Senin, September 08, 2008

Padi hibrida

Peningkatan produksi beras dunia menghadapi tantangan serius. Meski bukan pilihan utama, pengembangan tanaman padi transgenik atau bioteknologi modern merupakan salah satu alternatif dalam mengatasi ancaman krisis pangan global akibat peningkatan konsumsi. Menurut Kepala Pemulia Tanaman Genetik dan Bioteknologi Lembaga Penelitian Padi Internasional (International Research Rice Institute/IRRI) Darshan Brar, dalam empat dekade terakhir terjadi peningkatan konsumsi beras dunia dua kali lipat lebih.

Pada tahun 1965, produksi beras dunia mencapai 256 juta ton. Tetapi 40 tahun kemudian atau tahun 2006 meningkat menjadi 600 juta ton. Untuk memenuhi konsumsi beras warga dunia yang terus meningkat akibat pertambahan jumlah penduduk dan perluasan jangkauan konsumsi beras, pada tahun 2020 perlu tambahan produksi beras sekitar 25%. Padi transgenik merupakan solusi alternatif yang bisa menjawab tantangan global ancaman krisis pangan. Meski begitu, produk transgenik masih dihadapkan pada isu-isu sensitif, seperti kesehatan manusia dan pangan.

Dari China dikabarkan, negara itu berhasil mengembangkan padi hibrida generasi kedua. Ini dicapai setelah selama hampir tiga dekade China sukses memasarkan padi hibrida generasi pertama untuk memenuhi kebutuhan pangan di dalam negerinya dan dunia.Menurut doktor peneliti pada Institute of Genetics and Developmental Biologi Chinese Academy of Sciences Hongli Zhai, meski berhasil mengembangkan varietas padi hibrida baru, Pemerintah China belum mengomersialkan.

Varietas padi hibrida generasi kedua atau disebut sebagai hibrida-transgenik (genetic modified organism/GMO) merupakan pengembangan padi hibrida generasi pertama. Hibrida-transgenik yang dikembangkan China toleran terhadap serangan serangga. Penanaman padi hibrida besar-besaran di China memunculkan berbagai jenis serangga perusak pertumbuhan tanaman padi. Serangan hama penyakit yang berkembang meliputi penggerek batang dan ulat daun.

Serangan hama penyakit pada tanaman padi hibrida menyebabkan hilangnya potensi hasil lebih dari 5% atau sekitar 10 juta ton gabah. Produksi gabah di China tahun 1996-2005 rata-rata 195 juta ton. Mengingat besarnya kerugian akibat serangan serangga dan hama penyakit pada tanaman padi hibrida China, pengembangan padi hibrida-transgenik pun diarahkan untuk menangkal serangan serangga dan hama penyakit itu. Muncullah padi hibrida-transgenik yang toleran serangan serangga penggerek.

Di Indonesia, anjuran pemerintah untuk mengunakan padi hibrida kepada petani agar hasil panennya lebih besar tampaknya tidak direspon baik oleh petani Banyuwangi. Berdasarkan data yang ada di Dinas Pertanian Banyuwangi, dari 5.000 ha lahan yang diajukan, hanya 1.504 ha lahan yang ditanami padi hibrida. Tidak diresponnya anjuran pemerintah tersebut karena para petani khawatir hasil yang mereka dapatkan akan menurun.

Kekawatiran petani dikarenakan bibit padi hibrida masih baru dan pengendalian organisme pengganggu tanaman lebih besar. Berdasarkan pengalaman seorang petani di desa Mojopanggung Banyuwangi, hasil panen padi hibrida memang lebih banyak, namun biaya pengendalian pengganggu tumbuhan menjadi lebih besar karena padi hibrida rentan sekali dengan penyakit. Hal ini membuat petani enggan mengunakan padi hibrida.

Hal yang sama terjadi pada petani di wilayah Sukoharjo. Mereka kurang tertarik untuk menanam padi hibrida, meski untuk wilayah Jawa Tengah telah dikembangkan padi hibrida jenis F1 HIPA6JT, yang dinilai paling cocok untuk ditanam di provinsi ini. Menurut pimpinan Kebun Benih Padi Lawu I Sukoharjo Suwarto, petani di Sukoharjo lebih tertarik untuk menanam jenis padi konvensional, seperti jenis IR 64 atau Ciherang. Padahal, jika menggunakan benih hibrida, relatif menguntungkan bagi para petani yang menanamnya.

Sementara itu, sukses melakukan uji coba produksi benih padi hibrida SL-8 pada musim kemarau 2007, PT Sang Hyang Seri (Persero) selaku BUMN produsen benih utama di Indonesia mulai memproduksi hibrida SL-8 secara besar-besaran. Direktur Utama PT Sang Hyang Seri (SHS) Eddy Budiono mengatakan, padi hibrida SL-8 telah layak dikomersialkan karena produktivitasnya tinggi. Produksi benih padi hibrida SL-8 pada musim tanam kemarau 2008 mencapai lebih dari 2 ton/ha. Pada uji coba penanaman musim tanam kemarau 2007 hanya 1,4-1,7 ton/ha.

Produksi benih hibrida SL-8 jauh lebih tinggi daripada produksi benih di negara asal, yakni Filipina yang masih di bawah 1,5 ton/ha. Produktivitas padi hibrida SL-8 dari berbagai hasil uji multilokasi yang dilakukan mencapai 14-15 ton gabah kering panen (GKP). Dengan produktivitas yang tinggi, menanam padi hibrida SL-8 sangat menguntungkan petani. Padi hibrida SL-8 sangat tepat dikembangkan di lahan sawah yang pasokan airnya terjamin. Tanpa ada jaminan pasokan air irigasi, produksi hibrida SL-8 tidak optimal.

Padi hibrida SL-8 merupakan hasil kerja sama PT SHS dengan produsen benih, PT Agritech, dari Filipina. Kontrak kerja sama itu meliputi pemasaran, pertukaran plasma nutfah, dan pembagian keuntungan dalam bentuk property right masing-masing 50%. Meski bentuknya kerja sama, produksi benih tetap dilakukan di Indonesia. Benih hibrida SL-8 telah dilepas oleh Menteri Pertanian pada tahun 2006.

Saat ini banyak perusahaan benih di Indonesia yang melakukan uji multilokasi penanaman padi hibrida. Produsen benih swasta kini giat mengimpor benih hibrida dari China, India, dan Filipina untuk memenuhi kebutuhan benih padi hibrida dalam negeri terkait dengan program peningkatan produksi beras nasional. Tahun 2008 ini produksi benih padi hibrida SL-8 dilakukan di dua lokasi, yakni di Sukamandi, Subang, Jawa Barat dan Sidrap, Sulawesi Selatan. Luas area produksi 300 ha dan nantinya akan dikembangkan menjadi 1.500 ha.

Menteri Pertanian Anton Apriyantono mengatakan, tantangan sektor pertanian memang sangat berat. Potensi lahan sangat kecil untuk bisa meningkatkan produktivitas. Dari lahan seluas 7,4 juta ha, indeks pertanaman di Indonesia rata-rata hanya 1,6 dalam setahun. Artinya, petani baru bisa menanam rata-rata 1,6 kali dalam setahun. Produktivitas gabah kering giling (GKG) hanya 4,7 ton per ha. Apabila Indonesia bisa meningkatkan indeks pertanaman dua kali setahun, pertambahan produksi dalam bentuk beras bisa mencapai sekitar 8,6 juta ton per tahun. Saat ini pertambahan penduduk Indonesia sekitar 3 juta per tahun. Artinya, kalau konsumsi beras 100 kg per tahun, minimal dibutuhkan beras sebanyak 300 juta kg per tahun. (AI)


Tidak ada komentar: