Senin, Februari 22, 2010

Baja

Menghadapi pemberlakuan perdagangan bebas ASEAN-China lewat ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement), ternyata industri baja dalam negeri belum sanggup menyaingi baja dari China. Pasalnya, industri baja di China sudah memiliki kapasitas produksi yang tinggi dibandingkan industri baja dalam negeri. Dengan berlakunya ACFTA, tarif bea masuk (BM) baja di Indonesia akan turun dari 5%-12,5% yang berlaku sekarang menjadi 0% sampai sekitar 5%.

Untuk menghadapi persoalan perdagangan bebas ACFTA di industri baja, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memiliki sejumlah rekomendasi. Pertama, perlu adanya penerapan SNI secara konsisten; sehingga produk baja berasal dari China maupun negara-negara ASEAN lain harus mengantongi SNI untuk dapat masuk ke pasar Indonesia. Data Kementrian BUMN menunjukkan 95% produk baja impor yang masuk ke Indonesia belum memiliki SNI wajib.

Kedua, Kementerian BUMN mengharapkan adanya koordinasi yang baik antar-kementerian dan instansi yang terkait seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Keuangan, dan Kementrian BUMN. Ketiga, adanya dukungan pembiayaan ekspor dari lembaga keuangan maupun perbankan dalam negeri seperti Lembaga Penjamin Ekspor Indonesia maupun bank BUMN lainnya. Pasalnya, sekitar 70% industri baja nasional default di perbankan nasional maupun asing.

Menurut Asosiasi Industri Besi dan Baja Indonesia atau Indonesian Iron & Steel Industry Association (IISIA), terdapat kekuatan dan kelemahan dalam industri baja saat ini. Kekuatannya yaitu adanya pemulihan atas krisis ekonomi global, kondisi sosial ekonomi yang relatif stabil, meningkatnya pelaksanaan good corporate governance, reformasi peraturan dan perundang-undangan yang berpihak pada dunia bisnis, new investment law, UU Minerba, dan penerapan SNI. Di sisi lain, masih banyak kelemahan yang melebihi kekuatannya, seperti ketergantungan terhadap impor bahan baku utama, keterbatasan pasokan listrik dan natural gas, tingginya produk baja impor ilegal.

Berdasarkan perkiraan para pelaku usaha baja, tampaknya konsumsi baja nasional tahun 2010 ini akan turun cukup besar. IISIA menduga konsumsi baja tahun 2010 akan anjlok 35% dibanding tahun 2009, yakni dari 9 juta ton menjadi 5,85 juta ton. Penyebab penurunan konsumsi tak lain karena dampak krisis ekonomi global. Berbagai sektor penyerap baja seperti proyek infrastruktur, galangan kapal, dan kendaraan bermotor mengurangi pembelian baja. Pasalnya, permintaan terhadap produk mereka juga menurun. Penurunan konsumsi menyebabkan utilisasi kapasitas produksi pabrik baja di dalam negeri sepanjang tahun 2009 hanya sekitar 65% atau 4 juta - 5 juta ton. Dari konsumsi baja nasional yang mencapai 5,85 juta ton itu, baja lokal hanya memasok 4 juta ton. Sisanya, sebanyak 1,9 juta ton dipasok oleh produk impor.

Untuk 10 tahun ke depan atau tahun 2020, konsumsi baja nasional diperkirakan mencapai 21 juta ton dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 8% per tahun sehingga konsumsi per kapita menjadi 80 kg. Sementara itu kebutuhan baja tahun 2015 diproyeksikan mencapai 14 juta ton. Berdasarkan data tersebut, proyeksi ini juga dengan mempertimbangkan pendapatan per kapita penduduk Indonesia akan naik secara cukup signifikan menjadi USD1.050 per kapita pada tahun 2020 dari USD650 per kapita pada tahun 2009.

Saat ini industri baja nasional mendesak pemerintah menegosiasikan kembali 535 pos tarif besi baja dalam ACFTA dengan memundurkan jadwal penurunan BM mulai tahun 2018. Percepatan renegosiasi pos tarif adalah salah satu upaya eksternal perusahaan baja dalam negeri dalam menghadapi ACFTA. Upaya-upaya lainnya adalah melakukan tindakan perdagangan antidumping, safeguard, dan antisubsisi secara agresif, termasuk aktif dalam penyusunann RUU Perdagangan yang melindungi produksi dalam negeri, dan melakukan aliansi strategis dengan perusahaan dalam negeri dan luar negeri.

Sementara dari sisi internal adalah efisiensi di semua lini, meningkatkan hubungan dengan pelanggan, program cash and carry, penjualan langsung dan penjualan ke proyek-proyek serta memperbaiki masa waktu penyerahan produk kepada konsumen dengan membangun stok penyangga. Ada empat poin pokok yang dihadapi industri baja nasional, yaitu ketergantungan pada impor bahan baku (scrap dan bijih besi), ketersediaan modal, energi berupa gas alam dan listrik, dan struktur industri hilir yang belum lengkap.

Produsen baja nasional dapat bernapas lega. Pasalnya pelan tapi pasti harga baja di pasar dunia terus merangkak naik. Para produsen baja nasional yang tergabung dalam IISIA memperkirakan, harga baja akan tumbuh 30%-40% hingga akhir April 2010 dari harga tahun 2009. Membaiknya harga baja dunia karena beberapa sebab, mulai dari antisipasi industri akan terjadinya kenaikan harga bahan baku. Industri-industri kembali berbondong-bondong membuka pesanan baja untuk memenuhi kebutuhannya.

Faktor lainnya adalah dampak pemulihan ekonomi secara global, terutama kondisi perekonomian di negara-negara maju seperti Amerika dan Eropa. Geliat industri di negara-negara maju kembali bangkit dari keterpurukan dampak krisis ekonomi global. Perkiraan membaiknya harga baja tersebut tak hanya untuk produk bahan baku semata, namun juga termasuk harga jadi produk baja. Harga bahan baku baja seperti iron ore yang diperkirakan naik pada tahun 2010. Kemudian scrap harganya juga akan naik, akibat dari kenaikan semi finishing product dan raw material baja.

Sementara itu, Komite Pengamanan Perdagangan Indonesia (KPPI) mulai menyelidiki lonjakan impor produk tali kawat baja yang diduga menyebabkan kerugian serius bagi industri serupa di dalam negeri. Pihak KPPI telah meneliti dan menemukan bukti awal hubungan kausal antara kenaikan volume impor produk tali kawat baja dengan kerugian serius yang diderita oleh industri dalam negeri. Penyelidikan dilakukan berkenaan dengan permohonan dari PT Wonosari Jaya atas nama industri dalam negeri Kawat Baja Indonesia.

Selama ini, impor kawat baja sebagian besar didatangkan dari China (90,67%), Singapura, Jerman, Jepang, Belgia, AS, Australia.KPPI mencatat, tren importasi produk tali kawat baja periode 2006 sampai 2008 mengalami lonjakan yang signifikan, yaitu sebesar 162,93%. Berdasarkan data KPPI, volume impor produk tali kawat baja pada tahun 2006 sebesar 1.118.488 ton, pada tahun 2007 importasinya melonjak menjadi 2.152.678 ton, dan semakin banyak pada tahun 2008 mencapai 7.732.181 ton. (AI)


Tidak ada komentar: