Jumat, Maret 06, 2009

Merevisi daftar negatif investasi

Deputi Menko Perekonomian Bidang Industri dan Perdagangan Edy Putra Irawady mengungkapkan, saat ini ada sekitar lima sektor manufaktur masuk dalam daftar negatif pemberian kredit perbankan sehingga sulit memperoleh pinjaman investasi dan modal kerja. Kelima sektor tersebut mencakup industri pertekstilan khususnya yang bergerak di sektor antara (intermediate) dan hilir seperti benang dan garmen, industri besi dan baja, elektronik, alas kaki, dan sektor kimia hilir khususnya plastik. Sektor-sektor tersebut masuk dalam daftar negatif pemberian kredit perbankan karena banyak perusahaan yang bergerak di bidang usaha tersebut mengalami gagal bayar atas utang-utangnya (default).

Nilai default tersebut dinilai cukup besar sehingga berpotensi mengganggu bisnis sejumlah bank pemberi kredit. Kelima sektor tersebut memiliki konten impor yang besar sehingga pada saat terjadi pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS, nilai utangnya akan membengkak. Saat ini banyak industri yang membeli bahan baku dengan dolar AS tetapi menjual produknya dengan rupiah sehingga mengalami tekanan utang yang besar. Problem kredit macet tersebut juga bisa disebabkan adanya gagal bayar dari buyer, penurunan ekspor, atau tidak bisa mendapatkan buyer sehingga pinjaman bank hanya digunakan untuk menutup biaya overhead.

Untuk mengatasi hal ini, Kantor Menko Perekonomian, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia akan mengkaji solusi yang cocok, termasuk kemungkinan pemutihan utang dan penjadwalan ulang utang (rescheduling). Solusi ini disebut sebagai trade adjustment assistance yang bisa berbentuk rehabilitasi, keringanan, dan fasilitas fiskal berupa harmonisasi bea masuk (BM). Selain itu, pemerintah juga akan melindungi industri dalam negeri dengan menaikkan tarif BM untuk mengurangi peredaran barang impor.

Sementara itu, rapat antardepartemen yang membahas revisi Daftar Negatif Investasi (DNI) telah memutuskan perusahaan publik dikecualikan dari kebijakan yang membatasi kepemilikan asing tersebut. Adalah pasal 3a Revisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 111/2007 tentang Daftar Bidang Usaha Tertutup dan Bidang Usaha Terbuka yang mengeluarkan perusahaan publik dari DNI. Selama ini, seluruh perusahaan baik tertutup maupun terbuka masih terikat ketentuan ini.

Rapat itu juga memutuskan bahwa ketentuan DNI hanya boleh diatur berdasarkan perpres. Artinya, tak ada lagi peraturan di bawah perpres yang ikut campur. Saat ini ada beberapa peraturan menteri yang memang simpang-siur dengan pengaturan DNI. Akibatnya, investor pun bingung harus berpedoman pada peraturan yang mana. Pemerintah ingin memberlakukan pengecualian ini agar ada kepastian, kemudahan, dan konsistensi bagi kegiatan investasi melalui bursa saham. Pasalnya, belakangan ini memang ada sejumlah kasus akuisisi oleh investor asing di bursa yang menimbulkan kerancuan.

Salah satu akuisisi yang paling heboh menimbulkan polemik adalah akuisisi PT Indosat Tbk oleh Qatar Telecom (Qtel) pada pertengahan tahun 2008. Saat itu terjadi perbedaan persepsi antara Qtel, Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan Departemen Komunikasi dan Informatika (Depkominfo). Bapepam-LK dan Qtel berpegang pada aturan pasar modal. Sementara Depkominfo bersikeras memakai ketentuan DNI yang membatasi kepemilikan asing di sektor telekomunikasi. Akibat polemik ini proses akuisisi dan penawaran tender (tender offer) Qtel atas saham publik Indosat sempat terkatung-katung.

Namun Wakil Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Yusan yang lembaganya turut menggodok revisi DNI mengaku belum mengetahui kesepakatan itu. Tapi menurut Yusan sudah sewajarnya jika perusahaan terbuka dikecualikan dari DNI. Yang tergolong perusahaan publik atau terbuka adalah perusahaan yang sahamnya dikuasai oleh minimal 300 pihak. Perusahaan publik terdaftar di Bapepam-LK. Perusahaan terbuka bisa menjual saham melalui bursa atau bisa juga tidak.

Rencana perubahan ketentuan DNI ini juga membuat Ketua Umum Asosiasi Emiten Indonesia (AEI) Airlangga Hartarto senang. Menurutnya, perusahaan publik memiliki akuntabilitas yang telah teruji. Jadi sudah sewajarnya kalau dikecualikan dari DNI. Kesepakatan ini menunjukkan pemerintah masih berkomitmen mendorong perkembangan investasi di pasar modal.

Dari kawasan regional, pembahasan mengenai rencana DNI ASEAN akan di-update dalam rangka memenuhi kebutuhan seluruh pimpinan negara yang akan berkumpul pada Desember 2009 mendatang. Menurut Menkeu Sri Mulyani, hal ini tidak khusus dibahas, tapi pemutakhiran perlu dilakukan dalam rangka memenuhi kepada seluruh pimpinan negara ASEAN. Perjanjian tahap ketujuh ini akan memuat berbagai pembaruan atau revisi dari berbagai sektor jasa yang akan masuk dalam persetujuan.

Di samping itu, nantinya juga akan dilakukan pengecekan ke sektor-sektor apakah yang mendapat tawaran dari bidang-bidang yang dianggap baik dan memiliki nilai strategis untuk masuk kedalam perundingan ketujuh ini. Bidang-bidang yang strategis seperti komunikasi, perhubungan, pariwisata, perdagangan, bahkan pendidikan juga akan dilihat dan difinalkan dalam waktu dekat. Pada dasarnya Indonesia membuat kebijakan sedemikian rupa hingga kebijakan sektor bisa harmonis dengan kebijakan-kebijakan strategis dan memiliki peluang yang sama.

Sementara itu Kepala BKPM M. Luthfi mengatakan, dalam Roadmap Penanaman Modal 2009 ada tiga sektor usaha yang menjadi tumpuan investasi pada tahun 2009. Ketiganya adalah sektor energi, infrastruktur, dan pangan. Roadmap ini diharapkan dapat menjadi arahan strategis mengenai investasi secara nasional yang meliputi kebutuhan investasi, arah investasi, dan arah fasilitas investasi.

Sektor infrastruktur menjadi andalan investasi karena diharapkan bisa memberikan efek kemudahan investasi lainnya. Dengan fasilitas infrastruktur yang baik tentunya akan semakin menarik pada investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Sektor energi dipilih terkait fungsinya sebagai roda perekonomian masyarakat dan potensinya yang juga dimiliki oleh Indonesia.

Sektor pangan dipilih terkait dengan kondisi geografis yang sangat strategis dan potensi alam, baik yang dapat menjadi keunggulan komparatif bagi Indonesia, maupun modal untuk ketahanan pangan. BKPM memfokuskan pada komoditas padi, jagung, kedelai, tebu, CPO, dan kakao. (AI)


Tidak ada komentar: