Senin, September 15, 2008

Plastik

Rencana ekspansi sejumlah perusahaan plastik dan kemasan senilai USD1,5 miliar pada tahun 2010 dan 2011 terancam ditunda jika pemerintah tidak segera merealisasikan proyek pembangkit listrik 10 ribu megawatt (MW). Ketua Umum The Indonesia Olefin & Plastic Industri (Inaplas) Didie Soewondho mengatakan, di sisi lain permintaan pasar untuk produk plastik dan kemasan terus meningkat 7-8% per tahunnya. Selama tahun 2008, realisasi investasi baru industri hulu (petrokimia) telah mencapai USD7,4 miliar, yang terdiri atas 76 perusahaan.

Industri petrokimia memang jenis industri yang membutuhkan listrik paling banyak, di samping industri baja, semen, pulp dan kertas, serta tekstil. Adanya defisit listrik akan sangat mengganggu rencana investasi dan ekspansi bisnis. Keterbatasan pasokan listrik menyebabkan investor menghitung kembali rencana investasinya dan mempertimbangkan membangun pembangkit listrik sendiri untuk memenuhi kebutuhannya.

Sepanjang semester I/2008, harga bahan baku plastik berupa polietilena (PE) dan polipropilena (PP) meningkat drastis hingga 100% dari rata-rata USD1,100 per ton menjadi USD2,200 per ton. Kenaikan itu dipicu lonjakan harga minyak bumi yang sempat meningkat menjadi USD145 per barel pada Mei 2008. Namun, kendati harga minyak mentah kini sudah turun ke posisi USD120 per barel, lonjakan harga minyak pada Mei 2008 baru terasa dampaknya terhadap harga PE dan PP mulai akhir Juli 2008.

Sekjen INAplas Budi Susanto mengatakan, sampai saat ini, harga PE dan PP masih di posisi USD2,200 per ton untuk pasar regional. Minimnya pasokan bahan plastik dari pasar domestik dan ekspor berakibat pada kenaikan harga. Harga bahan plastik sepanjang semester I/2008 terus melonjak mengikuti tren kenaikan harga minyak. Pada Februari 2008, harga bahan plastik mulai merangkak ke kisaran USD1,550 per ton dan terus naik pada Mei 2008 menjadi USD1,800 per ton. Kenaikan harga itu, ikut mempersulit industri petrokimia antara (midstream) dan pengolahan plastik di dalam negeri karena pada saat yang sama mereka tidak bisa menaikkan harga jual akibat pelemahan daya beli.

Karena itu, sejumlah perusahaan petrokimia berbasis PE dan PP terpaksa memangkas margin keuntungan untuk mempertahankan daya beli. Pada akhir Mei 2008 lalu, pasokan PP dan PE dari PT Tri Polyta dan PT Polytama sempat turun akibat krisis daya listrik PLN sehingga defisit bahan baku plastik di pasar hampir mencapai 10.000 ton. Kerugian yang diderita produsen bijih plastik pada saat terjadi pemadaman listrik selama 10 hari ditaksir mencapai USD10 juta. Sepanjang Januari-Juni 2008, pertumbuhan industri plastik nasional mencapai 4,5% terhadap konsumsi pada periode sama tahun 2007 dengan total volume sekitar 1,2 juta ton.

Kendati tumbuh, industri pengolahan plastik nasional beroperasi di bawah tingkat kapasitas terpasang ideal, yakni hanya sekitar 50%-60% dari kondisi normal. Pertumbuhan tersebut ditengarai merupakan efek dari membanjirnya produk plastik konsumsi atau produk jadi sepanjang semester I/2008. Berdasarkan data BPS, nilai impor plastik dan barang dari plastik (kelompok barang/HS No.39) melonjak hingga 94,2% dari USD1,03 miliar menjadi USD2 miliar. Tetapi, kenaikan nilai impor itu semata-mata akibat kenaikan harga produk, karena volume impor sepanjang semester I/2008 masih normal.

Defisit bahan baku plastik di dalam negeri sempat memicu aksi spekulasi sehingga terjadi kelangkaan di pasar. Pasalnya, impor bahan plastik dari beberapa negara juga tersendat akibat tingginya harga-harga, sehingga pasokan PE dan PP hanya cukup untuk konsumsi lokal mereka. Inilah yang ikut mendongkrak harga bahan plastik di dalam negeri.

Pemerintah akan mengizinkan kalangan industri mengimpor limbah plastik untuk memenuhi kebutuhan baku murah. Direktur Impor Departemen Perdagangan Albert Tubogu menyatakan, pihaknya berencana mencabut larangan impor limbah plastik dalam waktu dekat. Sebelumnya, pemerintah melarang impor limbah plastik melalui keputusan Nomor 520/MPP/Kep/8/2003 tentang Larangan Impor Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (B3). Revisi peraturan ini didorong keluhan industri tentang mahalnya bahan baku akibat kenaikan harga minyak.

Produsen plastik saat ini banyak menggunakan limbah plastik untuk dijadikan bahan baku, tujuannya untuk menekan biaya produksi. Namun, limbah plastik ini sulit didapatkan di dalam negeri. Pengusaha minta agar impor limbah plastik bisa dibuka kembali. Dalam revisi itu, Menteri Perdagangan akan mengizinkan impor limbah plastik jenis scrap, seperti sampah plastik dan logam yang masih dapat didaur ulang. Dalam pelaksanaannya nanti, tidak semua importir bisa melakukan impor limbah plastik. Hanya importir produsen yang diizinkan melakukannya.

Sebelum melakukan impor, perusahaan harus memiliki izin sebagai importir produsen. Setelah itu kebutuhan impornya diverifikasi dan mendapat rekomendasi Departemen Perindustrian. Saat ini tim antardepartemen yang terdiri atas Departemen Perdagangan, Departemen Perindustrian, dan Kementerian Lingkungan Hidup sedang membahas rencana revisi peraturan itu. Revisi akan dilakukan pada larangan impor bahan berbahaya dan beracun. Dalam revisi itu akan terdapat beberapa lampiran produk yang tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun serta dibolehkan impor. Sesuai dengan UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, limbah plastik yang tidak mengandung bahan berbahaya dan beracun boleh diimpor ke Indonesia.

Dirjen Perdagangan Luar Negeri Diah Maulida mengungkapkan, kekurangan bahan baku plastik murah bagi industri plastik Indonesia disebabkan karena sampah plastik Indonesia selama ini diimpor oleh China. Ternyata gelas plastik bekas air mineral selama ini sudah ada yang mengijon dari China, sehingga industri di dalam negeri yang butuh jadi kesulitan mendapatkannya. Pemerintah akan mempermudah impor barang modal (bahan baku) termasuk sampah plastik asalkan prosesnya sesuai dengan ketentuan internasional. Saat ini Depdag sedang bernegosiasi dengan Inggris untuk impor plastik bekas. Inggris ingin memastikan Indonesia bisa mengolahnya sesuai peruntukannya dan tidak melanggar Basel Convention, yakni pengaturan perpindahan lintas batas dan pembuangan limbah berbahaya. (AI)


Tidak ada komentar: