Jumat, September 05, 2008

Potret otonomi daerah

Menurut hasil survei Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) tahun 2007 yang dipresentasikan oleh Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Bambang PS Brodjonegoro, implementasi kebijakan merupakan titik terlemah dalam upaya perbaikan iklim investasi di daerah pascaotonomi. Kondisi ini bisa menghambat peningkatan investasi di daerah. Survei dilakukan terhadap 12.187 responden pengusaha di 243 kabupaten dan kota pada 15 provinsi.

Dari hasil survei KPPOD tersebut, hambatan utama berusaha adalah pengelolaan infrastruktur (35,5%), tidak adanya program pemda dalam pengembangan usaha sektor swasta (14,8%), masalah akses lahan dan kepastian hukum (14%), kurangnya interaksi pemda dan pelaku usaha (10%), biaya transaksi/pungutan di daerah (9,9%), serta pengurusan izin usaha (8,8%).

Menurut perkiraan Bank Dunia, hanya sekitar 17 juta ha bidang tanah yang terdaftar atau bersertifikat, yang merepresentasikan 21% dari seluruh bidang tanah di Indonesia. Artinya, bagi pengusaha dibutuhkan proses sertifikasi tanah jika mereka membeli tanah yang belum bersertifikat. Berdasarkan hasil survei KPPOD, sekitar 39% perusahaan melakukan pengurusan sertifikat tanah membutuhkan waktu sekitar 4 minggu atau kurang.

Tetapi, ada 12 kabupaten/kota yang pengurusan sertifikat tanahnya membutuhkan waktu lebih dari 6 bulan, misalnya Surakarta (26 minggu), Bogor (27 minggu), Surabaya (36 minggu), dan terburuk adalah Cimahi (42 minggu). Kepengurusan sertifikat tanah tercepat adalah Kabupaten Timor Tengah Utara dan Kabupaten Pinrang (Sulsel), yaitu 4 minggu. Pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) juga disurvei. Hasilnya, proses pengurusan terlama di Kabupaten Trenggalek (Jatim) memakan waktu 108 hari. Proses pengurusan TDP tercepat ada di Kabupaten Gorontalo, Luwu Utara, dan Pinrang, yaitu hanya dua hari.

Masalah infrastruktur yang paling parah adalah lampu penerangan jalan yang minim, pasokan listrik dan air minum yang rendah, kemudian jalur jalan dan telepon yang terbatas.Ganjalan lainnya adalah soal akses terhadap lahan dan kepemilikan tanah. Lemahnya kepastian hukum, terutama terjadi di kota-kota besar, seperti Semarang, Surabaya, Batam, Manado, dan Makassar.

Ketersediaan infrastruktur fisik adalah syarat mutlak bagi dunia usaha. Jalan raya, lampu penerangan jalan, air bersih, dan listrik adalah infrastruktur yang kualitasnya dianggap buruk oleh para pengusaha daerah. Berdasarkan angka subindeks infrastruktur, delapan kabupaten/kota dengan infrastruktur terbaik ada di Provinsi Jawa Timur, termasuk Tuban, Kediri, Madiun, dan Pasuruan. Sebaliknya, ada enam kabupaten/kota di Sumatra Utara dengan infrastruktur terburuk, yaitu Labuhan Ratu, Nias Selatan, Asahan, Nias, Tanjung Balai, dan Simalungun.

KPPOD juga menemukan, rata-rata waktu yang diperlukan untuk mendapatkan sertifikat lahan selama 8 minggu. Namun, ada 38,4% dari total responden yang memerlukan 11 bulan hingga dua tahun. Temuan memprihatinkan juga ada pada pungutan formal yang memberatkan. Sebagai contoh, biaya resmi untuk mengurus izin tanda daftar perusahaan (TDP) ditetapkan Rp100.000. Namun, kenyataannya ada pemerintah daerah yang menetapkan biaya Rp125.000 (Kabupaten Kediri dan Kabupaten Gowa), bahkan Rp500.000 di Kota Bontang, Kaltim. Biaya rata-rata pengurusan dokumen izin usaha bisa mencapai Rp1,443 juta. Itu sudah termasuk TDP, tanda daftar industri, surat izin usaha perdagangan, izin gangguan, dan izin mendirikan bangunan.

Pemerintah terus mengevaluasi peraturan daerah dan rancangan peraturan daerah yang membebani masyarakat dan pelaku usaha. Sampai pertengahan Juli 2008, dari 7.200 peraturan yang dievaluasi Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, sebanyak 2.000 peraturan tentang pungutan daerah diusulkan diusulkan untuk ditolak dan direvisi.

Di samping itu, dari 1.800 rancangan peraturan, sebanyak 1.200 rancangan direkomendasi untuk ditolak dan direvisi. Menurut Menkeu Sri Mulyani, hampir setiap hari Direktorat Perimbangan merekomendasikan dua atau tiga peraturan pungutan daerah untuk dibatalkan, ditolak, atau direvisi. Berdasarkan sektornya, peraturan dan rancangan peraturan yang paling banyak dibatalkan atau direvisi berasal dari sektor perhubungan, pertanian, pekerjaan umum, industri, perdagangan, serta kehutanan. Sedangkan wilayahnya berasal dari Sumut, Jatim, Jabar, Sumsel, Jateng, Sulsel, Kalsel dan Kalteng.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menilai kasus korupsi justru kian marak setelah otonomi daerah. KPK memperkirakan kebocoran dana pembangunan akibat tindak korupsi di daerah mencapai 50%, dan pungutan tak resmi 30%. Menurut Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan M. Jasin, sepanjang tahun 2008 kasus korupsi merata di Indonesia. Sekitar 80% kasus korupsi ada dalam pengadaan barang dan jasa. Indikasi kebocoran, terlihat dari keterlambatan proyek, alat yang tak terpakai, masa pakai bangunan gedung yang hanya 40% dari rencana, dan setoran uang komisi dari kontraktor, panitia pengadaan, serta pemimpin proyek kepada atasan dengan alasan belanja organisasi. Hingga pertengahan tahun 2008 ini KPK menyelidiki 53 kasus, menyidik 42 perkara, menuntut dalam 21 kasus, 9 kasus upaya hukum kembali, dan 11 di eksekusi.

Secara umum Depdagri mendukung survei-survei yang dilakukan beberapa lembaga terkait mengenai kinerja otonomi daerah. Hasil penilaian tersebut bisa menjadi motivasi bagi daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kinerja pemerintah daerah. Namun demikian, Juru Bicara Depdagri Saut Situmorang mengatakan pemerintah tetap memiliki parameter penilaian tersendiri berdasarkan PP 6/2008 tentang Pedoman Evaluasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Evaluasi akan dilakukan setiap tahun. Untuk tahun 2008 ini, pemerintah akan mengevaluasi semua kriteria penyelenggaraan pemerintah daerah pada tahun 2007 dengan menggunakan sistem pengukuran kinerja seperti yang ada dalam PP 6/2008.

Pelaksanaan otonomi daerah, terutama desentralisasi fiskal, akan menghadapi ujian berat pada tahun 2009, seiring dengan rencana pemerintah pusat menerapkan konsep sharing the pain dalam dana alokasi umum (DAU). Sebelumnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan pemerintah pusat merencanakan untuk memperhitungkan subsidi energi dan subsidi pupuk sebagai faktor pengurang penerimaan dalam negeri neto (PDN), sebelum pembagian total pagu DAU sebesar 26% ke daerah. Pada tahun 2009, Depkeu mengalokasikan DAU sebesar Rp183,4 triliun. DAU 26% dari PDN neto dan telah memperhitungkan subsidi energi sebagai faktor pengurang. (AI)


Tidak ada komentar: