Jumat, April 23, 2010

Harga rumah akan naik?

Tren pasar properti saat ini adalah hunian ataupun gedung yang ramah lingkungan. Tren itu juga menghinggapi properti di Tanah Air. Saat ini semakin banyak pembangunan properti dengan konsep hijau dan mendapat respons positif dari masyarakat. Properti ramah lingkungan di antaranya tecermin dalam desain bangunan, kemampuan mengurangi eksploitasi sumber daya alam, emisi gas karbon, dan penghematan listrik. Properti yang ramah lingkungan juga memberikan imbal balik nilai jual yang lebih tinggi.

Namun, menurut Real Estat Indonesia (REI), pemerintah belum memiliki aturan mengenai standardisasi properti yang ramah lingkungan. Padahal aturan tersebut diperlukan sebagai acuan bagi para pengembang properti, misalnya pola insentif bagi pengembang proyek yang ramah lingkungan dengan memberikan keringanan biaya izin mendirikan bangunan (IMB) sebesar 30-50% bagi proyek ramah lingkungan. Selain itu, koefisien luas bangunan (KLB) lebih tinggi sebagai kompensasi perluasan ruang terbuka hijau dan prioritas infrastruktur. Patut disadari bahwa peran industri properti sangat penting dalam membangun kawasan ramah lingkungan yang berkelanjutan.

Saat ini industri properti di Indonesia cenderung masih tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga. Ketertinggalan industri properti Tanah Air juga terlihat dari aturan yang mempersulit kepemilikan properti oleh warga asing. Sebenarnya, jika WNA telah diperbolehkan memiliki hak properti, diperkirakan dana investasi berupa Foreign Direct Investment (FDI) akan mengalir lebih deras ke Indonesia. Para ekspatriat yang memiliki properti akan memikirkan untuk membangun bisnis mereka di Indonesia. Jika ada investasi di industri properti sebesar Rp1 miliar, efek berantai yang dirasakan industri lainnya bisa mencapai 12 kali lipat. Sebab permintaan properti akan menumbuhkan industri turunannya seperti jasa konstruksi, marmer, semen, dan industri lain yang padat karya.

Di samping itu, REI mengusulkan kepada pemerintah agar menerapkan pajak khusus bagi pembelian properti oleh orang asing guna memastikan tersedianya dana bagi pembangunan properti. Penerapan pajak atas pembelian properti oleh orang asing akan menjamin dana yang diambilkan dari proses jual beli properti masuk ke kas negara yang dikhususkan bagi pembangunan rusunami, bukan untuk keperluan lain.

Penerapan pajak itu adalah tambahan atas pajak-pajak yang jenisnya sudah tersedia saat ini yang juga tetap dapat diterapkan dalam penjualan properti bagi orang asing. Pembelian properti untuk orang asing merupakan bahasa sederhana dari perpanjangan hak pakai oleh orang asing dari yang kini dibatasi hanya 25 tahun - berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 41/1996 tentang Pemilikan Rumah Tempat Tinggal atau Hunian oleh Orang Asing yang Berkedudukan di Indonesia - menjadi sedikitnya 70 tahun.

Berbeda dengan REI, Indonesia Property Watch mengusulkan agar pemerintah sebaiknya menerapkan pola subsidi silang yang merupakan modifikasi kebijakan 1 : 3 : 6 yang diberlakukan bagi landed houses, yakni setiap pengembang yang membangun rumah mewah, diwajibkan pula membangun tiga unit hunian untuk kelas menengah dan enam unit rumah sederhana sehat (RSh). Jadi, kalau orang asing diizinkan membeli apartemen mewah, ketentuan itu perlu dimodifikasi untuk hunian vertikal dengan menetapkan pengembang yang menjual satu unit apartemen wajib menyiapkan tiga unit rusunami. Namun, REI menilai penerapan kewajiban seperti justru tidak akan efektif. Pasalnya, hingga saat ini pelaksanaan konsep 1 : 3 : 6 pada landed house tidak berjalan dengan baik.

Di sisi lain, adanya rencana pemerintah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) sebesar 15% pada April 2010 ini mengakibatkan REI meminta pemerintah untuk menaikkan harga RSh. Menurut Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (Apersi), kenaikan TDL untuk industri akan berdampak pada harga bahan baku pembuatan rumah. Pasalnya biaya produksi industri bahan baku rumah akan meningkat. Harga bahan baku rumah yang diperkirakan akan naik antara lain semen, besi, dan komponen listrik seperti kabel. Untuk membangun RSh bagi masyarakat berpenghasilan di bawah Rp 4,5 juta/bulan, pemerintah mematok harga tertinggi RSh Rp55 juta/unit.

Namun demikian, kenaikan harga RSh dibarengi dengan penurunan suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR). Mayoritas konsumen properti masih menggunakan fasilitas KPR untuk membeli produk properti. Survei yang dilakukan Bank Indonesia (BI) di tiga kota Provinsi Jatim, yaitu Surabaya, Sidoarjo, dan Gresik pada triwulan IV/2009 menunjukkan rata-rata konsumen menggunakan sumber pembiayaan dari KPR dengan nilai rata-rata lebih dari 70% dari total pembiayaan pembelian properti residensial.

Tambahan anggaran subsidi untuk KPR di APBNP 2010 tetap sebesar Rp2,6 triliun. Subsidi ini hanya mampu membangun 60 ribu unit RSh dan 10 ribu unit rumah susun sederhana milik (rusunami). Itu berarti masih ada 90 ribu unit RSh dan 20 ribu unit rusunami tidak bisa dibangun tahun ini. Sebelumnya, pada tahun 2010 telah ditargetkan akan dibangun 150 ribu unit RSh dan 30 ribu unit rusunami.

Subsidi KPR dalam APBNP-2010 mengalami perubahan. Yang tadinya dimasukkan sebagai anggaran belanja, kini masuk ke pembiayaan. Artinya, polanya jadi fasilitas likuiditas dan bukan subsidi langsung. Dari pola fasilitas likuiditas ini, 70% sumber dananya dari APBN dan 30% dari bank. Cara ini akan meningkatkan jumlah masyarakat berpenghasilan menengah (MBM) dan masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) mendapatkan rumah.

Ironisnya, sebanyak 100 ribu RSh di seluruh Indonesia belum teraliri listrik akibat keterbatasan kemampuan sambungan dari PLN. Kondisi tersebut merugikan pengembang, konsumen, dan juga perbankan. Bagi konsumen, jelas tidak bisa menghuni rumah itu tanpa listrik. Sementara pengembang khawatir pasar RSh anjlok akibat masih banyaknya yang tak teraliri listrik dan imbasnya juga dirasakan perbankan sebagai penyalur KPR akibat meningkatnya tunggakan cicilan.

Terlambatnya penyambungan listrik menjadi salah satu penghambat pemasaran RSh. Bahkan, target pemasaran 160 ribu RSh pada tahun 2010 diperkirakan akan sulit tercapai. Saat ini pengembang harus mengeluarkan dana sekitar Rp2 juta hingga Rp3 juta untuk membangun instalasi ke perumahan karena PLN hanya melayani penyambungan dari tiang terdekat ke konsumen. Selain itu, pengembang juga harus membayar biaya penyambungan baru Rp300 ribu per unit rumah baru. (AI)

Tidak ada komentar: