Jumat, Januari 23, 2009

Kinerja penjualan alat berat

Pasar alat berat nasional pada tahun 2009 diperkirakan turun 40%, seiring dengan pelemahan permintaan akibat krisis likuiditas dan kenaikan suku bunga kredit. Menurut Direktur Utama PT United Tractors Tbk Djoko Pranoto, krisis likuiditas akan membuat permintaan alat berat turun dari 10.000 unit pada tahun 2008 menjadi hanya 6.000 unit pada 2009. Kendati kondisi pasar diperkirakan melemah, distributor alat berat merek Komatsu ini berupaya menaikkan pangsa dari target tahun 2008 yang ditetapkan sebesar 45% dari total pasar nasional.

Hingga September 2008, total penjualan alat berat Komatsu mencapai 3.823 unit atau naik 46% dibandingkan dengan periode sama tahun 2007 yang mencapai 2.621 unit. Dengan pencapaian itu, perseroan memperkirakan penjualan alat berat Komatsu sampai akhir tahun 2008 akan membukukan angka 4.500 unit. Namun, untuk tahun 2009 diprediksi hanya dapat menjual sekitar 2.700 unit. Pada tahun 2009 perseroan akan mengandalkan sektor pertambangan, konstruksi, dan infrastruktur dalam memasarkan unit Komatsu, mengingat permintaan dari sektor perkebunan sedang melemah akibat koreksi harga komoditas primer.

Ketua Umum Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) Pratjojo Dewo mengatakan, seiring dengan prediksi kemerosotan pasar hingga 40%, industri alat berat akan mengantisipasinya dengan memangkas produksi dan mengurangi jam kerja. Pelemahan pasar alat berat diperkirakan terus berlanjut hingga pertengahan tahun 2009. Produsen mulai mengantasipasi kondisi ini dengan menurunkan produksi dan mengurangi waktu kerja. Sampai akhir tahun 2008 ini, produksi alat berat nasional diperkirakan sebanyak 5.500 unit atau lebih rendah dari target semula 6.500 unit.

Turunnya harga komoditas pertambangan dan perkebunan berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan alat-alat berat alias leasing. Tetapi ternyata, banyak faktor yang menyebabkan penurunan tersebut. Data statistik pembiayaan leasing alat-alat berat Bank Indonesia (BI) menunjukkan adanya penurunan. Posisi outstanding kredit leasing per Juni 2008 sebesar Rp40,38 triliun. Kemudian pada akhir Juli 2008, terjadi penurunan sekitar Rp1,48 triliun menjadi Rp38,9 triliun.

Menurut Dirut PT Buana Finance Eko Santoso Budianto, penurunan terjadi karena bunga leasing dari perusahaan multifinance mengalami kenaikan. Jika sebelum Juni 2008 suku bunga leasing masih bertahan di 17%, maka pada September 2008 mulai naik ke 19%-19,5%. Akibatnya, perusahaan eksplorasi pertambangan dan perkebunan mencari sumber pendanaan lain untuk kegiatan modal kerja dan investasinya, termasuk perbankan.

Sementara itu Presdir PT Surya Artha Nusantara Finance (SAN Finance) Susilo Sudjono menilai penurunan harga komoditas saat ini belum berpengaruh terhadap penyaluran pembiayaan leasing. Hal ini terjadi karena pengusaha pertambangan dan perkebunan sudah meneken komitmen perdagangan dengan harga kontrak. Jadi meski harga komoditas turun, tidak berpengaruh dengan penyaluran leasing. Namun, jika memang harga komoditas terus turun, pengaruh tersebut baru akan terasa pada akhir tahun.

Sekjen Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia Dennis Firmansjah juga menampik harga komoditas ikut mempengaruhi pertumbuhan pengucuran kredit untuk leasing. Pertimbangannya, barang tambang adalah sumber daya yang sangat diperlukan, sehingga eksplorasi tidak akan berhenti. Dampak dari penurunan harga komoditas hanya akan berdampak kepada semakin tipisnya margin keuntungan. Oleh karena itu, pertumbuhan kredit leasing tahun ini diperkirakan masih bisa mencapai minimal 10% sampai 15% dari outstanding tahun 2007 yang mencapai Rp 36,5 triliun.

Melihat kondisi perekonomian saat ini, pemerintah diminta memberikan insentif dalam bentuk penundaan pungutan pajak kendaraan bermotor (PKB) atas alat berat, sehingga pertumbuhan sektor riil industri dan pertambangan bisa berjalan. Pasalnya, sekitar 70–80% sektor riil industri, pertambangan, dan perkebunan digerakkan oleh jasa alat berat. Penundaan pungutan tersebut akan sangat membantu pertumbuhan pabrikasi dan investasi alat berat dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Jasa Pertambangan Indonesia (Aspindo) Tjahyono Imawan mengungkapkan, sektor jasa alat berat industri dan pertambangan adalah pihak yang tidak secara langsung merasakan dampak dari resesi ekonomi global. Namun, akibat turunnya permintaan luar negeri terhadap komoditas galian dan produk industri dalam negeri, pengusaha pertambangan, industri, dan perkebunan membatasi penyewaan jasa alat berat. Di lain pihak, pengusaha alat berat akan memperketat proyek yang terfokus pada margin penyewaan yang lebih menguntungkan.

Saat ini yang memberatkan pengusaha alat berat adalah pungutan PKB yang mulai ditagih pihak pemda. Penurunan investasi menyebabkan pengadaan alat berat baru akan tertunda. Pengusaha alat berat lebih memilih memperpanjang pemeliharaan (maintenance) alat untuk mempertahankan kualitas dan usia alat berat. Sebelumnya, asosiasi jasa alat berat industri dan pertambangan sepakat membayar pajak dan bea balik nama (PKB/BBNKB) kendaraan bermotor atas alat berat terhitung mulai tahun 2008. Namun, asosiasi masih keberatan dengan pengenaan pajak alat berat sekitar 3,5% yang berlaku surut sejak tahun 2002. Pungutan pajak yang berlaku surut tersebut dikawatirkan menyebabkan krisis finansial, yang berdampak pada berhentinya operasional perusahaan penyedia jasa alat berat tersebut.

Ketua Tim Asosiasi Jasa Alat Berat Industri dan Pertambangan Joseph Susanto mengungkapkan, krisis ekonomi global dan ketatnya likuiditas menyeret investasi jasa alat berat. Pengenaan pajak yang direncanakan berlaku surut itu akan sangat memberatkan finansial perusahaan alat berat. Total investasi alat berat di Indonesia sekitar USD1 miliar. Jika dibebankan sekitar 3,5% untuk pajak dan bea balik nama, setiap tahun pemda bisa mengumpulkan dana sekitar USD300 miliar, karena investasi alat berat setiap perusahaan jasa alat berat bisa mencapai Rp70 juta - Rp1 miliar/alat.

Di sisi lain, Indonesia berpeluang menjadi pusat produksi alat berat dengan merek Jepang pada tahun 2012 dengan produksi sekitar 10 ribu unit/tahun. Menurut staf ahli Menteri Perindustrian Bidang Penguatan Struktur Industri Achdiat Atmawinata, berdasarkan data Hinabi, sekitar tahun 2011 atau 2012 produksi alat berat bisa mencapai 10 ribu unit, dan Indonesia dijadikan basis produksi industri yang kebanyakan dari Jepang, seperti Komatsu dan Hitachi. Nilai ekspor yang bisa diperoleh sekitar USD2 miliar. (AI)


Tidak ada komentar: