Senin, April 05, 2010

Kelapa sawit

Menurut Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), pasar minyak kelapa sawit mentah atau CPO semakin menjanjikan, seiring dengan pemulihan ekonomi global. Oleh karena itu produsen CPO nasional berpeluang meningkatkan ekspor. Namun demikian, Gapki juga menyatakan penerapan bea keluar ekspor CPO akan menurunkan volume ekspor CPO pada April 2010. Perkiraan volume ekspor pada Maret 2010 sebesar 1,3 juta ton hingga 1,4 juta ton. Dengan perkiraan penurunan ekspor sebesar 100 ribu ton, maka volume ekspor CPO pada April 2010 diperkirakan hanya 1,2 juta ton.

Sebelumnya, pada Maret 2010 pemerintah menetapkan bea keluar CPO sebesar 3%. Harga CPO selama bulan itu mengalami kenaikan dan berkisar antara USD800/ton. Oleh karena itu, pemerintah menaikkan bea keluarnya menjadi 4,5% untuk ekspor selama April 2010. Persentase itu didapat berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan nomor 15 tahun 2010 tentang Penetapan Harga Patokan Ekspor Atas Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar, yang menetapkan harga referensi CPO sebesar USD826,86/ton dan Harga Patokan Ekspornya sebesar USD755/ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar, saat harga rata-rata CPO USD800 – 850/ton, maka dikenakan bea keluar sebesar 4,5%. Pungutan ekspor CPO dihitung dari perkalian antara bea keluar CPO dengan HPE-nya. Gapki juga mengusulkan penurunan pajak pertambahan nilai (PPN) CPO dari 10% menjadi 8% untuk mendorong berkembangnya bursa berjangka komoditas tersebut di Indonesia.

Untuk merealisasikan total produksi minyak sawit mentah Indonesia pada tahun 2020 menjadi 40 juta ton, harus ada perluasan tanaman kelapa sawit minimal 500.000 ha/tahun. Pemerintah sudah membuat desain besar bahwa produksi minyak sawit mentah Indonesia pada tahun 2020 sudah mencapai 40 juta ton, sehingga kebutuhan minyak nabati dunia bakal direbut dari bahan kelapa sawit. Sampai kini total areal perkebunan kelapa sawit Indonesia baru mencapai 7,5 juta ha yang tersebar di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Tahun 2010 ini total produksi minyak kelapa sawit nasional diperkirakan mencapai 23 juta ton yang dihasilkan dari luasan areal perkebunan 7,5 juta ha.

Empat lokasi di tiga pusat klaster industri sawit di dalam negeri yakni Sei Mangke Sumatra Utara, Kuala Enok dan Dumai Riau, dan Malowi Kalimantan Timur diperkirakan akan menyerap produksi CPO sebanyak 4 juta ton per tahun. Salah satu pusat klaster industri sawit per tahunnya membutuhkan pasokan CPO lebih kurang satu juta ton. Setiap kawasan memiliki industri hilir yang khusus untuk pengolahan CPO menjadi biodiesel yang berkapasitas 400.000 ton, dan sisanya untuk produksi bahan-bahan turunan CPO lainnya.

Dengan demikian maka penyerapan produk CPO di dalam negeri yang hanya 6 juta ton dapat ditambah. Pada cetak biru sawit 2020 ditergetkan produksi komoditas primadona ini di dalam negeri mencapai 40 juta ton. Meski demikian, mesti ada keseimbangan antara peningkatan produksi dengan serapan. Pemerintah mengupayakan agar sebagian besar produk CPO dapat diserap dalam negeri, dibandingkan dengan volume ekspor.

Pada tahun 2009, pertumbuhan areal sawit nasional hanya sekitar 150.000 ha dari seharusnya bisa 500.000 ha. Terjadinya pelambatan pertumbuhan areal akan berdampak pada produksi, lapangan pekerjaan, dan termasuk pendapatan daerah serta devisa negara. Gangguan di sektor persawitan Indonesia juga bisa menjadi ancaman global mengingat Indonesia menjadi pengekspor utama CPO dunia.

Kenaikan produksi CPO diperkirakan terus bertambah 2,6 juta ton setiap tahun. Data Oil World melaporkan konsumsi minyak dan lemak dunia akan mencapai 169 juta ton. Dari total kebutuhan tersebut, minyak sawit dapat memenuhi konsumsi mencapai 27,2% atau 45,9 juta ton, sedangkan minyak kedelai menyuplai 37,8 juta ton. Secara global, pertambahan jumlah penduduk dunia setiap tahun sudah semestinya diimbangi pemenuhan kebutuhan pangan. Seandainya, moratorium ini diterapkan kepada perkebunan kelapa sawit Indonesia, maka dapat menekan suplai CPO kepada industri pangan dan biofuel dunia.

Pemerintah dan para pengusaha sawit nasional akan menyatukan pandangan terkait pembangunan sawit nasional. Kampanye negatif yang dilancarkan Greenpeace tak akan melemahkan Indonesia untuk terus meningkatkan produksi sawit. Dalam kampanye itu, Greenpeace menyeru negara-negara Eropa untuk tidak membeli produk sawit Indonesia lantaran proses produksinya tidak memerhatikan masalah konservasi lingkungan.

Untuk itu, pemerintah melalui Kementerian Pertanian mengumpulkan 18 perusahaan sawit skala besar guna menyamakan pandangan. Perusahaan sawit yang diundang dalam pertemuan itu adalah PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (PT Smart), PT Astra Agro Lestari, PT London Sumatera, PT Bakrie Plantation, Wilmar Group, PT Musim Mas, PT Mina Mas, PT Permata Hijau Sawit, PT Agro Indonesia, dan PT Sampoerna Agro.

Hasil pertemuan itu akan menjadi bahan rekomendasi kepada kementerian-kementerian terkait industri sawit nasional. Sasarannya adalah proteksi produksi sawit dan peningkatan produksi yang menjadi salah satu komoditas unggulan Indonesia. Kampanye Greenpeace terhadap produksi sawit nasional telah berdampak pada perdagangan sawit antara PT Nestle Indonesia dan PT Smart. Nestle mensyaratkan PT Smart untuk memenuhi sertifikat Roundtable Sustainability Palm Oil (RSPO) guna melanjutkan kontrak perdagangan.

Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) menyatakan harga produk sawit yang telah mendapatkan sertifikat RSPO ternyata tidak berbeda dengan produk sejenis yang belum mendapatkan sertifikasi. Padahal, dijanjikan ada perbedaan harga sawit yang telah bersertifikat RSPO sekitar USD5-USD10/ton, tetapi ternyata tidak. Hal itu yang membuat petani enggan mengurus sertifikat itu, selain biayanya yang sangat mahal. Di Indonesia baru ada tiga perusahaan sawit yang telah mendapatkan sertifikat RSPO yaitu PT London Sumatera (Lonsum), PT Hindoli, dan PT Musim Mas.

Sebelumnya Sucofindo menyatakan, pengusaha industri sawit harus mulai memperhatikan ini, karena harga CPO yang memiliki sertifikat RSPO lebih mahal 5% dibandingkan komoditas yang tidak memiliki sertifikat. Sertifikat RSPO merupakan jawaban bagi industri kelapa sawit yang ramah lingkungan. (AI)

Tidak ada komentar: