Rabu, April 01, 2009

Obat generik masih belum popular

Inspektur Badan Pusat Pengawas Obat dan Makanan (BPPOM) Ratna Rosita mengatakan, masyarakat Indonesia terkesan kurang menyukai obat generik, sehingga tingkat penjualan obat tersebut menurun setiap tahun. Pada tahun 2007 penjualan obat generik hanya mencapai 8,7% dari total penjualan obat. Kondisi ini sangat bertolak belakang dengan kepopuleran obat generik di negara lain, seperti Taiwan, Malaysia, dan Thailand. Di samping itu, tingkat belanja masyarakat Indonesia terhadap obat juga masih rendah.

Sebenarnya hal ini merupakan peluang besar bagi tersedianya ruang yang cukup untuk perkembangan dunia industri farmasi nasional. Nilai impor untuk beberapa bahan aktif farmasi meningkat pesat selama tujuh tahun belakang ini. Pada tahun 2007 impor bahan baku terbesar adalah antibiotik yang mencapai USD86,8juta. Bahan baku tersebut diimpor dari China dan India.

Krisis global yang sedang terjadi juga sangat berdampak pada sektor usaha farmasi. Hal ini disebabkan tingkat impor bahan baku farmasi yang sangat besar. Guna mengurangi dampak krisis ekonomi, BPPOM akan menggunakan prinsip pool purchasing dalam meningkatkan daya tawar sehingga dapat menurunkan harga jual obat.

Agar mandiri dan tidak perlu mengimpor bahan baku obat, Indonesia harus mampu mengembangkan produksi bahan baku yang tersedia di Indonesia, mengingat Indonesia merupakan mega centre bahan bio diversity. Selain itu, BPPOM juga mengajak perguruan tinggi farmasi untuk menghasilkan penelitian-penelitian yang berguna untuk meningkatkan kualitas obat-obatan.

Terkait dengan obat generik, dari Makassar, Sulsel, dilaporkan sejak minggu ketiga Maret 2009, sejumlah rumah sakit milik pemerintah provinsi mengeluhkan langkanya persediaan obat generik. Kelangkaan ini dipicu oleh kebijakan distributor obat-obat generik yang menghentikan distribusi ke rumah sakit akibat menumpuknya utang pemerintah provinsi hingga tahun 2009 ini.

Menanggapi laporan ini, anggota Komisi IV DPRD Sulsel langsung melakukan inspeksi mendadak. Sidak dilakukan di sejumlah rumah sakit pemerintah, seperti RS Dadi, Labuang Baji dan RS Haji. Di RS Dadi anggota dewan menemukan stok obat yang tak lagi mencukupi untuk melayani pasien hingga satu bulan ke depan. Kondisi ini masih lebih baik dibanding di RS Labuang Baji.

Di Labuang Baji, sejak pertengahan Maret 2009 lalu tidak lagi melayani pasien yang membutuhkan obat generik, karena stok benar-benar telah habis. Pihak RS terpaksa mengarahkan pasien untuk membeli obat di apotik, tentu dengan harga yang lebih mahal. Kelangkaan obat itu terjadi karena stok obat kosong. Pasalnya, pedagang besar farmasi (PBF) sebagai distributor atau pemasok obat-obatan menghentikan sementara droping obat yang diperlukan karena masih terdapat tunggakan yang harus dilunasi. PBF baru bisa memasok obat ke rumah sakit kalau tunggakan mereka sudah dibayarkan pihak rumah sakit. Masalahnya, saat ini belum dilakukan tender pengadaan obat-obatan. Tender baru akan dilaksanakan pada April 2009.

Dari RS Dadi diperoleh informasi bahwa stok obat masih tersedia, hanya saja stok yang dibutuhkan pasien tidak termasuk jenis obat yang ditanggung jaminan kesehatan daerah (Jamkesda), sehingga tetap dikatakan langka. Agar ke depan stok obat tidak terjadi lagi kelangkaan, pemprov perlu mengantisipasi dengan memanfaatkan dana talangan yang ada pada Dinas Kesehatan (Dinkes) Sulsel. Nantinya pada saat anggaran pengadaan obat-obatan telah dicairkan, barulah dana talangan yang telah digunakan itu dapat diganti kembali.

Kadis Kesehatan Sulsel Rachmat Latief mengungkapkan, sebenarnya stok obat-obatan di apotik atau rumah sakit tidak boleh dibiarkan kosong sama sekali. Sebelum stok obat mengalami kekosongan, pihak apotik sudah harus merencanakan pengadaan jauh-jauh hari sebelumnya. Dalam hal ini, pihak rumah sakit dapat dipersalahkan karena tidak melakukan antisipasi dini. Penumpukan utang di distributor bukan alasan untuk tidak memasok obat ke RS. Semua ini terjadi karena minimnya koordinasi dan antisipasi pihak rumah sakit.

Sementara itu, dalam pelayanan obat bagi peserta, PT Askes (Persero) telah menerapkan pelayanan obat berdasarkan Daftar dan Plafon Harga Obat (DPHO) untuk menjamin ketersediaan dan standarisasi harga obat seluruh Indonesia. DPHO ini dapat menjamin ketersediaan obat di Indonesia, mengkomodasi kedokteran dan industri obat, serta dapat menciptakan persamaan harga sesuai efisiensi medis.

Para provider PT Askes baik pabrik, distributor maupun apotek dan instalasi farmasi yang menerima layanan obat Askes bisa saling berkomunikasi langsung tentang ketersediaan obat. Sesuai DPHO terbaru di edisi XXVII Tahun 2009, yang terbanyak adalah obat dengan nama dagang yakni sekitar 883 item, sedangkan dengan nama generik ada 321 item obat.

Pemerintah berjanji memberikan jaminan pasar bagi produsen obat di dalam negeri untuk membantu industri farmasi nasional mengantisipasi dampak krisis keuangan global. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari mengatakan, lebih dari 90% bahan baku obat masih diimpor dari luar negeri. Kalau krisis ini berlanjut dan nilai tukar rupiah turun terhadap dolar, harga obat tentu terpengaruh. Oleh karena itu pemerintah memberikan subsidi dan jaminan pasar. Selain memberikan subsidi bahan baku senilai Rp350 miliar bagi produsen obat generik pemerintah juga memberikan jaminan pasar obat yang nilainya diperkirakan Rp4,5 triliun.

Jaminan pasar yang dimaksud adalah pembelian obat melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang nilainya sekitar Rp2 triliun, pembelian obat untuk pelayanan kesehatan di daerah senilai Rp2 triliun dan sekitar Rp0,5 triliun dari penjualan obat generik di pasar bebas.

Rencana pemerintah menurunkan harga obat generik memang menjadi kabar buruk bagi Kimia Farma dan Indofarma. Pasalnya selama ini dua perusahaan itulah yang paling banyak memproduksi obat-obat generik. Dari total produksinya, PT Indofarma misalnya, memproduksi obat generik sebanyak 80%, sisanya 12% berupa branded, dan 8% obat bebas. Kenyataan itulah yang membuat manajemen perseroan bertekad untuk mengurangi ketegantungannya pada obat-obat generik, dengan meningkatkan produksi branded dan over the counter (OTC).

Demikian halnya dengan PT Kimia Farma. Perusahaan ini juga diperkirakan akan terpukul oleh keputusan penurunan harga obat generik. Terlebih perseroan kini tengah direpotkan oleh besarnya rugi kurs sehingga manajemen Kimia Farma terpaksa meminta bantuan berupa dana talangan dari pemerintah untuk menutupi kerugian tesebut. Permohonan bantuan itu tampaknya bakal dikabulkan karena Menkes akan memberikan subsidi Rp350 miliar bagi produsen obat generik disamping jaminan pasar obat sebesar Rp4 triliun. (AI)


Tidak ada komentar: