Jumat, April 16, 2010

Industri petrokimia menunggu investor

Indonesia hingga saat ini masih mengimpor komponen bahan baku industri petrokimia, yakni nafta. Padahal industri petrokimia diprediksi menjadi salah satu industri yang akan bertumbuh. Untuk itu, pemerintah akan mengambil langkah antisipasi untuk menekan impor komponen bahan baku dengan strategi membuat industri nafta di Indonesia. Indonesia belum memiliki industri refinery yang solid untuk petrokimia karena kilang mililk PT Pertamina hanya untuk produksi BBM.

Menurut Kemenperin, sejak dasawarsa terakhir, struktur industri petrokimia tak terintegrasi optimal. Pasalnya, nafta yang menjadi bahan baku dasar petrokimia tak bisa dipenuhi dari dalam negeri. Akibatnya, industri strategis ini mengimpor nafta bertahun-tahun dengan harga yang semakin tak kompetitif. Pada saat bersamaan, industri petrokimia Malaysia, Thailand, Singapura berkembang sangat pesat dengan total kapasitas melebihi Indonesia yang hanya 1,1 juta/tahun.

Kemenperin menyatakan industri petrokimia membutuhkan tambahan tiga kilang minyak (refinery) baru dengan total investasi USD12 miliar-USD15 miliar dalam lima tahun ke depan. Kilang tersebut digunakan untuk memasok nafta bagi industri petrokimia yang diolah dari minyak bumi. Total kapasitas masing-masing kilang diperkirakan mencapai 300.000 barel minyak mentah (crude oil) per hari. Nafta merupakan bahan baku primer yang diolah dari minyak bumi untuk produksi propilena dan etilena. Dalam rantai industri petrokimia, kedua komoditas tersebut digunakan sebagai bahan baku polipropilena (PP) dan polietilena (PE). Sementara PP dan PE merupakan bahan dasar untuk produk hilir plastik seperti kemasan, kantong plastik, komponen elektronik, hingga pipa plastik.

Tiga kilang minyak yan akan dibangun untuk menopang industri petrokimia terletak di Tuban (Jatim), Cilegon (Banten), dan Bontang (Kaltim). Namun, lokasi yang paling siap adalah di Cilegon. Lahannya sudah siap, pelabuhan sudah ada, tinggal diperluas. Untuk refinery di Cilegon ini, pemerintah akan melobi Iran untuk membangun kilang baru tahap I senilai USD5 miliar.

Untuk membangun satu kilang minyak berkapasitas 300 ribu barel/hari dibutuhkan investasi antara USD4-5 miliar. Proyek ini sudah memasuki tahap prastudi kelayakan. Namun saat ini masalah utamanya adalah ketersediaan minyak mentah sebagai bahan baku utama. Pasokan minyak mentah dari dalam negeri tidak dimungkinkan. Pasalnya, Pertamina sendiri juga masih mengimpor minyak mentah. Untuk itu, minyak mentah akan diperoleh dari kerja sama dengan Iran, Nigeria, dan negara G8 lainnya.

Pendanaan keseluruhan proyek, selain berasal dari asing juga akan menggunakan dana perbankan dalam negeri, serta ekuitas perusahaan-perusahaan petrokimia. Di samping itu, bisa juga menggandeng BUMN di sektor energi, seperti PT Pertamina. Namun untuk kepemilikan saham mayoritas di proyek itu, pemerintah masih memprioritaskan investor dalam negeri dengan komposisi bisa 51-49, atau bisa 70-30, tergantung pada kesepakatan bisnis. Untuk investor Petrokimia yang sudah siap, antara lain PT Chandra Asri, PT Titan Petrochemical (PMA Malaysia), PT Trans Pacific Petrochemical Industry (TPPI), PT Tri Polyta, dan PT Polytama Propindo.

Struktur industri petrokimia berbasis gas di dalam negeri masih dinilai lemah, karena sekitar 70% produksi gas dalam negeri diekspor ke negara-negara maju. Konsumsi gas terus bertambah setiap tahun, antara lain di sektor pembangkit listrik, keramik, kertas, dan logam, tetapi pasokan gas dari tahun ke tahun menipis. Secara umum struktur industri petrokimia baik berbasis gas maupun minyak bumi di dalam negeri sejak 8 tahun terakhir ini masih rapuh.

Kondisi itu akibat tidak adanya tambahan investasi besar-besaran dan minimnya kebijakan pemerintah yang mendorong pertumbuhan rantai produksi baru. Di samping itu, bahan baku vital berupa minyak bumi dan gas sebagian besar produksinya diekspor sehingga mengganggu penguatan daya saing. Di sisi lain, pertumbuhan konsumsi produk petrokimia berbasis minyak bumi untuk kelompok olefin (plastik) dan aromatik (bahan kimia) di pasar domestik tumbuh 5%-7% per tahun, sementara produksinya selalu stagnan.

Keadaan tersebut membuat sektor industri hulu, antara, dan hilir petrokimia sampai saat ini belum mampu terintegrasi secara optimal. Jika sektor hulu petrokimia hulu tidak berkembang optimal, industri di bawahnya (hilir) akan sulit bersaing karena tidak mendapat kepastian pasok bahan baku. Akibatnya, impor akan terus meningkat. Hingga kuartal I/2010, perkembangan industri ini praktis masih sangat lambat. Tahun 2010 bahan baku ditargetkan bisa tumbuh menjadi sebesar 1,9 juta - 2 juta ton.

Kenaikan harga minyak mentah juga berimbas ke industri petrokimia. Umumnya kalau harga minyak mentah naik biasanya permintaannya juga naik, karena produsen mengantisipasi kenaikan harga lebih lanjut. Meski belum sampai menurunkan target pertumbuhan produksi, tapi permintaan produk petrokimia dalam tiga bulan pertama tahun 2010 ini belum setinggi yang diharapkan, atau hanya tumbuh sekitar 3%. Sebelumnya, tahun 2010 ini Asosiasi Industri Olefin dan Plastik Indonesia (INAPlas) menargetkan pertumbuhan permintaan plastik sekitar 5%-7%. Tingkat konsumsi plastik tahun 2010 akan meningkat seiring meningkatnya daya beli masyarakat dan meningkatnya investasi industri di berbagai bidang. Sehingga kebutuhan plastik sekitar 22,65 juta ton/tahun.

Dari sekitar 20 rantai industri petrokimia berbasis gas, Indonesia baru mampu mengembangkan sekitar 50% atau 10 rantai produksi. Di dalam rantai industri tersebut, bahan baku gas biasanya diolah menjadi beberapa produk petrokimia dasar yang sangat penting, seperti metanol dan amoniak. Kedua bahan baku tersebut dapat menghasilkan pupuk urea, bahan peledak, dan bahan penunjang (adesif) di industri perkayuan. Berdasarkan catatan INAplas, Indonesia sejauh ini hanya mampu memproduksi metanol dan amoniak dengan jumlah yang relatif memadai, sedangkan produksi ethylene glycol, acrylonitrile, formic acid, hexamine, melamin, hingga UF resin, masih disesuaikan dengan permintaan pasar. (AI)

Tidak ada komentar: