Jumat, Maret 27, 2009

Pemekaran daerah istirahat dulu

Aksi kekerasan di Sumut yang menewaskan Ketua DPRD Sumatera Utara Abdul Azis Angkat telah mengusik pemerintah pusat. Presiden SBY mendukung moratorium pemekaran daerah baru. Presiden meminta untuk dilakukan evaluasi dulu pemekaran yang berjalan selama ini. Presiden mengajak semua pihak untuk melihat permasalahan pemekaran ini secara matang. Apalagi pemekaran daerah ternyata melenceng dari tujuan awal dan kerap memicu konflik.

Dalam rapat kerja Komisi II DPR dengan Menteri Dalam Negeri Mardiyanto pada awal Februari 2009 lalu, disimpulkan pemerintah mesti secepatnya mengevaluasi daerah otonomi baru dan sekaligus menyiapkan kerangka besar sebagai panduan pemekaran wilayah. Kerangka pemekaran masih dipersiapkan, dan sampai tahun 2025 jumlah provinsi di Indonesia diprediksi bisa mencapai 40 provinsi.

Menurut pakar politik lokal dan otonomi daerah Pratikno dan Purwo Santoso dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, sebaiknya pemerintah jangan menunda pembentukan daerah baru, tapi langsung menutup peluang untuk mengajukan proposal pemekaran daerah. Pemerintah harus bisa lebih tegas. Kalau tidak, tuntutan dari bawah akan menguat terus dan pemerintah tidak akan mampu menghadang.

Mudahnya pengajuan aspirasi pemekaran wilayah membuat banyak pihak berlomba-lomba memanfaatkannya dengan tujuan mencari keuntungan. Pemekaran daerah pun makin melenceng dari tujuan awal, yaitu untuk mengembangkan daerah, menjadi celah untuk mencari keuntungan. Setiap kali pemerintahan daerah wilayah baru terbentuk, dana alokasi umum (DAU) dari pusat akan langsung mengalir.

Menurut peneliti otonomi daerah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Syarif Hidayat, dan peneliti Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, pertimbangan politik masih menjadi acuan utama pemekaran sebuah wilayah otonom. Kerangka normatif yang menjadi prasyarat pembentukan daerah otonom baru justru terabaikan. Kriteria pemekaran dalam UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 78/2007 tentang Persyaratan Pembentukan dan Kriteria Pemekaran, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah sudah sangat jelas mengatur tata cara pemekaran. Namun, aturan itu tidak berjalan simetris dengan proses politik yang terjadi.

Kuatnya politisasi dalam pemekaran daerah membuat tujuan pemekaran untuk menciptakan demokrasi di tingkat lokal, meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tak terperhatikan. Pemekaran daerah seharusnya memerhatikan kondisi bangsa yang masih dalam kondisi transisi, dalam politik maupun ekonomi. Karena itu, kemampuan keuangan negara yang lemah harus menjadi faktor utama membentuk daerah otonom baru.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) akan membahas pemekaran daerah kabupaten/kota/ provinsi yang diusulkan DPR setelah Pemilu 2009 karena saat ini beberapa tahapan pemilu itu telah berjalan. Ketua Tim Kerja (Timja) Pemekaran Daerah PAH I DPD M Kafrawi Rahim menjelaskan, sejak DPD bersama DPR dan pemerintah membahas usul pemekaran daerah, telah terbentuk sebanyak 59 daerah otonom baru.

Sejak UU Nomor 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah disahkan dan selanjutnya disempurnakan dengan UU Nomor 32/2004, daerah baru hasil pemekaran berjumlah 206 daerah otonom, termasuk 59 daerah otonom baru. Pemekaran daerah paling banyak terjadi di Papua (9 daerah otonom baru), disusul Sumatra Utara (8), Sulawesi Utara (6), Nusa Tenggara Timur (5), dan Maluku (3).

Kuatnya aspirasi yang terjadi di luar Pulau Jawa disebabkan karena terjadinya perbedaan perlakuan pemerintah pusat yang sangat tajam antara Jawa dan luar Jawa. Sementara munculnya pemekaran daerah, salah satunya dipicu oleh tingginya keinginan politis dan cara mudah untuk mendapatkan dana pusat.

Pengamat perimbangan keuangan sekaligus guru besar Universitas Indonesia (UI) Bambang Brodjonegoro mengungkapkan, pemekaran daerah secara tak terpola seperti selama ini hanya menghasilkan pemborosan anggaran. Meski anggaran sudah dibelanjakan dalam jumlah besar untuk daerah baru, hasilnya tidak sepadan dengan pelayanan kepada masyarakat yang seharusnya meningkat. Sebelumnya, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Program Pembangunan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) membuat studi yang menunjukkan perkembangan kurang memuaskan pada daerah-daerah hasil pemekaran.

Riset ini menunjukkan bahwa kondisi perekonomian dan pelayanan masyarakat di daerah hasil pemekaran tidak membaik meskipun ada aliran dana dalam jumlah besar dari pusat untuk mendukung operasional daerah tersebut. Hasil riset Bappenas dan UNDP itu sudah sangat memadai sebagai alasan yang bisa digunakan pemerintah pusat untuk melakukan moratorium pemekaran daerah sejak saat ini. Alasan lain adalah sebagian besar daerah hasil pemekaran justru masuk dalam kategori daerah tertinggal.

Riset Bappenas dan UNDP yang dipublikasikan pada Juli 2008 itu mengambil sampel pada 26 kabupaten, yang terdiri atas 10 kabupaten induk, 10 kabupaten pemekaran (yang dimekarkan tahun 2000), dan 6 kabupaten sebagai daerah kontrol. Dilihat dari aspek kinerja perekonomian daerah, tim studi Bappenas dan UNDP menemukan dua masalah. Pertama, pembagian potensi ekonomi yang tidak merata. Kedua, beban penduduk miskin yang lebih tinggi.

Di sisi keuangan menunjukkan, kinerja daerah baru kurang optimal dibandingkan dengan daerah kontrol. Hal itu disebabkan oleh tiga faktor. Pertama, ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran. Kedua, optimalisasi pendapatan dan kontribusi yang rendah. Ketiga, porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah.

Semua itu mengindikasikan belum efektifnya kebijakan keuangan di daerah otonomi baru dalam menggerakkan aktivitas ekonomi di daerah, baik yang bersifat konsumtif maupun investasi. Secara teoretis, setiap pemekaran daerah akan menyebabkan perubahan alokasi DAU dan dana alokasi khusus (DAK). DAU yang diterima daerah yang memisahkan diri akan menyedot DAU daerah induknya. Adapun DAK akan diberikan oleh pemerintah pusat pada saat daerah hasil pemekaran memiliki DAU sendiri. Dengan demikian, setiap pemekaran daerah akan disertai peningkatan beban DAU dan DAK.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Komite Pemantau Pelaksanaan Otonomi Daerah Agung Pambudhi mengatakan, pemerintah harus melakukan evaluasi secara komprehensif terhadap pemekaran daerah yang sudah dilakukan saat ini. Selama masa evaluasi, tidak ada daerah yang dimekarkan dan pada saat yang sama dilakukan bantuan pendampingan pada seluruh daerah yang sudah dimekarkan. (AI)


Tidak ada komentar: