Senin, September 01, 2008

Rokok

Kegiatan operasi 1.204 pabrik rokok dihentikan karena tidak mengantongi izin nomor pokok pengusaha barang kena cukai (NPPBKC). Dirjen Bea dan Cukai Anwar Suprijadi mengatakan, pemerintah ingin menertibkan pabrik rokok yang berbisnis tanpa membayar cukai. Seluruh pabrik itu berada di Jepara dan Kudus, Jawa Tengah. Rencananya penindakan akan dikembangkan ke Kediri dan Malang. Selain tak memiliki NPPBKC, aparat Bea dan Cukai juga menghentikan operasional pabrik yang terdaftar di Bea dan Cukai, tetapi tidak benar-benar memproduksi rokok.

Meski izin operasionalnya dihentikan, Ditjen Bea dan Cukai tidak menyita alat-alat produksi rokok yang biasa digunakan oleh pabrik-pabrik itu. Ini dilakukan karena kewenangan Ditjen Bea dan Cukai tidak sampai pada penyitaan mesin-mesin pembuat rokok. Sementara orang-orang yang terlibat akan diberi sanksi pidana karena dianggap merugikan negara dengan cara menghindari pembayaran cukai.

Dengan penutupan tersebut, jumlah pabrik rokok yang masih beroperasi sekitar 3.000 pabrik. Mereka menjadi andalan pemerintah dalam menghimpun penerimaan negara dari cukai. Setelah penertiban itu, penerimaan cukai diperkirakan akan meningkat. Hal itu dimungkinkan karena permintaan rokok yang biasanya dipenuhi oleh 1.204 pabrik itu kini dipenuhi pabrik rokok yang legal. Berdasarkan catatan Ditjen Bea dan Cukai, realisasi penerimaan cukai antara 1 Januari 2008-12 Agustus 2008 mencapai Rp30 triliun. Jumlah itu setara 65% dari target penerimaan cukai pada APBN Perubahan 2008, yakni Rp45,7 triliun. Pada periode yang sama tahun 2007, realisasinya belum sampai 50%.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Ismanu Soemiran berpendapat, penghentian kegiatan operasi pabrik rokok itu harus dibarengi dengan penegakan hukum bersama instansi terkait. Menurutnya, munculnya pabrikan itu disebabkan ketidaktahuan produsen tentang rokok yang setiap batangnya dikenakan cukai. Selama ini industri rokok rumahan sudah mengajukan izin usaha ke pemda. Mereka umumnya tidak mengetahui bahwa usaha rokok harus dilengkapi NPPBKC dari pemerintah pusat.

Pemerintah, yang terdiri dari Deptan, Depdag, Depkes dan Depkeu, saat ini sedang mempersiapkan roadmap cukai industri rokok yang dilakukan secara bertahap dan finalisasinya diharapkan dapat direalisasikan pada tahun 2015. Tujuan penyusunan roadmap adalah untuk menciptakan kompetisi yang sehat di industri rokok nasional serta transparansi kebijakan cukai hasil tembakau dan optimalisasi penerimaan cukai.

Berdasarkan data yang dipublikasikan, sejak tahun 2003 hingga 2007 lalu, produksi industri rokok nasional terus mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2003, produksi rokok nasional sebanyak 190 miliar batang, dan di tahun 2007 produksi rokok nasional sudah mencapai 238 miliar batang. Rata-rata pertumbuhan per tahunnya sekitar 5%. Dengan asumsi pertumbuhan tersebut, pemerintah menargetkan pada tahun 2015 produksi rokok nasional akan mencapai 260 miliar batang.

Namun menurut Kasubdit Fasilitas Kepabeanan Jaka Kusmartata, pihaknya masih belum dapat menjabarkan mekanisme seperti apa yang akan diterapkan pemerintah melalui pembatasan tersebut. Pasalnya, pembatasan yang kurang tepat sasaran bisa menyebabkan menurunnya pertumbuhan industri rokok nasional seperti yang pernah terjadi pada tahun 2000.

Misalnya pada tahun 2000, pemerintah menerapkan tarif cukai excessive. Sebelum diterapkan, produksi rokok nasional mencapai 228 miliar batang. Namun setelah diterapkan, produksi rokok nasional secara berangsur-angsur mengalami penurunan signifikan. Produksi rokok nasional tahun 2001 turun menjadi 220 miliar batang. Produksi tahun 2002 menjadi 200 miliar batang dan pada tahun 2003 menjadi 190 miliar batang. Setelah kebijakan cukai rokok excessive digantikan dengan cukai moderat pada tahun 2003, hal ini mendorong pemulihan volume produksi rokok nasional.

Di sisi lain, persepsi cukai rokok memberikan kontribusi besar terhadap pendapatan negara perlu diluruskan. Peneliti dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Abdillah Hasan mengungkapkan, berdasarkan daftar Input Output Update 2003, peran sektor industri rokok dalam perekonomian (output) adalah Rp43,96 triliun. Jumlah ini berada di urutan ke-34 dalam daftar tersebut. Urutan tiga besar diduduki sektor perdagangan, konstruksi dan industri tekstil.

Dilihat dari jumlah pekerja, kontribusi sektor perkebunan tembakau dengan 634.039 pekerja berada di urutan ke-30 dan sektor industri rokok dengan 333.443 pekerja berada di urutan ke-48. Urutan pertama dipegang sektor perdagangan dengan jumlah pekerja 15.518.065, urutan kedua adalah perkebunan buah dan sayur dengan 10.935.873 pekerja. Dilihat dari jumlah penghasilan pekerja, sektor industri rokok dengan upah bulanan rata-rata sebesar Rp662.149 berada di urutan ke-37 dan sektor perkebunan tembakau dengan upah bulanan pekerja Rp81.397 berada diurutan ke-60.

Bila dilihat dari besar sumbangan terhadap PDB, sumbangan industri rokok maupun perkebunan tembakau juga relatif tidak besar. Industri rokok yang menyumbang Rp26,98 triliun berada di urutan ke-24 dan sektor perkebunan tembakau yang menyumbang Rp1,19 triliun berada di urutan ke-61. Jadi, ada sektor-sektor lain yang menghasilkan keuntungan jauh lebih besar dibanding industri rokok dan tembakau.

Indonesia diperkirakan membakar uang sia-sia untuk merokok senilai Rp120 triliun per tahun. Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) diyakini bisa menjadi senjata ampuh untuk mengontrol peredaran dan konsumsi rokok di Indonesia. Namun, hingga saat ini Indonesia belum juga meratifikasi kesepakatan global yang diluncurkan sejak tahun 2003 itu. Pasalnya, upaya ratifikasi selalu dibenturkan dengan keuntungan-keuntungan ekonomi yang dihasilkan industri rokok. Padahal, dibanding dengan sektor-sektor lain keuntungan ekonomi yang dihasilkan rokok relatif lebih kecil.

Menurut Dr Teh Wei Hu dari University of California, Berkeley, AS, menaikkan cukai rokok merupakan kebijakan yang paling efektif untuk mengontrol tingkat konsumsi rokok. Hal itu dibuktikan oleh beberapa negara yang telah menerapkan kebijakan menaikkan cukai rokok, seperti, Amerika, Taiwan, Australia, Thailand, dan Inggris. Saat ini cukai rokok di Indonesia yang besarnya 37% dari harga eceran tergolong masih rendah. Dari survei di 9 negara Asia, India merupakan negara yang cukai rokoknya paling tinggi, yaitu 72%, menyusul Thailand 63%, Jepang 61%, Malaysia 49-57%, Filipina 46-49%, Vietnam 45%, China 40%, Indonesia 37%, dan Kamboja 20%. (AI)


Tidak ada komentar: