Senin, Januari 05, 2009

Plastik

Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Industri Plastik dan Olefin Indonesia (INAplas) Budi Susanto Sadiman, iklim bisnis di seluruh cabang industri petrokimia hingga akhir tahun 2008 diperkirakan semakin lesu. Indikasi kelesuan tersebut terlihat dari tingginya stok bahan baku dan produk plastik yang tidak terserap pasar akibat pelemahan daya beli pasar sebagai akibat berantai dari krisis keuangan dunia. Penumpukan stok produk dari plastik berpotensi merugikan industri tersebut Rp1 triliun-Rp2 triliun.

Volume penumpukan stok di industri hulu petrokimia berupa polietilena (PE) dan polipropilena (PP) terus meningkat karena tidak dapat terserap oleh industri petrokimia hilir (produsen plastik). PE dan PP merupakan bahan baku pembuatan plastik. Apabila sampai Desember 2008 stok tersebut tidak terjual, sedikitnya empat perusahaan petrokimia besar di Indonesia kemungkinan akan berhenti beroperasi sementara waktu untuk menghindari kerugian yang lebih besar. Saat ini penumpukan bahan baku plastik hasil produksi empat perusahaan petrokimia di sektor antara (intermediate) diperkirakan mencapai 100.000 ton.

Keempat produsen PE dan PP (bahan baku plastik) tersebut adalah PT Chandra Asri, PT Titan Petrochemical (dahulu bernama PT Peni), PT Tri Polyta, dan PT Politama. Penumpukan stok bahan plastik di gudang milik empat perusahaan mulai terjadi pasca-Lebaran menyusul pelemahan harga minyak mentah seiring dengan adanya ancaman resesi global yang membuat harga PE dan PP anjlok. Ketika harga bahan plastik masih bergerak naik pada semester I/2008 hingga Agustus 2008, keempat perusahaan tersebut terus memacu produksi untuk mendapatkan keuntungan dari kenaikan harga PE dan PP di pasar dunia.

Berdasarkan catatan INAplas, pada periode tersebut harga PE dan PP bergerak naik dari rerata USD900/ton pada April 2008 menjadi USD1.200/ton pada Mei 2008 dan terus melejit hingga menembus USD2.200/ton pada Agustus 2008. Tetapi, sekarang harga PE dan PP malah anjlok drastis ke kisaran USD700/ton pada akhir Oktober 2008 dan hanya bergerak tipis menjadi USD800/ton pada November dan Desember 2008 mengikuti anjloknya harga nafta, etilena, dan propilena. Harga nafta (minyak bumi olahan untuk bahan baku etilena dan propilena) pada awal November 2008 menurun drastis dari posisi tertinggi pada Agustus 2008 sebesar USD950 - USD1.000/ton menjadi USD350/ton.

Sebanyak 85 perusahaan plastik yang bergerak di sektor aneka tenun plastik, saat ini mengalami penyusutan nilai aset berupa inventori hingga 50% dari USD191,25 juta menjadi USD95,625 juta akibat anjloknya harga bahan plastik khususnya polietilena (PE). Nilai inventori itu dihitung berdasarkan jumlah bahan baku yang disimpan seluruh perusahaan plastik. Pada November 2008, penurunan harga PE tercatat hampir 50% dari USD1.500/ton pada Oktober 2008 menjadi USD760/ton. Produsen petrokimia rugi karena harga bahan baku tinggi tetapi harga jual turun. Keadaan tersebut menyebabkan industri hilir petrokimia kesulitan memasarkan produk.

Saat ini PT Polytama Propindo - produsen bahan baku plastik/polipropilena (PP) - hingga saat ini masih melakukan perawatan rutin (overhaul/turn around) pada lini produksi PP. Perawatan rutin tersebut dilakukan bersamaan dengan jadwal proses overhaul sejumlah unit refinary di PT Pertamina di UP-VI (kilang Balongan). Direktur Utama Tuban Petro-induk usaha PT Polytama Propindo-Amir Sambodo menjelaskan perbaikan rutin yang dilakukan Pertamina menyebabkan lini produksi PP Polytama tidak bisa beroperasi mengingat bahan baku perseroan dipasok Pertamina.

Overhaul Pertamina dilakukan setiap 5 tahun sekali. Khusus untuk saat ini, perbaikan rutin di Polytama sekaligus untuk meningkatkan kemampuan kapasitas produksi. Perawatan rutin ini diperkirakan selesai dan bisa beroperasi kembali pada akhir Desember 2008. Saat ini Polytama hanya memiliki satu lini produksi PP.

Penumpukan stok dan penurunan produksi akibat terimbas krisis keuangan global, tidak hanya dialami industri petrokimia nasional, tetapi juga terjadi di seluruh dunia. Saat ini sedikitnya terdapat empat perusahaan petrokimia antara di Timur Tengah dan satu perusahaan lain di Singapura telah berhenti produksi.

BASF, produsen petrokimia terbesar di dunia, juga akan menutup sementara sekitar 80 pabriknya yang tersebar di seluruh dunia. Sekitar 20.000 tenaga kerja dari total 95.000 pekerja di perusahaan raksasa kimia asal Jerman itu terpaksa akan dirumahkan. Dari jumlah itu, separuhnya bekerja di pabrik yang berada di Jerman. Beberapa pabrik dan fasilitas produksi BASF yang akan ditutup sementara, antara lain di Ludwigshafen (Jerman), Antwerpen (Belgia), Nanjing (China), dan Kuantan, Pahang (Malaysia ). BASF merupakan perusahaan petrokimia skala global yang berasal dari Jerman dan memiliki lebih dari 150 kantor perwakilan di berbagai negara.

Selain 80 pabrik milik BASF berhenti produksi sementara, Dow Chemical-perusahaan petrokimia terbesar di AS yang memproduksi PE, botol plastik dan kemasan juga menutup kegiatan operasi 20 pabrik dan mem-PHK sekitar 5.000 orang. DuPont, perusahaan petrokimia terbesar ketiga di AS, pada minggu lalu juga telah menutup kegiatan operasi 10 pabrik dan menghentikan sementara operasi 100 pabrik lainnya.

Sementara itu, Kaltim memiliki potensi besar sebagai wilayah pengembangan industri petrokimia sistem klaster dan tidak salah jika wilayah itu menjadi salah satu daerah yang direncanakan untuk pengembangan industri petrokima. Sistem klaster merupakan pengelompokan industri inti yang saling berhubungan, baik untuk industri pendukung, industri terkait, jasa penunjang, infrastruktur ekonomi dan lembaga terkait.

Menurut Kepala Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Kaltim Irianto Lambrie, upaya itu dilakukan untuk mendukung cita-cita nasional menjadikan sektor industri petrokimia sebagai tulang punggung industri manufaktur, sesuai dengan kebijakan nasional melalui sitem klasterisasi industri. Melalui program tersebut pertumbuhan ekonomi nasional diharapkan dapat mencapai target rata-rata 8,6% setiap tahun hingga tahun 2009 dan selanjutnya terus meningkat di atas 10% mulai tahun 2010 hingga 2020.

Untuk jangka panjang, sistem klaster ini diharapkan mampu mendorong pengembangan industri petrokimia berbasis methane, olefin dan aromatic. Dengan program tersebut, maka industri petrokimia digolongkan pada tiga kelompok, yakni industri olefin (ethylena propylene, C4), industri aromatic (benzene, toluene, xylene, N-paraffine), dan industri C1 (synthetic gas dan methanol). (AI)


Tidak ada komentar: