Jumat, Februari 12, 2010

Sektor manufaktur ditargetkan tumbuh 4,6%

Pengusaha lebih tertarik untuk masuk ke dalam sektor sumber daya alam (natural resources) dibandingkan masuk ke dalam industri manufaktur. Akibatnya, pasar lokal diisi produk manaufaktur asal China. Menurut Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), industri manufaktur sulit untuk menghadapi produk sejenis asal China karena sangat murah. Pasalnya, industri manufaktur China didorong pemerintah melalui suku bunga bank yang rendah. Apindo menengarai selain suku bunga, industri manufaktur Indonesia juga terkendala oleh infrastruktur, termasuk listrik dan logistik juga menyebabkan produk lokal menjadi tidak bersaing.

Pertumbuhan kredit ke industri manufaktur hingga akhir tahun 2009 mengalami penurunan. Sementara kredit untuk sektor lainnya tetap tumbuh positif. Berdasarkan data Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia (SEKI) Bank Indonesia, hingga akhir Desember 2009, total outstanding kredit sektor manufaktur tercatat Rp246,19 triliun. Jumlah ini turun sebesar 8,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2008 yang sebesar Rp269,58 triliun. Penurunan kredit terbesar di sektor industri manufaktur terjadi pada bank asing dan campuran. Per Desember 2009, total kredit untuk sektor manufaktur di perbankan asing mencapai Rp59,31 triliun, turun 20,3% dibandingkan tahun 2008.

Bank BUMN dan bank swasta sama-sama mencatatkan pertumbuhan sebesar 4,4%. Hingga akhir tahun 2009, pengucuran kredit bank pelat merah untuk manufaktur mencapai Rp533,9 triliun sementara bank swasta mencapai Rp92,74 triliun. Sementara kredit BPR untuk sektor tersebut tercatat sebesar Rp505 miliar, naik 18,5% dibanding tahun sebelumnya. Sejak tahun 2002, total kredit ke sektor manufaktur terus mengalami penurunan. Jika pada tahun 2002 kredit ke sektor ini mencapai 37,6% dari total kredit perbankan, maka pada akhir tahun 2009 angka itu terus menyusut hingga tinggal 17,2%.

Industri manufaktur tahun 2010 ini ditargetkan tumbuh 4,6% atau lebih tinggi dari tahun 2009 yang diperkirakan tumbuh 1,84%, setelah seluruh subsektor industri mulai tumbuh positif. Pertumbuhan terbesar subsektor industri masih disumbang oleh industri makanan, minuman dan tembakau yang dipoyeksikan tumbuh 6,64%. Angka itu lebih rendah dari pertumbuhan tahun 2009 yang mencapai 13,31%.

Subsektor lainnya adalah industri barang lain yang diharapkan menyumbang 5,25%, serta industri pupuk, kimia dan barang karet sebesar 5%. Sedangkan industri kertas dan barang cetakan menyumbang 4,2%. Alat angkut, mesin dan peralatannya diproyeksikan tumbuh 4%, lalu semen dan barang galian bukan logam 3,25%, logam dasar, besi dan baja sebesar 2,75%. Untuk tekstil, barang kulit dan alas kaki diperkirakan tumbuh 2,15%, kemudian industri barang kayu dan hasil hutan 1,75%. Jika dibandingkan tahun 2009, proyeksi itu sebagian besar membaik, misalnya untuk tekstil, barang kulit dan alas kaki (0,76%), barang kayu dan hasil hutan (1,98%), semen dan barang galian bukan logam (2,88%), serta logam dasar besi dan baja (7,19%).

Untuk mendorong pertumbuhan sektor riil, pemerintah menyiapkan sejumlah insentif fiskal selama tahun 2010. Insentif tersebut meliputi insentif perpajakan, insentif bidang energi, bidang infrastruktur, sektor industri dan perdagangan, dan sektor lainnya yang diberikan terkait daerah. Insentif perpajakan antara lain diberikan dengan adanya penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) sebesar 3%, dari 28% menjadi 25%. Di samping itu, juga akan diberikan penurunan tarif PPh bagi perusahaan yang lebih dari 40% sahamnya dimiliki oleh publik atau tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI). Insentif lainnya berupa penghapusan PPnBM untuk mendorong berkembangnya industri manufaktur, dan fasilitas PPh untuk sektor industri tertentu di daerah tertentu.

Insentif sektor industri dan perdagangan lainnya meliputi pemberlakuan National Single Window atau NSW termasuk pelayanan kepabeanan dan pelabuhan 24 jam 7 hari, BMDTP untuk industri tertentu, BM 0% untuk barang modal, dana revitalisasi perkebunan dan industri gula. Termasuk, dimasukkannya produk pertanian primer sebagai non-barang kena pajak.

Sementara itu, Kementerian Perindustrian, para pemangku kepentingan (stakeholders), dan Bank Dunia akhirnya telah memutuskan 35 klaster industri berbasis daya saing dan potensi pengembangan industri ke depan. Pemilihan ke-32 klaster tersebut telah melalui serangkaian studi berbasis daya saing dan potensi pengembangan industri ke depan. Parameter untuk penentuan klaster cukup banyak. Yang mencakup kekuatan supply sebagai modal dasar ada 15 parameter, sedangkan demand ada delapan parameter. Dua hal itu menentukan kekuatan daya saing dan potensi industri pada masa depan untuk dikembangkan.

Ke-35 klaster itu terdiri dari tujuh kelompok utama yakni basis industri manufaktur yang terdiri dari delapan klaster industri, kelompok industri agro (12 klaster), industri alat angkut (4 klaster), industri elektronika dan telematika (6 klaster), kelompok industri kreatif (3 klaster), dan IKM (5 klaster). Dari ke-35 klaster tersebut, Kemenperin menetapkan 10 klaster industri prioritas yang diharapkan menjadi pendorong pertumbuhan manufaktur nasional. Sepuluh klaster itu antara lain klaster industri CPO dan turunannya di Dumai, klaster tekstil di Jawa Barat, klaster industri petrokimia berbasis minyak dan gas di Tuban.

Kemenperin juga berkomitmen mempercepat pemberlakuan regulasi wajib Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk 43 produk manufaktur selambat-lambatnya pada akhir semester I/2010. Perpercepatan pemberlakuan SNI ini wajib untuk semua produk manufaktur yang terancam terkena dampak serbuan produk China. Beberapa SNI wajib tersebut ditetapkan untuk produk baja canai dingin (cold rolled coils/CRC), baja profil, kaca lembaran, seterika listrik, pompa air listrik, audio video Selain itu terdapat produk motor bakar, korek api gas, kabel listrik, baja lembaran tipis lapis timah, pelek kendaraan bermotor, sepeda roda dua, tangki air, dan meteran air.

Saat ini, pemberlakuan SNI wajib untuk produk manufaktur masih minim. Dari sekitar 400 produk manufaktur, hanya 43 SNI yang diterapkan pemerintah. Penerapan SNI wajib untuk seluruh produk manufaktur merupakan salah satu solusi guna melindungi industri nasional. Sejumlah pelaku industri sejak tiga tahun terakhir sudah mengusulkan hal itu. Penerapan regulasi wajib SNI mampu melindungi konsumen serta menciptakan persaingan yang sehat. Di sisi lain, instrumen itu diyakini mampu mempertahankan daya saing industri dalam negeri. (AI)


Tidak ada komentar: