Senin, Maret 02, 2009

Industri baja melemah

Harga baja dunia makin merosot ke titik terendah dalam tiga tahun terakhir seiring dengan perlambatan ekonomi global. Kondisi itu diperkirakan menggerus proyeksi pendapatan industri baja nasional mengingat kelebihan stok di pasar lokal masih besar. Berdasarkan data Middle East Steel (lembaga riset baja Timur Tengah), harga baja dunia terus turun dari USD450-500/ton pada Desember 2008 menjadi USD430-470/ton pada pertengahan Januari 2009. Dengan demikian, harga baja canai panas (hot rolled coils/HRC) yang menjadi acuan telah menurun lebih dari 64% dari titik tertinggi pada Agustus 2008 yang pernah menyentuh USD1.200/ton.

World Steel Association (Worldsteel) memproyeksikan permintaan baja pada tahun 2009 terus menurun sekitar 10-15%. Akibatnya, sejumlah perusahaan baja dunia masih akan terus memangkas produksi hingga 20%. Menanggapi hal ini, Ketua Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) Bidang Long Product Ismail Mandry menjelaskan, penurunan harga dunia secara otomatis mengoreksi harga baja di sektor hilir antara lain besi beton, besi profil, kawat, paku, seng, dan pipa baja. Harga kelompok baja long product ikut terkoreksi Rp7.000/kg pada Januari 2009 dari posisi Rp11.000/kg pada November 2008.

Pengusaha industri baja nasional diperkirakan akan memangkas produksinya sebesar 30% hingga 40%. Artinya, produksi baja nasional hanya 2,4 juta ton bila dibandingkan dengan total produksi tahun 2008 sebesar 4 juta ton. Pemangkasan produksi bukan tanpa sebab. Ada tiga faktor menjadi alasan produsen mengurangi produksi mereka. Pertama, produsen hulu dan hilir masih memiliki stok bahan baku yang menumpuk yang mereka beli pada saat harga tinggi. Kedua, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketiga, ketergantungan industri dalam negeri terhadap produk baja impor.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Tekstil dan Aneka Depperin Ansari Bukhari mengatakan, beberapa bulan menjelangi akhir tahun 2008, sejumlah perusahaan hulu – hilir baja ada yang telah menghentikan sementara produksinya. Salah satunya, PT Krakatau Steel (KS) menghentikan produksi di lini hulu atau steel making dengan alasan perawatan berkala atau overhaul pada Desember 2008 hingga Januari 2009. Jumlah produksi yang terhenti mencapai 30% atau 1,5 juta ton.

Penumpukan stok di produsen hulu dan hilir terjadi karena spekulasi yang dilakukan pada saat harga baja bakal melonjak. Pengusaha membeli banyak karena khawatir harga baja bakal tidak turun lagi dan justru terus meninggi. Pada Agustus 2008 harga baja menembus titik tertinggi USD1.220/ton. Pada saat pembelian, produsen membeli di kisaran antara USD800 – USD1.000/ton. Saat ini, harga baja justru telah menyentuh titik terendah menjadi hanya USD440 – USD500/ton. Jumlah stok yang tertumpuk setara untuk stok dua bulan produksi atau sekitar 666.700 ton. Alhasil, ketika harga baja anjlok, produsen merugi.

Sementara untuk pelemahan nilai tukar rupiah ke dolar bila terus berlanjut menyebabkan harga bahan baku dan produk setengah jadi (semifinished) baja kian mahal sehingga memperlemah daya beli konsumen lokal. Akibatnya, berpotensi menghambat realisasi sejumlah proyek infrastruktur dan properti pemerintah pada tahun 2009.

Proyek industri hulu baja yang belum terwujud menyebabkan Indonesia masih akan bergantung besar terhadap impor bahan baku pada tahun 2009. Oleh karena itu, pemerintah menginginkan agar KS segera melaksanakan proyek baja hulu antara KS-Antam di Kalimantan. Pemerintah juga berharap produsen mencari celah memanfaatkan peluang kelesuan pasar domestik sehingga sektor baja nasional tetap bergerak. Salah satu caranya dengan menyesuaikan harga produknya dengan harga internasional.

Namun demikian, pemerintah memastikan tiga pabrik baja milik PT Meratus Jaya Iron and Steel (perusahaan patungan PT Krakatau Steel dan PT Aneka Tambang) yang akan membangun pabrik iron making berkapasitas 300.000 ton, PT Semeru Surya Steel, dan PT Mandan Steel (Penanaman Modal Asing asal China/China Nickel Holding Resources) sudah mulai berdiri. Investasi ketiga perusahaan yang berlokasi di Kalimantan Selatan itu mencapai USD660 juta.

Penurunan harga baja ini seharusnya menjadi momentum produsen lokal meningkatkan pembelian bahan baku dari pasar domestik dan impor dengan harga murah. Namun, dengan stok yang besar, arus kas (cash flow) perusahaan baja lokal terbatas sehingga sulit memanfaatkan momentum itu. Pada kuartal I/2009 tingkat pemanfaatan kapasitas terpasang industri baja lokal hanya mencapai 30%.

Di sisi lain ada kabar baik bagi industri atau produsen baja dalam negeri. Mereka tak perlu merasa khawatir produknya bakal tergerus produk impor terutama yang tidak memenuhi standar nasional. Pasalnya Departemen Perindustrian (Depperin) menerbitkan Keputusan Menteri Perindustrian Nomor 1 dan 2/M-IND/PER/2009 tanggal 6 Januari 2009 yang mewajibkan pemberlakuan Standar Nasional Indonesia (SNI) produk baja impor. Kebijakan ini mulai efektif berlaku terhitung April 2009.

Dalam peraturan itu produk baja impor yang wajib memiliki SNI antara lain baja lembaran, pelat, dan gulungan canai panas dari pos tarif 7208.25.10.00 sampai 7211.19.90.00. Selain itu, SNI wajib diberlakukan untuk baja lembaran dan gulungan lapis paduan aluminium-seng dengan pos tarif 7210.61.10.00 sampai 7212.50.20.10. Produk baja impor yang memasuki daerah pabean Indonesia wajib memenuhi ketentuan SNI dengan dibuktikan dengan SPPT SNI. Bila tidak, baja yang tidak memenuhi SNI akan direekspor atau dimusnahkan.

Pemberlakuan SNI merupakan kebijakan hambatan non tarif atau yang dikenal non tarif barrier yang bertujuan melindungi industri dalam negeri, khususnya dari produk baja impor ilegal. Namun, kebijakan SNI ini tak serta merta berlaku, pemerintah menetapkan kebijakan SNI wajib bagi HRC dan baja lapis aluminium-seng berlaku surut pada tahun 2009. Dengan pertimbangan, setidaknya butuh waktu tiga bulan untuk sosialisasi dan memberi kesempatan bagi importir umum (IU) mempersiapkan diri memiliki Sertifikat Produk Penggunaan Tanda (SPPT). Sebelum mengimpor, setiap produsen baja asing harus melaporkan standar produknya. Bisa saja produsen baja asing misalnya di China diverifikasi terlebih dahulu agar produknya sesuai SNI. (AI)


Tidak ada komentar: