Rabu, Maret 24, 2010

HET obat generik berubah

Awal Februari 2010, pemerintah mengeluarkan keputusan penetapan harga obat generik tertinggi yang meliputi 453 item. Pabrik obat dan/atau Pedagang Besar Farmasi (PBF), dalam menyalurkan obat generik kepada pemerintah, rumah sakit, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya, harus menggunakan Harga Neto Apotek (HNA) plus PPN sebagai harga patokan tertinggi. Dari 453 jenis obat generik, sebanyak 106 jenis obat harganya turun, 33 jenis obat harganya naik, dan 314 jenis obat harganya tetap.

Sebagai contoh, ACT (Artesunate tablet) 50 mg + Amocliaquine anhydrida tablet 200 mg kemasan 2 blister @ 12 tablet/kotak, harga HNA + PPN Rp33.000, sedangkan harga HET Rp41.250. Obat maag Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kemasan botol 1.000 tablet kunyah, dengan HNA+PPN Rp 30.530, sehingga HET Rp38.163. Antasida DOEN 1 tablet kunyah (kombinasi Aluminium Hidroksida 200 mg, Magnesium Hidroksida 200 mg, kotak 10×10 tablet kunyah) dengan harga HNA+PPN Rp9,117, HET Rp11.396. Kemudian penghilang sakit Antimigren (Ergotamin Tartrat 1 mg + Kofein 50 mg, kemasan botol 100 tablet, dengan harga HNA+PPN Rp10.280, HET Rp12.850. Diazepam tablet 2 mg (kemasan botol 1000 tablet) harga HNA+PPN Rp19.800, HET Rp24.750.

Ketentuan tersebut tercantum dalam Kepmenkes No.HK.03.01/Menkes/146/I/2010 tertanggal 27 Januari 2010, tentang harga obat generik. Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan HNA + PPN adalah harga jual pabrik obat dan/atau PBF kepada pemerintah, RS, apotek, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Sementara Harga Eceran Tertinggi (HET) adalah harga jual apotek, RS, dan sarana pelayanan kesehatan lainnya. Dengan berlakunya keputusan ini, maka Kepmenkes No.302/Menkes/SK/III/2008 tentang Harga Obat Generik, dicabut dan tidak berlaku lagi.

Untuk menjamin ketersediaan dan pemerataan obat generik, pabrik obat dan/atau PBF dapat menambahkan biaya distribusi maksimum sebesar 5% untuk regional I - II, 10% untuk regional III, dan 20% untuk regional IV. Regional I meliputi Provinsi DKI Jakarta, Jabar, Jateng, DI Yogyakarta, Jatim, Bali, Lampung, dan Banten. Sementara Regional II meliputi Provinsi Sumut, Sumbar, Riau, Jambi, Sumsel, Bengkulu, Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, dan NTB. Regional III meliputi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel, Sultra, Sulbar, dan Gorontalo, sedangkan regional IV meliputi Provinsi NTT, Maluku, Malut, Papua, dan Papua Barat.

Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia (GP Farmasi) mendukung penetapan HET obat generik yang diputuskan pemerintah. Asosiasi yang menaungi perusahaan farmasi tersebut memberi apresiasi kepada pemerintah yang ternyata mendengar dan memahami usulan dan masukan dari industri farmasi di Tanah Air. Pasalnya, dalam ketentuan tersebut tidak semua item obat harganya turun, melainkan ada yang naik. Adanya kenaikan HET obat generik ini menunjukkan pemerintah paham bahwa biaya produksi beberapa jenis obat telah meningkat seiring dengan kenaikan harga bahan baku dan fluktuasi nilai tukar rupiah terhadap USD.

Pelepasan harga obat pada mekanisme pasar mengakibatkan pasar dikuasai obat bermerek atau bernama dagang ketimbang obat generik. Padahal, obat bermerek dengan kandungan yang sama dengan obat generik harganya bisa jauh lebih mahal daripada obat generik. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, pada tahun 2005 pasar obat nasional mencapai RP23,5 triliun, terdiri dari pasar obat bermerek Rp21,07 triliun, dan pasar obat generik Rp2,52 triliun. Sementara itu pada tahun 2009 pasar obat naik mencapai Rp32,9 triliun, yang terdiri dari pasar obat bermerk Rp30,56 triliun, dan pasar obat generik hanya Rp2,37 triliun.

Obat generik sulit menjadi populer karena tidak didukung struktur yang memadai. Regulasi yang ada belum benar-benar kuat mengontrol dan mengawasi semua dokter untuk meresepkan obat generik. Obat generik masih dipandang sebagai obat untuk orang miskin, obat puskesmas, obat curah, dan dianggap tidak ampuh. Selain itu, obat generik juga tidak pernah diiklankan dan dokter lebih banyak mengetahui tentang obat bermerek karena kerap didatangi petugas penjual obat.

Saat ini ada sekitar 8-12 produsen obat generik. Tiga di antaranya badan usaha milik negara (BUMN). Di sisi lain, setidaknya ada 204 perusahaan farmasi yang terdiri dari 31 perusahaan asing, empat BUMN, dan sisanya perusahaan penanaman modal dalam negeri (PMDN) atau swasta nasional di Indonesia. Keengganan menggunakan obat generik menyebabkan omzet obat generik yang penggunaannya dicanangkan sejak tahun 1989 menurun.

Menurut GP Farmasi, perusahaan farmasi tentu mendukung program obat generik yang dicanangkan pemerintah. Hanya saja, murahnya HET yang ditentukan pemerintah dan masih kecilnya pasar membuat obat generik tidak terlalu menarik. Tidak hanya kalkulasi biaya produksi, promosi, dan distribusi, melainkan faktor psikologis harga. Sebagian masyarakat meyakini harga tidak menipu. Begitu harga obat bermerek terlalu murah malah dikira tidak ampuh atau tidak berkualitas

Pemerintah menegaskan, dokter yang bertugas di fasilitas pelayanan pemerintah wajib menuliskan resep obat generik bagi semua pasien sesuai indikasi medis. Kewajiban ini tertuang secara tegas dalam Permenkes No.HK.02.02/Menkes/068/I/2010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pemerintah. Namun, kewajiban ini kerap tak dipatuhi. Obat generik yang kualitasnya sudah teruji dan harganya murah sering diabaikan.

Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia Prijo Sidipratomo mengatakan, peraturan menteri tentang kewajiban meresepkan obat generik baru akan ampuh jika diikuti insentif dan hukuman yang jelas. Namun, pengawasan penggunaan obat generik pun tidak akan mudah. Sulit hanya mengandalkan niat baik dokter untuk meresepkan obat generik. Diperlukan sebuah sistem yang dapat mengontrol dan menggiring peresepan obat ke arah generik. Di berbagai negara maju, harga obat dapat dikontrol karena melalui sistem kesehatan berbasis asuransi sosial.

Penggunaan obat generik akan sangat menghemat biaya penanganan penyakit. Sejauh ini, biaya obat sekitar 60% dari total biaya pengobatan dan harusnya dapat lebih rendah. Sebanyak 453 obat generik yang HET-nya dikontrol pemerintah sudah dapat mengatasi 70% penyakit yang ada. Untuk memaksimalkan penggunaan obat generik, masih diperlukan peningkatan pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, dibutuhkan kesediaan dokter untuk meresepkan obat generik. (AI)

Tidak ada komentar: