Rabu, September 03, 2008

Bahan baku obat masih impor

Sebagian besar bahan baku obat Indonesia masih diimpor, terutama dari China. Saat ini harga bahan baku itu mengalami kenaikan hingga 50% sejak awal tahun 2008, dan diperkirakan berlangsung hingga Agustus 2008. Selama ini Indonesia mengimpor bahan baku obat sebanyak 250 jenis dengan nilai transaksi mencapai Rp6 triliun per tahun. Menurut Ketua Komite Bahan Baku Gabungan Perusahaan (GP) Farmasi Vincent Harijanto, kondisi ini menyebabkan importasi bahan baku obat dari China tersendat.

Salah satu penyebab tersendatnya impor bahan baku obat dari China itu adalah pelaksanaan Olimpiade Beijing. Pasalnya, pemerintah China memperketat transportasi dan pengelolaan limbah industri farmasi. Di samping itu, China juga memangkas insentif pajak untuk ekspor bahan baku obat dari 17% menjadi 5%. Untuk itu, pabrikan farmasi domestik terpaksa menunggu bahan baku hingga Olimpiade 2008 di Beijing berakhir serta menggunakan stok yang ada.

Tersendatnya pasokan itu menyebabkan harga bahan baku obat dari China meningkat antara 50-100%. Melonjaknya harga bahan baku ini juga dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar dolar Amerika Serikat terhadap Renminbi (RMB/mata uang China), lonjakan harga minyak mentah, serta peningkatan ongkos buruh. Industri farmasi lokal mengimpor hampir 95% kebutuhan bahan baku antara lain berupa antibiotik, amoxilyn, paracetamol, dan anelxicis. Pasokan bahan baku impor itu didominasi China sebanyak 75%, India 20%, dan sisanya dari Eropa.

Kondisi ini berbeda dibandingkan dengan kondisi tahun 1970-an. Saat itu produsen farmasi lokal mengandalkan bahan baku impor dari Eropa, tetapi sekarang didominasi oleh China. Saat ini di dalam negeri terdapat sekitar 200 pabrik farmasi dan 2.500 perusahaan distribusi farmasi. Pasar farmasi domestik pada tahun ini diperkirakan mencapai Rp30 triliun. Indonesia merupakan pasar terbesar produk farmasi di Asean atau mencapai 50% dari kawasan tersebut.

Terkait kemungkinan terjadinya kenaikan harga obat di dalam negeri sebagai dampak kenaikan harga bahan baku obat, GP Farmasi tidak bisa memerinci kisaran kenaikan harga obat di dalam negeri karena ini menyangkut kebijakan masing-masing perusahaan. Meski demikian, harga jual obat generik tidak akan naik karena harganya ditetapkan pemerintah. Menteri Kesehatan telah menetapkan harga jual obat generik, di mana untuk tahun ini tetap sama dengan tahun sebelumnya.

Pemerintah belum menyiapkan kebijakan khusus terkait kemungkinan kenaikan harga obat akibat naiknya harga bahan baku sejumlah obat di pasaran. Menurut Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan Richard Panjaitan, pihaknya belum melihat ada kenaikan harga obat generik sehingga belum ada kebijakan baru tentang itu. Sementara itu, bila menyangkut harga dan penjualan obat bebas dan obat paten, pemerintah tidak punya kewenangan untuk mengatur.

Terkait dengan hal itu, Kepala Bagian Farmakologi dan Toksikologi Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dr Iwan Dwiprahasto MMed.Sc, PhD menyarankan, agar pemerintah segera menyiapkan upaya komprehensif guna mengantisipasi kenaikan harga obat. Pemerintah harus melakukan proteksi dengan menjamin ketersediaan obat-obat esensial di sarana layanan kesehatan dasar. Caranya, antara lain bisa dilakukan dengan mengupayakan pembebasan bea masuk impor bahan baku obat.

Cara lain, pemerintah juga bisa bermitra dengan BUMN farmasi besar dengan memberi mereka konsesi impor bahan baku obat dalam jumlah besar supaya bisa mendapat harga lebih murah. Namun, kebijakan itu harus disertai dengan pengawasan pembelian dan distribusi bahan baku obat. Jangan sampai industri farmasi yang ditunjuk secara diam-diam juga menjual sebagian bahan baku ke pihak lain dengan harga tinggi.

Sementara itu, Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) diminta turut mengawasi praktik promosi dan etika bisnis dalam industri obat-obatan. Hal itu merupakan salah satu rekomendasi dari diskusi KPPU bersama para pelaku industri farmasi pada Juni 2008 lalu. Menurut anggota KPPU Didik Akhmadi, permintaan itu disampaikan berdasarkan analisis data harga obat dari masing-masing klasifikasi obat, persaingan di industri farmasi ternyata tidak bertumpu pada persaingan harga melainkan persaingan nonharga.

Hal itu terlihat dari volume penerimaan masing-masing obat pada setiap klasifikasi terapi yang menggambarkan harga obat yang rendah belum tentu menunjukkan volume transaksi yang besar. Pasalnya, sering terjadi adanya praktik kolusif antara prinsipal obat dengan para dokter. Bahkan, para dokter justru mendapatkan diskon-diskon yang lebih besar dibanding apoteknya. Dalam komponen harga obat ternyata ada sekitar 20-40% yang diberikan kepada dokter sebagai bagian dari promosi.

Praktik tersebut menyebabkan ketidakseimbangan informasi tentang obat yang berakibat tidak rasionalnya penggunaan obat, tidak sesuai dengan kebutuhan pasien. Kegiatan promosi yang demikian merupakan praktik persaingan usaha yang tidak sehat sekaligus membahayakan konsumen. Oleh karena itu, KPPU menyatakan akan menindaklanjuti rekomendasi yang muncul dalam diskusi bersama ISFI (Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Departemen Kesehatan, perwakilan perusahaan farmasi, dan Komisi Etik GP Farmasi tersebut.

Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Sanata Dharma (FE USD) Romo Francis Wahono SJ PhD mengatakan, beberapa industri obat di Indonesia diduga kuat telah melakukan mafia dalam memasarkan obat-obat bermerk. Mafia itu melibatkan rumah sakit dan dokter. Mafia dilakukan setelah dengan halus mereka merayu dokter dan rumah sakit untuk membeli obat produk perusahaan obat bersangkutan. Bentuk mafia bisa berupa dokter dirayu lewat sponsorship untuk peningkatan kemampuan/keahlian, termasuk ke luar negeri atau yang lebih kasar lagi diberi kredit rumah atau kendaraan.

Sementara rumah sakit dirayu melalui diskon pembelian obat untuk jangka waktu tertentu, bahkan uang diskon bisa diambil di muka. Secara bisnis cara-cara seperti itu baik-baik saja. Namun hal itu sangat memojokkan orang sakit, pasien dan meminggirkan mereka yang sudah payah ke dasar-dasar ketidakberdayaan. Beberapa indikasi lain penjualan obat yang berbau mafia, misalnya, pasien tidak mempunyai pilihan obat dan harus membeli obat di apotek rumah sakit karena adanya pengumuman di rumah sakit-rumah sakit bahwa ada pemalsuan obat di luar dan rumah sakit tidak mau menanggung. Semestinya rumah sakit dan dokter ingat nasib pasien. Pasien bukan sebagai obyek bisnis tetapi sebagai subyek yang harus ditolong dan dilayani. (AI)


Tidak ada komentar: