Senin, April 19, 2010

Pupuk

Pemerintah secara resmi menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi antara 25,68% hingga 40% yang berlaku mulai tanggal 8 April 2010. Kebijakan kenaikan ini tertuang dalam Permentan No.32/2010 tentang Penetapan Perubahan Permentan No.50/2009 yang mengatur tentang Kebutuhan dan HET Pupuk Bersubsidi. Untuk jenis pupuk urea yang semula Rp1.200/kg menjadi Rp1.600/kg atau mengalami kenaikan 33,3%.

Jenis pupuk SP-36 dari Rp1.550/kg menjadi Rp2.000/kg atau mengalami kenaikan 29,03%. Untuk jenis pupuk ZA yang semula Rp1.050/kg naik menjadi Rp1.400/kg (33,3%), pupuk organik yang semula Rp500/kg menjadi Rp700/kg (40%). Sementara itu untuk semua jenis pupuk NPK, yakni NPK Ponska, NPK Kujang, maupun NPK Pelangi, yang tadinya harganya bervariasi antara Rp1.586-Rp1.830/kg, kini harganya sama menjadi Rp2.300/kg atau mengalami kenaikan 25,68% hingga 45%.

Menurut Mentan Suswono, meski pupuk mengalami kenaikan harga namun tidak akan memberatkan petani. Bahkan Mentan meyakini petani masih tetap untung. Pasalnya sebelum dilakukan kenaikan HET pupuk, pemerintah telah menaikkan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dan beras sebesar 10%. Untuk gabah kering panen (GKP) misalnya, HPP naik dari kisaran Rp2.400/kg menjadi Rp2.640/kg. Berdasarkan hasil analisis usaha tani padi, petani justru mengalami kenaikan keuntungan menjadi sekitar Rp8,134 juta untuk setiap ha. Padahal sebelumnya hanya sekitar Rp7,304 juta/ha.

Menurut Kelompok Tani Sriharjo, Bantul, Yogyakarta, saat menanam padi ongkos pupuk sebenarnya tak terlalu besar. Namun, harga tenaga kerja dan membajak sawah terus meningkat sehingga kenaikan harga pupuk menambah beban petani. Kenaikan harga pupuk kimia akan mendorong pemakaian pupuk organik pada skala lebih luas. Meski demikian, petani masih membutuhkan pupuk kimia untuk perangsang tanaman. Di samping itu, seiring kenaikan harga pupuk, petani juga berharap pembelian pupuk dipermudah.

Serikat Petani Indonesia (SPI) menyatakan, peningkatan HET pupuk kimia bersubsidi berpengaruh nyata terhadap meningkatnya biaya produksi para petani, meski telah menaikan HPP gabah sebesar 10%. Kenaikan HET hanya mengalihkan keuntungan penjualan gabah untuk menambah biaya pembelian pupuk. Kenaikan HPP hanya berlaku bagi petani padi, sementara kenaikan HET pupuk tentu akan dirasakan oleh semua petani.

Selain harga, ketersediaan pupuk juga merupakan masalahan yang tak kunjung selesai dialami para petani Indonesia. Setiap memasuki musim tanam kerap terjadi kelangkaan pupuk di berbagai wilayah di Indonesia. Mekanisme pendistribusian dan subsidi pupuk pun telah beberapa kali mengalami perubahan penerapan sistem, tetapi tidak menjawab permasalahan yang terjadi. Seperti yang umum terjadi, hampir setiap peningkatan HET dikhawatirkan akan didahului dengan kelangkaan pupuk di tingkat distributor. Petani yang kesulitan pupuk akan bersedia membayar pupuk dengan harga tinggi.

Menurut pemerintah, kenaikan HET pupuk kimia ini untuk mempercepat proses peralihan ke organik. Namun, peningkatan HET ini tidak bisa mengurangi ketergantungan petani pada pupuk kimia, justru akan menambah beban produksi petani. Perlu ada persiapan bagi para petani yang sudah sangat lama bergantung pada pupuk kimiawi untuk bisa beralih ke organik. Akan tetapi untuk mengubah kebiasaan petani juga diperlukan kerja nyata dari pemerintah melalui pelatihan dan dukungan dalam proses transisi menuju organik.

Bagi petani sayur-mayur, kenaikan HET pupuk kimia dan organik bersubsidi diperkirakan akan mendongkrak harga sayur-mayur di pasar domestik sebesar 5-10%. Menurut Kontak Tani dan Nelayan Andalan (KTNA), untuk petani tanaman pangan dan perkebunan, kenaikan HET pupuk bersubsidi memang tidak akan terlalu membebani. Pasalnya, petani pangan sudah mendapat kenaikan pendapatan karena telah menikmati kenaikan HPP 10%. Sementara petani hortikultura terutama komoditas sayur-mayur, seperti cabai, bawang, dan kacang panjang, yang akan paling terbebani kenaikan HET pupuk.

Jika dibandingkan tanaman pangan, kegiatan budi daya hortikultura memang lebih sedikit menggunakan pupuk organik ketimbang tanaman pangan. Untuk menjaga kesegaran produk, petani hortikultura menggunakan porsi pupuk organik yang lebih besar. Pupuk berkontribusi hingga 35% untuk biaya produksi tanaman pangan, sedangkan pada hortikultura hanya 10%. Terkait hal itu, pihak KTNA meminta pemerintah untuk mau menempuh kebijakan yang melindungi petani hortikultura, terutama pemberian jaminan pembelian bagi petani.

Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura Kabupaten Lampung Selatan menyatakan, kenaikan harga eceran pupuk bersubsidi sudah terjadi di sejumlah pengecer kabupaten setempat dengan kenaikan rata-rata 30%. Kenaikan harga pupuk ini tidak akan mengurangi keuntungan petani asalkan penggunaannya dilakukan seefisien mungkin, atau disesuaikan kebutuhan lahan di setiap hektarenya. Upaya lain yang dapat ditempuh, antara lain dengan cara mencampurkan dengan pupuk organik dari kotoran ternak yang banyak tersedia di sentra peternakan wilayah setempat sehingga kebutuhan pupuk dapat ditekan seminimal mungkin.

Sementara itu petani di Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel, mengeluhkan harga pupuk urea bersubsidi, karena melebihi HET yang ditetapkan pemerintah, dari seharusnya Rp1.600/kg menjadi Rp2.500/kg. Setiap petani di Lempuing rata-rata memerlukan pupuk dalam jumlah besar, karena untuk 1 ha sawah minimal membutuhkan lebih kurang 100 karung pupuk dengan isi 50 kg setiap karungnya.

Para produsen pupuk mengaku tidak diuntungkan dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi. Menurut Direktur Utama PT Pusri Holding Dadang Heru Kodri, kenaikan HET pupuk tersebut tidak berpengaruh terhadap pendapatan lima BUMN pupuk yang ada di bawah naungan Pusri Holding. Yang terpengaruh hanya jumlah subsidi pemerintah menjadi turun. Kenaikan HET merupakan wewenang pemerintah dan para produsen pupuk hanya menjalankan apa yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Bagi Pusri Holding, yang terpenting adalah menjaga agar stok pupuk bisa aman hingga akhir tahun. (AI)

Tidak ada komentar: