Jumat, Mei 07, 2010

Program restrukturisasi TPT masih berjalan

Menurut Menteri Perindustrian MS Hidayat Pertumbuhan, industri tekstil dan produk tekstil (TPT) selama lima tahun terakhir cenderung melambat. Melambatnya industri tekstil ini disebabkan munculnya banyak negara pesaing, seperti Vietnam, Bangladesh, Thailand, dan China, yang menggunakan teknologi baru. Di samping itu, juga masih kurangnya optimalisasi utilisasi kapasitas terpasang dan terbatasnya kemampuan mesin dalam proses produksi. Sekitar 80% mesin-mesin di industri TPT telah berusia lebih dari 20 tahun. Hal ini mengakibatkan inefisiensi produksi dan terbatasnya kemampuan melakukan diversifikasi produk dan peningkatan kualitas.

Kemenperin mempertahankan program restrukturisasi pemesinan industri TPT pada tahun 2010 ini dengan nilai anggaran Rp140 miliar. Bantuan pendanaan restrukturisasi mesin TPT sudah dirintis oleh Kemeperin sejak tahun 2007. Selama periode 2007-2009 pemerintah telah menyalurkan bantuan sebesar Rp506,3 miliar yang mendorong investasi pembelian mesin dan peralatan industri TPT senilai Rp4,833 triliun oleh 300 industri TPT nasional.

Selama program tersebut berlangsung sejak tahun 2007, daya saing industri TPT nasional meningkat yang terlihat dari sejumlah indikator. Indikator tersebut, antara lain berupa peningkatan produksi industri TPT nasional sebesar 17% - 28%, penghematan energi sebesar 6% - 18%, dan peningkatan produktivitas sebesar 7% - 17%, sehingga proses produksi lebih cepat. Program itu juga dinilainya mampu menyerap tenaga kerja baru sekitar 42 ribu orang.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, pada tahun 2010 ini pemerintah hanya menerapkan satu skema dalam penyaluran bantuan restrukturisasi permesinan yaitu skema I. Skema I ini berupa pemotongan harga terhadap sejumlah pembelian mesin oleh perusahaan industri TPT. Sementara itu skema II yang memberi bantuan pemberian kredit dengan suku bunga rendah yaitu 7%, penyerapannya rendah dan memiliki kendala dalam pengembalian kredit. Padahal, Kemenperin harus melaporkan pengembalian kredit atas dana APBN yang digunakan itu secara tepat waktu kepada Menkeu sebagai bendahara negara.

Ada 81 perusahaan TPT yang berhasil dalam program restrukturisasi permesinan dengan melakukan peremajaaan mesin dan peralatan di atas Rp10 miliar. Sebagian besar industri TPT itu berasal dari Jabar (50 perusahaan) dengan total investasi Rp2,5 triliun dan jumlah bantuan program senilai Rp223,8 miliar. Sisanya, berasal dari Jateng (14 perusahaan) dengan investasi Rp924 miliar dan jumlah bantuan Rp70,9 miliar, Banten (10 perusahaan) dengan investasi Rp483,5 miliar dan jumlah bantuan Rp36,1 miliar, Jatim (5 perusahaan) dengan total investasi Rp163,4 miliar dengan jumlah bantuan Rp15,7 miliar, dan DKI Jakarta (10 perusahaan) dengan investasi Rp32 miliar dengan jumlah bantuan Rp3,1 miliar.

Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan program restrukturisasi permesinan TPT harus terus dilanjutkan guna meningkatkan daya saing mengingat teknologi mesin pertekstilan berubah setiap lima tahun sekali. Keberadaan industri TPT harus dipertahankan karena menyerap tenaga kerja yang besar yaitu sekitar 15%, atau sebanyak 1.841.520 orang. Industri ini juga mampu memberi surplus perdagangan sebesar 24,33% pada tahun 2007. Bahkan di tengah krisis keuangan dunia tahun 2008, industri TPT nasional masih mampu meraih surplus sebesar USD8 miliar.

Menurut API Jatim, ekspansi para pelaku usaha industri TPT masih terhadang sedikitnya tujuh kendala di tengah persaingan ketat pasca-perjanjian perdagangan bebas Asean dan China (ACFTA). Pertama, terbatasnya sumber daya manusia yang mempunyai keahlian teknik tekstil. Kedua, soal upah buruh. Pada tahun 2011, gubernur akan memberlakukan kenaikan upah 5%. Hal ini tentu memberatkan pelaku usaha. Ketiga, masalah pembiayaan. Saat ini perbankan masih menilai industri TPT sebagai sunset industry. Padahal, kinerja industri TPT terus meningkat, sehingga semestinya tak lagi dikategorikan sebagai industri yang berprospek kurang cerah.

Keempat, banyaknya bahan baku yang masih harus diimpor, seperti kapas, serat sintetis, maupun bahan baku lainnya. Problem bahan baku ini menunjukkan bahwa urusan peningkatan kinerja industri TPT bukan hanya urusan para pelaku usaha saja, namun pemerintah seharusnya juga harus ikut mendorong, antara lain budi daya kapas. Kelima, permasalahan energi, terutama pasokan listrk yang terbatas. Keenam, restrukturisasi mesin yang masih harus dioptimalkan. Ketujuh, fasilitas pelabuhan yang tidak memadai.

Terkait dengan pasokan energi, dalam hal ini listrik, rencana kenaikan tarif dasar listrik (TDL) diperkirakan akan mengganggu kinerja industri TPT. Apabila pemerintah tidak dapat memenuhi kebutuhan energi industri TPT, maka sepanjang tahun 2010 tampaknya akan menjadi momen suram bagi industri TPT Tanah Air. Pembatasan alokasi gas dan listrik ini menyebabkan iklim usaha semakin tidak kondusif.

Keterbatasan listrik akan mempersulit realisasi investasi baru di sektor spinning (pemintalan) dan mengancam terhentinya pabrik-pabrik TPT yang sudah eksis. Saat ini industri TPT berencana meningkatkan investasi hingga USD200 juta, terutama di subsektor pemintalan seiring dengan upaya peremajaan mesin-mesin TPT yang sudah tua. Akibatnya, diperkirakan permintaan benang tahun 2010 ini akan meningkat sehingga dibutuhkan modal baru untuk meremajakan mesin-mesin produksi dan menambah kapasitas.

Di sisi lain, setelah perdagangan bebas dengan China, Indonesia juga akan menghadapi pasar bebas dengan India. Perjanjian perdagangan bebas itu sudah diteken dalam KTT Pemimpin ASEAN tahun 2009 lalu. API menganggap ancaman perdagangan bebas ASEAN dengan India atau AIFTA (ASEAN-India Free Trade Area) tidak sebesar ACFTA. Produk Indonesia memiliki peluang masuk ke pasar TPT di India. Komoditas tekstil semacam polyester, serat, dan benang katun dari India akan banyak menyerbu Indonesia setelah AIFTA resmi berlaku. Namun lonjakan impor TPT dari India tidak sebesar dari China.

Kinerja ekspor TPT dari tahun 2000 sampai tahun 2009 meningkat 11,59%, atau rata-rata 3,41% per tahun, atau setara dengan nilai ekspor USD9,26 miliar. Meski cenderung stagnan, bila dibanding nilai impor, industri tekstil masih menunjukkan surplus. Selama 10 tahun terakhir surplus perdagangan selalu di atas USD5 miliar, dan pada tahun 2009 lalu mencapai USD5,09 miliar. (AI)

Tidak ada komentar: