Senin, September 29, 2008

Baja

Impor baja nasional sepanjang semester I/2008 mengalami peningkatan 30% dibanding periode yang sama tahun 2007, dari 4,54 juta ton menjadi 5,88 juta ton dengan total nilai USD4,33 miliar. Peningkatan impor ini disebabkan produksi baja nasional mengalami stagnasi, sedangkan konsumsi meningkat. Menurut Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Depperin Ansari Bukhari, selama ini produsen baja nasional belum mampu menyediakan pasokan yang cukup.

Berdasarkan data BPS yang diolah Depperin, terlihat bahwa lonjakan impor yang demikian besar itu terjadi di sejumlah subproduk (HS No.72 dan 73), seperti baja dasar (pelet, besi spons scrap) menjadi sekitar 1 juta ton, baja kasar (slap, bloom, billet) menjadi 1,5 juta ton. Untuk produk baja lembaran canai panas (HRC), canai dingin (CRC), dan seng baja terjadi peningkatan impor ke posisi 1,8 juta ton, baja batangan (kawat baja, wire mesh, besi beton, profil) menjadi sekitar 800 ribu ton.

Harga baja dan produk baja akan tetap tinggi dan cenderung meningkat sampai semester I/2009, meskipun harga minyak mentah dunia mengalami penurunan. Menurut Direktur Pemasaran PT Krakatau Steel (KS) Irvan Kamal Hakim, pada Agustus 2008 sempat terjadi koreksi harga karena ada penurunan harga scrab (bahan baku baja), tapi itu bersifat musiman. Harga scrab yang terkoreksi tipis merupakan pengaruh musiman tidak hanya akibat turunnya harga minyak, tapi juga menurunnya konsumsi baja di sejumlah kawasan menyusul adanya liburan musim panas, seperti di Eropa.

Di samping itu, produsen baja di Taiwan juga tengah mengurangi produksinya akibat pembatasan listrik. Oleh karena itu penurunan harga baja terutama untuk produk panjang (long product) seperti besi beton, yang banyak menggunakan scrab hanya terjadi pada Agustus sampai September 2008. Pada Oktober 2008 sampai pertengahan tahun 2009 harga baja cenderung naik sekitar 20%. Sementara untuk produk plat baja yang penggunaan scrab-nya hanya 20%, harganya tidak mengalami koreksi signifikan.

Secara keseluruhan harga baja di dunia maupun di dalam negeri diprediksi akan mengalami kenaikan, karena sejumlah faktor diantaranya industri baja dunia di Asia, Australia dan AS akan melakukan overhaul pada kuartal IV/2008 yang akan mengakibatkan turunnya pasokan baja dunia sebesar 5-6 juta ton. Selain itu, China sebagai konsumen baja terbesar juga diperkirakan tidak akan menurunkan konsumsi pasca Olimpiade di Beijing, karena pertumbuhan di negara itu akan mencapai 10,5%. Pada Agustus 2008 harga HRC mencapai Rp13 ribu/kg, harga CRC Rp13.800/kg dan besi beton Rp11.500/kg. Harga HRC pada September 2008 naik menjadi Rp13.460/kg, CRC naik menjadi Rp14.076/kg dan harga besi beton naik menjadi Rp12.609/kg.

Harga baja dan produk baja yang terus meningkat telah mendorong kalangan produsen baja Indonesia menggenjot porsi ekspornya pada September dan Oktober 2008. Langkah itu juga untuk menghindari penumpukan stok akibat melemahnya pasar lokal lantaran bulan puasa dan lebaran. Biasanya pada Bulan Puasa dan Lebaran, permintaan baja di dalam negeri melemah, karena ada libur panjang. Oleh karena itu, produsen meningkatkan pasar ekspor, agar stok baja di dalam negeri tidak menumpuk.

KS akan meningkatkan porsi ekspornya dua kali lipat, dari 10% kapasitas produksi menjadi 20%. Hingga saat ini KS merupakan produsen baja terbesar di lndonesia dengan kapasitas produksi HRC mencapai sekitar 2 juta ton/tahun, CRC mencapai sekitar 850 ribu ton/tahun, dan batang kawat (wire rod) mencapai sekitar 450 ribu ton/tahun.

Hal yang sama juga dilakukan produsen baja besar lainnya yaitu PT Essar Indonesia. Menurut direktur Essar Trivendi, pihaknya akan menggandakan porsi ekspor dari 20% menjadi 40%. PT Essar Indonesia antara lain memproduksi CRC dengan kapasitas produksi mencapai sekitar 400 ribu ton/tahun. Sementara itu Direktur Grup Gunung Garuda Sudjono mengatakan, pihaknya akan meningkatkan porsi ekspor sebesar 10%. Saat Gunung Garuda mengekspor baja sekitar 40%, dan akan ditingkat 10%. PT Gunung Garuda merupakan produsen baja nasional dengan kapasitas produksi HRC mencapai sekitar 700 ribu ton/tahun. Selain memproduksi baja hulu, PT Gunung Garuda juga memproduksi long product atau baja panjang, dengan kapasitas sebanyak 500 ribu ton/tahun.

Kalangan produsen baja nasional yang tergabung dalam The Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) meminta tiga sektor baja, yakni BjLS, pipa baja, serta paku dan kawat dimasukkan dalam daftar negatif investasi (negative list). Pasalnya, tiga sektor industri baja itu berproduksi dengan utilisasi rendah, di bawah 40%, akibat serbuan produk impor murah dari China. Kondisi itu diperparah dengan ketidakharmonisan tarif bea masuk (BM) antara produk hulu baja dan produk jadi. Tak heran, tiga produsen paku lokal terpaksa menutup usaha dan 10 lainnya memangkas lini produksi akibat ketidakseimbangan pasar domestik.

Sejak dua tahun lalu iklim usaha industri baja nasional terhambat sejumlah masalah krusial, antara lain liberalisasi perdagangan, sehingga impor membanjir, disharmonisasi BM, serta krisis energi. Padahal, tiga tahun lalu investor lokal ramai-ramai masuk ke tiga sektor baja tersebut. Namun, dengan kebijakan China yang memberikan insentif untuk ekspor, mengakibatkan produk baja China justru membanjir di pasar lokal.

Ketua Ikatan Pabrik Paku Indonesia (Ippaki) Ario Setiantoro menambahkan, akibat distorsi pasar baja lokal seiring dengan membanjirnya produk murah dari China, tiga pabrik paku terpaksa pailit, antara lain PT Argamas Bajatama yang berlokasi di Jakarta. Sementara 10 pabrik paku lainnya memangkas produksi hingga 40%. Kebutuhan paku dan kawat nasional setiap tahun mencapai 120 ribu ton. Namun, produsen lokal hanya mampu memasok setengah dari jumlah itu. Impor paku pada tahun 2007 mencapai 13 ribu ton. Pada periode Januari-April 2008, impor paku mencapai 10 ribu ton. Hal ini tentu mengkhawatirkan.

Sementara itu, Ketua IISIA Ismail Mandry menerangkan, sekitar 30 pabrik baja China berskala kecil merelokasi lini produksinya ke Indonesia mulai tahun 2008 lalu. Relokasi itu dilakukan mengingat kebijakan pemerintah China yang memperketat pengawasan limbah dan polusi untuk industri baja. Ke-30 pabrik besi beton China itu merelokasi ke daerah Sidoarjo, Mojokerto, dan Tangerang dengan perkiraan total investasi di atas USD50 juta. Rata-rata kapasitas produksi pabrik relokasi dari China itu sekitar 20 ribu-10 ribu ton/tahun. Namun, keberadaan pabrik-pabrik besi beton China itu justru mendistorsi pasar baja lokal. Pasalnya, 30 pabrik besi beton China itu tidak menerapkan Standar Nasional Indonesia (SNI). (AI)


Tidak ada komentar: