Jumat, Oktober 31, 2008

Industri manufaktur rentan terimbas krisis

Imbas krisis keuangan yang mengguncang AS tak hanya memukul pasar keuangan. Sektor usaha yang riil juga mulai terpengaruh. Yang sudah merasakannya adalah industri manufaktur dalam negeri yang penjualannya bermuara ke AS. Menurut Kepala Badan Pusat Pengembangan Industri Departemen Perindustrian (Depperin) Dedi Mulyadi, berdasarkan penelitian Depperin ada sejumlah produk yang akan paling terpukul imbas krisis tersebut, antara lain produk tekstil, kulit, kertas, keramik, elektronik, dan bahan nabati seperti minyak sawit mentah.

Para pengusahanya juga sudah melontarkan keluhan. Ketua Asosiasi Aneka Keramik Indonesia (Asaki) Achmad Wijaya menyatakan ekspor keramik ke AS sudah terlebih dulu terganggu. Sejumlah pemesan keramik dari AS sudah menunda order, sekitar 20% dari total order. Menurut data asosiasi, setiap tahun ekspor keramik ke Amerika rata-rata mencapai 100 kontainer alias 100.000 m2. Itu mencakup sekitar 35% dari total ekspor keramik Indonesia yang nilainya mencapai USD350 juta.

Keluhan yang serupa juga datang dari pengusaha bubur kertas dan kertas. Ketua Asosiasi Pulp and Paper Indonesia Muhammad Mansur menegaskan, sejak Juli 2008 sudah terjadi penurunan konsumsi kertas di AS. Sementara Thomas Darmawan, Ketua Umum Industri Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) mengatakan, dampak krisis di AS bisa berimbas pada ekspansi gerai makanan dan minuman yang bakal terus melambat. Bahkan, kemungkinan pada sisa tahun ini tak akan ada ekspansi sama sekali.

Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy mengaku ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) adalah bisnis yang paling dominan terkena imbas krisis AS. Oleh karenanya, target kenaikan ekspor sebesar 10% pada tahun ini tampaknya sulit tercapai. Kemungkinan, pertumbuhannya hanya naik 6%-7% dari total nilai ekspor tahun 2007 yang tercatat sebanyak USD2,4 miliar.

Untuk tahap pertama pemerintah akan memfokuskan pada penanganan industri TPT karena dianggap rentan terkena ancaman. Pemerintah akan mendorong sektor ini untuk segera mengisi pasar dalam negeri dan mengurangi ekspor, serta akan menekan dan mengurangi langkah impor barang-barang konsumtif produk TPT, sebagai penyeimbang upaya pemerintah melindungi industri dalam negeri.

Ketua API Jateng Agung Wahono menyatakan, krisis global sangat berdampak pada industri tekstil di daerah karena selama ini pangsa pasar TPT adalah di ekspor ke luar negeri. Akibatnya, kalau situasi keuangan di luar negeri kacau maka ekspor produk tekstil juga terganggu. Pada saat yang sama, bahan baku yang selama ini didapat dari impor juga mengalamai kenaikan harga besar-besaran seiring melemahnya nilai tukar rupiah. Bahan baku ini terutama kapas. Jumlah pabrik tekstil dan garmen di Jateng saat ini mencapai 200 pabrik dengan melibatkan jutaan pekerja.

Saat ini para pengusaha tekstil di Jateng sedang berpikir untuk mengalihkan pasar, dari semula didominasi AS dan Eropa untuk dialihkan ke pangsa pasar di Afrika dan negara-negara penghasil minyak. Namun, jika situasi krisis ini terus terjadi maka tidak ada pilihan lain kecuali para pengusaha tekstil melakukan efisiensi, salah satunya dengan cara melakukan PHK.

Departemen Perindustrian tetap mempertahankan target pertumbuhan industri sebesar 5% pada tahun 2008 ini meski hantaman krisis ekonomi global dikhawatirkan dapat mengguncang kinerja sektor manufaktur nasional. Menurut Menperin Fahmi Idris, kendati ada beberapa subsektor industri yang masih tumbuh negatif, kontribusi sektor manufaktur terhadap pembentukan produk domestik bruto (PDB) dalam empat tahun belakangan tetap paling besar dibanding sektor usaha lain yakni berkisar 27% - 28,1%.

Nilai tambah industri terhadap pertumbuhan ekonomi berperan sangat dominan. Pada tshun 2005, total nilai tambah sektor manufaktur mencapai Rp621,92 triliun dari total ekonomi Rp2.774,28 triliun. Pada semester I/2008, nilai tambah sektor pengolahan nonmigas ini sudah mencapai Rp528,22 triliun dari total ekonomi Rp2.352,99 triliun.

Untuk mencapai target tersebut, Depperin dan berbagai instansi lain berupaya mereduksi berbagai persoalan utama dari sisi eksternal antara lain krisis keuangan global, keterbatasan infrastruktur, birokrasi yang belum probisnis, ketenagakerjaan, kepastian hukum, hingga impor ilegal. Dari sisi internal masih banyak persoalan yang harus diselesaikan, antara lain beberapa cabang industri belum pulih 100% dari krisis 1998 seperti kayu dan TPT. Struktur industri yakni keterkaitan antara hulu, hilir, dan industri kecil dan menengah (IKM) belum kokoh, hingga keterbatasan penguasaan pasar domestik.

Untuk mereduksi berbagai persoalan eksternal dan internal, pemerintah telah memberikan insentif berupa pembebasan bea masuk yang ditanggung pemerintah (BMDTP) kepada 11 sektor industri tertentu guna meningkatkan daya saing selama tiga bulan. Insentif tersebut diharapkan dapat mendongkrak kinerja industri nasional dan memperkuat struktur industri pada kuartal IV/2008 dalam mempermudah akses bahan baku dan barang yang belum dapat diproduksi oleh industri di dalam negeri.

Untuk mengurangi hambatan pencapaian target pertumbuhan industri, pemerintah telah menyelesaikan 21 masalah sektoral di industri manufaktur dan IKM nasional di antaranya industri gula, makanan dan minuman, semen, kayu, SNI industri logam, pupuk, tekstil, PLTU baru, serta pengadaan kompor dan tabung gas. Di samping itu, ada pula masalah-masalah di sektor IKM seperti penyaluran subsidi kedelai, pengembangan industri kreatif, masalah kredit usaha rakyat, problem pemanfaatan mesin modern di sektor pertanian, hingga pencemaran melamin pada susu formula yang merugikan konsumen.

Pemerintah juga menerapkan empat langkah strategis sebagai antisipasi dampak krisis finansial global dalam bentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu). Menneg Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, empat langkah yang dimaksud adalah pertama, memperkuat pasar domestik yang ada, apalagi Indonesia memiliki jumlah penduduk yang besar yakni mencapai 220 juta penduduk. Kedua, menyiapkan dan memelihara infrastruktur yang ada, termasuk sarana dan prasarana jalan, transportasi, dan lain-lain. Ketiga, mempertahankan devisa negara, saat sekarang ini pemerintah berusaha membatasi impor dari luar negeri, sangat dianjurkan membeli produk dalam negeri, dan keempat, melakukan pembenahan dalam regulasi yang ada di Indonesia. (AI)


Tidak ada komentar: