Jumat, September 05, 2008

Kinerja industri manufaktur semester I-2008

Kinerja industri manufaktur semester I-2008 diduga mengalami anomali yang semakin kompleks. Hal itu disebabkan sejumlah sektor yang seharusnya dapat mengoptimalkan mesin produksi, justru kian kehilangan peran dalam menciptakan produk yang berbobot dan berdaya saing. Data yang dirilis BPS mengungkapkan, dari total impor Indonesia selama semester I/2008 sebesar USD65,05 miliar, bahan baku/penolong memberikan peranan terbesar terhadap total impor, yaitu 79,03% dengan nilai USD51,41 miliar, diikuti barang modal sebesar 14,2% (USD9,24 miliar) dan barang konsumsi sebesar 6,77% (USD4,4 miliar).

Jika dicermati, di setiap cabang industri, nilai impor melonjak rata-rata 100% dibanding nilai impor pada periode yang sama tahun 2007. Pada cabang mesin/pesawat mekanik (golongan barang/HS No.84), nilai impor meningkat di atas 100%, dari USD4,2 miliar menjadi USD8,66 miliar. Lonjakan impor juga terjadi di sektor plastik dan barang dari plastik (HS 39) dari USD1,03 miliar menjadi USD1,99 miliar. Di cabang mesin dan peralatan listrik (HS85), peningkatan nilai impor bahkan mencapai di atas 250%, dari USD2,2 miliar menjadi USD7,12 miliar.

Pengamat industri dan ekonomi Universitas Gadjah Mada Mudrajat Kuncoro mengatakan, apabila nilai impor industri manufaktur di suatu negara melampaui nilai produk industri yang dihasilkan, berarti sektor manufaktur negara tersebut sedang mengalami pelemahan struktural. Tingkat impor yang semakin besar membuat kinerja industri mengalami penyimpangan.

Pertumbuhan ekonomi semester I-2008 kembali ditopang oleh kinerja ekspor komoditas perkebunan. Pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi yang padat modal juga kian melaju. Sebaliknya, pertumbuhan industri pengolahan yang diandalkan untuk menyerap tenaga kerja makin melemah. Pertumbuhan tertinggi terjadi di sektor pengangkutan dan komunikasi, sektor kelistrikan dan gas, sektor keuangan, real estat dan jasa perusahaan, serta perdagangan, hotel, dan restoran. Deputi Kepala BPS Bidang Neraca dan Analisis Statistik Slamet Sutomo mengingatkan nilai penting pertumbuhan ekonomi terhadap penyerapan tenaga kerja perlu mendapat perhatian.

Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia M Chatib Basri berpendapat, tingginya harga komoditas membuat ekspor kian bergantung pada komoditas primer. Secara keseluruhan, perekonomian semester I-2008 berada pada tingkat pertumbuhan yang baik. Investasi juga mulai menggeliat. Namun, pertumbuhan dan investasi itu belum beranjak dari sektor padat modal dan perkebunan menghasilkan komoditas mentah. Untuk mendorong penyerapan tenaga kerja, industri manufaktur perlu dijadikan tumpuan. Industri manufaktur perlu ditolong dengan inflasi yang rendah dan aturan tenaga kerja yang lebih baik.

Penyerapan tenaga kerja di Indonesia sulit bergerak dan cenderung ke arah stagnan akibat lambatnya pertumbuhan di empat bidang industi yang banyak menyerap pekerja. Menurut Presiden Boston Institute for Developing Economics Gustav Papanek, empat sektor itu meliputi tekstil dan garmen, sepeda motor dan mobil, industri kimia dan pengolahan, batubara dan industri pertambangan lain. Sebelum krisis ekonomi, lebih dari setengah angkatan kerja diserap oleh empat sektor itu. Stagnasi pertumbuhan lapangan kerja terlihat dari tidak adanya penyerapan tenaga kerja yang signifikan sejak 10 tahun terakhir.

Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menilai daya saing industri nasional dalam 10 tahun terakhir sangat memprihatinkan karena sejauh ini belum menunjukkan kinerja yang membanggakan. Penilaian Kadin tersebut didasarkan pada hasil pemeringkatan daya saing yang dikeluarkan oleh World Economic Forum (WEF) dalam laporan bertajuk Ranking of The World Competitiveness 2008. Laporan itu menempatkan Indonesia pada peringkat ke-51 dari 55 negara yang disurvei dalam hal tingkat daya saing.

Hasil riset lain yang dilakukan oleh IMD Business School of Lausanne, Swiss juga menunjukkan posisi Indonesia masih jauh tertinggal di bawah negara Asean lainnya, seperti Filipina di peringkat ke-40, Malaysia di peringkat ke-19, dan Singapura di peringkat ke-2. Sementara itu, mengacu pada hasil survei Growth Competitiveness Index yang dilansir World Economic Forum (WEF) pada tahun 2007-2008, Indonesia berada di peringkat ke-54 dari sekitar 131 negara yang disurvei. Di tingkat Asean, Indonesia hanya lebih baik dari Filipina, Vietnam, dan Kamboja, jauh di bandingkan dengan Singapura dan Malaysia.

Untuk memperbaiki kondisi daya saing sektor manufaktur yang rendah, Kadin meminta agar pemerintah membenahi iklim investasi yang mencakup empat aspek. Pertama, harus ada upaya dan perencanaan yang serius untuk membangun industri dasar yang tangguh. Kedua, ada upaya untuk terus menjaga momentum membaiknya variabel makroekonomi demi terciptanya lingkungan yang kondusif. Ketiga, perlu ada keberanian pemerintah untuk berkoordinasi dengan sektor usaha dan masyarakat bahwa tidak ada penyelesaian singkat dalam mengatasi kemelut ekonomi. Keempat, pemerintah harus mendorong terciptanya iklim persaingan yang sehat agar industri nasional diisi pemain yang kompeten dan tidak hanya mengandalkan koneksi dengan pusat kekuasaan.

Sementara itu, sepanjang Januari-Juni 2008, pungutan liar di industri manufaktur meningkat 15%-20%, menjadi sekitar USD180 juta kendati pemerintah gencar memberantas korupsi. Berdasarkan hasil studi terhadap data yang dirilis Bank Dunia dan lembaga For Governance Reform terungkap, indikasi adanya praktik pungli di empat pintu utama. Pertama, sektor birokrasi yang menangani perizinan dagang, investasi baru dan perluasan usaha. Kedua, aktivitas yang berhubungan dengan tender proyek swasta dan pemerintah. Ketiga, kebijakan yang berhubungan dengan mutasi pejabat dan rekruitmen calon pegawai negeri sipil (CPNS). Keempat, pelayanan yang berkaitan dengan arus barang dan jasa.

Lokasi rawan pungli yang berkaitan dengan arus barang dan jasa terutama terjadi di jalan raya dan pelabuhan. Semua kegiatan yang memicu high cost economy telah menimbulkan inefisiensi sehingga industri di dalam negeri sulit berkembang dan berdaya saing rendah. Lebih lanjut berdasarkan hasil survei tersebut, sebagian besar aktivitas pungli di luar Jawa terjadi di Sumatra, Sulawesi, dan Kalimantan. Hal ini disebabkan mekanisme kontrol menjadi sangat terbatas mengingat luasnya wilayah perairan dan daratan. (AI)


Tidak ada komentar: