Jumat, September 12, 2008

Saatnya mengalahkan tekstil China

Ekspor tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Jepang dipastikan meningkat 7%-10% menjadi USD550 juta dibanding tahun 2007, mengingat kerja sama kemitraan Indonesia-Jepang (Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement/IJ-EPA) telah memutuskan semua bea masuk produk itu menjadi 0%. Menurut Sekretaris Eksekutif Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ernovian G. Ismy, penurunan bea masuk menjadi 0% akan mendorong ekspor ke Jepang, karena selain AS dan Uni Eropa, negeri itu merupakan tujuan utama ekspor tekstil Indonesia.

Pada kuartal I/2008, ekspor tekstil ke Jepang turun 3,5% akibat perlambatan ekonomi global yang juga dialami Jepang. Namun penurunan ekspor TPT ke Jepang hanya bersifat sementara, karena konsumsi tekstil masyarakat Jepang tinggi. Industri tekstil sedang menghadapi pergeseran pasokan dan permintaan akibat perubahan situasi ekonomi dunia seperti naiknya harga minyak dunia, resesi ekonomi AS dan dilepasnya mata uang China ke pasar. Secara total, nilai ekspor tekstil pada kuartal I/2008 naik 5,3% yakni USD2,58 miliar dengan pertumbuhan didominasi oleh serat 39,9%, benang dan kain 3,5% dan garmen 4,2%. Namun, volume ekspor malah turun 0,21%, karena terjadi kenaikan harga produk tekstil.

Menurut Direktur Eksekutif Indotextiles – lembaga riset pertekstilan nasional – Redma Gita Wiraswasta, ekspor TPT nasional ke Jepang mulai semester II/2008 akan dipengaruhi oleh IJ-EPA dan perjanjian multilateral Asean Jepang dalam (AJ-CEP). Berdasarkan studi yang dilakukan Indotextile, pangsa pasar impor tekstil Jepang dari Indonesia pada tahun 2007 baru sekitar 2,9%, sedangkan China menguasai 76,6% dari total impor Jepang yang pada tahun 2007 mencapai JPY808,29 miliar.

Meskipun pangsa pasar Indonesia kalah jauh dari China, Indonesia tetap menempati posisi terbesar dibanding pangsa pasar Malaysia (0,4%), Pakistan (0,5%), Vietnam (1,2%), India (1,4%), AS (1,7%), dan Korea Selatan (1,9%). Dengan adanya kerja sama IJ-EPA, pangsa pasar produk tekstil nasional terutama benang, kain dan garmen yang bersifat fungsional dan teknis seperti medical garment, berpotensi merebut pasar TPT China sekitar 4% - 5% menjadi 7,9%.

Direktur Industri TPT Ditjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka Deperin Aryanto Sagala mengatakan, kerja sama IJ-EPA ini menghapus seluruh pos tarif bagi sektor TPT. Pos tarif yang dihapuskan itu ada dalam kelompok HS No.51,61-63, semua dihapus dari produk hulu hingga hilir. Meski seluruh pos tarif produk TPT dihapuskan, produk-produk TPT tetap tidak mudah masuk ke pasar Jepang karena pemerintah Jepang tetap memberlakukan seleksi ketat atas produk-produk Indonesia. Atas dasar itu, Indonesia mendesak agar Jepang segera mengirimkan tenaga ahli untuk memberikan pelatihan terkait dengan standarisasi produk sesuai dengan ketentuan Jepang, peningkatan kemampuan teknologi, khususnya di sektor dyeing dan finishing, sistem informasi, dan program pengembangan serat berbahan alami, seperti serat rami.

Sementara itu, sedikitnya 17 prinsipal merek garmen ternama asal Jerman, AS, Korsel, dan Taiwan akan menjadikan Indonesia sebagai basis produksi. Mereka berencana menempatkan order produksi dengan total nilai komitmen kontrak diperkirakan mencapai USD230 juta. Nilai penempatan order produksi tersebut merupakan yang terbesar sepanjang tiga tahun terakhir. Pesanan tersebut akan dikerjakan oleh sedikitnya 30 perusahaan garmen lokal. Prinsipal-prinsipal tersebut merupakan pemegang merek garmen global, antara lain Abercrombie & Fitch, Asmarindo, Dewhirst, Hanesbrands, J. Crew, JC Penney, GAP, Jones Apparel, Levi’s, Li & Fung, Linmark, Liz Claiborne, Nike, PIERS, Ralph Lauren, Target, Vanity Fair, dan Walmart.

Menurut para prinsipal, kualitas produk garmen Indonesia lebih baik dibandingkan dengan negara lain seperti Bangladesh, bahkan mampu menandingi China. Sementara itu, dari sisi harga garmen produksi Indonesia lebih berdaya saing dibandingkan dengan Vietnam, Filipina, China, dan Kamboja. Indonesia menempati peringkat ke-10 di pasar dunia dalam hal penguasaan pangsa pasar dan berada di urutan ketiga sebagai eksportir garmen terbesar ke AS dengan nilai USD2,1 miliar pada semester I/2008. Angka ini naik sekitar 6% dibanding tahun 2007.

Di sisi lain, pencapaian nilai rata-rata investasi dari setiap perusahaan penerima subsidi bunga dalam program restrukturisasi mesin pertekstilan pada tahun 2008 ini turun 52,34% dibanding tahun 2007, dari Rp19,5 miliar menjadi Rp12,8 miliar. Nilai tersebut dihitung berdasarkan rata-rata pengajuan proyek pembelian mesin-mesin baru oleh setiap perusahaan yang masuk dalam skim I. Skim I merupakan program potongan harga mesin baru sekitar 10% untuk perusahaan tekstil besar.

Penurunan nilai rata-rata pembelian mesin baru itu disebabkan oleh tiga faktor yang dipicu ketidakseimbangan makroekonomi sepanjang Januari – Juni 2008. Kondisi ini berpotensi terus berlanjut hingga akhir 2008. Faktor-faktor tersebut adalah pertama, PLN tidak menjamin tambahan pasokan daya listrik untuk ekspansi baru. Apabila produsen tekstil menambah investasi mesin seharga di atas Rp15 miliar, pasokan daya listrik PLN tak akan mencukupi.

Kedua, dengan melihat kondisi pasar produk pertekstilan utama seperti AS dan UE yang sedang melemah, produsen tekstil nasional terpaksa mengerem laju produksi dan ekspor ke AS dan UE mengingat pengalihan pasar pada saat yang sama sulit dilakukan. Ketiga, fluktuasi harga minyak mentah dunia sepanjang semester I/2008 dan kenaikan harga batubara yang memicu ketidakpastian bisnis di dalam negeri.

Di samping itu, sejumlah subsektor di industri pertekstilan nasional pada semester II/2008 diperkirakan mengalami penurunan utilisasi dan berproduksi di bawah 50% dari total kapasitas terpasang (undercapacity). Hal ini merupakan dampak dari pelemahan daya beli konsumen di dalam negeri ataupun di pasar ekspor sehingga penyerapan hasil produksi TPT semakin merosot.

Melemahnya daya beli konsumen terjadi akibat melambungnya harga-harga produk yang tidak diimbangi dengan kenaikan pendapatan sehingga mendongkrak laju inflasi sepanjang semester I/2008. Kalangan produsen pengolahan kain (weaving, dyeing, dan finishing) nasional terpaksa menaikkan harga jual antara 15% sepanjang kurun waktu Januari hingga Juli 2008 menyusul naiknya harga poliester (serat sintetis) dan tingginya harga energi. (AI)


Tidak ada komentar: