Jumat, Maret 12, 2010

Ponsel cerdas makin marak

Serikat Telekomunikasi Internasional (International Telecommunication Union/ ITU), badan PBB untuk telekomunikasi mengatakan, jumlah pelanggan ponsel akan membengkak sampai lima miliar orang tahun 2010 ini. Hal ini disebabkan pertumbuhan ponsel cerdas di negara-negara maju dan layanan bergerak (mobile) di negara-negara berkembang. Pada tahun 2009 pelanggan ponsel mencapai 4,6 miliar orang. Jumlah pelanggan mobile broadband juga akan melebihi satu miliar pada tahun 2010 setelah mencapai 600 juta pada tahun 2009.

Prediksi tersebut menyebabkan produsen ponsel berani bersaing di pasar ponsel cerdas. LG Electronic misalnya, akan memperkenalkan dua ponsel baru. Salah satu ponsel tersebut menggunakan sistem operasi Android dari Google. Sebelumnya, Samsung dan Sony Ericsson juga memperkenalkan dua ponsel cerdas multimedia terbaru. Mereka berusaha memperbaiki ketertinggalannya dari Nokia, Apple, dan Blackberry.

Samsung mengeluarkan Samsung Wave, ponsel layar sentuh yang pertama kali dibeli mobile operating system miliknya sendiri, yakni Bada. Perusahaan asal Korea Selatan itu akan mengeluarkan lima ponsel cerdas. Di antara ponsel itu, ada yang menggunakan sistem operasi Android. Samsung berharap mampu menjual 18 juta unit ponsel cerdas tahun 2010 ini.

Pada November 2009 lalu, Sony Ericsson telah mengeluarkan ponsel cerdas berbasis Android, Xperia X10. Sony Ericsson juga mengeluarkan versi mini Xperia, X10 Mini, dan X10 Pro. Mereka juga meluncurkan Vivaz Pro, yang dilengkapi dengan high-definition video dan beroperasi dengan menggunakan OS Symbian. Accer pun tak ketinggalan memperebutkan pangsa pasar smartphone. Accer akan menjual sekitar 2,5 juta hingga 3 juta smartphone pada tahun 2010. Penjualan smartphone Accer diharapkan meningkat menjadi 7 - 8 juta pada tahun 2012, dan naik lagi hingga 12 - 15 juta pada tahun 2012.

Sementara itu, imbas perjanjian pasar bebas ASEAN-China Free Trade Agreement (AC-FTA) sudah benar-benar terasa di industri telepon seluler. Sejak negara-negara Asean dan China membebaskan bea masuk impor ponsel, yang masuk kategori elektronik pada 1 Januari 2010, ponsel China makin deras masuk pasar Indonesia. Hal ini terbukti dari membludaknya permohonan dan pemberian izin sertifikasi perangkat telekomunikasi asal China di Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo).

Kemenkominfo mencatat, sejak 1 Januari 2010 hingga akhir Februari 2010, sudah terbit total 283 izin. Dari jumlah itu, 185 izin diantaranya untuk perangkat-perangkat telekomunikasi asal China. Dari 185 izin itu, 99 sertifikasi diantaranya merupakan sertifikasi perangkat (handset) ponsel. Mereknya macam-macam, seperti Nexian, Ipphone, K-Touch, ZTE, Skyphone, Tiphone, Dezzo, dan GStar. Sisanya aneka perangkat lain, mulai modem, hingga wireless.

Tidak hanya itu, antrian pengajuan sertifikasi perangkat telekomunikasi China masih panjang. Untuk pengajuan sertifikasi ponsel saja, jumlah antrian hingga puluhan pengajuan. Sertifikasi ponsel memang diwajibkan oleh Peraturan Menteri No.29/2008 tentang sertifikasi Alat dan Perangkat Telekomunikasi. Pada prinsipnya, sebelum beredar di Indonesia, tiap-tiap importir dan prinsipal ponsel di Indonesia harus mengajukan permohonan sertifikasi.

Konsumen lokal banyak yang mencari telepon harga murah. Ponsel China dengan tipe qwerty seperti model BlackBerry dan iPhone bisa dibeli dengan harga Rp600 ribu/unit. Padahal harga BlackBerrydan iPhone masih tinggi, masih di atas Rp5 juta/unit. Makanya pembeli berbondong-bondong membeli ponsel China. Pasar ponsel Indonesia memang sangat menarik. Kementerian Perindustrian mencatat hingga akhir tahun 2009, ada 80 juta unit ponsel di Indonesia. Tahun 2009 lalu, penjualan ponsel mencapai 20 juta, dengan nilai USD1,5 miliar. Pada tahun 2010, angka ini diperkirakan bisa naik hingga separuhnya.

Sekarang, menelepon menggunakan ponsel merupakan hal yang biasa. Sinyal telepon sangat mudah didapatkan hingga ke pelosok mana pun di tanah air. Maklum saja, operator telekomunikasi terus memperkuat jaringan mereka di daerah-daerah. Bukan cuma operator lama yang berpacu menyebar sinyal di daerah, operator baru juga tidak mau kalah. PT Natrindo Telepon Seluler yang memiliki brand Axis misalnya. Sebagai operator baru, Axis gencar memperluas jangkauan. Akhir Januari 2010, Axis mengumumkan telah memperluas layanannya secara komersial di wilayah Aceh dan Sumatera Selatan. Dengan perluasan layanan ini maka Axis mampu menyediakan akses bagi 65% dari total populasi di Indonesia.

Pemain lama tak agresif mempertahankan pelanggan sekaligus menggenjot pelanggan baru. Misalnya PT Indosat yang memilih membangun backbone dengan meluncurkan satelit Palapa D sejak Agustus 2009. Satelit itu memiliki kapasitas sebesar 40 transponder dengan jangkauan hingga seluruh Indonesia, bahkan luar negeri semisal negara ASEAN, Asia Pasifik, Timur Tengah, dan Australia. Untuk pelanggan di Pulau Jawa, Indosat ingin meningkatkan kapasitas layanan, sedangkan fokus di luar Jawa adalah meningkatkan cakupan.

Untuk mengembangkan jangkauan layanan, PT XL Axiata Tbk. juga menyatakan mengalokasikan sebagian besar belanja modal alias yang sekitar USD400-450 juta untuk peningkatan kapasitas dan kualitas jaringan. Telkomsel juga tetap mengedepankan pengembangan infrastruktur untuk menjaga pelanggan. Pada tahun 2010, Telkomsel menyiapkan Rp13 triliun untuk memperluas coverage serta peningkatan kapasitas dan kualitas jaringan. Kini, Telkomsel punya 30.500 BTS dengan jangkauan lebih dari 95% Indonesia.

Terkait dengan menara, Asosiasi Telekomunikasi Seluler Indonesia meminta pemerintah menetapkan ketentuan tarif sewa menara telekomunikasi untuk menjaga keberlangsungan layanan telekomunikasi yang didukung keberadaan menara. Pasalnya, selama ini ada indikasi menara telekomunikasi menjadi “sapi perah” pihak tertentu. Menara adalah fasilitas dasar layanan telekomunikasi. Jadi wajar bila dilindungi dengan penetapan tarif.

Seperti tarif jalan tol, penetapan tarif sewa menara bisa diatur berdasarkan undang-undang. Kenaikan tarif bisa dilakukan tiap dua tahun sekali berdasarkan nilai inflasi. Namun, inflasi yang digunakan bukan inflasi nasional, tetapi per provinsi. Penetapan tarif oleh pemerintah pusat akan lebih adil. Jika diserahkan kepada pemda, ada kecenderungan pemda memupuk pendapatan asli daerah sehingga dikhawatirkan penetapan tarif akan terlalu tinggi. (AI)

Tidak ada komentar: