manusia. Caranya diujikan kepada hewan terlebih dahulu dengan dosis paling tinggi. Kemudian dilihat ada tidaknya gejala toksik secara makro maupun mikro. Kalau tidak toksik, baru boleh diujikan kepada manusia.

Pengembangan obat tradisional dalam negeri telah memberikan harapan baru dalam penyediaan obat. Saat ini pengembangan obat herbal di dunia sudah cukup berkembang pesat, pasar herbal dunia tahun 2000 mencapai USD43 miliar, namun kontribusi Indonesia masih kurang, yaitu masih sekitar USD100 juta atau sekitar 0,23%. Penyediaan obat dalam negeri yang memanfaatkan sumber daya alam Indonesia ini belum sepenuhnya mendapatkan dukungan beberapa pihak.

Beberapa permasalahan yang masih dihadapi dalam litbang iptek obat herbal, yaitu (i) penelitian yang dilakukan oleh institusi penelitian masih terfragmentasi, hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi antarlembaga penelitian yang melakukan penelitian obat herbal sehingga terjadi tumpang tindih penelitian, (ii) dokter harus berpegang pada prinsip evidence base sehingga belum meresepkan obat herbal (kecuali fitofarmaka) kepada pasien, (iii) masih lemahnya regulasi dan pengawasan, dan (iv) kurangnya ketersediaan standar dan metode sebagai instrumen evaluasi mutu.

Dari beberapa permasalahan tersebut, regulator diharapkan dapat memberikan kontribusi yang signifikan dengan memberikan pemetaan permasalahan yang ada mulai dari hulu sampai dengan hilir. Dengan demikian kebijakan riset memrioritaskan bidang yang berdaya ungkit tingi. Di samping itu, regulator juga diharapkan mempunyai inisiasi untuk melakukan sinergi dengan pihak akademisi dan pebisnis, serta diperlukannya standarisasi untuk pelaksanaan litbang iptek obat herbal.

Di sisi lain, pihak peneliti perlu melakukan konsultasi dengan Badan POM sebelum melakukan uji preklikis dan klinis terhadap obat herbal. Setelah itu diperlukan validasi informasi ilmiah tanaman dan obat herbal untuk mengidentifikasi prioritas riset dan pengembangannya di Indonesia. Diperlukan juga koordinasi antara peneliti obat herbal dan industri untuk menentukan prioritas riset berdasarkan kebutuhan teknologi dan pasar.

Guru besar pensiun Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof. Dr. Wahyuning Ramelan, Sp.And. mengatakan, produk obat herbal di Indonesia kini sudah mencapai puluhan ribu dan dikenal luas sebagai jamu oleh sebagian masyarakat. Persoalannya, obat tersebut penggunaannya berdasarkan pendekatan medik berbasis bukti-bukti ilmiah (evidence based medicine). Oleh karena itu emerintah dituntut lebih berperan dalam penelitian obat tradisional dan mengembangkan kerjasama dengan stakeholder lainnya.

Pemerintah seharusnya mendorong lomba penelitian khusus jamu atau obat herbal, mendorong pihak swasta untuk ikut berperan mendanai penelitian bidang ini. Selain itu, pemerintah juga perlu memberi peralatan untuk penelitian obat tradisional pada lembaga pendidikan tinggi atau lembaga penelitian, mengingat peran lembaga pendidikan tinggi juga signifikan untuk mendorong fakultas meneliti efek farmakologik obat tradisional.

Obat herbal ini bisa menjadi potensi besar bagi bangsa Indonesia bila diketahui secara akademik ilmiah semua efek farmakologiknya, efek sampingnya dan berbagai cara masuk yang efektif ke tubuh. Penelitian obat herbal sangat penting dan hasil penelitian itu juga dapat dikemas menjadi produk berorientasi paten dan pasar. Namun hal ini tidak mudah karena dibutuhkan kerjasama lintas disiplin, antara dokter yang akan menyarankan penggunaan obat herbal, peneliti dan industri obat. Tidak adanya kerjasama dan integrasi antara peneliti (universitas), industri dan pemerintah itulah yang masih menjadi kendala obat herbal dapat diterima secara medis. (AI)


Tidak ada komentar: