Rabu, Oktober 15, 2008

Berlomba-lomba menjadi KEK

Konsep kawasan ekonomi khusus atau KEK didesain untuk menggantikan kawasan perdagangan bebas atau free trade zone (FTZ) yang saat ini sudah diterapkan di empat daerah, yakni Sabang, Batam, Bintan, dan Karimun. Menurut Deputi V Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah Kementerian Koordinator Perekonomian Bambang Susantono, desain untuk menarik investor asing jauh lebih lengkap dalam konsep KEK dibanding FTZ.

Salah satu keunggulan yang akan dikembangkan di KEK adalah adanya 7 zona eksklusif yang bisa dibangun sesuai dengan klasifikasinya. Tujuh zona itu adalah zona pengolahan ekspor, techno park, zona logistik, zona industri, serta zona ekonomi lainnya. Zona ekonomi lainnya yang dimaksud antara lain zona pariwisata, zona jasa keuangan, dan zona olahraga. Setiap zona akan mendapatkan fasilitas khusus sesuai dengan klasifikasinya. Misalnya, industri yang ada di zona pengolahan ekspor akan mendapatkan keringanan bea keluar yang lebih tinggi dibandingkan dengan zona lainnya.

Ada sekitar 17 provinsi mengajukan diri untuk menjadi KEK. Daerah-daerah tersebut berebut untuk menjadi KEK karena dengan begitu wilayahnya sudah bisa dipastikan memiliki keunggulan dalam menarik investor asing. Provinsi yang sudah menyampaikan surat permohonan resmi terdiri dari Sumut, Riau, Sumsel, Banten, Jabar, Jateng, Jatim, Sulsel, Sulteng, Kalbar, Kaltim, Sulut, Papua, Bengkulu, Jakarta, Maluku, dan Babel. Satu provinsi disarankan hanya mengajukan satu wilayah sebagai calon KEK.

Hingga sekarang, syarat legal penetapan kawasan khusus ini masih dalam tahap penyusunan RUU di DPR. RUU KEK secara resmi sudah masuk ke DPR sejak Mei 2008. Dalam pembahasannya nanti, pemerintah antara lain akan diwakili oleh Depdag dan Depkeu. Ketua Panitia Khusus Pajak Daerah dan Retribusi Daerah DPR Harry Azhar Azis mengatakan, hingga saat ini DPR belum membentuk Panitia Khusus RUU KEK. Dalam Rapat Paripurna DPR pada 12 September 2008 lalu telah diputuskan untuk mengembalikan pembahasan hal tersebut ke Badan Musyawarah DPR untuk dibicarakan lagi.

Konsep KEK berbeda dengan FTZ yang saat ini sudah ada, sebab FTZ justru terpisah dari kawasan pabean. Sementara KEK tetap ada di dalam wilayah pabean. Dalam draft naskah akademis RUU KEK yang disodorkan Pemerintah ke DPR disebutkan salah satu kemudahan KEK adalah diberikannya sejumlah insentif berinvestasi. Misalnya kemudahan di bidang perpajakan dengan skema perpajakan tertentu berupa pengurangan tarif pajak, pengecualian pajak/tax exempetion, depresiasi yang dipercepat sampai dengan pembebasan atau pengurangan pajak untuk jangka waktu tertentu. Kemudahan perpajakan juga diberikan kepada perusahaan yang memberikan pelatihan kepada pekerja, membangun perumahan pekerja atau menyediakan transportasi pekerja.

Di samping itu, cukai juga akan diberikan sebagai salah satu kemudahan dalam KEK. Di bidang cukai, kepada otoritas kawasan akan diberikan kewenangan dalam pengusulan tarif cukai atas barang- barang impor di kawasan KEK yang menyangkut berbagai kegiatan KEK seperti industri manufaktur, usaha pariwisata, pergudangan dan perdagangan.

Di wilayah KEK juga diberikan kemudahan keimigrasian. Penanam modal asing akan diberikan fasilitas bebas visa kunjungan singkat dalam bentuk VOA (Visa On Arrival) misalnya jangka waktu 30 hari dibanding semula yang hanya diberikan waktu 7 hari. Lainnya, kemudahan dalam pemberian ijin kunjungan bagi keperluan investasi dan atau jin tinggal terbatas dengan kemungkinan memperpanjang waktu berlakunya, termasuk kemudahan pemberian ijin masuk kembali beberapa kali perjalanan (multiple reentry) yang disesuaikan dengan masa berlaku mengingat banyaknya pengusaha mancanegara yang akan datang berkunjung ke KEK.

Secara umum insentif yang mendorong ke-17 provinsi itu berebut menjadi KEK adalah fasilitas fiskal yang jauh lebih banyak dibandingkan dengan fasilitas fiskal di kawasan perdagangan FTZ. Di FTZ hanya ada pembebasan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM), dan cukai. Sementara di KEK ada lima fasilitas fiskal. Pertama, impor barang ke KEK mendapatkan penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, dan tidak dipungut PPN serta PPnBM. Kedua, penyerahan barang dari daerah pabean Indonesia lainnya (DPIL) ke KEK memperoleh fasilitas PPN dan PPnBM. Ketiga, mendapatkan fasilitas pajak daerah dan retribusi daerah. Keempat, diberi tambahan fasilitas PPh sesuai karakteristik zona. Kelima, memperoleh pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).

Harry Azhar Azis melanjutkan, dalam pembentukan KEK sebaiknya tidak perlu ada penjatahan untuk setiap provinsi karena pembentukan KEK menyangkut kemampuan masing-masing daerah. KEK ditengarai bisa menjadi senjata daerah untuk menarik investor asing. Dengan demikian, daerah dibebaskan saja untuk memiliki KEK. Asalkan dalam perjalanannya tidak menuntut pemerintah pusat untuk ikut dalam pembiayaan, dan sebagainya. Pemerintah pusat cukup diminta untuk membuat peraturannya saja.

Menurut Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang Brodjonegoro, KEK bisa berhasil apabila memiliki keunggulan dalam jaring distribusi global. KEK yang disetujui pemerintah sebaiknya berada di kawasan strategis dalam jalur pelayaran internasional. KEK harus memiliki daerah pendukung yang kuat supaya memberikan kontribusi terhadap peningkatan ekspor dan investasi nasional.

Pulau Jawa ternyata masih sangat favorit untuk tempat berinvestasi bagi pemodal asing dan dalam negeri. Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menyebutkan, pemodal dalam negeri (PMDN) masih menyukai Jawa Barat sebagai urutan teratas lokasi berinvestasi, disusul Banten, DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Riau. Sementara Pemodal asing (PMA) juga menganggap Jawa sebagai lokasi berinvestasi. Bedanya PMA memfavoritkan DKI Jakarta di urutan pertama, disusul Jawa Barat, Riau, Banten, dan Jawa Timur.

Per Januari sampai Agustus 2008, realisasi investasi PMDN Rp12,89 triliun turun 59,9% dibanding periode yang sama tahun 2007 Rp32,15 triliun. Penurunan PMDN karena beberapa investor memilih menggunakan perusahaan asing, dengan pertimbangan pajak yang lebih rendah. Untuk PMA per Januari sampai Agustus 2008 mengalami pertumbuhan 41,7% atau Rp103,68 triliun dibandingkan periode yang sama tahun 2007 Rp73,17 triliun. Secara keseluruhan, realisasi investasi baik PMDN maupun PMA, periode Januari-Agustus 2008 mencapai Rp116,57 triliun atau tumbuh 10,7% dibanding periode yang sama tahun 2007 Rp105,32 miliar. (AI)


Tidak ada komentar: