Senin, September 22, 2008

Sepatu

Industri sepatu kulit nasional sulit berkembang karena seretnya pasokan bahan baku. Menurut Ketua Umum Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Senjaya, kapasitas produksi tidak sebanding dengan permintaan pasar. Produksi kulit sapi dan kambing di Indonesia masih sangat kurang, bahkan pemotongan sapi dan kambing juga tidak banyak karena permintaan daging menurun seiring dengan menurunan daya beli masyarakat.

Akibatnya, industri penyamak kulit kekurangan pasokan kulit mentah hingga 60%. Saat ini ada sekitar 100 industri penyamak kulit yang beroperasi di Indonesia. Seluruh industri itu kekurangan pasokan kulit mentah, baik kulit sapi, kerbau, kambing, dan domba. Berdasarkan catatan APKI, populasi sapi dan kerbau di Indonesia mencapai 10 juta ekor. Akan tetapi yang bisa dipotong hanya dua juta ekor. Sementara itu kebutuhan kulit sapi dan kerbau mencapai lima juta ekor atau setara 140 juta square feet, sehingga ada kekurangan sebanyak tiga juta ekor sapi/kerbau.

Adapun populasi kambing dan domba mencapai 15 juta ekor dan yang bisa dipotong hanya lima juta ekor, sedangkan kebutuhan pasar sebanyak 20 juta ekor atau setara 100 juta square feet. Berarti terjadi kekurangan sebanyak 15 juta ekor. Untuk menutupi kekurangan pasokan kulit mentah, APKI meminta Depperin, Deptan, Depkes, untuk membuka keran impor kulit sapi dari Malaysia dan Brunei. Sementara untuk impor kulit kambing, APKI meminta pemerintah mengizinkan impor dari sembilan negara di Timur Tengah dan Afrika.

Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Eddie Widjanarko mengatakan, sekarang ini adalah momentum bagi Indonesia untuk membangkitkan industri persepatuan nasional, pasalnya industri sepatu di China sedang lesu. Melemahnya industri sepatu di China memberi peluang bagi industri sepatu Indonesia untuk menjadi produsen utama sepatu di tingkat dunia. Saat ini, China saat adalah produsen sepatu terbesar di dunia. Indonesia adalah produsen sepatu terbesar keempat di dunia setelah China, India, dan Vietnam.

Beberapa faktor penyebab melemahnya industri sepatu di China antara lain, pertama, berkurangnya tenaga kerja yang mau bekerja di di industri sepatu. Hal itu karena tingkat ekonomi masyarakat China sudah berkembang. Kedua, mata uang yuan sudah menguat hingga 11%. Artinya, Indonesia memiliki kompetitif dari sisi harga yang lebih baik. Ketiga, undang-undang penanaman modal asing di China mempersulit masuknya investasi di bidang industri sepatu. Eropa juga telah memberlakukan antidumping produk dari China sehingga pembeli banyak yang beralih mengambil produksi sepatu dari India atau Indonesia.

Di mata dunia internasional Indonesia masih dianggap sebagai produsen sepatu yang andal. Karena itu minat investor untuk berinvestasi di Indonesia masih terbuka lebar. Sayangnya, investor asal Taiwan dan Hongkong yang akan merelokasi 22 pabrik sepatu dari China ke Indonesia pada tahun 2008 menunda rencana investasi mereka senilai USD700 juta. Alasannya, pasokan listrik yang belum stabil menjadi salah satu penyebab utama.

Setidaknya, mereka akan menunggu sampai pertengahan tahun 2009 saat sejumlah PLTU PLN telah siap beraksi. Namun, sampai akhir tahun 2008 ini Aprisindo menargetkan sedikitnya ada lima perusahaan Taiwan yang masuk ke Indonesia. Sedikitnya dana USD120 juta mengalir dari lima perusahaan tersebut. Tenaga kerja yang terserap diperkirakan minimal 10 ribu orang. Berdasarkan pantauan Aprisindo, permintaan tambahan daya listrik beberapa pabrik sepatu skala besar yang sudah beroperasi di Indonesia kini tidak lagi dilayani PLN.

Pemadaman listrik beberapa waktu terakhir juga telah menurunkan produktivitas ekspor sepatu. Di samping itu, pasokan listrik yang tidak stabil telah menurunkan produktivitas rata-rata 30% di industri sepatu. Pada perusahaan sepatu yang berorientasi ekspor, penurunan produktivitas selama Juni-Juli 2008 diperhitungkan mengurangi pendapatan sekitar USD80 juta. Kalau pemadaman masih terjadi setelah pengalihan waktu kerja sekarang ini, ekspor sepatu tahun 2008 bisa turun 10%. Tahun 2007, nilai ekspor sepatu mencapai USD1,6 miliar.

Alasan lain mereka menunda investasi karena khawatir proses impor bahan baku di Indonesia sekarang makin sulit. Importir bahan baku sepatu mengeluh karena pelayanan impor menjadi semakin lambat dan memberatkan sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan inspeksi mendadak di Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (BC) Tanjung Priok, Jakarta pada Juni 2008.

Kesulitan kerap timbul karena petugas tak bersedia menoleransi kesalahan sekecil apa pun dalam proses impor. Padahal 70% bahan baku sepatu diimpor sebagian besar dari China dan Vietnam. Di dua negara itu bahasa Inggrisnya jelek, jadi hampir selalu ada salah ketik. Data Aprisindo menunjukkan, komposisi impor pada penyediaan bahan baku sepatu membesar dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002, sekitar 60% bahan baku sepatu masih dipasok dari dalam negeri.

Menurut Dirjen Industri Logam Mesin Tekstil dan Aneka (ILMTA) Departemen Perindustrian Ansari Bukhari, sebagai produsen sepatu yang cukup besar, Indonesia memiliki posisi strategis dalam kancah perdagangan dunia. Nilai produksi pada tahun 2007 mencapai Rp30 triliun, sementara nilai ekspor mencapai Rp15 triliun. Industri sepatu nasional akan semakin berkembang jika dibantu dengan pasokan bahan baku yang banyak. Sebab, saat ini kapasitas produksi kulit baru mencapai 60% dari kebutuhan pasar.

Sementara itu, Adidas akhirnya secara resmi memutuskan kontrak produksi sepatu dengan PT Prima Inreksa Industries pada 31 Desember 2008. Kesepakatan pemutusan ini berdasarkan hasil dialog secara intensif yang dilakukan kedua belah pihak selama dua bulan terakhir. Sebagai bagian dari kesepakatan akhir, Adidas melakukan komitmennya dengan memesan 900.000 pasang sepatu atau kurang lebih 300.000 pasang sepatu per bulan dan itu berjalan mulai Oktober hingga Desember 2008.

Menteri Perindustrian Fahmi Idris mengakui, industri sepatu tergolong industri yang mudah berpindah sehingga tingkat risikonya tinggi. Kedua belah pihak, baik produsen maupun investor memiliki kepentingan yang sama. Satu pihak menginginkan kualitas, tapi pihak lain menginginkan kuantitas. Tingginya permintaan sepatu olah raga dari Indonesia juga menyebabkan banyak rekanan sepatu olahraga yang tersandung masalah. Komplain dari pengusaha terhadap rekanan sepatu olah raga antara lain, tipisnya margin, ketatnya kontrol, mudah terputusnya kontrak. Sehingga pengusaha bisa berpindah sewaktu-waktu. Padahal, masih meninggalkan utang di bank. (AI)


Tidak ada komentar: