Senin, Maret 08, 2010

Teh

Tahun 2010 ini produsen teh patut bergembira. Pasalnya, harga komoditas ini kemungkinan akan naik. Menurut Asosiasi Teh Indonesia (ATI), harga membaik karena mutu dan standar teh Indonesia juga membaik. Peningkatan mutu teh Indonesia tidak lepas dari berhasilnya sejumlah perkebunan melakukan perbaikan dan mengantongi sertifikat yang disyaratkan lembaga standar mutu di negara tujuan ekspor, termasuk Eropa. Perbaikan standar mutu di sini tidak hanya mengacu pada standar lingkungan, melainkan juga pengelolaan kebun dan sosial tenaga kerja.

Faktor lain yang menyokong meningkatnya harga teh Indonesia adalah kenaikan permintaan dari negara tujuan ekspor utama seperti Eropa, dan dari negara lain. Harga teh Indonesia di pasar internasional tahun 2010 ini berpotensi menembus rata-rata USD2/kg, lebih tinggi dibanding dengan harganya tahun 2009. Pada transaksi selama Januari dan Februari 2010 harga teh sudah mendekati USD1,9-USD2/kg. Kenaikan harga teh juga dipengaruhi faktor cuaca. Misalnya, harga teh tahun 2009 naik karena produksi sejumlah negara terganggu akibat cuaca. India, Srilangka, dan Kenya sebagai produsen teh mengalami kekeringan. Ketiga negara itu adalah produsen terbesar teh dunia.

Setiap tahun produksi teh dunia mencapai 3,2 juta ton. Dari jumlah itu, India menyumbang 900.000 ton. Dari jumlah itu, 220.000-240.000 ton diantaranya diekspor. Sementara Indonesia hanya memproduksi teh 145.000 ton dengan volume ekspor 95.000-100.000 ton. Indonesia mengekspor sebagian besar teh itu ke Eropa, terutama Rusia.

Untungnya permintaan teh dari negara Timur Tengah seperti Pakistan terus meningkat. Tahun 2009 lalu, ekspor teh Indonesia ke Pakistan mencapai 14% dari total ekspor teh. Sebenarnya, total ekspor ke Pakistan ini bisa lebih tinggi jika bea masuk teh Indonesia diturunkan sehingga, teh Indonesia bisa bersaing dengan Srilangka yang mendapatkan bea masuk lebih rendah. Promosi teh ke pasar Timur Tengah yang dilakukan pemerintah Indonesia tidak cukup kuat tanpa menjalin kerjasama bilateral. Dengan kerjasama bilateral, volume ekspor teh Indonesia bisa terus meningkat dan petani kembali bergairah.

Sejak tahun 2006, volume ekspor teh Indonesia menurun. Saat itu Indonesia hanya mengekspor 95.000 ton teh, lalu turun menjadi 83.000 ton pada tahun 2007. Tapi pada tahun 2008 ekspor teh kembali naik seiring membaiknya harga. Tahun 2009, India mengantisipasi penurunan harga teh dengan cara tidak menambah areal penanaman perkebunan. Akibatnya, produksi mereka pun merosot.

Produksi teh Indonesia juga siap menghadapi Perjanjian Perdagangan Bebas China-ASEAN (CAFTA) karena mempunyai keunggulan dibanding produk China. Menurut Dewan Teh Indonesia, tingkat produksi teh Indonesia tahun 2009 mencapai 120.000 ton/tahun atau memenuhi sekitar 5,8% kebutuhan dunia dengan luas kebun 148.000 ha. Dari data ATI, teh menyumbangkan devisa USD110 juta/tahun.

Masih sedikitnya kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk melindungi dan mengembangkan industri teh dari hulu hingga hilir menjadi salah satu penyebab rendahnya harga jual teh. Padahal, industri teh sangat membutuhkan dukungan pemerintah dalam sektor revitalisasi perkebunan teh yang tidak bisa ditanggulangi langsung oleh petani karena membutuhkan dana yang besar. Revitalisasi perkebunan harus dilakukan untuk menggenjot hasil produksi yang selama ini terkendala lahan yang terbatas. Saat ini 50% lahan perkebunan adalah lahan perkebunan rakyat.

Industri teh harus didukung oleh semua komponen, mulai dari kalangan petani teh, pakar teh, akademisi, penyedia pupuk, peneliti dan tentu saja pemerintah. Apalagi, pasar teh masih cukup besar, sehingga peluang bisnisnya masih cukup terbuka lebar. Jika semua unsur dapat bekerja lebih keras, tak mustahil dalam waktu relatif singkat, Indonesia akan menduduki posisi ke-3 produsen teh dunia mengungguli Vietnam. Padahal, teknologi pengolahan teh Indonesia masih jauh lebih unggul.

Akhir-akhir ini teh tidak hanya sebagai minuman, namun teh juga dimanfaatkan untuk herbal dan kecantikan. Saat ini tingkat konsumsi teh perkapita masyarakat Indonesia berkisar 350 gram/tahun atau kurang dari 1 gram/hari setiap orangnya. Jumlah itu masih jauh di bawah Irlandia dan Inggris yang konsumsi perkapitanya di atas 3.500 gram/tahun. Perbandingan di atas memperlihatkan jika produksi teh dalam negeri seharusnya 120.000 ton dan tingkat konsumsi per kapita yang diharapkan adalah 500 gram/tahun (dengan asumsi jumlah penduduk Indonesia 200 juta jiwa) maka ada kelebihan stok sebesar 20.000 ton yang dapat diekspor.

Dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan, PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII berencana melakukan diversifikasi produk teh. Uniknya, PTPN VIII berniat untuk mengembangkan teh putih. Pengembangan produksi teh putih ini masih dalam skala kecil karena hanya berasal dari kebun-kebun tertentu. Saat ini, produksi teh putih tersebut baru berasal dari satu kebun yang terdapat di Cisaruni, Jawa Barat. Demi memperbanyak produksinya, PTPN VIII berencana mengembangkan lagi di empat kebun pada tahun 2010 ini. Meski produksinya masih sedikit, namun bisnis teh putih cukup menjanjikan. Pasalnya, harga jualnya cukup mahal berkisar Rp1,5 juta/kg.

Di samping mencoba mengembangkan produksi teh putih, PTPN VIII juga akan mengeluarkan produk baru. BUMN perkebunan tersebut akan memproduksi minuman teh siap saji alias ready to drink tea. Produk ini merupakan teh yang sudah dikemas dalam botol. Rencananya, produksi teh kemasan tersebut dimulai pada tahun 2010 sebanyak 1 juta botol. Jumlah produksi kemungkinan bisa bertambah jika permintaan cukup tinggi. Teh kemasan ini dijual seharga Rp3.500/botol dan untuk sementara dipasarkan di Jawa Barat.

Sayangnya, produk teh rakyat yang berasal dari Kabupaten Bandung Barat belum bisa menjadi primadona di wilayahnya sendiri. Selama ini, petani teh rakyat lebih memilih menjual bahan baku teh ke wilayah lain. Hal ini dikarenakan pasaran teh di wilayah lain sudah jelas, sementara pasaran teh lokal masih belum mumpuni.

Lahan kebun teh di daerah Ciwidey, Bandung Barat mencapai 120 ha. Dari lahan seluas itu, terdapat sekitar 160 orang petani teh. Produksi teh rakyat dari Ciwidey (sebelum terjadi bencana) bisa memasok kebutuhan produksi pabrik pengolah teh antara 5-6 ton dalam sekali petik. Selama ini, menjual pucuk teh basah yang dihargai Rp1.500/kg. Dari penjualan itu, biasanya yang diterima petani teh mencapai Rp1.300/kg. (AI)

Tidak ada komentar: