Jumat, Oktober 31, 2008

Mengubah mindset otonomi daerah

Makna otonomi daerah hingga saat ini masih sering salah kaprah. Menurut pengamat otonomi daerah Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga Umbu Rauta, otonomi daerah dimaknai sebagai otonomi pemerintahan, bukan otonomi yang menyasar kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini memungkinkan timbulnya pelanggaran, seperti pembebanan pajak dan retribusi berlebih, maupun kerusakan lingkungan dan praktik korupsi.

Salah satu implikasi salah kaprah otonomi daerah terlihat dari upaya pemerintah kabupaten dan kota untuk menggali pendapatan asli daerah (PAD) yang justru memberi tambahan beban kepada masyarakat. Akibatnya, kesejahteraan masyarakat yang menjadi sasaran otonomi daerah justru tertinggal karena mereka harus terbebani pajak dan retribusi yang bertambah banyak. Kondisi ini terutama banyak terjadi pada kurun waktu 1999-2004, sebelum terbit UU No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Menneg PPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan dampak dan manfaat desentralisasi otonomi daerah hingga saat ini belum terlihat. Diperkirakan hal tersebut baru akan terasa dalam beberapa tahun mendatang. Belum terlihatnya dampak dan manfaat itu karena masih belum lengkapnya peraturan perundang-undangan, maraknya pemekaran daerah yang lebih terkait persoalan politik, serta terbatasnya kemampuan pemerintah daerah. Padahal kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah semakin mendorong kemajuan daerah. Hal itu karena daerah lebih kreatif dalam mengembangkan potensi dan kemampuan sumber daya alam.

Sementara itu Bupati Sukoharjo Bambang Riyanto menilai pemberian kewenangan otonomi daerah masih setengah hati. Iini terjadi diperkirakan karena pemerintah pusat khawatir muncul raja-raja kecil di daerah. Akibat kewenangan yang setengah-setengah, tidak jarang kepala daerah menemui kendala untuk mengambil kebijakan terkait proses pembangunan di daerahnya. Dicontohkan dalam bidang perizinan, penanaman modal asing (PMA) atau penanaman modal dalam negeri (PMDN) yang akan berinvestasi di suatu daerah harus mengurus perizinan yang justru tidak melalui daerah tersebut, tetapi melalui badan yang dibentuk pemerintah pusat.

Hal senada diungkapkan Bupati Wonogiri Begug Poernomosidi. Menurutnya pemerintah masih terkesan setengah-setengah dalam menerapkan otonomi daerah sehingga menciptakan sistem yang serba tanggung. Dicontohkan kasus Waduk Gajah Mungkur. Selama ini Kabupaten Wonogiri tidak punya kewenangan sama sekali dalam pengelolaan waduk itu. Saat terjadi banjir, pemkab Wonogiri yang disalahkan banyak daerah. Padahal Pemkab Wonogiri bisa berbuat apa-apa karena selama ini tidak punya kewenangan sedikit pun terhadap waduk dan sabuk hijaunya yang sepenuhnya berlokasi di Wonogiri. Setelah berupaya ke sana ke mari, sekarang sudah terbentuk tim yang melibatkan lima departemen dan delapan BUMN dengan koordinator Bupati Wonogiri untuk misi menyelamatkan Waduk Gajah Mungkur.

Otonomi daerah yang sebenarnya bertujuan untuk memaksimalkan kewenangan daerah dalam membangun kemandiriannya, bukan hanya dalam mengelola APBD dan roda pemerintahannya, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana setiap daerah mampu memaksimalkan potensi-potensi sumber daya yang dimilikinya. Normalnya dengan otonomi, ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat semakin lama semakin berkurang, bukan hanya dalam urusan birokrasi, tetapi juga dalam sumber daya ekonomi dan pengelolaan daerah itu sendiri.

Akan tetapi proyeksi yang berkembang dewasa ini, dalam pembentukan daerah otonomi adalah hanya terfokus bagaimana suatu daerah otonomi mampu mengelola pemerintahan, keuangan, dan kepentingan publik lainnya dengan baik. Bahkan lebih jauh, dengan dikeluarkannya UU No.33 Tahun 2004 yang penekanannya lebih kepada bagaimana daerah otonomi mengelola APBD-nya dengan baik. Hal itulah yang membuat setiap daerah merasa terbebani dan sibuk untuk mengimplementasikan UU tersebut.

Dekan FEUI Bambang PS Brojonegoro mengungkapkan, pemerintah perlu mengubah mindset tentang pengukuran keberhasilan kinerja pemerintah daerah. Perubahan dilakukan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Ada tiga aspek yang harus ditekankan dalam mengukur keberhasilan daerah. Ketiganya adalah (i) penurunan kemiskinan, (ii) pengurangan kesenjangan, dan (iii) percepatan pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Perubahan mindset pengukuran kinerja pemerintah daerah perlu dilakukan mengingat 65% belanja APBN dialokasikan ke daerah, terdiri dari 35% belanja daerah dan 30% belanja pusat di daerah.

Implementasi desentralisasi ekonomi hanya dapat terjadi apabila pemerintah daerah melaksanakan dengan baik lima kewajiban dasarnya. Pertama, mendorong pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya berdasarkan potensi yang dimiliki serta sebanyak mungkin melibatkan peran serta pelaku ekonomi lokal. Kedua, mengupayakan perbaikan pendapatan masyarakat dengan mengutamakan prinsip keadilan. Kelompok yang mampu diberi kemudahan untuk terus memperbaiki pendapatannya, yang tidak mampu diberi subsidi terarah yang mendidik.

Ketiga, menciptakan lapangan kerja baru sebanyak mungkin dengan mengundang sebanyak-banyaknya investasi baru di daerah, terutama yang berpotensi menyerap tenaga kerja lokal dalam jumlah besar. Keempat, ikut menjaga laju inflasi di daerah dengan memperbaiki jaringan distribusi serta kepastian pasokan bahan pokok. Kelima, memberikan pelayanan publik dasar kepada masyarakat, terutama pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar dengan standar setara atau di atas standar minimum nasional.

Yang tak kalah penting perubahan mindset bahwa otonomi daerah memang berpihak pada masyarakat lokal, berfungsi-guna dan efektif mendukung pembangunan pertanian, dan mampu mewujudkan ketahanan pangan nasional. Adanya krisis pangan mestinya membuka kesadaran semua pihak bahwa pertanian dan pangan adalah bidang yang sangat strategis dan sangat penting. Industri dan sektor lain akan lumpuh tatkala tidak ada jaminan pasokan dan ketersediaan pangan yang cukup.

Pelaksanaan otonomi daerah yang secara teori sangat berpotensi memberdayakan inisiatif lokal mestinya lebih berpihak pada petani dan warga pedesaan sehingga program-program pendukung kebangkitan petani perlu mendapat prioritas dan perlu segera diwujudkan. Pertanian yang telah terbukti memberikan lapangan kerja, menghasilkan pangan, mendatangkan devisa serta menjaga kelestarian lingkungan; perlu mendapat perhatian yang layak dan konsisten. (AI)


Tidak ada komentar: