Rabu, April 14, 2010

Hutan dan otonomi daerah

Komisi II DPR-RI mengatakan, kerusakan hutan di Indonesia terutama terjadi dalam 10 tahun terakhir setelah pemerintah pusat memberlakukan kebijakan otonomi daerah yang menyerahkan sebagian kewenangannya ke daerah. Dalam 10 tahun terakhir kerusakan hutan di Indonesia rata-rata sekitar 1,2 juta ha/tahun. Meningkatnya kerusakan hutan pada era otonomi daerah karena pemda berusaha meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) dengan memberikan kemudahan kepada pihak ketiga menebang pohon di hutan tidak secara selektif sehingga hutan menjadi gundul.

Soal otonomi daerah dan kerusakan hutan, terjadi setelah pemerintah pusat memberlakukan kebijakan otonomi daerah dan menyerahkan kewenangan pengeloaan hutan pada pemerintah daerah, terjadi peningkatan kerusakan hutan yang signifikan. Guna memperbaiki kerusakan hutan, sebaiknya dilakukan pendataan kondisi hutan saat ini mana yang masih asli dan mana yang telah rusak dan gundul dan kemudian dilakukan tindakan penghijauan secara kongkrit dan terukur.

Berdasarkan informasi Ditjen Bina Produksi Kehutanan Kementerian Kehutanan, deforestasi atau penurunan mutu lahan hutan di Indonesia setiap tahunnya mencapai 1 juta ha. Untuk tahun 2010 ini saja terdapat 50 juta ha yang rusak. Tetapi tidak semua rusak total. Ada yang bekas hutan dan bisa dikelola melalui restorasi sistem, HTH, HTI dengan tebang jalur. Tren kerusakan hutan di Indonesia tujuh tahun ke belakang cenderung menurun. Dulu waktu pertama kali dilaksanakan otonomi daerah pada tahun 1999-2003, deforestasi hutan bisa mencapai 2,3 juta ha/tahun.

Saat ini, Kementerian Kehutanan mencatat terdapat 60 juta ha hutan produksi. Hutan tersebut digunakan untuk produksi kayu dan nonkayu. Seperti rotan, getah, dan daun. Sekarang jasa lingkungan, tata air, dan ecowisata. Ke depannya, akan diterapkan hutan produksi untuk jual beli karbon di Indonesia. Saat ini sedang dilaksanakan percobaan untuk pelestarian hutan untuk mengurangi emisi karbon di Sumsel untuk donor dari Jerman, serta Kalteng dan Jambi untuk Australia.

Luasan hutan lindung di seluruh Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diusulkan bertambah satu juta hektar. Penambahan luas hutan lindung tersebut diupayakan termaktub dalam rancangan rencana tata ruang dan tata wilayah provinsi yang sedang disusun. Menurut Tim Penyusun Rencana Strategis Pengelolaan Hutan Aceh (TPRSPHA ), penambahan luas ini didasarkan pada penilaian tingkat kerawanan bencana di tiap-tiap wilayah. Hasilnya, hampir seluruh wilayah provinsi rawan bencana.

Saat ini luas hutan lindung di Aceh mencapai 1,482 juta ha. Berdasarkan usulan TPRSPHA, luas hutan lindung yang tercantum dalam peraturan daerah atau kanun Pemprov NAD akan mencapai luas 2,856 juta ha. Beberapa kabupaten/kota yang akan bertambah luasan hutan lindungnya akibat usulan tersebut antara lain Kabupaten Aceh Selatan, Kabupaten Bener Meriah, dan Kabupaten Aceh Jaya. Penambahan luas hutan lindung terbesar berada di Kabupaten Aceh Jaya.

Sementara itu, Pemprov NTT telah mengusulkan pembentukan 17 kesatuan pengelola hutan (KPH) kepada Menhut untuk ditetapkan menjadi KPH. KPH yang diusulkan Pemprov NTT akan ditempatkan di 21 kabupaten/kota. Mereka akan bertugas antara lain mengawasi kawasan hutan agar bisa terhindar dari penyerobotan dan penebangan secara liar. Usulan pembentukan KPH ini sebagai solusi untuk menyelamatkan kawasan hutan yang terus terkikis karena ulah manusia. Luas kawasan hutan di NTT saat ini tercatat 108.990 ha atau 8,20% dari luas daratan sekitar 4,7 juta ha.

Setelah otonomi daerah, banyak muncul masalah yang berhubungan dengan kawasan hutan karena tidak ada lagi petugas khusus yang menjaga dan mengawasi kawasan hutan.Sebelum otonomi daerah, ada petugas khusus yang dikenal dengan sebutan resort polisi hutan (RPH). Petugas ini, sangat menguasai masalah kehutanan bahkan sampai menghafal batas-batas hutan secara baik. RPH ini juga sangat disegani masyarakat sehingga praktis tidak ada masalah kawasan hutan yang serius di wilayah NTT. Masalah mulai bermunculan setelah otonomi daerah dan petugas RPH sudah tidak ada lagi dalam struktur organisasi pada dinas kehutanan.

Dari Sulawesi Barat, penebangan hutan mangrove yang sudah berusia setengah abad di Lingkungan Bua-bua Barat, Kelurahan Benteng Utara, Kecamatan Benteng, Kabupaten Kepulauan Selayar mulai menimbulkan keresahan di kalangan warga masyarakat. Pasalnya, mulai timbul sejumlah bencana pasca pemusnahan hutan mangrove yang selama ini menjadi pelindung dan penahan dampak abrasi pantai. Bencana tersebut diantaranya, berupa rendaman luapan drainase yang tidak lagi dapat mengalir optimal yang juga menyebabkan terjadinya longsor pada sejumlah bagian drainase di sepanjang ruas Pasar Senggol dan Jalan Veteran Utara.

Kemenhut akan mengejar 543 perusahaan dan perorangan penunggak iuran kehutanan yang mencapai Rp348,6 miliar. Tunggakan sebesar itu terdiri dari iuran Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) senilai Rp113,28 miliar dan iuran Dana Reboisasi (DR) sebesar Rp235,36 miliar. Dari 543 penunggak iuran, sebanyak 36 di antaranya adalah perusahaan pemegang konsesi pengelolaan hutan alam (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Alam/IUPHHK-HA dulu HPH). Sementara itu, 508 sisanya adalah para pemegang izin pemanfaatan kayu (IPK) pada kegiatan landclearing untuk perkebunan dan pemegang izin HPH skala kecil yang diterbitkan oleh Bupati. Soal banyaknya penunggak DR pada kegiatan IPK dan izin HPH skala kecil, itu adalah ekses negatif dari otonomi daerah.

Euforia desentralisasi kekuasaan saat itu menghasilkan kebijakan pemerintah daerah berupa pemberian IPK dan izin HPH dengan koordinasi yang minim dengan pemerintah pusat, sehingga banyaknya pekerjaan rumah untuk dibenahi, termasuk tunggakan DR. Namun, ekses negatif itu kini dibenahi. Di sisi lain, era otonomi daerah juga menghasilkan sisi positif yaitu pemerintah pusat kini tak lagi semena-mena dalam pemberian izin pengelolaan hutan.

Pemerintah akan terus menagih tunggakan yang sudah dilimpahkan ke KPKNL. Jumlah tunggakan iuran kehutanan yang sudah dilimpahkan ke KPKNL terdiri dari iuran PSDH sebesar Rp85,03 miliar dan iuran DR sebesar Rp19,1 miliar dan USD18,4 juta. Tunggakan tersebut ditanggung oleh 299 perusahaan dan perorangan. Akan tetapi, upaya memburu penunggak iuran kehutanan yang dimiliki pemegang izin IPK dan HPH skala kecil akan menghadapi tantangan karena umumnya keberadaan pemegang izin kini sulit dideteksi keberadaannya. (AI)

Tidak ada komentar: