Jumat, April 17, 2009

Industri kayu memprihatinkan

Kondisi industri kayu lapis semakin menyedihkan. Selama 10 tahun terakhir pertumbuhan industri ini selalu negatif sehingga sektor ini dikatakan sunset industry. Pada tahun 2009 ini diperkirakan akan terjadi penurunan ekspor industri kayu lapis hingga 40% dari volume tahun 2008 yang sempat mencapai 2,5 juta m3 atau senilai USD1,5 miliar. Anjloknya ekspor ini bukan hanya disebabkan lesunya permintaan di pasar ekspor tradisional seperti AS, Eropa, dan Jepang akibat krisis global, namun dipicu oleh ketidakmampuan bersaingnya produk Indonesia menghadapi pemain-pemain baru seperti Brasil, China, dan Malaysia.

Menurut Wakil Ketua Umum Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) Abbas Adhar, meski terjadi pelemahan pasar namun masih ada permintaan ekspor dari negara-negara Timur Tengah. Untuk menghadapi kondisi pasar, para produsen mencoba menyiasatinya dengan mengalihkan komposisi pasar ekspor yang selama ini cukup dominan. Pasar lokal akan ditingkatkan dari komposisi sebelumnya yang hanya dipasok 10% dari total produksi 3,1 juta m3.

Dampak pertumbuhan negatif lainnya, sekitar 35.000 pekerja dari 65.000 pekerja di sektor industri kayu lapis di Indonesia terancam pemutusan hubungan kerja (PHK) pada tahun 2009. Menurut Ketua Umum Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Reformasi H. Sofyan Siambaton, ancaman kebangkrutan industri kayu lapis nasional sudah di depan mata, karena tidak adanya permintaan ekspor. Jepang dan AS yang selama ini merupakan pembeli utama kayu lapis Indonesia, sudah menghentikan ordernya sejak November 2008 akibat krisis global.

Berdasarkan data MPI Reformasi, selama delapan tahun terakhir (2000-2008) sebanyak 105 industri kayu lapis di Indonesia bangkrut. Akibatnya, sekitar 300.000 pekerjanya kehilangan pekerjaannya. Saat ini, industri kayu lapis yang masih beroperasi tersisa 25 perusahaan. Rata-rata industri ini menampung 3.000 tenaga kerja.

Industri kayu lapis selama ini menjadi bagian penting bagi penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja. Dalam periode 1980 - 2005, industri ini telah memberikan sumbangan terhadap penerimaan devisa negara sekitar USD3,7 - 4 miliar/tahun. Jumlah tenaga kerja yang diserap berkisar 500.000 orang. Sebelum krisis, sejak Agustus 2008 sekitar 23% kayu lapis Indonesia diekspor ke Jepang dan 18% ke AS. Sementara ekspor ke negara-negara di Eropa sebanyak 27,33%, Korsel 4%, China 4%, Taiwan 3%, Malaysia 1%, dan negara lainnya 14%.

Pada tahun 2007, ekspor industri perkayuan Indonesia mencapai 3,1 juta m3 dari total kebutuhan kayu dunia sekitar 220 juta m2. Tahun 2008 volume ekspor kayu Indonesia diperkirakan di bawah 3 juta m3, karena hingga mendekati Desember 2008 baru mencapai 2,5 juta m3. Sementara itu, produksi panel kayu Indonesia tahun 2009 turun hingga 60% dibanding tahun 2008 yang mencapai 1,8 juta m3. Nilai ekspor tahun 2009 ini juga diperkirakan hanya mencapai USD500 juta atau 60% di bawah perolehan ekspor tahun 2008 yang mencapai USD900 juta.

Sebenarnya ekspor panel kayu dan kayu olahan sudah turun sejak tahun 2007. Pada tahun 2006 ekspor panel kayu mencapai 3,5 juta ton dan kayu olahan 2,3 juta ton. Pada tahun 2007, realisasi ekspor panel kayu hanya 2,6 juta ton dan kayu olahan 1,6 juta ton. Berdasarkan data Badan Revitalisasi Industri Kehutanan (BRIK), volume ekspor kayu olahan Januari 2008 masih 127.477 m3, namun pada Januari 2009 tinggal 54.571 m3. Meski masih tertolong dengan kenaikan harga jual rata-rata dari Januari 2008 yang hanya USD647/m3 menjadi USD750/m3 pada Januari 2009. Kayu olahan hanya mampu mencetak devisa ekspor Januari 2009 sebesar USD40,956 juta atau lebih kecil dibanding Januari 2008 sebesar USD82,516 juta.

Kondisi ini jelas sangat memprihatinkan. Terlebih program stimulus ekonomi ternyata tidak memberi dana ke Dephut. Dari total paket stimulus ekonomi pemerintah tahun ini sebesar Rp73,3 triliun, Dephut tidak kebagian jatah. Namun demikian, Dephut masih punya cara lain, yakni relaksasi peraturan. Salah satu yang tengah digodok adalah usulan lama Asosiasi Pengusaha Kayu Gergajian dan Kayu Olahan Indonesia (ISWA), yakni melonggarkan kriteria teknis ukuran dan tingkat olahan produk industri kehutanan yang bisa diekspor. Bidikan diarahkan ke kayu olahan dalam bentuk S4S — yang masuk dalam HS.4407.

Berdasarkan Peraturan Mendag No.20/M-DAG/PER/5/2008, ekspor S4S hanya boleh kayu merbau dengan luas penampang maksimum 10.000 mm2 serta kayu non-merbau dengan maksimal luas penampang 4.000 mm2. Saat ini tengah dibahas upaya melonggarkan aturan tersebut menjadi maksimum 12.000 mm2. Jenis kayu pun diperluas menjadi empat, yakni Merbau, Keruing, Meranti Batu dan Jabon. Semuanya kayu sinker alias kayu keras yang memang banyak dipakai industri kayu olahan.

Di sisi lain, pada era industri yang mempunyai efek perusakan lingkungan, hutan menjadi aset yang nilainya sangat berharga. Selain mampu menghasilkan sumber daya alam yang beragam, hutan juga menjadi paru-paru dunia yang memasok udara segar. Kini kalangan industri diberi tanggung jawab untuk ikut serta menjaga kerusakan lingkungan. Sehingga banyak program yang dilakukan sebagai upaya memenuhi tanggungjawab itu. Diantaranya dengan menggunakan hasil hutan sebagai bahan baku produksi dari hutan yang jelas dan bagus pengelolaannya.

Untuk membedakan hasil hutan yang bersumber dari hutan yang dikelola dengan baik dan lestari dibutuhkan sertifikat. Menurut Agus Eka Putra dari Tropical Forest Trust (TFT), lembaga yang mendorong sertifikasi hutan rakyat, setidaknya ada 19 industri kayu di Pulau Jawa telah bersertifikat. Industri kayu bersertifikat tersebut hanya akan menerima kayu dari hutan yang bersertifikat lestari pula.

Di Indonesia masalah ekolabeling ini dikelola oleh Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI). LEI adalah organisasi berbasis konstituen yang mempunyai misi untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang adil dan lestari di Indonesia. Menurut Manajer Komunikasi dan Advokasi LEI Indra S. Dewi, di dunia perdagangan antarbangsa isu ramah lingkungan sudah menjadi syarat mutlak yang harus dipenuhi. Banyak negara Eropa dan AS menjadikan sertifikasi ekolabeling sebagai prasyarat untuk barang-barang yang masuk ke negaranya. Dengan syarat mutlak seperti itu, mau tak mau industri kayu seperti industri furnitur dan kerajinan, berupaya untuk memperbaiki kualitas pengelolaannya agar tetap memiliki pangsa pasar yang baik. (AI)


Tidak ada komentar: